UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 6 TAHUN 2014
TENTANG
DESA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang
: a. bahwa
Desa memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat dan berperan mewujudkan cita-cita kemerdekaan
berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa dalam perjalanan ketatanegaraan Republik
Indonesia, Desa telah berkembang dalam berbagai bentuk sehingga perlu
dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis
sehingga dapat menciptakan landasan yang kuat dalam melaksanakan pemerintahan
dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera;
c.
bahwa Desa dalam susunan dan tata cara
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan perlu diatur tersendiri dengan
undang-undang;
d.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan
huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Desa;
Mengingat
: Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, Pasal
18B ayat (2), Pasal 20, dan Pasal 22D ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK
INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN
:
Menetapkan
: UNDANG-UNDANG TENTANG DESA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam
Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1.
Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya
disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang
berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan
masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau
hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
2.
Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3.
Pemerintah Desa adalah Kepala Desa atau
yang disebut dengan nama lain dibantu perangkat Desa sebagai unsur
penyelenggara Pemerintahan Desa.
4.
Badan Permusyawaratan Desa atau yang disebut
dengan nama lain adalah lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan yang
anggotanya merupakan wakil dari penduduk Desa berdasarkan keterwakilan wilayah
dan ditetapkan secara demokratis.
5.
Musyawarah Desa atau yang disebut dengan
nama lain adalah musyawarah antara Badan Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa,
dan unsur masyarakat yang diselenggarakan oleh Badan Permusyawaratan Desa untuk
menyepakati hal yang bersifat strategis.
6.
Badan Usaha Milik Desa, yang selanjutnya
disebut BUM Desa, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya
dimiliki oleh Desa melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari
kekayaan Desa yang dipisahkan guna mengelola aset, jasa pelayanan, dan usaha
lainnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat Desa.
7.
Peraturan Desa adalah peraturan
perundang-undangan yang ditetapkan oleh Kepala Desa setelah dibahas dan
disepakati bersama Badan Permusyawaratan Desa.
8.
Pembangunan Desa adalah upaya
peningkatan kualitas hidup dan kehidupan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan
masyarakat Desa.
9.
Kawasan Perdesaan adalah kawasan yang
mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam
dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan
jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
10.
Keuangan Desa adalah semua hak dan
kewajiban Desa yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu berupa uang
dan barang yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban Desa.
11.
Aset Desa adalah barang milik Desa
yang berasal dari kekayaan asli Desa, dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran
Pendapatan dan Belanja Desa atau perolehan hak lainnya yang sah.
12.
Pemberdayaan Masyarakat Desa adalah
upaya mengembangkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat dengan
meningkatkan pengetahuan, sikap, keterampilan, perilaku, kemampuan, kesadaran,
serta memanfaatkan sumber daya melalui penetapan kebijakan, program, kegiatan,
dan pendampingan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan
masyarakat Desa.
13.
Pemerintah Pusat selanjutnya disebut
Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan
pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
14.
Pemerintahan Daerah adalah Pemerintah
Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi
seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
15.
Pemerintah Daerah adalah Gubernur,
Bupati, atau Walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara
Pemerintahan Daerah.
16.
Menteri adalah menteri yang menangani Desa.
Pasal 2
Penyelenggaraan
Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa,
dan pemberdayaan masyarakat Desa berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan
Bhinneka Tunggal Ika.
Pasal 3
Pengaturan
Desa berasaskan:
a.
rekognisi;
b.
subsidiaritas;
c.
keberagaman;
d.
kebersamaan;
e.
kegotongroyongan;
f.
kekeluargaan;
g.
musyawarah;
h.
demokrasi;
i.
kemandirian;
j.
partisipasi;
k.
kesetaraan;
l.
pemberdayaan; dan
m.
keberlanjutan.
Pasal 4
Pengaturan
Desa bertujuan:
a. memberikan pengakuan dan penghormatan atas
Desa yang sudah ada dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya
Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b.
memberikan kejelasan status dan
kepastian hukum atas Desa dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia demi
mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia;
c.
melestarikan dan memajukan adat,
tradisi, dan budaya masyarakat Desa;
d.
mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat Desa untuk pengembangan
potensi dan Aset Desa guna kesejahteraan bersama;
e.
membentuk Pemerintahan Desa yang
profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta bertanggung jawab;
f.
meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat Desa guna mempercepat
perwujudan kesejahteraan umum;
g.
meningkatkan ketahanan sosial budaya
masyarakat Desa guna mewujudkan masyarakat Desa yang mampu memelihara kesatuan
sosial sebagai bagian dari ketahanan nasional;
h.
memajukan perekonomian masyarakat Desa
serta mengatasi kesenjangan pembangunan nasional; dan
i.
memperkuat masyarakat Desa sebagai
subjek pembangunan.
BAB II KEDUDUKAN DAN JENIS DESA
Bagian Kesatu
Kedudukan
Pasal 5
Desa
berkedudukan di wilayah Kabupaten/Kota.
Bagian Kedua
Jenis Desa
Pasal 6
(1)
Desa terdiri atas Desa dan Desa Adat.
(2)
Penyebutan Desa atau Desa Adat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan penyebutan yang berlaku
di daerah setempat.
BAB III
PENATAAN DESA
Pasal 7
(1)
Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi,
dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat melakukan penataan Desa.
(2)
Penataan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berdasarkan hasil evaluasi tingkat perkembangan Pemerintahan Desa sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3)
Penataan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) bertujuan:
a.
mewujudkan efektivitas penyelenggaraan Pemerintahan Desa;
b.
mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat Desa;
c.
mempercepat peningkatan kualitas pelayanan publik;
d.
meningkatkan kualitas tata kelola Pemerintahan Desa; dan
e.
meningkatkan daya saing Desa.
(4)
Penataan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi:
a.
pembentukan;
b.
penghapusan;
c.
penggabungan;
d.
perubahan status; dan
e.
penetapan Desa.
Pasal 8
(1)
Pembentukan Desa sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (4) huruf a merupakan tindakan mengadakan Desa baru di luar
Desa yang ada.
(2)
Pembentukan Desa sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dengan
mempertimbangkan prakarsa masyarakat Desa, asal usul, adat istiadat, kondisi
sosial budaya masyarakat Desa, serta kemampuan dan potensi Desa.
(3)
Pembentukan Desa sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus memenuhi syarat:
a.
batas usia Desa induk paling
sedikit 5 (lima) tahun terhitung sejak pembentukan;
b.
jumlah penduduk, yaitu:
1)
wilayah Jawa paling sedikit 6.000 (enam ribu) jiwa atau 1.200 (seribu dua
ratus) kepala keluarga;
2)
wilayah Bali paling sedikit 5.000 (lima ribu) jiwa atau 1.000 (seribu) kepala
keluarga;
3)
wilayah Sumatera paling sedikit 4.000 (empat ribu) jiwa atau 800 (delapan
ratus) kepala keluarga;
4)
wilayah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara paling sedikit 3.000 (tiga ribu)
jiwa atau 600 (enam ratus) kepala keluarga;
5)
wilayah Nusa Tenggara Barat paling sedikit 2.500 (dua ribu lima ratus) jiwa
atau 500 (lima ratus) kepala keluarga;
6)
wilayah Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, dan
Kalimantan Selatan paling sedikit 2.000 (dua ribu) jiwa atau 400 (empat ratus)
kepala keluarga;
7)
wilayah Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan
Utara paling sedikit 1.500 (seribu lima ratus) jiwa atau 300 (tiga ratus)
kepala keluarga;
8)
wilayah Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Maluku Utara paling sedikit 1.000
(seribu) jiwa atau 200 (dua ratus) kepala keluarga; dan
9)
wilayah Papua dan Papua Barat paling sedikit 500 (lima ratus) jiwa atau 100
(seratus) kepala keluarga.
c.
wilayah kerja yang memiliki
akses transportasi antarwilayah;
d.
sosial budaya yang dapat
menciptakan kerukunan hidup bermasyarakat sesuai dengan adat istiadat Desa;
e.
memiliki potensi yang meliputi
sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya ekonomi pendukung;
f.
batas wilayah Desa yang dinyatakan dalam
bentuk peta Desa yang telah ditetapkan dalam peraturan Bupati/Walikota;
g.
sarana dan prasarana bagi
Pemerintahan Desa dan pelayanan publik; dan
h.
tersedianya dana operasional,
penghasilan tetap, dan tunjangan lainnya bagi perangkat Pemerintah Desa sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4)
Dalam wilayah Desa dibentuk dusun atau
yang disebut dengan nama lain yang disesuaikan dengan asal usul, adat istiadat,
dan nilai sosial budaya masyarakat Desa.
(5)
Pembentukan Desa sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan melalui Desa persiapan.
(6)
Desa persiapan merupakan bagian dari
wilayah Desa induk.
(7)
Desa persiapan sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) dapat ditingkatkan statusnya menjadi Desa dalam jangka waktu 1 (satu)
sampai 3 (tiga) tahun.
(8)
Peningkatan status sebagaimana dimaksud
pada ayat (7) dilaksanakan berdasarkan hasil evaluasi.
Pasal 9
Desa
dapat dihapus karena bencana alam dan/atau kepentingan program nasional yang
strategis.
Pasal 10
Dua
Desa atau lebih yang berbatasan dapat digabung menjadi Desa baru berdasarkan
kesepakatan Desa yang bersangkutan dengan memperhatikan persyaratan yang
ditentukan dalam Undang-Undang ini.
Pasal 11
(1)
Desa dapat berubah status menjadi
kelurahan berdasarkan prakarsa Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa
melalui Musyawarah Desa dengan memperhatikan saran dan pendapat masyarakat
Desa.
(2)
Seluruh barang milik Desa dan sumber
pendapatan Desa yang berubah menjadi kelurahan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) menjadi kekayaan/aset Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang digunakan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kelurahan tersebut dan pendanaan
kelurahan dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Kabupaten/Kota.
Pasal 12
(1)
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat
mengubah status kelurahan menjadi Desa berdasarkan prakarsa masyarakat dan
memenuhi persyaratan yang ditentukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2)
Kelurahan yang berubah status menjadi
Desa, sarana dan prasarana menjadi milik Desa dan dikelola oleh Desa yang
bersangkutan untuk kepentingan masyarakat Desa.
(3)
Pendanaan perubahan status kelurahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah Kabupaten/Kota.
(4) Pemerintah dapat memprakarsai pembentukan Desa
di kawasan yang bersifat khusus dan strategis bagi kepentingan nasional.
Pasal 14
Pembentukan,
penghapusan, penggabungan, dan/atau perubahan status Desa menjadi kelurahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11 atau
kelurahan menjadi Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ditetapkan dalam
Peraturan Daerah.
Pasal 15
(1)
Rancangan Peraturan Daerah tentang
pembentukan, penghapusan, penggabungan, dan/atau perubahan status Desa menjadi
kelurahan atau kelurahan menjadi Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 yang
telah mendapatkan persetujuan bersama Bupati/Walikota dengan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah diajukan kepada Gubernur.
(2)
Gubernur melakukan evaluasi Rancangan
Peraturan Daerah tentang pembentukan, penghapusan, penggabungan, dan/atau
perubahan status Desa menjadi kelurahan atau kelurahan menjadi Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berdasarkan urgensi, kepentingan nasional, kepentingan
daerah, kepentingan masyarakat Desa, dan/atau peraturan perundang-undangan.
Pasal 16
(1)
Gubernur menyatakan persetujuan terhadap
Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 paling lama 20
(dua puluh) hari setelah menerima Rancangan Peraturan Daerah.
(2)
Dalam hal Gubernur memberikan persetujuan
atas Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota melakukan penyempurnaan dan penetapan menjadi Peraturan
Daerah paling lama 20 (dua puluh) hari.
(3)
Dalam hal Gubernur menolak memberikan
persetujuan terhadap Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Rancangan Peraturan Daerah tersebut tidak dapat disahkan dan tidak dapat
diajukan kembali dalam waktu 5 (lima) tahun setelah penolakan oleh Gubernur.
(4)
Dalam hal Gubernur tidak memberikan
persetujuan atau tidak memberikan penolakan terhadap Rancangan Peraturan Daerah
yang dimaksud dalam Pasal 15 dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Bupati/Walikota dapat mengesahkan Rancangan Peraturan Daerah tersebut
serta sekretaris daerah mengundangkannya dalam Lembaran Daerah.
(5)
Dalam hal Bupati/Walikota tidak
menetapkan Rancangan Peraturan Daerah yang telah disetujui oleh Gubernur,
Rancangan Peraturan Daerah tersebut dalam jangka waktu 20 (dua puluh) hari
setelah tanggal persetujuan Gubernur dinyatakan berlaku dengan sendirinya.
Pasal 17
(1)
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tentang
pembentukan, penghapusan, penggabungan, dan perubahan status Desa menjadi
kelurahan atau kelurahan menjadi Desa diundangkan setelah mendapat nomor
registrasi dari Gubernur dan kode Desa dari Menteri.
(2)
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai lampiran peta batas wilayah Desa.
BAB IV
KEWENANGAN DESA
Pasal 18
Kewenangan
Desa meliputi kewenangan di bidang penyelenggaraan Pemerintahan Desa,
pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan
masyarakat Desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat
istiadat Desa.
Pasal 19
Kewenangan
Desa meliputi:
a.
kewenangan berdasarkan hak asal usul;
b.
kewenangan lokal berskala Desa;
c.
kewenangan yang ditugaskan oleh
Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota;
dan
d.
kewenangan lain yang ditugaskan oleh
Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 20
Pelaksanaan
kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a dan huruf b diatur dan diurus oleh
Desa.
Pasal 21
Pelaksanaan
kewenangan yang ditugaskan dan pelaksanaan kewenangan tugas lain dari
Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf c dan huruf d diurus oleh Desa.
Pasal 22
(1)
Penugasan dari Pemerintah dan/atau
Pemerintah Daerah kepada Desa meliputi penyelenggaraan Pemerintahan Desa,
pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan
masyarakat Desa.
(2)
Penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) disertai biaya.
BAB V
PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DESA
Pasal 23
Pemerintahan
Desa diselenggarakan oleh Pemerintah Desa.
Pasal 24
Penyelenggaraan
Pemerintahan Desa berdasarkan asas:
a.
kepastian hukum;
b.
tertib penyelenggaraan pemerintahan;
c.
tertib kepentingan umum;
d.
keterbukaan;
e.
proporsionalitas;
f.
profesionalitas;
g.
akuntabilitas;
h.
efektivitas dan efisiensi;
i.
kearifan lokal;
j.
keberagaman; dan
k.
partisipatif.
Bagian Kesatu
Pemerintah Desa
Pasal 25
Pemerintah
Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 adalah Kepala Desa atau yang disebut
dengan nama lain dan yang dibantu oleh perangkat Desa atau yang disebut dengan
nama lain.
Bagian Kedua
Kepala Desa
Pasal 26
(1)
Kepala Desa bertugas menyelenggarakan
Pemerintahan Desa, melaksanakan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan
Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa.
(2)
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa berwenang:
a.
memimpin penyelenggaraan Pemerintahan
Desa;
b.
mengangkat dan memberhentikan perangkat
Desa;
c.
memegang kekuasaan pengelolaan Keuangan
dan Aset Desa;
d.
menetapkan Peraturan Desa;
e.
menetapkan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Desa;
f.
membina kehidupan masyarakat Desa;
g.
membina ketenteraman dan ketertiban
masyarakat Desa;
h.
membina dan meningkatkan perekonomian
Desa serta mengintegrasikannya agar mencapai perekonomian skala produktif untuk
sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat Desa;
i.
mengembangkan sumber pendapatan Desa;
j.
mengusulkan dan menerima pelimpahan
sebagian kekayaan negara guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa;
k.
mengembangkan kehidupan sosial budaya
masyarakat Desa;
l.
memanfaatkan teknologi tepat guna;
m.
mengoordinasikan Pembangunan Desa secara
partisipatif;
n.
mewakili Desa di dalam dan di luar
pengadilan atau menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan; dan
o.
melaksanakan wewenang lain yang sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3)
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa berhak:
a.
mengusulkan struktur organisasi dan
tata kerja Pemerintah Desa;
b.
mengajukan rancangan dan menetapkan
Peraturan Desa;
c.
menerima penghasilan tetap setiap
bulan, tunjangan, dan penerimaan lainnya yang sah, serta mendapat jaminan
kesehatan;
d.
mendapatkan pelindungan hukum atas
kebijakan yang dilaksanakan; dan
e.
memberikan mandat pelaksanaan tugas dan
kewajiban lainnya kepada perangkat Desa.
(4)
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa berkewajiban:
a.
memegang teguh dan mengamalkan
Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika;
b.
meningkatkan kesejahteraan masyarakat
Desa;
c.
memelihara ketenteraman dan ketertiban
masyarakat Desa;
d.
menaati dan menegakkan peraturan
perundang-undangan;
e.
melaksanakan kehidupan demokrasi dan
berkeadilan gender;
f.
melaksanakan prinsip tata Pemerintahan
Desa yang akuntabel, transparan, profesional, efektif dan efisien, bersih,
serta bebas dari kolusi, korupsi, dan nepotisme;
g.
menjalin kerja sama dan koordinasi
dengan seluruh pemangku kepentingan di Desa;
h.
menyelenggarakan administrasi
Pemerintahan Desa yang baik;
i.
mengelola Keuangan dan Aset Desa;
j.
melaksanakan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan Desa;
k.
menyelesaikan perselisihan masyarakat
di Desa;
l.
mengembangkan perekonomian masyarakat
Desa;
m. membina dan melestarikan nilai sosial budaya
masyarakat Desa;
n.
memberdayakan masyarakat dan lembaga
kemasyarakatan di Desa;
o.
mengembangkan potensi sumber daya alam
dan melestarikan lingkungan hidup; dan
p.
memberikan informasi kepada masyarakat Desa.
Pasal 27
Dalam
melaksanakan tugas, kewenangan, hak, dan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 26, Kepala Desa wajib:
a.
menyampaikan laporan
penyelenggaraan Pemerintahan Desa setiap akhir tahun anggaran kepada
Bupati/Walikota;
b.
menyampaikan laporan penyelenggaraan Pemerintahan Desa pada akhir masa jabatan
kepada Bupati/Walikota;
c.
memberikan laporan keterangan
penyelenggaraan pemerintahan secara tertulis kepada Badan Permusyawaratan Desa
setiap akhir tahun anggaran; dan
d.
memberikan dan/atau menyebarkan informasi penyelenggaraan pemerintahan secara
tertulis kepada masyarakat Desa setiap akhir tahun anggaran.
Pasal 28
(1)
Kepala Desa yang tidak melaksanakan
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) dan Pasal 27 dikenai
sanksi administratif berupa teguran lisan dan/atau teguran tertulis.
(2)
Dalam hal sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan, dilakukan tindakan
pemberhentian sementara dan dapat dilanjutkan dengan pemberhentian.
Pasal 29
Kepala
Desa dilarang:
a.
merugikan kepentingan umum;
b.
membuat keputusan yang menguntungkan diri sendiri, anggota keluarga, pihak
lain, dan/atau golongan tertentu;
c.
menyalahgunakan wewenang, tugas,
hak, dan/atau kewajibannya;
d. melakukan tindakan diskriminatif terhadap warga
dan/atau golongan masyarakat tertentu;
e.
melakukan tindakan meresahkan
sekelompok masyarakat Desa;
f.
melakukan kolusi, korupsi, dan nepotisme,
menerima uang, barang, dan/atau jasa dari pihak lain yang dapat memengaruhi
keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya;
g.
menjadi pengurus partai politik;
h.
menjadi anggota dan/atau pengurus
organisasi terlarang;
i.
merangkap jabatan sebagai ketua dan/atau
anggota Badan Permusyawaratan Desa, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Provinsi atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, dan jabatan
lain yang ditentukan dalam peraturan perundangan-undangan;
j.
ikut serta dan/atau terlibat dalam
kampanye pemilihan umum dan/atau pemilihan kepala daerah;
k.
melanggar sumpah/janji jabatan;
dan
l.
meninggalkan tugas selama 30 (tiga
puluh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang jelas dan tidak dapat
dipertanggungjawabkan.
Pasal 30
(1)
Kepala Desa yang melanggar larangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dikenai sanksi administratif berupa teguran
lisan dan/atau teguran tertulis.
(2)
Dalam hal sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan, dilakukan tindakan
pemberhentian sementara dan dapat dilanjutkan dengan pemberhentian.
Bagian Ketiga
Pemilihan Kepala Desa
Pasal 31
(1)
Pemilihan Kepala Desa dilaksanakan secara
serentak di seluruh wilayah Kabupaten/Kota.
(2)
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota
menetapkan kebijakan pelaksanaan pemilihan Kepala Desa secara serentak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pemilihan Kepala Desa serentak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Pasal 32
(1)
Badan Permusyawaratan Desa memberitahukan
kepada Kepala Desa mengenai akan berakhirnya masa jabatan Kepala Desa secara
tertulis 6 (enam) bulan sebelum masa jabatannya berakhir.
(2)
Badan Permusyawaratan Desa membentuk
panitia pemilihan Kepala Desa.
(3)
Panitia pemilihan Kepala Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) bersifat mandiri dan tidak memihak.
(4)
Panitia pemilihan Kepala Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) terdiri atas unsur perangkat Desa, lembaga
kemasyarakatan, dan tokoh masyarakat Desa.
Pasal 33
Calon
Kepala Desa wajib memenuhi persyaratan:
a.
warga negara Republik Indonesia;
b.
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c.
memegang teguh dan mengamalkan
Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika;
d.
berpendidikan paling rendah tamat
sekolah menengah pertama atau sederajat;
e.
berusia paling rendah 25 (dua puluh
lima) tahun pada saat mendaftar;
f.
bersedia dicalonkan menjadi Kepala
Desa;
g.
terdaftar sebagai penduduk dan bertempat
tinggal di Desa setempat paling kurang 1 (satu) tahun sebelum pendaftaran;
h.
tidak sedang menjalani hukuman pidana
penjara;
i.
tidak pernah dijatuhi pidana penjara
berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun atau lebih, kecuali 5 (lima) tahun setelah selesai menjalani
pidana penjara dan mengumumkan secara jujur dan terbuka kepada publik bahwa
yang bersangkutan pernah dipidana serta bukan sebagai pelaku kejahatan berulang-ulang;
j.
tidak sedang dicabut hak pilihnya
sesuai dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
k.
berbadan sehat;
l.
tidak pernah sebagai Kepala Desa
selama 3 (tiga) kali masa jabatan; dan
m.
syarat lain yang diatur dalam Peraturan
Daerah.
Pasal 34
(1)
Kepala Desa dipilih langsung oleh
penduduk Desa.
(2)
Pemilihan Kepala Desa bersifat langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
(3)
Pemilihan Kepala Desa dilaksanakan
melalui tahap pencalonan, pemungutan suara, dan penetapan.
(4)
Dalam melaksanakan pemilihan Kepala Desa
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dibentuk panitia pemilihan Kepala Desa.
(5)
Panitia pemilihan sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) bertugas mengadakan penjaringan dan penyaringan bakal calon
berdasarkan persyaratan yang ditentukan, melaksanakan pemungutan suara,
menetapkan calon Kepala Desa terpilih, dan melaporkan pelaksanaan pemilihan
Kepala Desa.
(6)
Biaya pemilihan Kepala Desa dibebankan
pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota.
Pasal 35
Penduduk
Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) yang pada hari pemungutan
suara pemilihan Kepala Desa sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah
menikah ditetapkan sebagai pemilih.
Pasal 36
(1)
Bakal calon Kepala Desa yang telah
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ditetapkan sebagai
calon Kepala Desa oleh panitia pemilihan Kepala Desa.
(2)
Calon Kepala Desa yang telah ditetapkan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan kepada masyarakat Desa di tempat
umum sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat Desa.
(3)
Calon Kepala Desa dapat melakukan
kampanye sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat Desa dan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 37
(1)
Calon Kepala Desa yang dinyatakan
terpilih adalah calon yang memperoleh suara terbanyak.
(2)
Panitia pemilihan Kepala Desa menetapkan
calon Kepala Desa terpilih.
(3)
Panitia pemilihan Kepala Desa
menyampaikan nama calon Kepala Desa terpilih kepada Badan Permusyawaratan Desa
paling lama 7 (tujuh) hari setelah penetapan calon Kepala Desa terpilih
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4)
Badan Permusyawaratan Desa paling lama 7
(tujuh) hari setelah menerima laporan panitia pemilihan menyampaikan nama calon
Kepala Desa terpilih kepada Bupati/Walikota.
(5)
Bupati/Walikota mengesahkan calon Kepala
Desa terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi Kepala Desa paling
lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterimanya penyampaian hasil pemilihan
dari panitia pemilihan Kepala Desa dalam bentuk keputusan Bupati/Walikota.
(6)
Dalam hal terjadi perselisihan hasil
pemilihan Kepala Desa, Bupati/Walikota wajib menyelesaikan perselisihan dalam
jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
Pasal 38
(1)
Calon Kepala Desa terpilih dilantik oleh
Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk paling lama 30 (tiga puluh) hari
setelah penerbitan keputusan Bupati/Walikota.
(2)
Sebelum memangku jabatannya, Kepala Desa
terpilih bersumpah/berjanji.
(3)
Sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) sebagai berikut:
“Demi Allah/Tuhan,
saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya selaku Kepala
Desa dengan sebaik-baiknya, sejujur-jujurnya, dan seadil-adilnya; bahwa saya
akan selalu taat dalam mengamalkan dan mempertahankan Pancasila sebagai dasar
negara; dan bahwa saya akan menegakkan kehidupan demokrasi dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta melaksanakan segala peraturan
perundang-undangan dengan selurus-lurusnya yang berlaku bagi Desa, daerah, dan
Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Pasal 39
(1)
Kepala Desa memegang jabatan selama 6
(enam) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan.
(2)
Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat menjabat paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan secara
berturut-turut atau tidak secara berturut-turut.
Bagian Keempat
Pemberhentian Kepala Desa
Pasal 40
(1)
Kepala Desa berhenti karena:
a. meninggal dunia;
b. permintaan sendiri;
atau
c. diberhentikan.
(2)
Kepala Desa diberhentikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c karena:
a.
berakhir masa jabatannya;
b.
tidak dapat melaksanakan tugas
secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6
(enam) bulan;
c.
tidak lagi memenuhi syarat
sebagai calon Kepala Desa; atau
d.
melanggar larangan sebagai
Kepala Desa.
(3)
Pemberhentian Kepala Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Bupati/Walikota.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai
pemberhentian Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
Pasal 41
Kepala
Desa diberhentikan sementara oleh Bupati/Walikota setelah dinyatakan sebagai
terdakwa yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun
berdasarkan register perkara di pengadilan.
Pasal 42
Kepala
Desa diberhentikan sementara oleh Bupati/Walikota setelah ditetapkan sebagai
tersangka dalam tindak pidana korupsi, terorisme, makar, dan/atau tindak pidana
terhadap keamanan negara.
Pasal 43
Kepala
Desa yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan Pasal
42 diberhentikan oleh Bupati/Walikota setelah dinyatakan sebagai terpidana
berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pasal 44
(1)
Kepala Desa yang diberhentikan sementara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan Pasal 42 setelah melalui proses
peradilan ternyata terbukti tidak bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap, paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak
penetapan putusan pengadilan diterima oleh Kepala Desa, Bupati/Walikota
merehabilitasi dan mengaktifkan kembali Kepala Desa yang bersangkutan sebagai
Kepala Desa sampai dengan akhir masa jabatannya.
(2)
Apabila Kepala Desa yang diberhentikan
sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah berakhir masa jabatannya,
Bupati/Walikota harus merehabilitasi nama baik Kepala Desa yang bersangkutan.
Pasal 45
Dalam
hal Kepala Desa diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan
Pasal 42, sekretaris Desa melaksanakan tugas dan kewajiban Kepala Desa sampai
dengan adanya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pasal 46
(1)
Dalam hal sisa masa jabatan Kepala Desa
yang diberhentikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 tidak lebih dari 1
(satu) tahun, Bupati/Walikota mengangkat pegawai negeri sipil dari Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota sebagai penjabat Kepala Desa sampai dengan terpilihnya
Kepala Desa.
(2)
Penjabat Kepala Desa melaksanakan tugas,
wewenang, kewajiban, dan hak Kepala Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26.
Pasal 47
(1)
Dalam hal sisa masa jabatan Kepala Desa
yang diberhentikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 lebih dari 1 (satu)
tahun, Bupati/Walikota mengangkat pegawai negeri sipil dari Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota sebagai penjabat Kepala Desa.
(2)
Penjabat Kepala Desa sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) melaksanakan tugas, wewenang, kewajiban, dan hak Kepala Desa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 sampai dengan ditetapkannya Kepala Desa.
(3)
Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dipilih melalui Musyawarah Desa yang memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33.
(4)
Musyawarah Desa sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dilaksanakan paling lama 6 (enam) bulan sejak Kepala Desa
diberhentikan.
(5)
Kepala Desa yang dipilih melalui
Musyawarah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) melaksanakan tugas Kepala
Desa sampai habis sisa masa jabatan Kepala Desa yang diberhentikan.
(6)
Ketentuan lebih lanjut mengenai
Musyawarah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
Bagian Kelima
Perangkat Desa
Pasal 48
Perangkat
Desa terdiri atas:
a.
sekretariat Desa;
b.
pelaksana kewilayahan; dan
c.
pelaksana teknis.
Pasal 49
(1)
Perangkat Desa sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 48 bertugas membantu Kepala Desa dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya.
(2)
Perangkat Desa sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diangkat oleh Kepala Desa setelah dikonsultasikan dengan Camat atas
nama Bupati/Walikota.
(3)
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya,
perangkat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab kepada
Kepala Desa.
Pasal 50
(1)
Perangkat Desa sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 48 diangkat dari warga Desa yang memenuhi persyaratan:
a.
berpendidikan paling rendah
sekolah menengah umum atau yang sederajat;
b.
berusia 20 (dua puluh) tahun
sampai dengan 42 (empat puluh dua) tahun;
c.
terdaftar sebagai penduduk
Desa dan bertempat tinggal di Desa paling kurang 1 (satu) tahun sebelum
pendaftaran; dan
d.
syarat lain yang ditentukan
dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai perangkat
Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48, Pasal 49, dan Pasal 50 ayat (1)
diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Pasal 51
Perangkat
Desa dilarang:
a.
merugikan kepentingan umum;
b.
membuat keputusan yang menguntungkan
diri sendiri, anggota keluarga, pihak lain, dan/atau golongan tertentu;
c.
menyalahgunakan wewenang, tugas, hak,
dan/atau kewajibannya;
d.
melakukan tindakan diskriminatif terhadap warga dan/atau golongan masyarakat
tertentu;
e.
melakukan tindakan meresahkan sekelompok
masyarakat Desa;
f.
melakukan kolusi, korupsi, dan
nepotisme, menerima uang, barang, dan/atau jasa dari pihak lain yang dapat
memengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya;
g.
menjadi pengurus partai politik;
h.
menjadi anggota dan/atau pengurus
organisasi terlarang;
i.
merangkap jabatan sebagai ketua
dan/atau anggota Badan Permusyawaratan Desa, anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota,
dan jabatan lain yang ditentukan dalam peraturan perundangan-undangan;
j.
ikut serta dan/atau terlibat dalam
kampanye pemilihan umum dan/atau pemilihan kepala daerah;
k.
melanggar sumpah/janji jabatan; dan
l.
meninggalkan tugas selama 60 (enam
puluh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang jelas dan tidak dapat
dipertanggungjawabkan.
Pasal 52
(1)
Perangkat Desa yang melanggar larangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 dikenai sanksi administratif berupa teguran
lisan dan/atau teguran tertulis.
(2)
Dalam hal sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan, dilakukan tindakan
pemberhentian sementara dan dapat dilanjutkan dengan pemberhentian.
Pasal 53
(1)
Perangkat Desa berhenti karena:
a. meninggal dunia;
b. permintaan sendiri;
atau
c. diberhentikan.
(2)
Perangkat Desa yang diberhentikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c karena:
a. usia telah genap 60
(enam puluh) tahun;
b. berhalangan tetap;
c. tidak lagi memenuhi
syarat sebagai perangkat Desa; atau
d. melanggar larangan
sebagai perangkat Desa.
(3)
Pemberhentian perangkat Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Desa setelah dikonsultasikan
dengan Camat atas nama Bupati/Walikota.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai
pemberhentian perangkat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
Bagian Keenam
Musyawarah Desa
Pasal 54
(1)
Musyawarah Desa merupakan forum
permusyawaratan yang diikuti oleh Badan Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa,
dan unsur masyarakat Desa untuk memusyawarahkan hal yang bersifat strategis
dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa.
(2)
Hal yang bersifat strategis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.
penataan Desa;
b.
perencanaan Desa;
c.
kerja sama Desa;
d.
rencana investasi yang masuk ke Desa;
e.
pembentukan BUM Desa;
f.
penambahan dan pelepasan Aset Desa; dan
g.
kejadian luar biasa.
(3)
Musyawarah Desa sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan paling kurang sekali dalam 1 (satu) tahun.
(4)
Musyawarah Desa sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.
Bagian Ketujuh
Badan Permusyawaratan Desa
Pasal 55
Badan
Permusyawaratan Desa mempunyai fungsi:
a.
membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa bersama Kepala Desa;
b.
menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat Desa; dan
c.
melakukan pengawasan kinerja Kepala Desa.
Pasal 56
(1)
Anggota Badan Permusyawaratan Desa
merupakan wakil dari penduduk Desa berdasarkan keterwakilan wilayah yang
pengisiannya dilakukan secara demokratis.
(2)
Masa keanggotaan Badan Permusyawaratan
Desa selama 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pengucapan sumpah/janji.
(3)
Anggota Badan Permusyawaratan Desa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dipilih untuk masa keanggotaan paling
banyak 3 (tiga) kali secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut.
Pasal 57
Persyaratan
calon anggota Badan Permusyawaratan Desa adalah:
a.
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b.
memegang teguh dan mengamalkan
Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika;
c.
berusia paling rendah 20 (dua puluh)
tahun atau sudah/pernah menikah;
d.
berpendidikan paling rendah tamat
sekolah menengah pertama atau sederajat;
e.
bukan sebagai perangkat Pemerintah Desa;
f.
bersedia dicalonkan menjadi anggota
Badan Permusyawaratan Desa; dan
g.
wakil penduduk Desa yang dipilih secara
demokratis.
Pasal 58
(1)
Jumlah anggota Badan Permusyawaratan Desa
ditetapkan dengan jumlah gasal, paling sedikit 5 (lima) orang dan paling banyak
9 (sembilan) orang, dengan memperhatikan wilayah, perempuan, penduduk, dan
kemampuan Keuangan Desa.
(2)
Peresmian anggota Badan Permusyawaratan
Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan
Bupati/Walikota.
(3)
Anggota Badan Permusyawaratan Desa
sebelum memangku jabatannya bersumpah/berjanji secara bersama-sama di hadapan
masyarakat dan dipandu oleh Bupati/ Walikota atau pejabat yang ditunjuk.
(4)
Susunan kata sumpah/janji anggota Badan
Permusyawaratan Desa sebagai berikut:
”Demi
Allah/Tuhan, saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya
selaku anggota Badan Permusyawaratan Desa dengan sebaik-baiknya,
sejujur-jujurnya, dan seadil-adilnya; bahwa saya akan selalu taat dalam
mengamalkan dan mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara, dan bahwa saya
akan menegakkan kehidupan demokrasi dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 serta melaksanakan segala peraturan perundang-undangan
dengan selurus-lurusnya yang berlaku bagi Desa, daerah, dan Negara Kesatuan
Republik Indonesia”.
Pasal 59
(1)
Pimpinan Badan Permusyawaratan Desa
terdiri atas 1 (satu) orang ketua, 1 (satu) orang wakil ketua, dan 1 (satu)
orang sekretaris.
(2)
Pimpinan Badan Permusyawaratan Desa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih dari dan oleh anggota Badan
Permusyawaratan Desa secara langsung dalam rapat Badan Permusyawaratan Desa
yang diadakan secara khusus.
(3)
Rapat pemilihan pimpinan Badan Permusyawaratan
Desa untuk pertama kali dipimpin oleh anggota tertua dan dibantu oleh anggota
termuda.
Pasal 60
Badan
Permusyawaratan Desa menyusun peraturan tata tertib Badan Permusyawaratan Desa.
Pasal 61
Badan
Permusyawaratan Desa berhak:
a.
mengawasi dan meminta keterangan tentang
penyelenggaraan Pemerintahan Desa kepada Pemerintah Desa;
b.
menyatakan pendapat atas penyelenggaraan
Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa,
dan pemberdayaan masyarakat Desa; dan
c.
mendapatkan biaya operasional
pelaksanaan tugas dan fungsinya dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.
Pasal 62
Anggota
Badan Permusyawaratan Desa berhak:
a.
mengajukan usul rancangan Peraturan Desa;
b.
mengajukan pertanyaan;
c.
menyampaikan usul dan/atau pendapat;
d.
memilih dan dipilih; dan
e.
mendapat tunjangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.
Pasal 63
Anggota
Badan Permusyawaratan Desa wajib:
a.
memegang teguh dan mengamalkan
Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika;
b.
melaksanakan kehidupan demokrasi yang
berkeadilan gender dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa;
c.
menyerap, menampung, menghimpun, dan
menindaklanjuti aspirasi masyarakat Desa;
d.
mendahulukan kepentingan umum di atas
kepentingan pribadi, kelompok, dan/atau golongan;
e.
menghormati nilai sosial budaya dan adat
istiadat masyarakat Desa; dan
f.
menjaga norma dan etika dalam hubungan
kerja dengan lembaga kemasyarakatan Desa.
Pasal 64
Anggota
Badan Permusyawaratan Desa dilarang:
a.
merugikan kepentingan umum, meresahkan
sekelompok masyarakat Desa, dan mendiskriminasikan warga atau golongan masyarakat
Desa;
b.
melakukan korupsi, kolusi, dan
nepotisme, menerima uang, barang, dan/atau jasa dari pihak lain yang dapat
memengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya;
c.
menyalahgunakan wewenang;
d.
melanggar sumpah/janji jabatan;
e.
merangkap jabatan sebagai Kepala Desa
dan perangkat Desa;
f.
merangkap sebagai anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Daerah Republik
Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi atau Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten/Kota, dan jabatan lain yang ditentukan dalam peraturan
perundangan-undangan;
g.
sebagai pelaksana proyek Desa;
h.
menjadi pengurus partai politik;
dan/atau
i.
menjadi anggota dan/atau pengurus
organisasi terlarang.
Pasal 65
(1)
Mekanisme musyawarah Badan
Permusyawaratan Desa sebagai berikut:
a.
musyawarah Badan
Permusyawaratan Desa dipimpin oleh pimpinan Badan Permusyawaratan Desa;
b.
musyawarah Badan
Permusyawaratan Desa dinyatakan sah apabila dihadiri oleh paling sedikit 2/3
(dua pertiga) dari jumlah anggota Badan Permusyawaratan Desa;
c.
pengambilan keputusan
dilakukan dengan cara musyawarah guna mencapai mufakat;
d.
apabila musyawarah mufakat
tidak tercapai, pengambilan keputusan dilakukan dengan cara pemungutan suara;
e.
pemungutan suara sebagaimana
dimaksud dalam huruf d dinyatakan sah apabila disetujui oleh paling sedikit ½
(satu perdua) ditambah 1 (satu) dari jumlah anggota Badan Permusyawaratan Desa
yang hadir; dan
f.
hasil musyawarah Badan Permusyawaratan
Desa ditetapkan dengan keputusan Badan Permusyawaratan Desa dan dilampiri
notulen musyawarah yang dibuat oleh sekretaris Badan Permusyawaratan Desa.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Badan
Permusyawaratan Desa diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Bagian Kedelapan
Penghasilan Pemerintah Desa
Pasal 66
(1)
Kepala Desa dan perangkat Desa memperoleh
penghasilan tetap setiap bulan.
(2)
Penghasilan tetap Kepala Desa dan
perangkat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari dana
perimbangan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diterima oleh
Kabupaten/Kota dan ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Kabupaten/Kota.
(3)
Selain penghasilan tetap sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa dan perangkat Desa menerima tunjangan yang
bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.
(4)
Selain penghasilan tetap sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa dan perangkat Desa memperoleh jaminan
kesehatan dan dapat memperoleh penerimaan lainnya yang sah.
(5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran
penghasilan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tunjangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) serta penerimaan lainnya yang sah sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB VI
HAK DAN KEWAJIBAN DESA DAN MASYARAKAT
DESA
Pasal 67
(1)
Desa berhak:
a.
mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat berdasarkan hak asal usul, adat istiadat, dan nilai
sosial budaya masyarakat Desa;
b.
menetapkan dan mengelola
kelembagaan Desa; dan
c.
mendapatkan sumber pendapatan.
(2)
Desa berkewajiban:
a.
melindungi dan menjaga
persatuan, kesatuan, serta kerukunan masyarakat Desa dalam rangka kerukunan
nasional dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b.
meningkatkan kualitas
kehidupan masyarakat Desa;
c.
mengembangkan kehidupan
demokrasi;
d.
mengembangkan pemberdayaan
masyarakat Desa; dan
e.
memberikan dan meningkatkan
pelayanan kepada masyarakat Desa.
Pasal 68
(1)
Masyarakat Desa berhak:
a.
meminta dan mendapatkan
informasi dari Pemerintah Desa serta mengawasi kegiatan penyelenggaraan
Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa,
dan pemberdayaan masyarakat Desa;
b.
memperoleh pelayanan yang sama
dan adil;
c.
menyampaikan aspirasi, saran,
dan pendapat lisan atau tertulis secara bertanggung jawab tentang kegiatan
penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan
kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa;
d.
memilih, dipilih, dan/atau
ditetapkan menjadi:
1.
Kepala Desa;
2.
perangkat Desa;
3.
anggota Badan Permusyawaratan
Desa; atau
4.
anggota lembaga kemasyarakatan
Desa.
e.
mendapatkan pengayoman dan
perlindungan dari gangguan ketenteraman dan ketertiban di Desa.
(2)
Masyarakat Desa berkewajiban:
a.
membangun diri dan memelihara lingkungan Desa;
b.
mendorong terciptanya kegiatan penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan
Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat
Desa yang baik;
c.
mendorong terciptanya situasi yang aman, nyaman, dan tenteram di Desa;
d.
memelihara dan mengembangkan nilai permusyawaratan, permufakatan, kekeluargaan,
dan kegotongroyongan di Desa; dan
e.
berpartisipasi dalam berbagai kegiatan di Desa.
BAB VII
PERATURAN DESA
Pasal 69
(1)
Jenis peraturan di Desa terdiri atas
Peraturan Desa, peraturan bersama Kepala Desa, dan peraturan Kepala Desa.
(2)
Peraturan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau ketentuan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
(3)
Peraturan Desa ditetapkan oleh Kepala
Desa setelah dibahas dan disepakati bersama Badan Permusyawaratan Desa.
(4)
Rancangan Peraturan Desa tentang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Desa, pungutan, tata ruang, dan organisasi Pemerintah
Desa harus mendapatkan evaluasi dari Bupati/Walikota sebelum ditetapkan menjadi
Peraturan Desa.
(5)
Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) diserahkan oleh Bupati/Walikota paling lama 20 (dua puluh) hari kerja
terhitung sejak diterimanya rancangan peraturan tersebut oleh Bupati/Walikota.
(6)
Dalam hal Bupati/Walikota telah
memberikan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Kepala Desa wajib
memperbaikinya.
(7)
Kepala Desa diberi waktu paling lama 20
(dua puluh) hari sejak diterimanya hasil evaluasi untuk melakukan koreksi.
(8)
Dalam hal Bupati/Walikota tidak
memberikan hasil evaluasi dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5),
Peraturan Desa tersebut berlaku dengan sendirinya.
(9)
Rancangan Peraturan Desa wajib
dikonsultasikan kepada masyarakat Desa.
(10)
Masyarakat Desa berhak memberikan
masukan terhadap Rancangan Peraturan Desa.
(11)
Peraturan Desa dan peraturan Kepala
Desa diundangkan dalam Lembaran Desa dan Berita Desa oleh sekretaris Desa.
(12)
Dalam pelaksanaan Peraturan Desa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa menetapkan Peraturan Kepala
Desa sebagai aturan pelaksanaannya.
Pasal 70
(1)
Peraturan bersama Kepala Desa merupakan
peraturan yang ditetapkan oleh Kepala Desa dari 2 (dua) Desa atau lebih yang
melakukan kerja sama antar-Desa.
(2)
Peraturan bersama Kepala Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan perpaduan kepentingan Desa masing-masing dalam
kerja sama antar-Desa.
BAB VIII
KEUANGAN DESA DAN ASET DESA
Bagian Kesatu
Keuangan Desa
Pasal 71
(1)
Keuangan Desa adalah semua hak dan
kewajiban Desa yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu berupa uang
dan barang yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban Desa.
(2)
Hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) menimbulkan pendapatan, belanja, pembiayaan, dan pengelolaan
Keuangan Desa.
Pasal 72
(1)
Pendapatan Desa sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 71 ayat (2) bersumber dari:
a.
pendapatan asli Desa terdiri
atas hasil usaha, hasil aset, swadaya dan partisipasi, gotong royong, dan
lain-lain pendapatan asli Desa;
b.
alokasi Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara;
c.
bagian dari hasil pajak daerah
dan retribusi daerah Kabupaten/Kota;
d.
alokasi dana Desa yang
merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota;
e.
bantuan keuangan dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi dan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah Kabupaten/Kota;
f.
hibah dan sumbangan yang tidak mengikat
dari pihak ketiga; dan
g.
lain-lain pendapatan Desa yang
sah.
(2)
Alokasi anggaran sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b bersumber dari Belanja Pusat dengan mengefektifkan
program yang berbasis Desa secara merata dan berkeadilan.
(3)
Bagian hasil pajak daerah dan retribusi
daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c paling sedikit
10% (sepuluh perseratus) dari pajak dan retribusi daerah.
(4)
Alokasi dana Desa sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf d paling sedikit 10% (sepuluh perseratus) dari dana
perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus.
(5)
Dalam rangka pengelolaan Keuangan Desa,
Kepala Desa melimpahkan sebagian kewenangan kepada perangkat Desa yang
ditunjuk.
(6)
Bagi Kabupaten/Kota yang tidak memberikan
alokasi dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Pemerintah dapat
melakukan penundaan dan/atau pemotongan sebesar alokasi dana perimbangan
setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus yang seharusnya disalurkan ke Desa.
Pasal 73
(1)
Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa
terdiri atas bagian pendapatan, belanja, dan pembiayaan Desa.
(2)
Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Desa diajukan oleh Kepala Desa dan dimusyawarahkan bersama Badan
Permusyawaratan Desa.
(3)
Sesuai dengan hasil musyawarah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala Desa menetapkan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Desa setiap tahun dengan Peraturan Desa.
Pasal 74
(1)
Belanja Desa diprioritaskan untuk
memenuhi kebutuhan pembangunan yang disepakati dalam Musyawarah Desa dan sesuai
dengan prioritas Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, Pemerintah Daerah Provinsi,
dan Pemerintah.
(2)
Kebutuhan pembangunan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi, tetapi tidak terbatas pada kebutuhan primer,
pelayanan dasar, lingkungan, dan kegiatan pemberdayaan masyarakat Desa.
Pasal 75
(1)
Kepala Desa adalah pemegang kekuasaan
pengelolaan Keuangan Desa.
(2)
Dalam melaksanakan kekuasaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa menguasakan sebagian kekuasaannya kepada
perangkat Desa.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Keuangan
Desa diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Aset Desa
Pasal 76
(1)
Aset Desa dapat berupa tanah kas Desa,
tanah ulayat, pasar Desa, pasar hewan, tambatan perahu, bangunan Desa,
pelelangan ikan, pelelangan hasil pertanian, hutan milik Desa, mata air milik
Desa, pemandian umum, dan aset lainnya milik Desa.
(2)
Aset lainnya milik Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) antara lain:
a.
kekayaan Desa yang dibeli atau
diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah, serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa;
b.
kekayaan Desa yang diperoleh
dari hibah dan sumbangan atau yang sejenis;
c.
kekayaan Desa yang diperoleh
sebagai pelaksanaan dari perjanjian/kontrak dan lain-lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
d.
hasil kerja sama Desa; dan
e.
kekayaan Desa yang berasal
dari perolehan lainnya yang sah.
(3)
Kekayaan milik Pemerintah dan Pemerintah
Daerah berskala lokal Desa yang ada di Desa dapat dihibahkan kepemilikannya
kepada Desa.
(4)
Kekayaan milik Desa yang berupa tanah
disertifikatkan atas nama Pemerintah Desa.
(5)
Kekayaan milik Desa yang telah diambil
alih oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dikembalikan kepada Desa, kecuali
yang sudah digunakan untuk fasilitas umum.
(6)
Bangunan milik Desa harus dilengkapi
dengan bukti status kepemilikan dan ditatausahakan secara tertib.
Pasal 77
(1)
Pengelolaan kekayaan milik Desa
dilaksanakan berdasarkan asas kepentingan umum, fungsional, kepastian hukum,
keterbukaan, efisiensi, efektivitas, akuntabilitas, dan kepastian nilai
ekonomi.
(2)
Pengelolaan kekayaan milik Desa dilakukan
untuk meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat Desa serta
meningkatkan pendapatan Desa.
(3)
Pengelolaan kekayaan milik Desa
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibahas oleh Kepala Desa bersama Badan
Permusyawaratan Desa berdasarkan tata cara pengelolaan kekayaan milik Desa yang
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB IX
PEMBANGUNAN DESA DAN PEMBANGUNAN KAWASAN
PERDESAAN
Bagian Kesatu
Pembangunan Desa
Pasal 78
(1)
Pembangunan Desa bertujuan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat Desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan
kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana
Desa, pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam
dan lingkungan secara berkelanjutan.
(2)
Pembangunan Desa meliputi tahap
perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan.
(3)
Pembangunan Desa sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) mengedepankan kebersamaan, kekeluargaan, dan kegotongroyongan guna
mewujudkan pengarusutamaan perdamaian dan keadilan sosial.
Paragraf 1
Perencanaan
Pasal 79
(1)
Pemerintah Desa menyusun perencanaan
Pembangunan Desa sesuai dengan kewenangannya dengan mengacu pada perencanaan
pembangunan Kabupaten/Kota.
(2)
Perencanaan Pembangunan Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disusun secara berjangka meliputi:
a.
Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Desa untuk jangka waktu 6 (enam) tahun; dan
b.
Rencana Pembangunan Tahunan
Desa atau yang disebut Rencana Kerja Pemerintah Desa, merupakan penjabaran dari
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa untuk jangka waktu 1 (satu) tahun.
(3)
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa
dan Rencana Kerja Pemerintah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan
dengan Peraturan Desa.
(4)
Peraturan Desa tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Desa dan Rencana Kerja Pemerintah Desa merupakan
satu-satunya dokumen perencanaan di Desa.
(5)
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa
dan Rencana Kerja Pemerintah Desa merupakan pedoman dalam penyusunan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Desa yang diatur dalam Peraturan Pemerintah.
(6)
Program Pemerintah dan/atau Pemerintah
Daerah yang berskala lokal Desa dikoordinasikan dan/atau didelegasikan
pelaksanaannya kepada Desa.
(7)
Perencanaan Pembangunan Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan salah satu sumber masukan dalam perencanaan
pembangunan Kabupaten/Kota.
Pasal 80
(1)
Perencanaan Pembangunan Desa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 79 diselenggarakan dengan mengikutsertakan masyarakat
Desa.
(2)
Dalam menyusun perencanaan Pembangunan
Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Desa wajib menyelenggarakan
musyawarah perencanaan Pembangunan Desa.
(3)
Musyawarah perencanaan Pembangunan Desa
menetapkan prioritas, program, kegiatan, dan kebutuhan Pembangunan Desa yang
didanai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, swadaya masyarakat Desa,
dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota.
(4)
Prioritas, program, kegiatan, dan
kebutuhan Pembangunan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dirumuskan
berdasarkan penilaian terhadap kebutuhan masyarakat Desa yang meliputi:
a.
peningkatan kualitas dan akses
terhadap pelayanan dasar;
b.
pembangunan dan pemeliharaan
infrastruktur dan lingkungan berdasarkan kemampuan teknis dan sumber daya lokal
yang tersedia;
c.
pengembangan ekonomi pertanian
berskala produktif;
d.
pengembangan dan pemanfaatan
teknologi tepat guna untuk kemajuan ekonomi; dan
e.
peningkatan kualitas
ketertiban dan ketenteraman masyarakat Desa berdasarkan kebutuhan masyarakat
Desa.
Paragraf 2
Pelaksanaan
Pasal 81
(1)
Pembangunan Desa dilaksanakan sesuai
dengan Rencana Kerja Pemerintah Desa.
(2)
Pembangunan Desa sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah Desa dengan melibatkan seluruh
masyarakat Desa dengan semangat gotong royong.
(3)
Pelaksanaan Pembangunan Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memanfaatkan kearifan lokal dan sumber
daya alam Desa.
(4)
Pembangunan lokal berskala Desa
dilaksanakan sendiri oleh Desa.
(5)
Pelaksanaan program sektoral yang masuk
ke Desa diinformasikan kepada Pemerintah Desa untuk diintegrasikan dengan
Pembangunan Desa.
Paragraf 3
Pemantauan dan Pengawasan Pembangunan
Desa
Pasal 82
(1)
Masyarakat Desa berhak mendapatkan
informasi mengenai rencana dan pelaksanaan Pembangunan Desa.
(2)
Masyarakat Desa berhak melakukan
pemantauan terhadap pelaksanaan Pembangunan Desa.
(3)
Masyarakat Desa melaporkan hasil
pemantauan dan berbagai keluhan terhadap pelaksanaan Pembangunan Desa kepada
Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa.
(4)
Pemerintah Desa wajib menginformasikan
perencanaan dan pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa, Rencana
Kerja Pemerintah Desa, dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa kepada
masyarakat Desa melalui layanan informasi kepada umum dan melaporkannya dalam
Musyawarah Desa paling sedikit 1 (satu) tahun sekali.
(5)
Masyarakat Desa berpartisipasi dalam
Musyawarah Desa untuk menanggapi laporan pelaksanaan Pembangunan Desa.
Bagian Kedua
Pembangunan Kawasan Perdesaan
Pasal 83
(1)
Pembangunan Kawasan Perdesaan merupakan
perpaduan pembangunan antar-Desa dalam 1 (satu) Kabupaten/Kota.
(2)
Pembangunan Kawasan Perdesaan
dilaksanakan dalam upaya mempercepat dan meningkatkan kualitas pelayanan,
pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat Desa di Kawasan Perdesaan melalui
pendekatan pembangunan partisipatif.
(3)
Pembangunan Kawasan Perdesaan meliputi:
a.
penggunaan dan pemanfaatan
wilayah Desa dalam rangka penetapan kawasan pembangunan sesuai dengan tata
ruang Kabupaten/Kota;
b.
pelayanan yang dilakukan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan;
c.
pembangunan infrastruktur, peningkatan
ekonomi perdesaan, dan pengembangan teknologi tepat guna; dan
d.
pemberdayaan masyarakat Desa
untuk meningkatkan akses terhadap pelayanan dan kegiatan ekonomi.
(4)
Rancangan pembangunan Kawasan Perdesaan dibahas bersama oleh Pemerintah,
Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan Pemerintah
Desa.
(5)
Rencana pembangunan Kawasan Perdesaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan oleh Bupati/Walikota sesuai
dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah.
Pasal 84
(1)
Pembangunan Kawasan Perdesaan oleh
Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota,
dan/atau pihak ketiga yang terkait dengan pemanfaatan Aset Desa dan tata ruang
Desa wajib melibatkan Pemerintah Desa.
(2)
Perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan,
dan pendayagunaan Aset Desa untuk pembangunan Kawasan Perdesaan merujuk pada
hasil Musyawarah Desa.
(3)
Pengaturan lebih lanjut mengenai
perencanaan, pelaksanaan pembangunan Kawasan Perdesaan, pemanfaatan, dan
pendayagunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota.
Pasal 85
(1)
Pembangunan Kawasan Perdesaan dilakukan
oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota melalui satuan kerja perangkat daerah, Pemerintah Desa, dan/atau
BUM Desa dengan mengikutsertakan masyarakat Desa.
(2)
Pembangunan Kawasan Perdesaan yang
dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota, dan pihak ketiga wajib mendayagunakan potensi sumber daya alam
dan sumber daya manusia serta mengikutsertakan Pemerintah Desa dan masyarakat
Desa.
(3)
Pembangunan Kawasan Perdesaan yang
berskala lokal Desa wajib diserahkan pelaksanaannya kepada Desa dan/atau kerja
sama antar-Desa.
Bagian Ketiga
Sistem Informasi Pembangunan Desa dan
Pembangunan Kawasan Perdesaan
Pasal 86
(1)
Desa berhak mendapatkan akses informasi
melalui sistem informasi Desa yang dikembangkan oleh Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota.
(2)
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib
mengembangkan sistem informasi Desa dan pembangunan Kawasan Perdesaan.
(3)
Sistem informasi Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) meliputi fasilitas perangkat keras dan perangkat lunak,
jaringan, serta sumber daya manusia.
(4)
Sistem informasi Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) meliputi data Desa, data Pembangunan Desa, Kawasan
Perdesaan, serta informasi lain yang berkaitan dengan Pembangunan Desa dan
pembangunan Kawasan Perdesaan.
(5)
Sistem informasi Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dikelola oleh Pemerintah Desa dan dapat diakses oleh
masyarakat Desa dan semua pemangku kepentingan.
(6)
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
menyediakan informasi perencanaan pembangunan Kabupaten/Kota untuk Desa.
BAB X
BADAN USAHA MILIK DESA
Pasal 87
(1)
Desa dapat mendirikan Badan Usaha Milik
Desa yang disebut BUM Desa.
(2)
BUM Desa dikelola dengan semangat
kekeluargaan dan kegotongroyongan.
(3)
BUM Desa dapat menjalankan usaha di
bidang ekonomi dan/atau pelayanan umum sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 88
(1)
Pendirian BUM Desa disepakati melalui
Musyawarah Desa.
(2)
Pendirian BUM Desa sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Desa.
Pasal 89
Hasil
usaha BUM Desa dimanfaatkan untuk:
a. pengembangan usaha; dan
b.
Pembangunan Desa, pemberdayaan masyarakat Desa, dan pemberian bantuan untuk
masyarakat miskin melalui hibah, bantuan sosial, dan kegiatan dana bergulir
yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.
Pasal 90
Pemerintah,
Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan Pemerintah
Desa mendorong perkembangan BUM Desa dengan:
a.
memberikan hibah dan/atau akses permodalan;
b.
melakukan pendampingan teknis dan akses ke pasar; dan
c.
memprioritaskan BUM Desa dalam pengelolaan sumber daya alam di Desa.
BAB XI
KERJA SAMA DESA
Pasal 91
Desa
dapat mengadakan kerja sama dengan Desa lain dan/atau kerja sama dengan pihak
ketiga.
Bagian Kesatu
Kerja Sama antar-Desa
Pasal 92
(1)
Kerja sama antar-Desa meliputi:
a.
pengembangan usaha bersama
yang dimiliki oleh Desa untuk mencapai nilai ekonomi yang berdaya saing;
b.
kegiatan kemasyarakatan,
pelayanan, pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat antar-Desa; dan/atau
c.
bidang keamanan dan
ketertiban.
(2)
Kerja sama antar-Desa dituangkan dalam Peraturan Bersama Kepala Desa melalui
kesepakatan musyawarah antar-Desa.
(3)
Kerja sama antar-Desa dilaksanakan oleh
badan kerja sama antar-Desa yang dibentuk melalui Peraturan Bersama Kepala
Desa.
(4)
Musyawarah antar-Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) membahas hal yang berkaitan dengan:
a.
pembentukan lembaga
antar-Desa;
b.
pelaksanaan program Pemerintah
dan Pemerintah Daerah yang dapat dilaksanakan melalui skema kerja sama
antar-Desa;
c.
perencanaan, pelaksanaan, dan
pemantauan program pembangunan antar-Desa;
d.
pengalokasian anggaran untuk
Pembangunan Desa, antar-Desa, dan Kawasan Perdesaan;
e.
masukan terhadap program
Pemerintah Daerah tempat Desa tersebut berada; dan
f.
kegiatan lainnya yang dapat diselenggarakan melalui kerja sama antar-Desa.
(5)
Dalam melaksanakan pembangunan
antar-Desa, badan kerja sama antar-Desa dapat membentuk kelompok/lembaga sesuai
dengan kebutuhan.
(6)
Dalam pelayanan usaha antar-Desa dapat
dibentuk BUM Desa yang merupakan milik 2 (dua) Desa atau lebih.
Bagian Kedua
Kerja Sama dengan Pihak Ketiga
Pasal 93
(1)
Kerja sama Desa dengan pihak ketiga
dilakukan untuk mempercepat dan meningkatkan penyelenggaraan Pemerintahan Desa,
pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan
masyarakat Desa.
(2)
Kerja sama dengan pihak ketiga
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimusyawarahkan dalam Musyawarah Desa.
BAB XII
LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN LEMBAGA
ADAT DESA
Bagian Kesatu
Lembaga Kemasyarakatan Desa
Pasal 94
(1)
Desa mendayagunakan lembaga
kemasyarakatan Desa yang ada dalam membantu pelaksanaan fungsi penyelenggaraan
Pemerintahan Desa, pelaksanaan pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa,
dan pemberdayaan masyarakat Desa.
(2)
Lembaga kemasyarakatan Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan wadah partisipasi masyarakat Desa sebagai
mitra Pemerintah Desa.
(3)
Lembaga kemasyarakatan Desa bertugas
melakukan pemberdayaan masyarakat Desa, ikut serta merencanakan dan
melaksanakan pembangunan, serta meningkatkan pelayanan masyarakat Desa.
(4)
Pelaksanaan program dan kegiatan yang
bersumber dari Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota, dan lembaga non-Pemerintah wajib memberdayakan dan
mendayagunakan lembaga kemasyarakatan yang sudah ada di Desa.
Bagian Kedua
Lembaga Adat Desa
Pasal 95
(1)
Pemerintah Desa dan masyarakat Desa dapat
membentuk lembaga adat Desa.
(2)
Lembaga adat Desa sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) merupakan lembaga yang menyelenggarakan fungsi adat istiadat dan
menjadi bagian dari susunan asli Desa yang tumbuh dan berkembang atas prakarsa
masyarakat Desa.
(3) Lembaga adat Desa sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) bertugas membantu Pemerintah Desa dan sebagai mitra dalam
memberdayakan, melestarikan, dan mengembangkan adat istiadat sebagai wujud
pengakuan terhadap adat istiadat masyarakat Desa.
BAB XIII
KETENTUAN KHUSUS DESA ADAT
Bagian Kesatu
Penataan Desa Adat
Pasal 96
Pemerintah,
Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota melakukan
penataan kesatuan masyarakat hukum adat dan ditetapkan menjadi Desa Adat.
Pasal 97
(1)
Penetapan Desa Adat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 96 memenuhi syarat:
a.
kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak tradisionalnya secara nyata masih hidup, baik yang bersifat
teritorial, genealogis, maupun yang bersifat fungsional;
b.
kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak tradisionalnya dipandang sesuai dengan perkembangan masyarakat; dan
c.
kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak tradisionalnya sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
(2)
Kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak tradisionalnya yang masih hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
harus memiliki wilayah dan paling kurang memenuhi salah satu atau gabungan
unsur adanya:
a.
masyarakat yang warganya memiliki perasaan bersama dalam kelompok;
b.
pranata pemerintahan adat;
c.
harta kekayaan dan/atau benda adat; dan/atau
d.
perangkat norma hukum adat.
(3)
Kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b dipandang sesuai dengan perkembangan masyarakat apabila:
a.
keberadaannya telah diakui
berdasarkan undang-undang yang berlaku sebagai pencerminan perkembangan nilai
yang dianggap ideal dalam masyarakat dewasa ini, baik undang-undang yang
bersifat umum maupun bersifat sektoral; dan
b.
substansi hak tradisional
tersebut diakui dan dihormati oleh warga kesatuan masyarakat yang bersangkutan
dan masyarakat yang lebih luas serta tidak bertentangan dengan hak asasi
manusia.
(4)
Suatu kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak tradisionalnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c sesuai
dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia apabila kesatuan masyarakat
hukum adat tersebut tidak mengganggu keberadaan Negara Kesatuan Republik
lndonesia sebagai sebuah kesatuan politik dan kesatuan hukum yang:
a.
tidak mengancam kedaulatan dan
integritas Negara Kesatuan Republik lndonesia; dan
b.
substansi norma hukum adatnya
sesuai dan tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 98
(1)
Desa Adat ditetapkan dengan Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota.
(2)
Pembentukan Desa Adat setelah penetapan
Desa Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan
faktor penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa,
pembinaan kemasyarakatan Desa, serta pemberdayaan masyarakat Desa dan sarana
prasarana pendukung.
Pasal 99
(1)
Penggabungan Desa Adat dapat dilakukan
atas prakarsa dan kesepakatan antar-Desa Adat.
(2)
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
memfasilitasi pelaksanaan penggabungan Desa Adat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
Pasal 100
(1)
Status Desa dapat diubah menjadi Desa
Adat, kelurahan dapat diubah menjadi Desa Adat, Desa Adat dapat diubah menjadi
Desa, dan Desa Adat dapat diubah menjadi kelurahan berdasarkan prakarsa
masyarakat yang bersangkutan melalui Musyawarah Desa dan disetujui oleh
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
(2)
Dalam hal Desa diubah menjadi Desa Adat,
kekayaan Desa beralih status menjadi kekayaan Desa Adat, dalam hal kelurahan
berubah menjadi Desa Adat, kekayaan kelurahan beralih status menjadi kekayaan
Desa Adat, dalam hal Desa Adat berubah menjadi Desa, kekayaan Desa Adat beralih
status menjadi kekayaan Desa, dan dalam hal Desa Adat berubah menjadi
kelurahan, kekayaan Desa Adat beralih status menjadi kekayaan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota.
Pasal 101
(1)
Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi,
dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat melakukan penataan Desa Adat.
(2)
Penataan Desa Adat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan dalam Peraturan Daerah.
(3)
Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) disertai lampiran peta batas wilayah.
Pasal 102
Peraturan
Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (2) berpedoman pada ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, dan
Pasal 17.
Bagian Kedua
Kewenangan Desa Adat
Pasal 103
Kewenangan
Desa Adat berdasarkan hak asal usul sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a
meliputi:
a.
pengaturan dan pelaksanaan pemerintahan
berdasarkan susunan asli;
b.
pengaturan dan pengurusan ulayat atau
wilayah adat;
c.
pelestarian nilai sosial budaya Desa
Adat;
d.
penyelesaian sengketa adat berdasarkan
hukum adat yang berlaku di Desa Adat dalam wilayah yang selaras dengan prinsip
hak asasi manusia dengan mengutamakan penyelesaian secara musyawarah;
e.
penyelenggaraan sidang perdamaian
peradilan Desa Adat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
f.
pemeliharaan ketenteraman dan
ketertiban masyarakat Desa Adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di Desa
Adat; dan
g.
pengembangan kehidupan hukum adat sesuai
dengan kondisi sosial budaya masyarakat Desa Adat.
Pasal 104
Pelaksanaan
kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan berskala lokal Desa Adat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a dan huruf b serta Pasal 103 diatur
dan diurus oleh Desa Adat dengan memperhatikan prinsip keberagaman.
Pasal 105
Pelaksanaan
kewenangan yang ditugaskan dan pelaksanaan kewenangan tugas lain dari
Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf c dan huruf d diurus oleh Desa Adat.
Pasal 106
(1)
Penugasan dari Pemerintah dan/atau
Pemerintah Daerah kepada Desa Adat meliputi penyelenggaraan Pemerintahan Desa
Adat, pelaksanaan Pembangunan Desa Adat, pembinaan kemasyarakatan Desa Adat,
dan pemberdayaan masyarakat Desa Adat.
(2)
Penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) disertai dengan biaya.
Bagian Ketiga
Pemerintahan Desa Adat
Pasal 107
Pengaturan
dan penyelenggaraan Pemerintahan Desa Adat dilaksanakan sesuai dengan hak asal
usul dan hukum adat yang berlaku di Desa Adat yang masih hidup serta sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan tidak bertentangan dengan asas penyelenggaraan
Pemerintahan Desa Adat dalam prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pasal 108
Pemerintahan
Desa Adat menyelenggarakan fungsi permusyawaratan dan Musyawarah Desa Adat sesuai
dengan susunan asli Desa Adat atau dibentuk baru sesuai dengan prakarsa
masyarakat Desa Adat.
Pasal 109
Susunan
kelembagaan, pengisian jabatan, dan masa jabatan Kepala Desa Adat berdasarkan
hukum adat ditetapkan dalam peraturan daerah Provinsi.
Bagian Keempat
Peraturan Desa Adat
Pasal 110
Peraturan
Desa Adat disesuaikan dengan hukum adat dan norma adat istiadat yang berlaku di
Desa Adat sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 111
(1)
Ketentuan khusus tentang Desa Adat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 sampai dengan Pasal 110 hanya berlaku untuk
Desa Adat.
(2)
Ketentuan tentang Desa berlaku juga untuk
Desa Adat sepanjang tidak diatur dalam ketentuan khusus tentang Desa Adat.
BAB XIV
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 112
(1)
Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi,
dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota membina dan mengawasi penyelenggaraan
Pemerintahan Desa.
(2)
Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi,
dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat mendelegasikan pembinaan dan
pengawasan kepada perangkat daerah.
(3)
Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi,
dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota memberdayakan masyarakat Desa dengan:
a.
menerapkan hasil pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, teknologi tepat
guna, dan temuan baru untuk kemajuan ekonomi dan pertanian masyarakat Desa;
b.
meningkatkan kualitas pemerintahan dan masyarakat Desa melalui pendidikan,
pelatihan, dan penyuluhan; dan
c.
mengakui dan memfungsikan institusi
asli dan/atau yang sudah ada di masyarakat Desa.
(4)
Pemberdayaan masyarakat Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan dengan pendampingan dalam perencanaan,
pelaksanaan, dan pemantauan Pembangunan Desa dan Kawasan Perdesaan.
Pasal 113
Pembinaan
dan pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
112 ayat (1) meliputi:
a.
memberikan pedoman dan standar
pelaksanaan penyelenggaraan Pemerintahan Desa;
b.
memberikan pedoman tentang dukungan
pendanaan dari Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota kepada Desa;
c.
memberikan penghargaan, pembimbingan,
dan pembinaan kepada lembaga masyarakat Desa;
d.
memberikan pedoman penyusunan
perencanaan pembangunan partisipatif;
e.
memberikan pedoman standar jabatan bagi
perangkat Desa;
f.
memberikan bimbingan, supervisi, dan
konsultasi penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Badan Permusyawaratan Desa, dan
lembaga kemasyarakatan;
g.
memberikan penghargaan atas prestasi
yang dilaksanakan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Badan
Permusyawaratan Desa, dan lembaga kemasyarakatan Desa;
h.
menetapkan bantuan keuangan langsung
kepada Desa;
i.
melakukan pendidikan dan pelatihan
tertentu kepada aparatur Pemerintahan Desa dan Badan Permusyawaratan Desa;
j.
melakukan penelitian tentang
penyelenggaraan Pemerintahan Desa di Desa tertentu;
k.
mendorong percepatan pembangunan
perdesaan;
l.
memfasilitasi dan melakukan penelitian
dalam rangka penentuan kesatuan masyarakat hukum adat sebagai Desa; dan
m.
menyusun dan memfasilitasi petunjuk
teknis bagi BUM Desa dan lembaga kerja sama Desa.
Pasal 114
Pembinaan
dan pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Provinsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 112 ayat (1) meliputi:
a.
melakukan pembinaan terhadap
Kabupaten/Kota dalam rangka penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang
mengatur Desa;
b.
melakukan pembinaan Kabupaten/Kota dalam
rangka pemberian alokasi dana Desa;
c.
melakukan pembinaan peningkatan
kapasitas Kepala Desa dan perangkat Desa, Badan Permusyawaratan Desa, dan
lembaga kemasyarakatan;
d.
melakukan pembinaan manajemen
Pemerintahan Desa;
e.
melakukan pembinaan upaya percepatan
Pembangunan Desa melalui bantuan keuangan, bantuan pendampingan, dan bantuan
teknis;
f.
melakukan bimbingan teknis bidang
tertentu yang tidak mungkin dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota;
g.
melakukan inventarisasi kewenangan
Provinsi yang dilaksanakan oleh Desa;
h.
melakukan pembinaan dan pengawasan atas
penetapan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota dalam
pembiayaan Desa;
i.
melakukan pembinaan terhadap
Kabupaten/Kota dalam rangka penataan wilayah Desa;
j.
membantu Pemerintah dalam rangka
penentuan kesatuan masyarakat hukum adat sebagai Desa; dan
k.
membina dan mengawasi penetapan
pengaturan BUM Desa Kabupaten/Kota dan lembaga kerja sama antar-Desa.
Pasal 115
Pembinaan
dan pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 112 ayat (1) meliputi:
a.
memberikan pedoman pelaksanaan penugasan
urusan Kabupaten/Kota yang dilaksanakan oleh Desa;
b.
memberikan pedoman penyusunan Peraturan
Desa dan Peraturan Kepala Desa;
c.
memberikan pedoman penyusunan
perencanaan pembangunan partisipatif;
d.
melakukan fasilitasi penyelenggaraan
Pemerintahan Desa;
e.
melakukan evaluasi dan pengawasan
Peraturan Desa;
f.
menetapkan pembiayaan alokasi dana
perimbangan untuk Desa;
g.
mengawasi pengelolaan Keuangan Desa dan
pendayagunaan Aset Desa;
h.
melakukan pembinaan dan pengawasan
penyelenggaraan Pemerintahan Desa;
i.
menyelenggarakan pendidikan dan
pelatihan bagi Pemerintah Desa, Badan Permusyawaratan Desa, lembaga
kemasyarakatan, dan lembaga adat;
j.
memberikan penghargaan atas prestasi yang dilaksanakan dalam penyelenggaraan
Pemerintahan Desa, Badan Permusyawaratan Desa, lembaga kemasyarakatan, dan
lembaga adat;
k.
melakukan upaya percepatan pembangunan
perdesaan;
l.
melakukan upaya percepatan Pembangunan
Desa melalui bantuan keuangan, bantuan pendampingan, dan bantuan teknis;
m.
melakukan peningkatan kapasitas BUM Desa
dan lembaga kerja sama antar-Desa; dan
n.
memberikan sanksi atas penyimpangan yang
dilakukan oleh Kepala Desa sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
BAB XV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 116
(1)
Desa yang sudah ada sebelum Undang-Undang
ini berlaku tetap diakui sebagai Desa.
(2)
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
menetapkan Peraturan Daerah tentang penetapan Desa dan Desa Adat di wilayahnya.
(3)
Penetapan Desa dan Desa Adat sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini
diundangkan.
(4)
Paling lama 2 (dua) tahun sejak
Undang-Undang ini berlaku, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota bersama Pemerintah
Desa melakukan inventarisasi Aset Desa.
Pasal 117
Penyelenggaraan
Pemerintahan Desa yang sudah ada wajib menyesuaikannya dengan ketentuan dalam
Undang-Undang ini.
Pasal 118
(1)
Masa jabatan Kepala Desa yang ada pada
saat ini tetap berlaku sampai habis masa jabatannya.
(2)
Periodisasi masa jabatan Kepala Desa
mengikuti ketentuan Undang-Undang ini.
(3)
Anggota Badan Permusyawaratan Desa yang
ada pada saat ini tetap menjalankan tugas sampai habis masa keanggotaanya.
(4)
Periodisasi keanggotaan Badan
Permusyawaratan Desa mengikuti ketentuan Undang-Undang ini.
(5)
Perangkat Desa yang tidak berstatus
pegawai negeri sipil tetap melaksanakan tugas sampai habis masa tugasnya.
(6)
Perangkat Desa yang berstatus sebagai
pegawai negeri sipil melaksanakan tugasnya sampai ditetapkan penempatannya yang
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XVI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 119
Semua
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan secara langsung dengan
Desa wajib mendasarkan dan menyesuaikan pengaturannya dengan ketentuan
Undang-Undang ini.
Pasal 120
(1)
Semua peraturan pelaksanaan tentang Desa
yang selama ini ada tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
Undang-Undang ini.
(2)
Peraturan Pemerintah sebagai peraturan
pelaksanaan Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun
terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 121
Pada
saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Pasal 200 sampai dengan Pasal 216
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844)
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 122
Undang-Undang
ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan
di Jakarta
pada
tanggal 15 Januari 2014
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR.
H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan
di Jakarta
pada
tanggal 15 Januari 2014
MENTERI
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK
INDONESIA,
ttd.
AMIR
SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN
2014 NOMOR 7
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 6 TAHUN 2014
TENTANG
DESA
I.
UMUM
1.
Dasar Pemikiran
Desa
atau yang disebut dengan nama lain telah ada sebelum Negara Kesatuan Republik
Indonesia terbentuk. Sebagai bukti keberadaannya, Penjelasan Pasal 18
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (sebelum perubahan)
menyebutkan bahwa “Dalam territori Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 “Zelfbesturende
landschappen” dan “Volksgemeenschappen”, seperti desa di Jawa dan
Bali, Nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, dan sebagainya.
Daerah-daerah itu mempunyai susunan Asli dan oleh karenanya dapat dianggap
sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati
kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang
mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal usul daerah tersebut”.
Oleh sebab itu, keberadaannya wajib tetap diakui dan diberikan jaminan
keberlangsungan hidupnya dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Keberagaman
karakteristik dan jenis Desa, atau yang disebut dengan nama lain, tidak menjadi
penghalang bagi para pendiri bangsa (founding fathers) ini untuk
menjatuhkan pilihannya pada bentuk negara kesatuan. Meskipun disadari bahwa
dalam suatu negara kesatuan perlu terdapat homogenitas, tetapi Negara Kesatuan
Republik Indonesia tetap memberikan pengakuan dan jaminan terhadap keberadaan
kesatuan masyarakat hukum dan kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak
tradisionalnya.
Dalam
kaitan susunan dan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, setelah perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengaturan Desa atau
disebut dengan nama lain dari segi pemerintahannya mengacu pada ketentuan Pasal
18 ayat (7) yang menegaskan bahwa “Susunan dan tata cara penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah diatur dalam undang-undang”. Hal itu berarti bahwa Pasal 18
ayat (7) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 membuka
kemungkinan adanya susunan pemerintahan dalam sistem pemerintahan Indonesia.
Melalui
perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengakuan
terhadap kesatuan masyarakat hukum adat dipertegas melalui ketentuan dalam
Pasal 18B ayat (2) yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.
Dalam
sejarah pengaturan Desa, telah ditetapkan beberapa pengaturan tentang Desa,
yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok Pemerintahan Daerah,
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah,
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah,
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desa Praja Sebagai Bentuk Peralihan
Untuk Mempercepat Terwujudnya Daerah Tingkat III di Seluruh Wilayah Republik
Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di
Daerah, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa,
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Dalam
pelaksanaannya, pengaturan mengenai Desa tersebut belum dapat mewadahi segala
kepentingan dan kebutuhan masyarakat Desa yang hingga saat ini sudah berjumlah
sekitar 73.000 (tujuh puluh tiga ribu) Desa dan sekitar 8.000 (delapan ribu)
kelurahan. Selain itu, pelaksanaan pengaturan Desa yang selama ini berlaku
sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, terutama antara lain menyangkut
kedudukan masyarakat hukum adat, demokratisasi, keberagaman, partisipasi
masyarakat, serta kemajuan dan pemerataan pembangunan sehingga menimbulkan
kesenjangan antarwilayah, kemiskinan, dan masalah sosial budaya yang dapat
mengganggu keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Undang-Undang
ini disusun dengan semangat penerapan amanat konstitusi, yaitu pengaturan
masyarakat hukum adat sesuai dengan ketentuan Pasal 18B ayat (2) untuk diatur
dalam susunan pemerintahan sesuai dengan ketentuan Pasal 18 ayat (7). Walaupun
demikian, kewenangan kesatuan masyarakat hukum adat mengenai pengaturan hak
ulayat merujuk pada ketentuan peraturan perundang-undangan sektoral yang
berkaitan.
Dengan
konstruksi menggabungkan fungsi self-governing community dengan local
self government, diharapkan kesatuan masyarakat hukum adat yang selama ini
merupakan bagian dari wilayah Desa, ditata sedemikian rupa menjadi Desa dan
Desa Adat. Desa dan Desa Adat pada dasarnya melakukan tugas yang hampir sama.
Sedangkan perbedaannya hanyalah dalam pelaksanaan hak asal-usul, terutama
menyangkut pelestarian sosial Desa Adat, pengaturan dan pengurusan wilayah
adat, sidang perdamaian adat, pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban bagi
masyarakat hukum adat, serta pengaturan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan
susunan asli.
Desa
Adat memiliki fungsi pemerintahan, keuangan Desa, pembangunan Desa, serta
mendapat fasilitasi dan pembinaan dari pemerintah Kabupaten/Kota. Dalam posisi
seperti ini, Desa dan Desa Adat mendapat perlakuan yang sama dari Pemerintah
dan Pemerintah Daerah. Oleh sebab itu, di masa depan Desa dan Desa Adat dapat
melakukan perubahan wajah Desa dan tata kelola penyelenggaraan pemerintahan
yang efektif, pelaksanaan pembangunan yang berdaya guna, serta pembinaan
masyarakat dan pemberdayaan masyarakat di wilayahnya. Dalam status yang sama
seperti itu, Desa dan Desa Adat diatur secara tersendiri dalam Undang-Undang
ini.
Menteri
yang menangani Desa saat ini adalah Menteri Dalam Negeri. Dalam kedududukan ini
Menteri Dalam Negeri menetapkan pengaturan umum, petunjuk teknis, dan
fasilitasi mengenai penyelenggaraan pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan
Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa.
2.
Tujuan dan Asas Pengaturan
a.
Tujuan Pengaturan
Pemerintah
negara Republik Indonesia dibentuk untuk melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional telah
menetapkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional yang merupakan
penjabaran dari tujuan dibentuknya pemerintahan negara Indonesia. Desa yang
memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat berperan mewujudkan cita-cita kemerdekaan berdasarkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perlu dilindungi dan
diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat
menciptakan landasan yang kukuh dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan
menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera. Dengan demikian, tujuan
ditetapkannya pengaturan Desa dalam Undang-Undang ini merupakan penjabaran
lebih lanjut dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (7) dan
Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
yaitu:
1)
memberikan pengakuan dan penghormatan
atas Desa yang sudah ada dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya
Negara Kesatuan Republik Indonesia;
2)
memberikan kejelasan status dan
kepastian hukum atas Desa dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia demi
mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia;
3)
melestarikan dan memajukan adat,
tradisi, dan budaya masyarakat Desa;
4)
mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat Desa untuk pengembangan
potensi dan Aset Desa guna kesejahteraan bersama;
5)
membentuk Pemerintahan Desa yang
profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta bertanggung jawab;
6)
meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat Desa guna mempercepat
perwujudan kesejahteraan umum;
7)
meningkatkan ketahanan sosial budaya
masyarakat Desa guna mewujudkan masyarakat Desa yang mampu memelihara kesatuan
sosial sebagai bagian dari ketahanan nasional;
8)
memajukan perekonomian masyarakat Desa
serta mengatasi kesenjangan pembangunan nasional; dan
9)
memperkuat masyarakat Desa sebagai
subjek pembangunan.
b.
Asas Pengaturan
Asas
pengaturan dalam Undang-Undang ini adalah:
1)
rekognisi, yaitu pengakuan terhadap
hak asal usul;
2)
subsidiaritas, yaitu penetapan
kewenangan berskala lokal dan pengambilan keputusan secara lokal untuk
kepentingan masyarakat Desa;
3)
keberagaman, yaitu pengakuan dan
penghormatan terhadap sistem nilai yang berlaku di masyarakat Desa, tetapi
dengan tetap mengindahkan sistem nilai bersama dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara;
4)
kebersamaan, yaitu semangat untuk
berperan aktif dan bekerja sama dengan prinsip saling menghargai antara
kelembagaan di tingkat Desa dan unsur masyarakat Desa dalam membangun Desa;
5)
kegotongroyongan, yaitu kebiasaan
saling tolong-menolong untuk membangun Desa;
6)
kekeluargaan, yaitu kebiasaan warga
masyarakat Desa sebagai bagian dari satu kesatuan keluarga besar masyarakat
Desa;
7)
musyawarah, yaitu proses pengambilan
keputusan yang menyangkut kepentingan masyarakat Desa melalui diskusi dengan
berbagai pihak yang berkepentingan;
8)
demokrasi, yaitu sistem
pengorganisasian masyarakat Desa dalam suatu sistem pemerintahan yang dilakukan
oleh masyarakat Desa atau dengan persetujuan masyarakat Desa serta keluhuran
harkat dan martabat manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa diakui, ditata,
dan dijamin;
9)
kemandirian, yaitu suatu proses yang
dilakukan oleh Pemerintah Desa dan masyarakat Desa untuk melakukan suatu
kegiatan dalam rangka memenuhi kebutuhannya dengan kemampuan sendiri;
10)
partisipasi, yaitu turut berperan aktif
dalam suatu kegiatan;
11)
kesetaraan, yaitu kesamaan dalam
kedudukan dan peran;
12)
pemberdayaan, yaitu upaya meningkatkan
taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat Desa melalui penetapan kebijakan,
program, dan kegiatan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan
masyarakat Desa; dan
13)
keberlanjutan, yaitu suatu proses yang
dilakukan secara terkoordinasi, terintegrasi, dan berkesinambungan dalam
merencanakan dan melaksanakan program pembangunan Desa.
3.
Materi Muatan
Undang-Undang
ini menegaskan bahwa penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan
pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat berdasarkan
Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara
Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Undang-Undang
ini mengatur materi mengenai Asas Pengaturan, Kedudukan dan Jenis Desa,
Penataan Desa, Kewenangan Desa, Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Hak dan
Kewajiban Desa dan Masyarakat Desa, Peraturan Desa, Keuangan Desa dan Aset
Desa, Pembangunan Desa dan Pembangunan Kawasan Perdesaan, Badan Usaha Milik
Desa, Kerja Sama Desa, Lembaga Kemasyarakatan Desa dan Lembaga Adat Desa, serta
Pembinaan dan Pengawasan. Selain itu, Undang-Undang ini juga mengatur dengan
ketentuan khusus yang hanya berlaku untuk Desa Adat sebagaimana diatur dalam
Bab XIII.
4.
Desa dan Desa Adat
Desa
atau yang disebut dengan nama lain mempunyai karakteristik yang berlaku umum
untuk seluruh Indonesia, sedangkan Desa Adat atau yang disebut dengan nama lain
mempunyai karakteristik yang berbeda dari Desa pada umumnya, terutama karena
kuatnya pengaruh adat terhadap sistem pemerintahan lokal, pengelolaan sumber
daya lokal, dan kehidupan sosial budaya masyarakat Desa. Desa Adat pada
prinsipnya merupakan warisan organisasi kepemerintahan masyarakat lokal yang
dipelihara secara turun-temurun yang tetap diakui dan diperjuangkan oleh
pemimpin dan masyarakat Desa Adat agar dapat berfungsi mengembangkan
kesejahteraan dan identitas sosial budaya lokal. Desa Adat memiliki hak asal
usul yang lebih dominan daripada hak asal usul Desa sejak Desa Adat itu lahir
sebagai komunitas asli yang ada di tengah masyarakat. Desa Adat adalah sebuah
kesatuan masyarakat hukum adat yang secara historis mempunyai batas wilayah dan
identitas budaya yang terbentuk atas dasar teritorial yang berwenang mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat Desa berdasarkan hak asal usul.
Pada
dasarnya kesatuan masyarakat hukum adat terbentuk berdasarkan tiga prinsip
dasar, yaitu genealogis, teritorial, dan/atau gabungan genealogis dengan
teritorial. Yang diatur dalam Undang-Undang ini adalah kesatuan masyarakat
hukum adat yang merupakan gabungan antara genealogis dan teritorial. Dalam
kaitan itu, negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Implementasi dari
kesatuan masyarakat hukum adat tersebut telah ada dan hidup di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia, seperti huta/nagori di Sumatera Utara, gampong
di Aceh, nagari di Minangkabau, marga di Sumatera bagian
selatan, tiuh atau pekon di Lampung, desa pakraman/desa adat di
Bali, lembang di Toraja, banua dan wanua di Kalimantan,
dan negeri di Maluku.
Di
dalam perkembangannya, Desa Adat telah berubah menjadi lebih dari 1 (satu) Desa
Adat; 1 (satu) Desa Adat menjadi Desa; lebih dari 1 (satu) Desa Adat menjadi
Desa; atau 1 (satu) Desa Adat yang juga berfungsi sebagai 1 (satu)
Desa/kelurahan. Oleh karena itu, Undang-Undang ini memungkinkan perubahan
status dari Desa atau kelurahan menjadi Desa Adat sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia atas prakarsa masyarakat. Demikian pula, status Desa Adat dapat
berubah menjadi Desa/kelurahan atas prakarsa masyarakat.
Penetapan
Desa Adat untuk pertama kalinya berpedoman pada ketentuan khusus sebagaimana
diatur dalam Bab XIII Undang-Undang ini. Pembentukan Desa Adat yang baru
berpedoman pada ketentuan sebagaimana diatur dalam Bab III Undang-Undang ini.
Penetapan
Desa Adat sebagaimana dimaksud di atas, yang menjadi acuan utama adalah Putusan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yaitu:
a.
Putusan Nomor 010/PUU-l/2003 perihal
Pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Pelalawan,
Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun,
Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi, dan Kota Batam;
b.
Putusan Nomor 31/PUU-V/2007 perihal
Pengujian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kota Tual Di
Provinsi Maluku;
c.
Putusan Nomor 6/PUU-Vl/2008 perihal
Pengujian Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Buol,
Kabupaten Morowali, dan Kabupaten Banggai Kepulauan; dan
d.
Putusan Nomor 35/PUU–X/2012 tentang
Pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Namun
demikian, karena kesatuan masyarakat hukum adat yang ditetapkan menjadi Desa
Adat melaksanakan fungsi pemerintahan (local self government) maka ada
syarat mutlak yaitu adanya wilayah dengan batas yang jelas, adanya
pemerintahan, dan perangkat lain serta ditambah dengan salah satu pranata lain
dalam kehidupan masyarakat hukum adat seperti perasaan bersama, harta kekayaan,
dan pranata pemerintahan adat.
5.
Kelembagaan Desa
Di
dalam Undang-Undang ini diatur mengenai kelembagaan Desa/Desa Adat, yaitu
lembaga Pemerintahan Desa/Desa Adat yang terdiri atas Pemerintah Desa/Desa Adat
dan Badan Permusyawaratan Desa/Desa Adat, Lembaga Kemasyarakatan Desa, dan
lembaga adat.
Kepala
Desa/Desa Adat atau yang disebut dengan nama lain merupakan kepala Pemerintahan
Desa/Desa Adat yang memimpin penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Kepala
Desa/Desa Adat atau yang disebut dengan nama lain mempunyai peran penting dalam
kedudukannya sebagai kepanjangan tangan negara yang dekat dengan masyarakat dan
sebagai pemimpin masyarakat. Dengan posisi yang demikian itu, prinsip
pengaturan tentang Kepala Desa/Desa Adat adalah:
a.
sebutan Kepala Desa/Desa Adat disesuaikan dengan sebutan lokal;
b.
Kepala Desa/Desa Adat berkedudukan sebagai kepala Pemerintah Desa/Desa Adat dan
sebagai pemimpin masyarakat;
c.
Kepala Desa dipilih secara demokratis dan langsung oleh masyarakat setempat,
kecuali bagi Desa Adat dapat menggunakan mekanisme lokal; dan
d.
pencalonan Kepala Desa dalam pemilihan langsung tidak menggunakan basis partai
politik sehingga Kepala Desa dilarang menjadi pengurus partai politik.
Mengingat
kedudukan, kewenangan, dan Keuangan Desa yang semakin kuat, penyelenggaraan
Pemerintahan Desa diharapkan lebih akuntabel yang didukung dengan sistem
pengawasan dan keseimbangan antara Pemerintah Desa dan lembaga Desa. Lembaga
Desa, khususnya Badan Permusyawaratan Desa yang dalam kedudukannya mempunyai
fungsi penting dalam menyiapkan kebijakan Pemerintahan Desa bersama Kepala
Desa, harus mempunyai visi dan misi yang sama dengan Kepala Desa sehingga Badan
Permusyawaratan Desa tidak dapat menjatuhkan Kepala Desa yang dipilih secara
demokratis oleh masyarakat Desa.
6.
Badan Permusyawaratan Desa
Badan
Permusyawaratan Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah lembaga yang
melakukan fungsi pemerintahan yang anggotanya merupakan wakil dari penduduk
Desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis.
Badan
Permusyawaratan Desa merupakan badan permusyawaratan di tingkat Desa yang turut
membahas dan menyepakati berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan Pemerintahan
Desa. Dalam upaya meningkatkan kinerja kelembagaan di tingkat Desa, memperkuat
kebersamaan, serta meningkatkan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat,
Pemerintah Desa dan/atau Badan Permusyawaratan Desa memfasilitasi
penyelenggaraan Musyawarah Desa. Musyawarah Desa atau yang disebut dengan nama
lain adalah forum musyawarah antara Badan Permusyawaratan Desa, Pemerintah
Desa, dan unsur masyarakat yang diselenggarakan oleh Badan Permusyawaratan Desa
untuk memusyawarahkan dan menyepakati hal yang bersifat strategis dalam
penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Hasil Musyawarah Desa dalam bentuk
kesepakatan yang dituangkan dalam keputusan hasil musyawarah dijadikan dasar
oleh Badan Permusyawaratan Desa dan Pemerintah Desa dalam menetapkan kebijakan
Pemerintahan Desa.
7.
Peraturan Desa
Peraturan
Desa ditetapkan oleh Kepala Desa setelah dibahas dan disepakati bersama Badan
Permusyawaratan Desa merupakan kerangka hukum dan kebijakan dalam
penyelenggaraan Pemerintahan Desa dan Pembangunan Desa.
Penetapan
Peraturan Desa merupakan penjabaran atas berbagai kewenangan yang dimiliki Desa
mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Sebagai
sebuah produk hukum, Peraturan Desa tidak boleh bertentangan dengan peraturan
yang lebih tinggi dan tidak boleh merugikan kepentingan umum, yaitu:
a.
terganggunya kerukunan antarwarga masyarakat;
b.
terganggunya akses terhadap pelayanan publik;
c.
terganggunya ketenteraman dan ketertiban umum;
d.
terganggunya kegiatan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa;
dan
e.
diskriminasi terhadap suku, agama dan kepercayaan, ras, antargolongan, serta
gender.
Sebagai
sebuah produk politik, Peraturan Desa diproses secara demokratis dan
partisipatif, yakni proses penyusunannya mengikutsertakan partisipasi
masyarakat Desa. Masyarakat Desa mempunyai hak untuk mengusulkan atau
memberikan masukan kepada Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa dalam
proses penyusunan Peraturan Desa.
Peraturan
Desa yang mengatur kewenangan Desa berdasarkan hak asal usul dan kewenangan
berskala lokal Desa pelaksanaannya diawasi oleh masyarakat Desa dan Badan
Permusyawaratan Desa. Hal itu dimaksudkan agar pelaksanaan Peraturan Desa
senantiasa dapat diawasi secara berkelanjutan oleh warga masyarakat Desa
setempat mengingat Peraturan Desa ditetapkan untuk kepentingan masyarakat Desa.
Apabila
terjadi pelanggaran terhadap pelaksanaan Peraturan Desa yang telah ditetapkan,
Badan Permusyawaratan Desa berkewajiban mengingatkan dan menindaklanjuti
pelanggaran dimaksud sesuai dengan kewenangan yang dimiliki. Itulah salah satu
fungsi pengawasan yang dimiliki oleh Badan Permusyawaratan Desa. Selain Badan
Permusyawaratan Desa, masyarakat Desa juga mempunyai hak untuk melakukan
pengawasan dan evaluasi secara partisipatif terhadap pelaksanaan Peraturan
Desa.
Jenis
peraturan yang ada di Desa, selain Peraturan Desa adalah Peraturan Kepala Desa
dan Peraturan Bersama Kepala Desa.
8.
Pemilihan Kepala Desa
Kepala
Desa dipilih secara langsung oleh dan dari penduduk Desa warga negara Republik
Indonesia yang memenuhi persyaratan dengan masa jabatan 6 (enam) tahun
terhitung sejak tanggal pelantikan. Kepala Desa dapat menjabat paling banyak 3
(tiga) kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara
berturut-turut. Sedangkan pengisian jabatan dan masa jabatan Kepala Desa Adat
berlaku ketentuan hukum adat di Desa Adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat serta prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dengan berpedoman pada
Peraturan Pemerintah.
Khusus
mengenai pemilihan Kepala Desa dalam Undang-Undang ini diatur agar dilaksanakan
secara serentak di seluruh wilayah Kabupaten/Kota dengan maksud untuk
menghindari hal negatif dalam pelaksanaannya.
Pemilihan
Kepala Desa secara serentak mempertimbangkan jumlah Desa dan kemampuan biaya
pemilihan yang dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Kabupaten/Kota sehingga dimungkinkan pelaksanaannya secara bergelombang
sepanjang diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Sebagai
akibat dilaksanakannya kebijakan pemilihan Kepala Desa secara serentak, dalam
Undang-Undang ini diatur mengenai pengisian jabatan Kepala Desa yang berhenti
dan diberhentikan sebelum habis masa jabatan.
Jabatan
Kepala Desa Adat diisi berdasarkan ketentuan yang berlaku bagi Desa Adat. Dalam
hal terjadi kekosongan jabatan Kepala Desa Adat, Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota dapat menetapkan penjabat yang berasal dari masyarakat Desa Adat
yang bersangkutan.
9.
Sumber Pendapatan Desa
Desa
mempunyai sumber pendapatan Desa yang terdiri atas pendapatan asli Desa, bagi
hasil pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota, bagian dari dana
perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh Kabupaten/Kota,
alokasi anggaran dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, bantuan keuangan
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi dan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota, serta hibah dan sumbangan yang tidak
mengikat dari pihak ketiga.
Bantuan
keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi dan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota kepada Desa diberikan sesuai
dengan kemampuan keuangan Pemerintah Daerah yang bersangkutan. Bantuan tersebut
diarahkan untuk percepatan Pembangunan Desa. Sumber pendapatan lain yang dapat
diusahakan oleh Desa berasal dari Badan Usaha Milik Desa, pengelolaan pasar
Desa, pengelolaan kawasan wisata skala Desa, pengelolaan tambang mineral bukan
logam dan tambang batuan dengan tidak menggunakan alat berat, serta sumber
lainnya dan tidak untuk dijualbelikan.
Bagian
dari dana perimbangan yang diterima Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota paling
sedikit 10% (sepuluh perseratus) setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus yang
selanjutnya disebut Alokasi Dana Desa.
Alokasi
anggaran untuk Desa yang bersumber dari Belanja Pusat dilakukan dengan
mengefektifkan program yang berbasis Desa secara merata dan berkeadilan.
10.
Pembangunan Desa dan Kawasan Perdesaan
Pembangunan
Desa bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa dan kualitas hidup
manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui penyediaan pemenuhan kebutuhan
dasar, pembangunan sarana dan prasarana, pengembangan potensi ekonomi lokal,
serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan. Untuk
itu, Undang-Undang ini menggunakan 2 (dua) pendekatan, yaitu „Desa membangun‟ dan „membangun Desa‟ yang diintegrasikan
dalam perencanaan Pembangunan Desa.
Sebagai
konsekuensinya, Desa menyusun perencanaan pembangunan sesuai dengan
kewenangannya dengan mengacu pada perencanaan pembangunan Kabupaten/Kota.
Dokumen rencana Pembangunan Desa merupakan satu-satunya dokumen perencanaan di
Desa dan sebagai dasar penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.
Perencanaan Pembangunan Desa diselenggarakan dengan mengikutsertakan masyarakat
Desa melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa. Musyawarah Perencanaan
Pembangunan Desa menetapkan prioritas, program, kegiatan, dan kebutuhan
Pembangunan Desa yang didanai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa,
swadaya masyarakat Desa, dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Kabupaten/Kota berdasarkan penilaian terhadap kebutuhan masyarakat Desa.
Pembangunan Desa dilaksanakan oleh Pemerintah Desa dan masyarakat Desa dengan
semangat gotong royong serta memanfaatkan kearifan lokal dan sumber daya alam
Desa. Pelaksanaan program sektor yang masuk ke Desa diinformasikan kepada
Pemerintah Desa dan diintegrasikan dengan rencana Pembangunan Desa. Masyarakat
Desa berhak mendapatkan informasi dan melakukan pemantauan mengenai rencana dan
pelaksanaan Pembangunan Desa.
Sejalan
dengan tuntutan dan dinamika pembangunan bangsa, perlu dilakukan pembangunan
Kawasan Perdesaan. Pembangunan Kawasan Perdesaan merupakan perpaduan
pembangunan antar-Desa dalam satu Kabupaten/Kota sebagai upaya mempercepat dan
meningkatkan kualitas pelayanan, pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat Desa
di Kawasan Perdesaan melalui pendekatan pembangunan partisipatif. Oleh karena
itu, rancangan pembangunan Kawasan Perdesaan dibahas bersama oleh Pemerintah,
Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan Pemerintah
Desa.
11.
Lembaga Kemasyarakatan Desa
Di
Desa dibentuk lembaga kemasyarakatan Desa, seperti rukun tetangga, rukun warga,
pembinaan kesejahteraan keluarga, karang taruna, dan lembaga pemberdayaan
masyarakat atau yang disebut dengan nama lain. Lembaga kemasyarakatan Desa
bertugas membantu Pemerintah Desa dan merupakan mitra dalam memberdayakan
masyarakat Desa.
Lembaga
kemasyarakatan Desa berfungsi sebagai wadah partisipasi masyarakat Desa dalam
pembangunan, pemerintahan, kemasyarakatan, dan pemberdayaan yang mengarah
terwujudnya demokratisasi dan transparansi di tingkat masyarakat serta
menciptakan akses agar masyarakat lebih berperan aktif dalam kegiatan
pembangunan.
12.
Lembaga Adat Desa
Kesatuan
masyarakat hukum adat yang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan pusat
kehidupan masyarakat yang bersifat mandiri. Dalam kesatuan masyarakat hukum
adat tersebut dikenal adanya lembaga adat yang telah tumbuh dan berkembang di
dalam kehidupan masyarakatnya. Dalam eksistensinya, masyarakat hukum adat
memiliki wilayah hukum adat dan hak atas harta kekayaan di dalam wilayah hukum
adat tersebut serta berhak dan berwenang untuk mengatur, mengurus, dan
menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan masyarakat Desa berkaitan dengan
adat istiadat dan hukum adat yang berlaku. Lembaga adat Desa merupakan mitra
Pemerintah Desa dan lembaga Desa lainnya dalam memberdayakan masyarakat Desa.
13.
Ketentuan Khusus
Khusus
bagi Provinsi Aceh, Provinsi Papua, dan Provinsi Papua Barat, Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota dalam menetapkan kebijakan mengenai pengaturan Desa di samping
memperhatikan ketentuan dalam Undang-Undang ini juga memperhatikan:
a.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
Bagi Provinsi Papua menjadi Undang-Undang; dan
b.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
II.
PASAL DEMI PASAL
Pasal
1
Cukup
jelas.
Pasal
2
Cukup
jelas.
Pasal
3
Cukup
jelas.
Pasal
4
Cukup
jelas.
Pasal
5
Desa
yang berkedudukan di wilayah Kabupaten/Kota dibentuk dalam sistem pemerintahan
negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Pasal
6
Ketentuan
ini untuk mencegah terjadinya tumpang tindih wilayah, kewenangan, duplikasi
kelembagaan antara Desa dan Desa Adat dalam 1 (satu) wilayah maka dalam 1
(satu) wilayah hanya terdapat Desa atau Desa Adat.
Untuk
yang sudah terjadi tumpang tindih antara Desa dan Desa Adat dalam 1 (satu) wilayah,
harus dipilih salah satu jenis Desa sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.
Pasal
7
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Huruf
a
Cukup
jelas.
Huruf
b
Cukup
jelas.
Huruf
c
Cukup
jelas.
Huruf
d
Yang
dimaksud dengan “perubahan status” adalah perubahan dari Desa menjadi kelurahan
dan perubahan kelurahan menjadi Desa serta perubahan Desa Adat menjadi Desa.
Huruf
e
Yang
dimaksud dengan “penetapan Desa Adat” adalah penetapan kesatuan masyarakat hukum
adat dan Desa Adat yang telah ada untuk yang pertama kali oleh Kabupaten/Kota
menjadi Desa Adat dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Pasal
8
Ayat
(1)
Pembentukan
Desa dapat berupa:
a.
pemekaran dari 1 (satu) Desa menjadi 2 (dua) Desa atau lebih;
b.
penggabungan bagian Desa dari Desa yang bersanding menjadi 1 (satu) Desa; atau
c.
penggabungan beberapa Desa menjadi 1 (satu) Desa baru.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Ayat
(5)
Cukup
jelas.
Ayat
(6)
Cukup
jelas.
Ayat
(7)
Cukup
jelas.
Ayat
(8)
Cukup
jelas.
Pasal
9
Yang
dimaksud dengan “program nasional yang strategis“ adalah antara lain program
pembuatan waduk atau bendungan yang meliputi seluruh wilayah Desa.
Pasal
10
Cukup
jelas.
Pasal
11
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Yang
dimaksud dengan “menjadi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Kabupaten/Kota” adalah termasuk untuk memberikan dana purnatugas (pesangon)
bagi Kepala Desa dan perangkat Desa yang diberhentikan sebagai akibat perubahan
status Desa menjadi kelurahan.
Pasal
12
Ayat
(1)
Yang
dimaksud dengan “mengubah status kelurahan menjadi Desa” adalah perubahan
status kelurahan menjadi Desa atau kelurahan sebagian menjadi Desa dan sebagian
tetap menjadi kelurahan. Hal tersebut dilakukan dalam jangka waktu tertentu
untuk menyesuaikan adanya kelurahan yang kehidupan masyarakatnya masih bersifat
perdesaan.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Pasal
13
Yang
dimaksud dengan “kawasan yang bersifat khusus dan strategis” seperti kawasan
terluar dalam wilayah perbatasan antarnegara, program transmigrasi, dan program
lain yang dianggap strategis.
Pasal
14
Cukup
jelas.
Pasal
15
Cukup
jelas.
Pasal
16
Cukup
jelas.
Pasal
17
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Pembuatan
peta batas wilayah Desa harus menyertakan instansi teknis terkait.
Pasal
18
Yang
dimaksud dengan “hak asal usul dan adat istiadat Desa” adalah hak yang masih
hidup dan sesuai dengan perkembangan kehidupan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Pasal
19
Huruf
a
Yang
dimaksud dengan “hak asal usul” adalah hak yang merupakan warisan yang masih
hidup dan prakarsa Desa atau prakarsa masyarakat Desa sesuai dengan
perkembangan kehidupan masyarakat, antara lain sistem organisasi masyarakat
adat, kelembagaan, pranata dan hukum adat, tanah kas Desa, serta kesepakatan
dalam kehidupan masyarakat Desa.
Huruf
b
Yang
dimaksud dengan “kewenangan lokal berskala Desa” adalah kewenangan untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat Desa yang telah dijalankan oleh
Desa atau mampu dan efektif dijalankan oleh Desa atau yang muncul karena
perkembangan Desa dan prakasa masyarakat Desa, antara lain tambatan perahu,
pasar Desa, tempat pemandian umum, saluran irigasi, sanitasi lingkungan, pos
pelayanan terpadu, sanggar seni dan belajar, serta perpustakaan Desa, embung
Desa, dan jalan Desa.
Huruf
c
Cukup
jelas.
Huruf
d
Cukup
jelas.
Pasal
20
Cukup
jelas.
Pasal
21
Cukup
jelas.
Pasal
22
Cukup
jelas.
Pasal
23
Cukup
jelas.
Pasal
24
Huruf
a
Yang
dimaksud dengan “kepastian hukum” adalah asas dalam negara hukum yang
mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan
dalam setiap kebijakan penyelenggaraan Pemerintahan Desa.
Huruf
b
Yang
dimaksud dengan “tertib penyelenggara pemerintahan” adalah asas yang menjadi
landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian
penyelenggara Pemerintahan Desa.
Huruf
c
Yang
dimaksud dengan “tertib kepentingan umum” adalah asas yang mendahulukan
kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif.
Huruf
d
Yang
dimaksud dengan “keterbukaan” adalah asas yang membuka diri terhadap hak
masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak
diskriminatif tentang penyelenggaraan Pemerintahan Desa dengan tetap
memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf
e
Yang
dimaksud dengan “proporsionalitas” adalah asas yang mengutamakan keseimbangan
antara hak dan kewajiban penyelenggaraan Pemerintahan Desa.
Huruf
f
Yang
dimaksud dengan “profesionalitas” adalah asas yang mengutamakan keahlian yang
berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf
g
Yang
dimaksud dengan “akuntabilitas” adalah asas yang menentukan bahwa setiap
kegiatan dan hasil akhir kegiatan penyelenggaraan Pemerintahan Desa harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat Desa sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Huruf
h
Yang
dimaksud dengan “efektivitas” adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan
yang dilaksanakan harus berhasil mencapai tujuan yang diinginkan masyarakat
Desa.
Yang
dimaksud dengan “efisiensi” adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan
yang dilaksanakan harus tepat sesuai dengan rencana dan tujuan.
Huruf
i
Yang
dimaksud dengan “kearifan lokal” adalah asas yang menegaskan bahwa di dalam
penetapan kebijakan harus memperhatikan kebutuhan dan kepentingan masyarakat
Desa.
Huruf
j
Yang
dimaksud dengan “keberagaman” adalah penyelenggaraan Pemerintahan Desa yang
tidak boleh mendiskriminasi kelompok masyarakat tertentu.
Huruf
k
Yang
dimaksud dengan “partisipatif” adalah penyelenggaraan Pemerintahan Desa yang
mengikutsertakan kelembagaan Desa dan unsur masyarakat Desa.
Pasal
25
Penyebutan
nama lain untuk Kepala Desa dan perangkat Desa dapat menggunakan penyebutan di
daerah masing-masing.
Pasal
26
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Huruf
a
Cukup
jelas.
Huruf
b
Cukup
jelas.
Huruf
c
Jaminan
kesehatan yang diberikan kepada Kepala Desa diintegrasikan dengan jaminan
pelayanan yang dilakukan oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Huruf
d
Cukup
jelas.
Huruf
e
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Pasal
27
Cukup
jelas.
Pasal
28
Cukup
jelas.
Pasal
29
Cukup
jelas.
Pasal
30
Cukup
jelas.
Pasal
31
Cukup
jelas.
Pasal
32
Ayat
(1)
Pemberitahuan
Badan Permusyawaratan Desa kepada Kepala Desa tentang akan berakhirnya masa
jabatan Kepala Desa tembusannya disampaikan kepada Bupati/Walikota.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Yang
dimaksud dengan “tokoh masyarakat” adalah tokoh keagamaan, tokoh adat, tokoh
pendidikan, dan tokoh masyarakat lainnya.
Pasal
33
Cukup
jelas.
Pasal
34
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Ayat
(5)
Cukup
jelas.
Ayat
(6)
Biaya
pemilihan Kepala Desa yang dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah Kabupaten/Kota adalah untuk pengadaan surat suara, kotak suara,
kelengkapan peralatan lainnya, honorarium panitia, dan biaya pelantikan.
Pasal
35
Cukup
jelas.
Pasal
36
Cukup
jelas.
Pasal
37
Cukup
jelas.
Pasal
38
Cukup
jelas.
Pasal
39
Yang
dimaksud dengan “terhitung sejak tanggal pelantikan” adalah seseorang yang
telah dilantik sebagai Kepala Desa maka apabila yang bersangkutan mengundurkan
diri sebelum habis masa jabatannya dianggap telah menjabat satu periode masa
jabatan 6 (enam) tahun.
Kepala
Desa yang telah menjabat satu kali masa jabatan berdasarkan Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 diberi kesempatan untuk mencalonkan kembali paling lama 2 (dua) kali
masa jabatan. Sementara itu, Kepala Desa yang telah menjabat 2 (dua) kali masa
jabatan berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 diberi kesempatan untuk
mencalonkan kembali hanya 1 (satu) kali masa jabatan.
Pasal
40
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Huruf
a
Yang
dimaksud dengan “berakhir masa jabatannya” adalah apabila seorang Kepala Desa
yang telah berakhir masa jabatannya 6 (enam) tahun terhitung tanggal pelantikan
harus diberhentikan. Dalam hal belum ada calon terpilih dan belum dapat
dilaksanakan pemilihan, diangkat penjabat.
Huruf
b
Yang
dimaksud dengan “tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau
berhalangan tetap” adalah apabila Kepala Desa menderita sakit yang
mengakibatkan, baik fisik maupun mental, tidak berfungsi secara normal yang dibuktikan
dengan surat keterangan dokter yang berwenang dan/atau tidak diketahui
keberadaannya.
Huruf
c
Cukup
jelas.
Huruf
d
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Pasal
41
Cukup
jelas.
Pasal
42
Cukup
jelas.
Pasal
43
Cukup
jelas.
Pasal
44
Cukup
jelas.
Pasal
45
Cukup
jelas.
Pasal
46
Ayat
(1)
Yang
dimaksud dengan “tidak lebih dari 1 (satu) tahun” adalah 1 (satu) tahun atau
kurang.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Pasal
47
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Yang
dimaksud dengan ”musyawarah Desa” adalah musyawarah yang diselenggarakan oleh
Badan Permusyawaratan Desa khusus untuk pemilihan Kepala Desa antarwaktu (bukan
musyawarah Badan Permusyawaratan Desa), yaitu mulai dari penetapan calon,
pemilihan calon, dan penetapan calon terpilih.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Ayat
(5)
Masa
jabatan Kepala Desa yang dipilih melalui Musyawarah Desa terhitung sejak yang
bersangkutan dilantik oleh Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk.
Ayat
(6)
Cukup
jelas.
Pasal
48
Cukup
jelas.
Pasal
49
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Yang
dimaksud dengan “Camat” adalah Camat atau yang disebut dengan nama lain.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Pasal
50
Cukup
jelas.
Pasal
51
Cukup
jelas.
Pasal
52
Cukup
jelas.
Pasal
53
Cukup
jelas.
Pasal
54
Ayat
(1)
Musyawarah
Desa merupakan forum pertemuan dari seluruh pemangku kepentingan yang ada di
Desa, termasuk masyarakatnya, dalam rangka menggariskan hal yang dianggap
penting dilakukan oleh Pemerintah Desa dan juga menyangkut kebutuhan masyarakat
Desa.
Hasil
ini menjadi pegangan bagi perangkat Pemerintah Desa dan lembaga lain dalam
pelaksanaan tugasnya.
Yang
dimaksud dengan “unsur masyarakat” adalah antara lain tokoh adat, tokoh agama,
tokoh masyarakat, tokoh pendidikan, perwakilan kelompok tani, kelompok nelayan,
kelompok perajin, kelompok perempuan, dan kelompok masyarakat miskin.
Ayat
(2)
Huruf
a
Dalam
hal penataan Desa, Musyawarah Desa hanya memberikan pertimbangan dan masukan
kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
Huruf
b
Cukup
jelas.
Huruf
c
Cukup
jelas.
Huruf
d
Cukup
jelas.
Huruf
e
Cukup
jelas.
Huruf
f
Cukup
jelas.
Huruf
g
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Pasal
55
Cukup
jelas.
Pasal
56
Ayat
(1)
Yang
dimaksud dengan “dilakukan secara demokratis” adalah dapat diproses melalui
proses pemilihan secara langsung dan melalui proses musyawarah perwakilan.
Ayat
(2)
Masa
keanggotaan Badan Permusyawaratan Desa terhitung sejak tanggal pengucapan
sumpah/janji.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Pasal
57
Cukup
jelas.
Pasal
58
Cukup
jelas.
Pasal
59
Cukup
jelas.
Pasal
60
Cukup
jelas.
Pasal
61
Huruf
a
Yang
dimaksud dengan “meminta keterangan” adalah permintaan yang bersifat informasi
tentang penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan
kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat Desa, bukan dalam rangka laporan
pertanggungjawaban Kepala Desa.
Huruf
b
Cukup
jelas.
Huruf
c
Cukup
jelas.
Pasal
62
Cukup
jelas.
Pasal
63
Cukup
jelas.
Pasal
64
Cukup
jelas.
Pasal
65
Cukup
jelas.
Pasal
66
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Jaminan
kesehatan yang diberikan kepada Kepala Desa dan perangkat Desa diintegrasikan
dengan jaminan pelayanan yang dilakukan oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Sebelum
program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial menjangkau ke tingkat Desa, jaminan
kesehatan dapat dilakukan melalui kerja sama Kabupaten/Kota dengan Badan Usaha
Milik Negara atau dengan memberikan kartu jaminan kesehatan sesuai dengan
kemampuan keuangan daerah masing-masing yang diatur dengan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota.
Ayat
(5)
Cukup
jelas.
Pasal
67
Cukup
jelas.
Pasal
68
Cukup
jelas.
Pasal
69
Cukup
jelas.
Pasal
70
Cukup
jelas.
Pasal
71
Cukup
jelas.
Pasal
72
Ayat
(1)
Huruf
a
Yang
dimaksud dengan “pendapatan asli Desa” adalah pendapatan yang berasal dari
kewenangan Desa berdasarkan hak asal usul dan kewenangan skala lokal Desa.
Yang
dimaksud dengan “hasil usaha” termasuk juga hasil BUM Desa dan tanah bengkok.
Huruf
b
Yang
dimaksud dengan “Anggaran bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
tersebut” adalah anggaran yang diperuntukkan bagi Desa dan Desa Adat yang
ditransfer melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota yang
digunakan untuk membiayai penyelenggaran pemerintahan, pembangunan, serta
pemberdayaan masyarakat, dan kemasyarakatan.
Huruf
c
Cukup
jelas.
Huruf
d
Cukup
jelas.
Huruf
e
Cukup
jelas.
Huruf
f
Cukup
jelas.
Huruf
g
Yang
dimaksud dengan “lain-lain pendapatan Desa yang sah” adalah antara lain
pendapatan sebagai hasil kerja sama dengan pihak ketiga dan bantuan perusahaan
yang berlokasi di Desa.
Ayat
(2)
Besaran
alokasi anggaran yang peruntukannya langsung ke Desa ditentukan 10% (sepuluh
perseratus) dari dan di luar dana Transfer Daerah (on top) secara
bertahap.
Anggaran
yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dihitung berdasarkan
jumlah Desa dan dialokasikan dengan memperhatikan jumlah penduduk, angka
kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat kesulitan geografis dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan dan pemerataan pembangunan Desa.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Ayat
(5)
Cukup
jelas.
Ayat
(6)
Cukup
jelas.
Pasal
73
Cukup
jelas.
Pasal
74
Ayat
(1)
Dalam
penetapan belanja Desa dapat dialokasikan insentif kepada rukun tetangga (RT)
dan rukun warga (RW) dengan pertimbangan bahwa RT dan RW walaupun sebagai
lembaga kemasyarakatan, RT dan RW membantu pelaksanaan tugas pelayanan
pemerintahan, perencanaan pembangunan, ketertiban, dan pemberdayaan masyarakat
Desa.
Ayat
(2)
Yang
dimaksud dengan “tidak terbatas” adalah kebutuhan pembangunan di luar pelayanan
dasar yang dibutuhkan masyarakat Desa.
Yang
dimaksud dengan “kebutuhan primer” adalah kebutuhan pangan, sandang, dan papan.
Yang
dimaksud dengan “pelayanan dasar” adalah antara lain pendidikan, kesehatan, dan
infrastruktur dasar.
Pasal
75
Cukup
jelas.
Pasal
76
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Huruf
a
Cukup
jelas.
Huruf
b
Yang
dimaksud dengan “sumbangan” adalah termasuk tanah wakaf sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Huruf
c
Cukup
jelas.
Huruf
d
Cukup
jelas.
Huruf
e
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Ayat
(5)
Cukup
jelas.
Ayat
(6)
Cukup
jelas.
Pasal
77
Cukup
jelas.
Pasal
78
Cukup
jelas.
Pasal
79
Cukup
jelas.
Pasal
80
Cukup
jelas.
Pasal
81
Cukup
jelas.
Pasal
82
Cukup
jelas.
Pasal
83
Cukup
jelas.
Pasal
84
Cukup
jelas.
Pasal
85
Cukup
jelas.
Pasal
86
Cukup
jelas.
Pasal
87
Ayat
(1)
BUM
Desa dibentuk oleh Pemerintah Desa untuk mendayagunakan segala potensi ekonomi,
kelembagaan perekonomian, serta potensi sumber daya alam dan sumber daya
manusia dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa.
BUM
Desa secara spesifik tidak dapat disamakan dengan badan hukum seperti perseroan
terbatas, CV, atau koperasi. Oleh karena itu, BUM Desa merupakan suatu badan
usaha bercirikan Desa yang dalam pelaksanaan kegiatannya di samping untuk
membantu penyelenggaraan Pemerintahan Desa, juga untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat Desa. BUM Desa juga dapat melaksanakan fungsi pelayanan jasa,
perdagangan, dan pengembangan ekonomi lainnya.
Dalam
meningkatkan sumber pendapatan Desa, BUM Desa dapat menghimpun tabungan dalam
skala lokal masyarakat Desa, antara lain melalui pengelolaan dana bergulir dan
simpan pinjam.
BUM
Desa dalam kegiatannya tidak hanya berorientasi pada keuntungan keuangan,
tetapi juga berorientasi untuk mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat
Desa. BUM Desa diharapkan dapat mengembangkan unit usaha dalam mendayagunakan
potensi ekonomi. Dalam hal kegiatan usaha dapat berjalan dan berkembang dengan
baik, sangat dimungkinkan pada saatnya BUM Desa mengikuti badan hukum yang
telah ditetapkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Pasal
88
Cukup
jelas.
Pasal
89
Cukup
jelas.
Pasal
90
Huruf
a
Cukup
jelas.
Huruf
b
Yang
dimaksud dengan “pendampingan” adalah termasuk penyediaan sumber daya manusia
pendamping dan manajemen.
Huruf
c
Cukup
jelas.
Pasal
91
Cukup
jelas.
Pasal
92
Cukup
jelas.
Pasal
93
Cukup
jelas.
Pasal
94
Cukup
jelas.
Pasal
95
Cukup
jelas.
Pasal
96
Penetapan
kesatuan masyarakat hukum adat dan Desa Adat yang sudah ada saat ini menjadi
Desa Adat hanya dilakukan untuk 1 (satu) kali.
Pasal 97
Ketentuan
ini sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi, yaitu:
a.
Putusan Nomor 010/PUU-l/2003 perihal
Pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Pelalawan,
Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun,
Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi, dan Kota Batam;
b.
Putusan Nomor 31/PUU-V/2007 perihal
Pengujian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kota Tual Di
Provinsi Maluku;
c.
Putusan Nomor 6/PUU-Vl/2008 perihal
Pengujian Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Buol,
Kabupaten Morowali, dan Kabupaten Banggai Kepulauan; dan
d.
Putusan Nomor 35/PUU–X/2012 tentang
Pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Pasal
98
Ayat
(1)
Yang
dimaksud dengan “penetapan Desa Adat” adalah penetapan untuk pertama kalinya.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Pasal
99
Cukup
jelas.
Pasal
100
Ayat
(1)
Perubahan
status Desa Adat menjadi kelurahan harus melalui Desa, sebaliknya perubahan
status kelurahan menjadi Desa Adat harus melalui Desa.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Pasal
101
Cukup
jelas.
Pasal
102
Cukup
jelas.
Pasal
103
Huruf
a
Yang
dimaksud dengan “susunan asli” adalah sistem organisasi kehidupan Desa Adat
yang dikenal di wilayah masing-masing.
Huruf
b
Yang
dimaksud dengan “ulayat atau wilayah adat” adalah wilayah kehidupan suatu
kesatuan masyarakat hukum adat.
Huruf
c
Cukup
jelas.
Huruf
d
Cukup
jelas.
Huruf
e
Cukup
jelas.
Huruf
f
Cukup
jelas.
Huruf
g
Cukup
jelas.
Pasal
104
Yang
dimaksud dengan “keberagaman” adalah penyelenggaraan Pemerintahan Desa Adat
yang tidak boleh mendiskriminasi kelompok masyarakat tertentu.
Pasal
105
Cukup
jelas.
Pasal
106
Cukup
jelas.
Pasal
107
Cukup
jelas.
Pasal
108
Cukup
jelas.
Pasal
109
Cukup
jelas.
Pasal
110
Cukup
jelas.
Pasal
111
Cukup
jelas.
Pasal
112
Ayat
(1)
Pemerintah
dalam hal ini adalah Menteri Dalam Negeri yang melakukan pembinaan umum
penyelenggaraan Pemerintahan Desa.
Pemerintah
Daerah Provinsi dalam hal ini adalah Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Pemerintah
dalam hal ini adalah Menteri Dalam Negeri yang melakukan pemberdayaan
masyarakat.
Pemerintah
Daerah Provinsi dalam hal ini adalah Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
Ayat
(4)
Yang
dimaksud dengan “pendampingan” adalah termasuk penyediaan sumber daya manusia
pendamping dan manajemen.
Pasal
113
Cukup
jelas.
Pasal
114
Cukup
jelas.
Pasal
115
Huruf
a
Cukup
jelas.
Huruf
b
Cukup
jelas.
Huruf
c
Cukup
jelas.
Huruf
d
Cukup
jelas.
Huruf
e
Yang
dimaksud dengan “pengawasan” adalah termasuk di dalamnya pembatalan Peraturan Desa.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas
Huruf n
Cukup jelas.
Pasal 116
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku,
sebelum Undang-Undang ini, yang diakui adalah Desa. Oleh sebab itu, dengan
berlakunya Undang-Undang ini diberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota untuk menata kembali status Desa menjadi Desa atau Desa Adat
dengan ketentuan tidak boleh menambah jumlah Desa.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 117
Cukup jelas.
Pasal 118
Cukup jelas.
Pasal 119
Cukup jelas.
Pasal 120
Cukup jelas.
Pasal 121
Cukup jelas.
Pasal 122
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5495
Tidak ada komentar:
Posting Komentar