Minggu, 18 Maret 2018

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 24 TAHUN 2003
TENTANG
MAHKAMAH KONSTITUSI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan
negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
bertujuan untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa dan
negara yang tertib, bersih, makmur, dan berkeadilan;
b. bahwa Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku
kekuasaan kehakiman mempunyai peranan penting
dalam usaha menegakkan konstitusi dan prinsip negara
hukum sesuai dengan tugas dan wewenangnya
sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (6)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 perlu mengatur tentang pengangkatan dan
pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara, dan
ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c serta untuk
melaksanakan ketentuan Pasal III Aturan Peralihan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, perlu membentuk Undang-Undang tentang
Mahkamah Konstitusi;
Mengingat : 1. Pasal 7A, Pasal 7B, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 24, Pasal
24C, dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor
74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 2951) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 1999 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 147, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3879);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI.
2
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku
kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
2. Dewan Perwakilan Rakyat yang selanjutnya disebut DPR
adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
3. Permohonan adalah permintaan yang diajukan secara
tertulis kepada Mahkamah Konstitusi mengenai:
a. pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. pembubaran partai politik;
d. perselisihan tentang hasil pemilihan umum; atau
e. pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum
berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau
perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
BAB II
KEDUDUKAN DAN SUSUNAN
Bagian Pertama
Kedudukan
Pasal 2
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara
yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan.
Pasal 3
Mahkamah Konstitusi berkedudukan di Ibukota Negara
Republik Indonesia.
3
Bagian Kedua
Susunan
Pasal 4
(1) Mahkamah Konstitusi mempunyai 9 (sembilan) orang
anggota hakim konstitusi yang ditetapkan dengan
Keputusan Presiden.
(2) Susunan Mahkamah Kontitusi terdiri atas seorang Ketua
merangkap anggota, seorang Wakil Ketua merangkap
anggota, dan 7 (tujuh) orang anggota hakim konstitusi.
(3) Ketua dan Wakil Ketua dipilih dari dan oleh hakim
konstitusi untuk masa jabatan selama 3 (tiga) tahun.
(4) Sebelum Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi
terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (3), rapat
pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi
dipimpin oleh hakim konstitusi yang tertua usianya.
(5) Ketentuan mengenai tata cara pemilihan Ketua dan
Wakil Ketua sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur
lebih lanjut oleh Mahkamah Konstitusi.
Pasal 5
Hakim konstitusi adalah pejabat negara.
Pasal 6
(1) Kedudukan protokoler dan hak keuangan Ketua, Wakil
Ketua, dan anggota hakim konstitusi berlaku ketentuan
peraturan perundang-undangan bagi pejabat negara.
(2) Hakim konstitusi hanya dapat dikenakan tindakan
kepolisian atas perintah Jaksa Agung setelah mendapat
persetujuan tertulis Presiden, kecuali dalam hal:
a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana; atau
b. berdasarkan bukti permulaan yang cukup disangka
telah melakukan tindak pidana kejahatan yang
diancam dengan pidana mati atau tindak pidana
kejahatan terhadap keamanan negara.
Bagian Ketiga
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Pasal 7
Untuk kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya,
Mahkamah Konstitusi dibantu oleh sebuah Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan.
Pasal 8
Ketentuan mengenai susunan organisasi, fungsi, tugas, dan
wewenang Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden
atas usul Mahkamah Konstitusi.
4
Pasal 9
Anggaran Mahkamah Konstitusi dibebankan pada mata
anggaran tersendiri dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara.
BAB III
KEKUASAAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Bagian Pertama
Wewenang
Pasal 10
(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final
untuk:
a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. memutus pembubaran partai politik; dan
d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
(2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas
pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden
diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela,
dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:
a. pengkhianatan terhadap negara adalah tindak pidana
terhadap keamanan negara sebagaimana diatur dalam
undang-undang.
b. korupsi dan penyuapan adalah tindak pidana korupsi
atau penyuapan sebagaimana diatur dalam undangundang.
c. tindak pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau
lebih.
d. perbuatan tercela adalah perbuatan yang dapat
merendahkan martabat Presiden dan/atau Wakil
Presiden.
e. tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau
Wakil Presiden adalah syarat sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 6 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Pasal 11
Untuk kepentingan pelaksanaan wewenang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10, Mahkamah Konstitusi berwenang
5
memanggil pejabat negara, pejabat pemerintah, atau warga
masyarakat untuk memberikan keterangan.
Bagian Kedua
Tanggung Jawab dan Akuntabilitas
Pasal 12
Mahkamah Konstitusi bertanggung jawab mengatur
organisasi, personalia, administrasi, dan keuangan sesuai
dengan prinsip pemerintahan yang baik dan bersih.
Pasal 13
(1) Mahkamah Konstitusi wajib mengumumkan laporan
berkala kepada masyarakat secara terbuka mengenai:
a. permohonan yang terdaftar, diperiksa, dan diputus;
b. pengelolaan keuangan dan tugas administrasi lainnya.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimuat
dalam berita berkala yang diterbitkan oleh Mahkamah
Konstitusi.
Pasal 14
Masyarakat mempunyai akses untuk mendapatkan putusan
Mahkamah Konstitusi.
BAB IV
PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN
HAKIM KONSTITUSI
Bagian Pertama
Pengangkatan
Pasal 15
Hakim konstitusi harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela;
b. adil; dan
c. negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan.
Pasal 16
(1) Untuk dapat diangkat menjadi hakim konstitusi seorang
calon harus memenuhi syarat:
a. warga negara Indonesia;
b. berpendidikan sarjana hukum;
c. berusia sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun
pada saat pengangkatan;
d. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau
lebih;
e. tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan
pengadilan; dan
6
f. mempunyai pengalaman kerja di bidang hukum
sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun.
(2) Calon hakim konstitusi yang bersangkutan wajib
membuat surat pernyataan tentang kesediaannya untuk
menjadi hakim konstitusi.
Pasal 17
Hakim konstitusi dilarang merangkap menjadi:
a. pejabat negara lainnya;
b. anggota partai politik;
c. pengusaha;
d. advokat; atau
e. pegawai negeri.
Pasal 18
(1) Hakim konstitusi diajukan masing-masing 3 (tiga) orang
oleh Mahkamah Agung, 3 (tiga) orang oleh DPR, dan 3
(tiga) orang oleh Presiden, untuk ditetapkan dengan
Keputusan Presiden.
(2) Keputusan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh)
hari kerja sejak pengajuan calon diterima Presiden.
Pasal 19
Pencalonan hakim konstitusi dilaksanakan secara transparan
dan partisipatif.
Pasal 20
(1) Ketentuan mengenai tata cara seleksi, pemilihan, dan
pengajuan hakim konstitusi diatur oleh masing-masing
lembaga yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18 ayat (1).
(2) Pemilihan hakim konstitusi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan secara obyektif dan akuntabel.
Pasal 21
(1) Sebelum memangku jabatannya, hakim konstitusi
mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya,
yang berbunyi sebagai berikut:
Sumpah hakim konstitusi:
“Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi
kewajiban hakim konstitusi dengan sebaik-baiknya dan
seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan
segala peraturan perundang-undangan dengan seluruslurusnya
menurut Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada
nusa dan bangsa”
Janji hakim konstitusi:
“Saya berjanji bahwa saya dengan sungguh-sungguh akan
memenuhi kewajiban hakim konstitusi dengan sebaikbaiknya
dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
7
dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan
dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti
kepada nusa dan bangsa”
(2) Pengucapan sumpah atau janji sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan di hadapan Presiden.
(3) Sebelum memangku jabatannya, Ketua dan Wakil Ketua
Mahkamah Konstitusi mengucapkan sumpah atau janji
menurut agamanya di hadapan Mahkamah Konstitusi
yang berbunyi sebagai berikut:
Sumpah Ketua/Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi:
“Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi
kewajiban Ketua/Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi
dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang
teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan
perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa”
Janji Ketua/Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi:
“Saya berjanji bahwa saya dengan sungguh-sungguh akan
memenuhi kewajiban Ketua/Wakil Ketua Mahkamah
Konstitusi dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya,
memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala
peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya
menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan
bangsa”
Bagian Kedua
Masa Jabatan
Pasal 22
Masa jabatan hakim konstitusi selama 5 (lima) tahun dan
dapat dipilih kembali hanya untuk 1(satu) kali masa jabatan
berikutnya.
Bagian Ketiga
Pemberhentian
Pasal 23
(1) Hakim konstitusi diberhentikan dengan hormat apabila:
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri atas permintaan sendiri yang
diajukan kepada Ketua Mahkamah Konstitusi;
c. telah berusia 67 (enam puluh tujuh) tahun;
d. telah berakhir masa jabatannya; atau
e. sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus yang
dibuktikan dengan surat keterangan dokter.
(2) Hakim konstitusi diberhentikan dengan tidak hormat
apabila:
8
a. dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam
dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
b. melakukan perbuatan tercela;
c. tidak menghadiri persidangan yang menjadi tugas dan
kewajibannya selama 5 (lima) kali berturut-turut tanpa
alasan yang sah;
d. melanggar sumpah atau janji jabatan;
e. dengan sengaja menghambat Mahkamah Konstitusi
memberi putusan dalam waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7B ayat (4) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
f. melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17; atau
g. tidak lagi memenuhi syarat sebagai hakim konstitusi.
(3) Permintaan pemberhentian dengan tidak hormat
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf c,
huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g dilakukan setelah
yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela
diri di hadapan Majelis Kehormatan Mahkamah
Konstitusi.
(4) Pemberhentian hakim konstitusi ditetapkan dengan
Keputusan Presiden atas permintaan Ketua Mahkamah
Konstitusi.
(5) Ketentuan mengenai pembentukan, susunan, dan tata
kerja Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi diatur
lebih lanjut oleh Mahkamah Konstitusi.
Pasal 24
(1) Hakim konstitusi sebelum diberhentikan dengan tidak
hormat, diberhentikan sementara dari jabatannya dengan
Keputusan Presiden atas permintaan Ketua Mahkamah
Konstitusi, kecuali alasan pemberhentian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf a.
(2) Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) paling lama 60 (enam puluh) hari kerja dan dapat
diperpanjang untuk paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja.
(3) Dalam hal perpanjangan waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) telah berakhir tanpa dilanjutkan dengan
pemberhentian, yang bersangkutan direhabilitasi dengan
Keputusan Presiden.
(4) Keputusan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (3) dikeluarkan dalam jangka waktu paling
lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya permintaan
Ketua Mahkamah Konstitusi.
(5) Sejak dimintakan pemberhentian sementara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), hakim konstitusi yang
bersangkutan dilarang menangani perkara.
9
Pasal 25
(1) Apabila terhadap seorang hakim konstitusi ada perintah
penahanan, hakim konstitusi yang bersangkutan
diberhentikan sementara dari jabatannya.
(2) Hakim konstitusi diberhentikan sementara dari
jabatannya apabila dituntut di muka pengadilan dalam
perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana meskipun tidak ditahan.
(3) Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) paling lama 60 (enam puluh) hari
kerja dan dapat diperpanjang untuk paling lama 30 (tiga
puluh) hari kerja.
(4) Dalam hal perpanjangan waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) telah berakhir dan belum ada putusan
pengadilan, terhadap yang bersangkutan diberhentikan
sebagai hakim konstitusi.
(5) Apabila di kemudian hari putusan pengadilan
menyatakan yang bersangkutan tidak bersalah, yang
bersangkutan direhabilitasi.
Pasal 26
(1) Dalam hal terjadi kekosongan hakim konstitusi karena
berhenti atau diberhentikan, lembaga yang berwenang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1)
mengajukan pengganti kepada Presiden dalam jangka
waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak
terjadi kekosongan.
(2) Keputusan Presiden tentang pengangkatan pengganti
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam
jangka waktu paling lambat 7 ( tujuh) hari kerja sejak
pengajuan diterima Presiden.
Pasal 27
Ketentuan mengenai tata cara pemberhentian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 25 diatur lebih
lanjut oleh Mahkamah Konstitusi.
BAB V
HUKUM ACARA
Bagian Pertama
Umum
Pasal 28
(1) Mahkamah Konstitusi memeriksa, mengadili, dan
memutus dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi
dengan 9 (sembilan) orang hakim konstitusi, kecuali
dalam keadaan luar biasa dengan 7 (tujuh) orang hakim
konstitusi yang dipimpin oleh Ketua Mahkamah
Konstitusi.
10
(2) Dalam hal Ketua Mahkamah Konstitusi berhalangan
memimpin sidang pleno sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), sidang dipimpin oleh Wakil Ketua Mahkamah
Konstitusi.
(3) Dalam hal Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi
berhalangan pada waktu yang bersamaan, sidang pleno
dipimpin oleh ketua sementara yang dipilih dari dan oleh
Anggota Mahkamah Konstitusi.
(4) Sebelum sidang pleno sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Mahkamah Konstitusi dapat membentuk panel hakim
yang anggotanya terdiri atas sekurang-kurangnya 3 (tiga)
orang hakim konstitusi untuk memeriksa yang hasilnya
dibahas dalam sidang pleno untuk diambil putusan.
(5) Putusan Mahkamah Konstitusi diucapkan dalam sidang
terbuka untuk umum.
(6) Tidak dipenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) berakibat putusan Mahkamah Konstitusi tidak
sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum.
Bagian Kedua
Pengajuan Permohonan
Pasal 29
(1) Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa
Indonesia oleh pemohon atau kuasanya kepada
Mahkamah Konstitusi.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya dalam 12
(dua belas) rangkap.
Pasal 30
Permohonan wajib dibuat dengan uraian yang jelas mengenai:
a. pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. pembubaran partai politik;
d. perselisihan tentang hasil pemilihan umum; atau
e. pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden
diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela,
dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Pasal 31
(1) Permohonan sekurang-kurangnya harus memuat:
a. nama dan alamat pemohon;
11
b. uraian mengenai perihal yang menjadi dasar
permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30;
dan
c. hal-hal yang diminta untuk diputus.
(2) Pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus disertai dengan alat bukti yang mendukung
permohonan tersebut.
Bagian Ketiga
Pendaftaran Permohonan dan Penjadwalan Sidang
Pasal 32
(1) Terhadap setiap permohonan yang diajukan, Panitera
Mahkamah Konstitusi melakukan pemeriksaan
kelengkapan permohonan.
(2) Permohonan yang belum memenuhi kelengkapan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dan Pasal 31 ayat
(1) huruf a dan ayat (2), wajib dilengkapi oleh pemohon
dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja
sejak pemberitahuan kekuranglengkapan tersebut
diterima pemohon.
(3) Permohonan yang telah memenuhi kelengkapan dicatat
dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.
Pasal 33
Buku Registrasi Perkara Konstitusi memuat antara lain
catatan tentang kelengkapan administrasi dengan disertai
pencantuman nomor perkara, tanggal penerimaan berkas
permohonan, nama pemohon, dan pokok perkara.
Pasal 34
(1) Mahkamah Konstitusi menetapkan hari sidang pertama,
setelah permohonan dicatat dalam Buku Registrasi
Perkara Konstitusi dalam jangka waktu paling lambat 14
(empat belas) hari kerja.
(2) Penetapan hari sidang pertama sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diberitahukan kepada para pihak dan
diumumkan kepada masyarakat.
(3) Pengumuman kepada masyarakat sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dilakukan dengan menempelkan salinan
pemberitahuan tersebut di papan pengumuman
Mahkamah Konstitusi yang khusus digunakan untuk itu.
Pasal 35
(1) Pemohon dapat menarik kembali permohonan sebelum
atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi
dilakukan.
(2) Penarikan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan permohonan tidak dapat diajukan
kembali.
12
Bagian Keempat
Alat Bukti
Pasal 36
(1) Alat bukti ialah:
a. surat atau tulisan;
b. keterangan saksi;
c. keterangan ahli;
d. keterangan para pihak;
e. petunjuk; dan
f. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan,
dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik
dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.
(2) Alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
harus dapat dipertanggungjawabkan perolehannya secara
hukum.
(3) Dalam hal alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
yang tidak dapat dipertanggungjawabkan perolehannya
secara hukum, tidak dapat dijadikan alat bukti yang sah.
(4) Mahkamah Konstitusi menentukan sah atau tidak sahnya
alat bukti dalam persidangan Mahkamah Konstitusi.
Pasal 37
Mahkamah Konstitusi menilai alat-alat bukti yang diajukan ke
persidangan dengan memperhatikan persesuaian antara alat
bukti yang satu dengan alat bukti yang lain.
Pasal 38
(1) Para pihak, saksi, dan ahli wajib hadir memenuhi
panggilan Mahkamah Konstitusi.
(2) Surat panggilan harus sudah diterima oleh yang dipanggil
dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari sebelum
hari persidangan.
(3) Para pihak yang merupakan lembaga negara dapat
diwakili oleh pejabat yang ditunjuk atau kuasanya
berdasarkan peraturan perundang-undangan.
(4) Jika saksi tidak hadir tanpa alasan yang sah meskipun
sudah dipanggil secara patut menurut hukum,
Mahkamah Konstitusi dapat meminta bantuan kepolisian
untuk menghadirkan saksi tersebut secara paksa.
Bagian Kelima
Pemeriksaan Pendahuluan
Pasal 39
(1) Sebelum mulai memeriksa pokok perkara, Mahkamah
Konstitusi mengadakan pemeriksaan kelengkapan dan
kejelasan materi permohonan.
(2) Dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Mahkamah Konstitusi wajib memberi nasihat kepada
13
pemohon untuk melengkapi dan/atau memperbaiki
permohonan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat
belas) hari.
Bagian Keenam
Pemeriksaan Persidangan
Pasal 40
(1) Sidang Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum,
kecuali rapat permusyawaratan hakim.
(2) Setiap orang yang hadir dalam persidangan wajib menaati
tata tertib persidangan.
(3) Ketentuan mengenai tata tertib persidangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur oleh Mahkamah Konstitusi.
(4) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), merupakan penghinaan terhadap
Mahkamah Konstitusi.
Pasal 41
(1) Dalam persidangan hakim konstitusi memeriksa
permohonan beserta alat bukti yang diajukan.
(2) Untuk kepentingan pemeriksaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), hakim konstitusi wajib memanggil para
pihak yang berperkara untuk memberi keterangan yang
dibutuhkan dan/atau meminta keterangan secara tertulis
kepada lembaga negara yang terkait dengan permohonan.
(3) Lembaga negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
wajib menyampaikan penjelasannya dalam jangka waktu
paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak permintaan hakim
konstitusi diterima.
Pasal 42
Saksi dan ahli yang dipanggil wajib hadir untuk memberikan
keterangan.
Pasal 43
Dalam pemeriksaan persidangan, pemohon dan/atau
termohon dapat didampingi atau diwakili oleh kuasanya
berdasarkan surat kuasa khusus untuk itu.
Pasal 44
(1) Dalam hal pemohon dan/atau termohon didampingi oleh
selain kuasanya di dalam persidangan, pemohon
dan/atau termohon harus membuat surat keterangan
yang khusus untuk itu.
(2) Surat keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditunjukkan dan diserahkan kepada hakim konstitusi di
dalam persidangan.
14
Bagian Ketujuh
Putusan
Pasal 45
(1) Mahkamah Konstitusi memutus perkara berdasarkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 sesuai dengan alat bukti dan keyakinan hakim.
(2) Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan
permohonan harus didasarkan pada sekurang-kurangnya
2 (dua) alat bukti.
(3) Putusan Mahkamah Konstitusi wajib memuat fakta yang
terungkap dalam persidangan dan pertimbangan hukum
yang menjadi dasar putusan.
(4) Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diambil
secara musyawarah untuk mufakat dalam sidang pleno
hakim konstitusi yang dipimpin oleh ketua sidang.
(5) Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim konstitusi
wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat
tertulis terhadap permohonan.
(6) Dalam hal musyawarah sidang pleno hakim konstitusi
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dapat
menghasilkan putusan, musyawarah ditunda sampai
musyawarah sidang pleno hakim konstitusi berikutnya.
(7) Dalam hal musyawarah sidang pleno setelah diusahakan
dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai mufakat
bulat, putusan diambil dengan suara terbanyak.
(8) Dalam hal musyawarah sidang pleno hakim konstitusi
sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tidak dapat diambil
dengan suara terbanyak, suara terakhir ketua sidang
pleno hakim konstitusi menentukan.
(9) Putusan Mahkamah Konstitusi dapat dijatuhkan pada
hari itu juga atau ditunda pada hari lain yang harus
diberitahukan kepada para pihak.
(10) Dalam hal putusan tidak tercapai mufakat bulat
sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (8),
pendapat anggota Majelis Hakim yang berbeda dimuat
dalam putusan.
Pasal 46
Putusan Mahkamah Konstitusi ditandatangani oleh hakim
yang memeriksa, mengadili, dan memutus, dan panitera.
Pasal 47
Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum
tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka
untuk umum.
Pasal 48
(1) Mahkamah Konstitusi memberi putusan Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
(2) Setiap putusan Mahkamah Konstitusi harus memuat:
a. kepala putusan berbunyi: “DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”;
15
b. identitas pihak;
c. ringkasan permohonan;
d. pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam
persidangan;
e. pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan;
f. amar putusan; dan
g. hari, tanggal putusan, nama hakim konstitusi, dan
panitera.
Pasal 49
Mahkamah Konstitusi wajib mengirimkan salinan putusan
kepada para pihak dalam jangka waktu paling lambat 7
(tujuh) hari kerja sejak putusan diucapkan.
Bagian Kedelapan
Pengujian Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar
Pasal 50
Undang-undang yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah
undang-undang yang diundangkan setelah perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Pasal 51
(1) Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya
undang-undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih
hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara.
(2) Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam
permohonannya tentang hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa:
a. pembentukan undang-undang tidak memenuhi
ketentuan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945; dan/atau
b. materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian
undang-undang dianggap bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Pasal 52
Mahkamah Konstitusi menyampaikan permohonan yang
sudah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi
kepada DPR dan Presiden untuk diketahui, dalam jangka
16
waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak permohonan
dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.
Pasal 53
Mahkamah Konstitusi memberitahukan kepada Mahkamah
Agung adanya permohonan pengujian undang-undang dalam
jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak
permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.
Pasal 54
Mahkamah Konstitusi dapat meminta keterangan dan/atau
risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang
sedang diperiksa kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat,
DPR, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden.
Pasal 55
Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undangundang
yang sedang dilakukan Mahkamah Agung wajib
dihentikan apabila undang-undang yang menjadi dasar
pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian
Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah
Konstitusi.
Pasal 56
(1) Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa
pemohon dan/atau permohonannya tidak memenuhi
syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 dan Pasal
51, amar putusan menyatakan permohonan tidak dapat
diterima.
(2) Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa
permohonan beralasan, amar putusan menyatakan
permohonan dikabulkan.
(3) Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Mahkamah Konstitusi
menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, pasal,
dan/atau bagian dari undang-undang yang bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
(4) Dalam hal pembentukan undang-undang dimaksud tidak
memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang
berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, amar putusan menyatakan
permohonan dikabulkan.
(5) Dalam hal undang-undang dimaksud tidak bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, baik mengenai pembentukan maupun
materinya sebagian atau keseluruhan, amar putusan
menyatakan permohonan ditolak.
Pasal 57
(1) Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya
menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau
bagian undang-undang bertentangan dengan Undang17
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undangundang
tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat.
(2) Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya
menyatakan bahwa pembentukan undang-undang
dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan
undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, undang-undang
tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
(3) Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan
permohonan wajib dimuat dalam Berita Negara dalam
jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja
sejak putusan diucapkan.
Pasal 58
Undang-undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap
berlaku, sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa
undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 59
Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian undangundang
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 disampaikan kepada DPR, Dewan
Perwakilan Daerah, Presiden, dan Mahkamah Agung.
Pasal 60
Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam
undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan
pengujian kembali.
Bagian Kesembilan
Sengketa Kewenangan Lembaga Negara
yang Kewenangannya Diberikan oleh
Undang-Undang Dasar
Pasal 61
(1) Pemohon adalah lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang mempunyai kepentingan
langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan.
(2) Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam
permohonannya tentang kepentingan langsung pemohon
dan menguraikan kewenangan yang dipersengketakan
serta menyebutkan dengan jelas lembaga negara yang
menjadi termohon.
Pasal 62
Mahkamah Konstitusi menyampaikan permohonan yang
sudah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi
kepada termohon dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh)
18
hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi
Perkara Konstitusi.
Pasal 63
Mahkamah Konstitusi dapat mengeluarkan penetapan yang
memerintahkan pada pemohon dan/atau termohon untuk
menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang
dipersengketakan sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi.
Pasal 64
(1) Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa
pemohon dan/atau permohonannya tidak memenuhi
syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61, amar
putusan menyatakan permohonan tidak dapat diterima.
(2) Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa
permohonan beralasan, amar putusan menyatakan
permohonan dikabulkan.
(3) Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Mahkamah Konstitusi
menyatakan dengan tegas bahwa termohon tidak
mempunyai kewenangan untuk melaksanakan
kewenangan yang dipersengketakan.
(4) Dalam hal permohonan tidak beralasan, amar putusan
menyatakan permohonan ditolak.
Pasal 65
Mahkamah Agung tidak dapat menjadi pihak dalam sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 pada Mahkamah Konstitusi.
Pasal 66
(1) Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya
menyatakan bahwa termohon tidak mempunyai
kewenangan untuk melaksanakan kewenangan yang
dipersengketakan, termohon wajib melaksanakan
putusan tersebut dalam jangka waktu paling lambat 7
(tujuh) hari kerja sejak putusan diterima.
(2) Jika putusan tersebut tidak dilaksanakan dalam jangka
waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaksanaan
kewenangan termohon batal demi hukum.
Pasal 67
Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai sengketa
kewenangan disampaikan kepada DPR, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Presiden.
Bagian Kesepuluh
Pembubaran Partai Politik
Pasal 68
(1) Pemohon adalah Pemerintah.
19
(2) Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam
permohonannya tentang ideologi, asas, tujuan, program,
dan kegiatan partai politik yang bersangkutan, yang
dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 69
Mahkamah Konstitusi menyampaikan permohonan yang
sudah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi
kepada partai politik yang bersangkutan dalam jangka waktu
paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak permohonan dicatat
dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.
Pasal 70
(1) Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa
permohonan tidak memenuhi syarat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 68, amar putusan menyatakan
permohonan tidak dapat diterima.
(2) Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa
permohonan beralasan, amar putusan menyatakan
permohonan dikabulkan.
(3) Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa
permohonan tidak beralasan, amar putusan menyatakan
permohonan ditolak.
Pasal 71
Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai permohonan atas
pembubaran partai politik wajib diputus dalam jangka waktu
paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja sejak permohonan
dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.
Pasal 72
Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pembubaran partai
politik disampaikan kepada partai politik yang bersangkutan.
Pasal 73
(1) Pelaksanaan putusan pembubaran partai politik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dilakukan
dengan membatalkan pendaftaran pada Pemerintah.
(2) Putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diumumkan oleh Pemerintah dalam Berita
Negara Republik Indonesia dalam jangka waktu paling
lambat 14 (empat belas) hari sejak putusan diterima.
Bagian Kesebelas
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum
Pasal 74
(1) Pemohon adalah:
a. perorangan warga negara Indonesia calon anggota
Dewan Perwakilan Daerah peserta pemilihan umum;
20
b. pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden peserta
pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden; dan
c. partai politik peserta pemilihan umum.
(2) Permohonan hanya dapat diajukan terhadap penetapan
hasil pemilihan umum yang dilakukan secara nasional
oleh Komisi Pemilihan Umum yang mempengaruhi:
a. terpilihnya calon anggota Dewan Perwakilan Daerah;
b. penentuan pasangan calon yang masuk pada putaran
kedua pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta
terpilihnya pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden;
c. perolehan kursi partai politik peserta pemilihan umum
di suatu daerah pemilihan.
(3) Permohonan hanya dapat diajukan dalam jangka waktu
paling lambat 3 X 24 (tiga kali dua puluh empat) jam
sejak Komisi Pemilihan Umum mengumumkan penetapan
hasil pemilihan umum secara nasional.
Pasal 75
Dalam permohonan yang diajukan, pemohon wajib
menguraikan dengan jelas tentang:
a. kesalahan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh
Komisi Pemilihan Umum dan hasil penghitungan yang
benar menurut pemohon; dan
b. permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan suara
yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan
menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut
pemohon.
Pasal 76
Mahkamah Konstitusi menyampaikan permohonan yang
sudah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi
kepada Komisi Pemilihan Umum dalam jangka waktu paling
lambat 3 (tiga) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam
Buku Registrasi Perkara Konstitusi.
Pasal 77
(1) Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa
pemohon dan/atau permohonannya tidak memenuhi
syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74, amar
putusan menyatakan permohonan tidak dapat diterima.
(2) Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa
permohonan beralasan, amar putusan menyatakan
permohonan dikabulkan.
(3) Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Mahkamah Konstitusi
menyatakan membatalkan hasil penghitungan suara yang
diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan
menetapkan hasil penghitungan suara yang benar.
(4) Dalam hal permohonan tidak beralasan amar putusan
menyatakan permohonan ditolak.
21
Pasal 78
Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai permohonan atas
perselisihan hasil pemilihan umum wajib diputus dalam
jangka waktu:
a. paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan
dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi, dalam
hal pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden;
b. paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan
dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi, dalam
hal pemilihan umum anggota DPR, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Pasal 79
Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai perselisihan hasil
pemilihan umum disampaikan kepada Presiden.
Bagian Keduabelas
Pendapat DPR Mengenai Dugaan Pelanggaran
oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden
Pasal 80
(1) Pemohon adalah DPR.
(2) Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam
permohonannya mengenai dugaan:
a. Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat
lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau
b. Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden
berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
(3) Dalam permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
pemohon wajib menyertakan keputusan DPR dan proses
pengambilan keputusan mengenai pendapat DPR
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7B ayat (3) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
risalah dan/atau berita acara rapat DPR, disertai bukti
mengenai dugaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pasal 81
Mahkamah Konstitusi menyampaikan permohonan yang
sudah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi
kepada Presiden dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh)
hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi
Perkara Konstitusi.
Pasal 82
Dalam hal Presiden dan/atau Wakil Presiden mengundurkan
diri pada saat proses pemeriksaan di Mahkamah Konstitusi,
proses pemeriksaan tersebut dihentikan dan permohonan
dinyatakan gugur oleh Mahkamah Konstitusi.
22
Pasal 83
(1) Apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa
permohonan tidak memenuhi syarat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 80, amar putusan menyatakan
permohonan tidak dapat diterima.
(2) Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya,
atau perbuatan tercela dan/atau terbukti bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, amar putusan
menyatakan membenarkan pendapat DPR.
(3) Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak terbukti
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana
berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau tidak
terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak
lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden, amar putusan menyatakan permohonan ditolak.
Pasal 84
Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai permohonan atas
pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 80, wajib diputus dalam jangka waktu
paling lambat 90 (sembilan puluh) hari sejak permohonan
dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.
Pasal 85
Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pendapat DPR wajib
disampaikan kepada DPR dan Presiden dan/atau Wakil
Presiden.
BAB VI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 86
Mahkamah Konstitusi dapat mengatur lebih lanjut hal-hal
yang diperlukan bagi kelancaran pelaksanaan tugas dan
wewenangnya menurut Undang-Undang ini.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 87
Pada saat Undang-Undang ini berlaku, seluruh permohonan
dan/atau gugatan yang diterima Mahkamah Agung dan belum
diputus berdasarkan ketentuan Pasal III Aturan Peralihan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
23
1945, dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi dalam waktu
paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja sejak Mahkamah
Konstitusi dibentuk.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 88
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 13 Agustus 2003
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 13 Agustus 2003
SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 98
24
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 24 TAHUN 2003
TENTANG
MAHKAMAH KONSTITUSI
I. UMUM
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Ditegaskan pula
bahwa negara Indonesia adalah negara hukum.
Sejalan dengan prinsip ketatanegaraan di atas maka salah satu
substansi penting perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 adalah keberadaan Mahkamah Konstitusi
sebagai lembaga negara yang berfungsi menangani perkara tertentu di
bidang ketatanegaraan, dalam rangka menjaga konstitusi agar
dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak
rakyat dan cita-cita demokrasi. Keberadaan Mahkamah Konstitusi
sekaligus untuk menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang
stabil, dan juga merupakan koreksi terhadap pengalaman kehidupan
ketatanegaraan di masa lalu yang ditimbulkan oleh tafsir ganda
terhadap konstitusi.
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman, di samping Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Hal ini berarti Mahkamah Konstitusi terikat pada prinsip umum
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari
pengaruh kekuasaan lembaga lainnya dalam menegakkan hukum dan
keadilan.
Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
berwenang untuk:
a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
c. memutus pembubaran partai politik;
d. memutus perselisihan hasil pemilihan umum; dan
e. memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran
hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela,
dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau
Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi melaksanakan
prinsip checks and balances yang menempatkan semua lembaga
negara dalam kedudukan setara sehingga terdapat keseimbangan
dalam penyelenggaraan negara. Keberadaan Mahkamah Konstitusi
25
merupakan langkah nyata untuk dapat saling mengoreksi kinerja
antarlembaga negara.
Undang-Undang ini merupakan pelaksanaan Pasal 24C ayat (6)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
menyebutkan bahwa pengangkatan dan pemberhentian hakim
konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah
Konstitusi diatur dengan undang-undang.
Untuk mendapatkan hakim konstitusi yang memiliki integritas dan
kepribadian yang tidak tercela, adil, dan negarawan yang menguasai
konstitusi dan ketatanegaraan sebagaimana diamanatkan dalam
Undang-Undang Dasar, Undang-Undang ini mengatur mengenai
syarat calon hakim konstitusi secara jelas. Di samping itu, diatur pula
ketentuan mengenai pengangkatan dan pemberhentian, cara
pencalonan secara transparan dan partisipatif, dan pemilihan hakim
konstitusi secara obyektif dan akuntabel.
Hukum acara yang diatur dalam Undang-Undang ini memuat aturan
umum beracara di muka Mahkamah Konstitusi dan aturan khusus
sesuai dengan karakteristik masing-masing perkara yang menjadi
kewenangan Mahkamah Konstitusi. Untuk kelancaran pelaksanaan
tugas dan wewenangnya, Mahkamah Konstitusi diberi kewenangan
untuk melengkapi hukum acara menurut Undang-Undang ini.
Mahkamah Konstitusi dalam menyelenggarakan peradilan untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tetap mengacu pada
prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni dilakukan
secara sederhana dan cepat.
Dalam Pasal III Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 ditetapkan bahwa Mahkamah
Konstitusi dibentuk selambat-lambatnya pada tanggal 17 Agustus
2003 dan sebelum dibentuk segala kewenangannya dilakukan oleh
Mahkamah Agung, sehingga Undang-Undang ini mengatur pula
peralihan dari perkara yang ditangani Mahkamah Agung setelah
terbentuknya Mahkamah Konstitusi.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “tindakan kepolisian” adalah:
a. pemanggilan sehubungan dengan tindak pidana;
b. meminta keterangan tentang tindak pidana;
c. penangkapan;
d. penahanan;
26
e. penggeledahan; dan/atau
f. penyitaan.
Pasal 7
Sekretariat Jenderal menjalankan tugas teknis administratif
Mahkamah Konstitusi, sedangkan Kepaniteraan menjalankan
tugas teknis administrasi justisial.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan
Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan
hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya
hukum yang dapat ditempuh.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 11
Yang dimaksud dengan “keterangan” adalah segala keterangan
lisan dan tertulis, termasuk dokumen yang berkaitan dengan
perkara yang sedang diperiksa.
Pasal 12
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menjamin kemandirian dan
kredibilitas Mahkamah Konstitusi dalam mengatur organisasi,
personalia, administrasi, dan keuangan sesuai dengan prinsipprinsip
transparansi dan akuntabilitas.
Pasal 13
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Kewajiban memberikan laporan berkala
berdasarkan ketentuan ini tidak mengurangi
kewajiban membuat laporan keuangan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Surat pernyataan yang dimaksud dalam ketentuan ini juga
memuat tentang telah terpenuhinya seluruh persyaratan
sebagaimana dimaksud pada ketentuan ayat (1) dan surat
27
pernyataan tersebut disimpan pada Mahkamah
Konstitusi.
Pasal 17
Huruf a
Pejabat negara lainnya, misalnya anggota DPR, anggota
Dewan Perwakilan Daerah, anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah, hakim atau hakim agung, menteri, dan
pejabat lain sebagaimana ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “pengusaha” adalah direksi atau
komisaris perusahaan.
Huruf d
Selama menjadi hakim konstitusi, advokat tidak boleh
menjalankan profesinya.
Huruf e
Selama menjadi hakim konstitusi, status pegawai negeri
yang bersangkutan diberhentikan sementara sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 18
Ayat (1)
Penerbitan Keputusan Presiden dalam ketentuan ini bersifat
administratif.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 19
Berdasarkan ketentuan ini, calon hakim konstitusi
dipublikasikan di media massa baik cetak maupun elektronik,
sehingga masyarakat mempunyai kesempatan untuk ikut
memberi masukan atas calon hakim yang bersangkutan.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “melakukan perbuatan tercela”
adalah perbuatan yang dapat merendahkan
martabat hakim konstitusi.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “persidangan” adalah
persidangan dalam pemeriksaan perkara.
Huruf d
Cukup jelas.
28
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “dituntut di muka pengadilan”
adalah pelimpahan berkas perkara yang bersangkutan ke
pengadilan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “rehabilitasi” adalah
pengembalian hak-hak pribadi dan nama baik yang
bersangkutan tanpa mengembalikan kedudukannya
sebagai hakim konstitusi.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “keadaan luar biasa” adalah
meninggal dunia atau terganggu fisik/jiwanya sehingga
tidak mampu melaksanakan kewajiban sebagai hakim
konstitusi.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “berhalangan” adalah keadaan
luar biasa sebagaimana dimaksud pada penjelasan ayat
(1).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
29
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pemeriksaan kelengkapan
permohonan” adalah bersifat administrasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Petunjuk yang dimaksud dalam ketentuan ini
hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat,
dan barang bukti.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 37
Alat bukti yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah alat bukti
petunjuk.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Ayat (1)
Cukup jelas.
30
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “penghinaan terhadap Mahkamah
Konstitusi” dalam ketentuan ini dikenal dengan istilah
Contempt of Court.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “keyakinan Hakim” adalah
keyakinan Hakim berdasarkan alat bukti.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Berdasarkan ketentuan ini dalam sidang
permusyawaratan pengambilan putusan tidak ada suara
abstain.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
31
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Dalam pertimbangan hukum memuat dasar hukum
yang menjadi dasar putusan.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Yang dimaksud dengan “setelah perubahan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945” adalah
perubahan pertama Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 pada tanggal 19 Oktober 1999.
Pasal 51
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hakhak
yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Huruf a
Yang dimaksud dengan “perorangan” termasuk
kelompok orang yang mempunyai kepentingan
sama.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
32
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Yang dimaksud dengan “pelaksanaan kewenangan” adalah
tindakan baik tindakan nyata maupun tindakan hukum yang
merupakan pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan.
Dalam mengeluarkan penetapan Mahkamah Konstitusi
mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan oleh
pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Pemerintah” adalah Pemerintah
Pusat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “penetapan hasil pemilihan umum”
adalah jumlah suara yang diperoleh peserta pemilihan
umum.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 75
Huruf a
Berdasarkan ketentuan ini pemohon menunjukkan dengan
jelas tempat penghitungan suara dan kesalahan dalam
penjumlahan penghitungan suara.
33
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “risalah dan/atau berita acara
rapat DPR” adalah risalah dan/atau berita acara rapat
alat kelengkapan DPR maupun rapat paripurna DPR.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mengisi kemungkinan
adanya kekurangan atau kekosongan dalam hukum acara
berdasarkan Undang-Undang ini.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4316.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar