Kamis, 27 Januari 2011

Terbitan Buku : HUKUM dan PEMERINTAHAN DAERAH

Pengantar Penulis
Dr. Agussalim Andi Gadjong, SH., MH


       Konsep kekuasaan pemerintah daerah, sering terjadi perbedaan penafsiran dikalangan para pakar. Baik pengertian otonomi itu sendiri, maupun prinsip-prinsip dalam pelaksanaan otonomi daerah. Otonomi daerah merupakan esensi pemerintahan desentralisasi. Namun, dalam perkembangan otonomi daerah, selain mengandung arti “zelfwetgeving“ (membuat perda), juga mencakup “zelfbestuur” (pemerintahan sendiri). Van Der Pot memahami konsep otonomi daerah sebagai “eigen huishouding” (menjalankan rumah tangga sendiri).
       Prinsip otonomi daerah dalam sejarah ketatanegaraan, didasari pada landasan hukum yang berbeda-beda. Pada orde lama lain dengan pada orde baru, demikian pula pada orde reformasi. Pada prinsipnya otonomi daerah harus mencerminkan 3 (tiga) hal, yaitu  : 1. Harus serasi dengan pembinaan politik dan kesatuan bangsa. 2. Harus dapat menjamin hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan daerah atas dasar keutuhan negara kesatuan. 3. Harus dapat menjamin perkembangan dan pembangunan daerah.
       Jika dirangkaikan secara sistematik, tujuan dan cita-cita pelaksanaan pemerintahan Indonesia yang bersendikan desentralisasi sebagai sumber pemerintahan yang demokratis, yang secara langsung melibatkan seluruh masyarakat untuk turut serta berpartisipasi dalam pemerintahan. Keterlibatan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia tidak bisa ditawar, karena kedudukan rakyat menjadi sentral dalam kehidupan bernegara. Persoalannya adalah, bagaimana meralisasikan hal tersebut, yang membutuhkan berbagai prasyarat dan instrumen hukum yang bisa dijadikan sebagai landasan gerak, tidak saja bersifat struktural, melainkan kultural bahkan kesungguhan penyelenggara negara.
       Karakter pemerintahan di daerah, terkait dengan bentuk, susunan, dan pembagian kekuasaan yang ada pada negara. Artinya, dari bentuk dan susunan negara, dapat dilihat, apakah kewenangan itu didelegasikan ke daerah-daerah atau dipusatkan di pemerintah pusat. Dari sisi pembagian kekuasaan dalam suatu negara, bisa berbentuk sistem sentralisasi atau desentralisasi. Sistem ini, secara langsung mempengaruhi konsepsi pelaksanaan pemerintahan di daerah. Dalam kajian Ilmu Negara dan Hukum Tata Negara, bentuk dan susunan negara sejak dahulu sudah diperdebatkan.Istilah bentuk negara ditujukan pada Monarchie dan Republic, dan istilah susunan negara ditujukan pada Kesatuan dan Federasi.
       Teori-teori yang dikembangkan para ahli, mengenai bentuk negara di zaman modern, bermuara pada dua paham yang mendasar. Paham Pertama, paham yang menggabungkan bentuk negara dan bentuk pemerintahan. Bentuk negara sama dengan bentuk pemerintahan, dibagi dalam tiga macam bentuk, yaitu : 1. Bentuk pemerintahan dimana terdapat hubungan yang erat antara eksekutif dan legislatif. 2. Bentuk pemerintahan dimana terdapat pemisahan yang tegas antara badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. 3. Bentuk pemerintahan dimana terdapat pengaruh/ pengawasan langsung dari rakyat terhadap badan legislatif. Paham Kedua, paham yang membahas bentuk negara atas golongan demokrasi atau diktator. Bentuk negara terdiri atas golongan demokrasi dan diktator. Paham ini memperjelas bahwa demokrasi dibagi dalam Demokrasi Konstitusional (liberal), dan Demokrasi Rakyat.
       Teori yang mengkaji bentuk negara dan bentuk pemerintahan suatu negara, diawali oleh “staatidee” kelahiran (pembentukan) suatu negara. Teori-teori tentang negara sampai sekarang ini semakin berkembang, seiring dengan perkembangan peradaban umat manusia. Teori negara tersebut antara lain; Pertama, Teori perseorangan (individu) yang diajarkan oleh Locke, Hobbes (abad ke-17), Rousseau (abad ke-18), Spencer (abad ke-19), dan Laski (abad ke-20).Inti dari ajaran ini adalah bahwa negara ialah legal society (masyarakat hukum) yang disusun atas contract social. Kedua, Teori Golongan (class theory) yang diajarkan oleh Marx, Engels, dan Lenin. Inti ajarannya adalah negara sebagai alat dari sesuatu golongan. Ketiga, Teori Integralistik yang diajarkan oleh Spinoza, Muller, Hegel (abad ke-18 dan 19). Inti ajarannya adalah bahwa negara tidak untuk menjamin kepentingan seseorang atau kelompok tetapi untuk kepentingan seluruh masyarakat dalam bingkai persatuan.
       Teori-teori inilah yang berkembang di zaman modern ini, yaitu bentuk negara yang terpenting adalah Negara Kesatuan (Unitarisme) yang dapat berbentuk sistem sentralisasi dan sistem desentralisasi dan Negara Serikat (federalisme). Bentuk negara, berkaitan dengan kekuasaan tertinggi yang ada pada suatu negara. Sementara istilah bangunan negara, dibagi atas tiga, yaitu : Negara Kesatuan apabila kekuasaan tidak terbagi (kekuasaan pemerintah pusat tidak dibatasi oleh daerah), Negara Serikat apabila kekuasaan dibagi antara pusat dan negara bagian. Negara Konfederasi apabila kekuasaan terletak pada negara-negara yang berserikat.
       Sementara mengenai susunan negara, Jellinek memberikan istilah “Staatenverbindungen” untuk istilah Negara Kesatuan, Negara Federal, dan Negara Konfederal. Untuk membedakan ketiga susunan negara tersebut, dilihat pada letak kedaulatan, wewenang kepada rakyat, dan wewenang membuat undang-undang. Disisi lain, Wheare, melihat susunan negara dari sisi kekuasaan yang ada pada masing-masing pihak. Kemungkinan bentuk mengenai susunan negara, yaitu; negara yang bersusunan tunggal disebut sebagai Negara Kesatuan dan negara yang bersusunan jamak disebut sebagai Negara Federasi.
       Teori-teori yang memberi dasar kekuasaan yang ada pada negara dalam tiga golongan besar, antara lain : Teori Theokrasi (Theocratische Theoria), Teori Kekuasaan (Nachtattheorie), dan Teori Yuridis (Yuridische Theorie). Soehino membagi dua bagian mengenai teori sumber kekuasaan, yaitu Teori Teokrasi  yang berkembang pada jaman abad pertengan (abad ke-5 sampai ke-15) dan Teori Hukum Alam (abad ke-15 sampai abd ke-19).
       Kekuasaan adalah kedaulatan sebagai esensi terpenting dalam menjalankan negara dan pemerintahan. Teori kedaulatan yang terkenal sampai sekarang ini, antara lain; Teori Kedaulatan Tuhan, Teori Kedaulatan Rakyat, Teori Kedaulatan Negara, dan Teori Kedaulatan Hukum. Perdebatan tentang kekuasaan yang ada pada negara, terkait dengan sistem pemerintahan. Sistem pemerintahan membicarakan, bagaimana pembagian kekuasaan, serta hubungan antar lembaga negara dalam menjalankan kekuasaan negara, untuk kepentingan rakyat.
       Teori pembagian (pemisahan) kekuasaan negara, sejak dahulu sampai sekarang menjadi perdebatan. Locke (1690) dalam bukunya “Two Treatises on Civil Government” memisahkan kekuasaan negara dalam Legislatif, Eksekutif, dan Federatif. Senada dengan Locke, Montesquieu (1748) dalam bukunya “L’Esprit des lois” mengemukakan tiga jenis kekuasaan, yaitu; Legislatif (legislative powers), Eksekutif (executive powers), Yudikatif (judicative powers).
       Kekuasaan sebagai implementasi konsep kedaulatan yang ada dalam negara, diwujudkan melalui sejauhmana luas atau lingkup (scope of power) kekuasaan itu sendiri dan sejauhmana jangkauan yang dimilikinya (domain of power). Nagel membahas kedaulatan dalam pendekatan, bahwa luas atau lingkup kedaulatan menyentuh soal kegiatan yang tercakup dalam kedaulatan, sedangkan jaungkauan kedaulatan menyentuh soal siapa yang menjadi pemegang kedaulatan. Lingkup kedaulatan yang dimaksud meliputi proses pengambilan keputusan untuk mengukur seberapa besar kekuatan  keputusan yang ditetapkan, sementara jangkauan kedaulatan terkait pada siapa yang memegang kekuasaan tertinggi dan apa yang menjadi objek sararan dalam pengambilan keputusan atau wewenang apa yang dimiliki pemegang kekuasaan tersebut.
       Kekuasaan Pemerintah Daerah dalam konteks negara kesatuan, bukan hanya berkenaan dengan pembagian kekuasaan tetapi yang lebih penting adalah bagaimana proses kekuasaan dan kewenangan itu didapatkan. Beberapa teori yang menaruh perhatian terhadap kaitan antara elemen ini adalah, masalah legalitas kekuasaan yang didapatkan, serta dari mana sumber kekuasaan tersebut, dan bagimana proses penyerahan atau pelimpahan kekuasaan itu.
       Gagasan utama dalam penulisan buku ini, terletak pada faktor-faktor berikut. Pertama, kemunculan, perkembangan dan formulasi kekuasaan pemerintahan di daerah tidak terlepas dari cita bernegara, konstitusi sebagai norma hukum dasar negara, dan peraturan organik lainnya, serta sejarah ketatanegaraan Indonesia sejak pra-kemerdekaan sampai pasca-kemerdekaan. Kedua, rumusan kekuasaan pemerintah daerah berlangsung dalam tatanan sosial yang dipenuhi dengan nilai, orientasi, dan harapan yang berkembang ditengah-tengah masyarakat. Kekuatan tersebut saling mempengaruhi. Ketiga, konsep pelaksanaan pemerintahan di daerah, tidak terlepas dari proses demokratisasi pemerintahan yang berlandaskan hukum, implementasi hak-hak asasi manusia, pemberdayaan potensi dan aspirasi masyarakat dalam pemerintahan, dan pemberian keleluasaan dan kebebasan masyarakat di daerah untuk berinisiatif dan berkreasi untuk mengembangkan daerahnya.
       Untuk itu, dalam penulisan buku ini, akan dipaparkan landasan teori pelaksanaan pemerintahan daerah di negara kesatuan, konsep legalitas dan kewenangan (atribusi, delegasi, mandat) pemerintah daerah, konsep bentuk dan susunan negara, konsep pembagian kekuasaan (General Competence, Ultra Vires, Campuran) dan konsep negara hukum serta konsep negara demokrasi.

Jakarta, 7 Agustus 2009
P e n u l i s.-
*AAG*