UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 10 TAHUN
2016
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA
ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH
PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI,
DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG
DENGAN RAHMAT
TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a.
bahwa
dalam rangka mewujudkan pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil
bupati, serta walikota dan wakil walikota yang demokratis, perlu dilakukan penyempurnaan
terhadap penyelenggaraan pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan
wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota;
b.
bahwa
dalam rangka penyempurnaan penyelenggaraan pemilihan gubernur dan wakil
gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota, beberapa
ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota menjadi Undang-Undang perlu diubah;
c.
bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu
membentuk Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi
Undang-Undang;
Mengingat:
1.
Pasal
5 ayat (1), Pasal 18 ayat (4), dan Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22D ayat (2),
Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2.
Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015
Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5656) sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati,
dan Walikota menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2015 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG
TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG
PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG.
Pasal I
Beberapa
ketentuan dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5656) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5678) diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan
Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 7
(1) Setiap
warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama untuk mencalonkan diri dan
dicalonkan sebagai Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan
Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota.
(2) Calon
Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta
Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. setia
kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, dan Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
c. berpendidikan
paling rendah sekolah lanjutan tingkat atas atau sederajat;
d. dihapus;
e. berusia
paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Calon Wakil
Gubernur serta 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Calon Wakil
Bupati serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota;
f. mampu
secara jasmani, rohani, dan bebas dari penyalahgunaan narkotika berdasarkan
hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari tim;
g. tidak
pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur
mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana;
h. tidak
sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap;
i. tidak
pernah melakukan perbuatan tercela yang dibuktikan dengan surat keterangan
catatan kepolisian;
j. menyerahkan
daftar kekayaan pribadi;
k. tidak
sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan
hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara;
l. tidak
sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap;
m. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dan memiliki
laporan pajak pribadi;
n. belum pernah
menjabat sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan
Wakil Walikota selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama untuk
Calon Gubernur, Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati, Calon Wakil Bupati, Calon
Walikota, dan Calon Wakil Walikota;
o. belum
pernah menjabat sebagai Gubernur untuk calon Wakil Gubernur, atau
Bupati/Walikota untuk Calon Wakil Bupati/Calon Wakil Walikota pada daerah yang
sama;
p. berhenti
dari jabatannya bagi Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota,
dan Wakil Walikota yang mencalonkan diri di daerah lain sejak ditetapkan
sebagai calon;
q. tidak
berstatus sebagai penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Walikota;
r. dihapus;
s. menyatakan
secara tertulis pengunduran diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
anggota Dewan Perwakilan Daerah, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta Pemilihan;
t. menyatakan
secara tertulis pengunduran diri sebagai anggota Tentara Nasional Indonesia,
Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Pegawai Negeri Sipil serta Kepala
Desa atau sebutan lain sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta
Pemilihan; dan
u. berhenti
dari jabatan pada badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah sejak
ditetapkan sebagai calon.
2. Ketentuan
huruf a dan huruf b Pasal 9 diubah, sehingga Pasal 9 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 9
Tugas
dan wewenang KPU dalam penyelenggaraan Pemilihan meliputi:
a.
menyusun
dan menetapkan Peraturan KPU dan pedoman teknis untuk setiap tahapan Pemilihan
setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat, dan Pemerintah dalam
forum rapat dengar pendapat yang keputusannya bersifat mengikat;
b.
mengoordinasi
dan memantau tahapan Pemilihan;
c.
melakukan
evaluasi penyelenggaraan Pemilihan;
d.
menerima
laporan hasil Pemilihan dari KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota;
e.
memfasilitasi
pelaksanaan tugas KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dalam melanjutkan tahapan
pelaksanaan Pemilihan jika Provinsi, Kabupaten, dan Kota tidak dapat
melanjutkan tahapan Pemilihan secara berjenjang; dan
f.
melaksanakan
tugas dan wewenang lain yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan.
3. Di antara huruf b dan huruf c Pasal 10
disisipkan 1 (satu) huruf, yakni huruf b1 sehingga Pasal 10 berbunyi sebagai berikut:
Pasal
10
KPU
dalam penyelenggaraan Pemilihan wajib:
a.
memperlakukan
Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati,
serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota secara adil dan setara;
b.
menyampaikan
semua informasi penyelenggaraan Pemilihan kepada masyarakat;
a.
b1.
melaksanakan dengan segera rekomendasi dan/atau putusan Bawaslu mengenai sanksi
administrasi Pemilihan;
b.
melaksanakan
Keputusan DKPP; dan
c.
melaksanakan
kewajiban lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
4. Di antara ayat (1) dan ayat (2) Pasal 16
disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (1a) sehingga Pasal 16 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 16
(1) Anggota
PPK sebanyak 5 (lima) orang yang memenuhi syarat berdasarkan Undang-Undang.
(1a) seleksi penerimaan
anggota PPK dilaksanakan secara terbuka dengan memperhatikan kompetensi,
kapasitas, integritas, dan kemandirian calon anggota PPK.
(2) Anggota
PPK diangkat dan diberhentikan oleh KPU Kabupaten/Kota.
(3) Komposisi
keanggotaan PPK memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30% (tiga
puluh persen).
(4) Dalam
menjalankan tugasnya, PPK dibantu oleh sekretariat yang dipimpin oleh
Sekretaris dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi persyaratan.
(5) PPK
melalui KPU Kabupaten/Kota mengusulkan 3 (tiga) nama calon sekretaris PPK
kepada Bupati/Walikota untuk selanjutnya dipilih dan ditetapkan 1 (satu) nama
sebagai Sekretaris PPK dengan Keputusan Bupati/Walikota.
5. Ketentuan
Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 19
(1)
Anggota
PPS berjumlah 3 (tiga) orang.
(2)
Seleksi
penerimaan anggota PPS dilaksanakan secara terbuka dengan memperhatikan
kompetensi, kapasitas, integritas, dan kemandirian calon anggota PPS.
(3)
Anggota
PPS diangkat dan diberhentikan oleh KPU Kabupaten/Kota.
6.
Ketentuan Pasal 20 tetap, dengan perubahan penjelasan Pasal 20 huruf c,
sehingga penjelasan Pasal 20 huruf c menjadi sebagaimana ditetapkan dalam
penjelasan pasal demi pasal Undang-Undang ini.
7. Di antara ayat (1) dan ayat (2) Pasal 21
disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (1a) sehingga Pasal 21 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 21
(1) Anggota
KPPS berjumlah 7 (tujuh) orang yang berasal dari anggota masyarakat di sekitar
TPS yang memenuhi syarat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(1a) Seleksi penerimaan anggota KPPS dilaksanakan
secara terbuka dengan memperhatikan kompetensi, kapasitas, integritas, dan
kemandirian calon anggota KPPS.
(2) Anggota
KPPS diangkat dan diberhentikan oleh PPS atas nama Ketua KPU Kabupaten/Kota.
(3) Pengangkatan
dan pemberhentian anggota KPPS wajib dilaporkan kepada KPU Kabupaten/Kota.
(4) Susunan
keanggotaan KPPS terdiri atas seorang ketua merangkap anggota dan anggota.
8. Ketentuan
Pasal 22B diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 22B
Tugas
dan wewenang Bawaslu dalam pengawasan penyelenggaraan Pemilihan meliputi:
a.
menyusun
dan menetapkan Peraturan Bawaslu dan pedoman teknis pengawasan untuk setiap
tahapan Pemilihan serta pedoman tata cara pemeriksaan, pemberian rekomendasi,
dan putusan atas keberatan setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat
dan Pemerintah dalam forum rapat dengar pendapat yang keputusannya bersifat
mengikat;
b.
menerima,
memeriksa, dan memutus keberatan atas putusan Bawaslu Provinsi terkait
pemilihan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil
Bupati, atau Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota terkait dengan Pemilihan
yang diajukan oleh pasangan calon dan/atau Partai Politik/gabungan Partai
Politik terkait penjatuhan sanksi diskualifikasi dan/atau tidak diizinkannya
Partai Politik/gabungan Partai Politik untuk mengusung pasangan calon dalam
Pemilihan berikutnya.
c.
mengoordinasikan
dan memantau tahapan pengawasan penyelenggaraan Pemilihan;
d.
melakukan
evaluasi pengawasan penyelenggaraan Pemilihan;
e.
menerima
laporan hasil pengawasan penyelenggaraan Pemilihan dari Bawaslu Provinsi dan
Panwas Kabupaten/Kota;
f.
memfasilitasi
pelaksanaan tugas Bawaslu Provinsi dan Panwas Kabupaten/Kota dalam melanjutkan
tahapan pelaksanaan pengawasan penyelenggaraan Pemilihan jika Provinsi,
Kabupaten, dan Kota tidak dapat melanjutkan tahapan pelaksanaan pengawasan
penyelenggaraan Pemilihan secara berjenjang;
g.
melaksanakan
tugas dan wewenang lain yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan;
h.
melakukan
pembinaan dan pengawasan terhadap Bawaslu Provinsi dan Panwas Kabupaten/Kota;
i.
menerima
dan menindaklanjuti laporan atas tindakan pelanggaran Pemilihan; dan
j.
menindaklanjuti
rekomendasi dan/atau putusan Bawaslu Provinsi maupun Panwas Kabupaten/Kota
kepada KPU terkait terganggunya tahapan Pemilihan.
9. Ketentuan
Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 30
Tugas
dan wewenang Panwas Kabupaten/Kota adalah:
a. mengawasi
tahapan penyelenggaraan Pemilihan yang meliputi:
1. pelaksanaan
pengawasan rekrutmen PPK, PPS, dan KPPS;
2. pemutakhiran
data pemilih berdasarkan data kependudukan dan penetapan Daftar Pemilih
Sementara dan Daftar Pemilih Tetap;
3. pencalonan
yang berkaitan dengan persyaratan dan tata cara pencalonan;
4. proses
dan penetapan calon;
5. pelaksanaan
Kampanye;
6. perlengkapan
Pemilihan dan pendistribusiannya;
7. pelaksanaan
pemungutan suara dan penghitungan suara hasil Pemilihan;
8. pelaksanaan
pengawasan pendaftaran pemilih;
9. mengendalikan
pengawasan seluruh proses penghitungan suara;
10. penyampaian
surat suara dari tingkat TPS sampai ke PPK;
11. proses
rekapitulasi suara yang dilakukan oleh KPU Provinsi, Kabupaten, dan Kota dari
seluruh Kecamatan;
12. pelaksanaan
penghitungan dan pemungutan suara ulang, Pemilihan lanjutan, dan Pemilihan
susulan; dan
13. proses
pelaksanaan penetapan hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota
dan Wakil Walikota.
b. menerima
laporan dugaan pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan
mengenai Pemilihan;
c. menyelesaikan
temuan dan laporan pelanggaran Pemilihan dan sengketa Pemilihan yang tidak
mengandung unsur tindak pidana;
d. menyampaikan
temuan dan laporan kepada KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota untuk
ditindaklanjuti;
e. meneruskan
temuan dan laporan yang bukan menjadi kewenangannya kepada instansi yang
berwenang;
f. menyampaikan
laporan kepada Bawaslu sebagai dasar untuk mengeluarkan rekomendasi Bawaslu
yang berkaitan dengan adanya dugaan tindakan yang mengakibatkan terganggunya
tahapan penyelenggaraan Pemilihan oleh penyelenggara di Provinsi, Kabupaten,
dan Kota;
g. mengawasi pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi
Bawaslu tentang pengenaan sanksi kepada anggota KPU Provinsi dan KPU
Kabupaten/Kota, sekretaris dan pegawai sekretariat KPU Provinsi dan KPU
Kabupaten/Kota yang terbukti melakukan tindakan yang mengakibatkan terganggunya
tahapan penyelenggaraan Pemilihan yang sedang berlangsung;
h. mengawasi
pelaksanaan sosialisasi penyelenggaraan Pemilihan; dan
i. melaksanakan
tugas dan wewenang lain yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan.
10. Ketentuan
Pasal 33 huruf b diubah sehingga Pasal 33 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 33
Tugas
dan wewenang Panwas Kecamatan dalam Pemilihan meliputi:
a. mengawasi
tahapan penyelenggaraan Pemilihan di wilayah Kecamatan yang meliputi:
1. pemutakhiran
data Pemilih berdasarkan data kependudukan dan penetapan Daftar Pemilih
Sementara dan Daftar Pemilih Tetap;
2. pelaksanaan
Kampanye;
3. perlengkapan
Pemilihan dan pendistribusiannya;
4. pelaksanaan
pemungutan dan penghitungan suara hasil Pemilihan;
5. penyampaian
surat suara dari TPS sampai ke PPK;
6. proses
rekapitulasi suara yang dilakukan oleh PPK dari seluruh TPS; dan
7. pelaksanaan
penghitungan dan pemungutan suara ulang, Pemilihan lanjutan, dan Pemilihan
susulan.
b. mengawasi
penyerahan kotak suara tersegel dari PPK kepada KPU Kabupaten/Kota;
c. menerima
laporan dugaan pelanggaran terhadap tahapan penyelenggaraan Pemilihan yang
dilakukan oleh penyelenggara Pemilihan sebagaimana dimaksud pada huruf a;
d. menyampaikan
temuan dan laporan kepada PPK untuk ditindaklanjuti;
e. meneruskan
temuan dan laporan yang bukan menjadi kewenangannya kepada instansi yang
berwenang;
f. mengawasi
pelaksanaan sosialisasi penyelenggaraan Pemilihan;
g. memberikan
rekomendasi kepada yang berwenang atas temuan dan laporan mengenai tindakan
yang mengandung unsur tindak pidana Pemilihan; dan
h. melaksanakan
tugas dan wewenang lain yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan.
11. Ketentuan
Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 40
(1)
Partai
Politik atau gabungan Partai Politik dapat mendaftarkan pasangan calon jika
telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari
jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau 25% (dua puluh lima persen)
dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah di daerah yang bersangkutan.
(2)
Dalam
hal Partai Politik atau gabungan Partai Politik dalam mengusulkan pasangan
calon menggunakan ketentuan memperoleh paling sedikit 20% (dua puluh persen)
dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), jika hasil bagi jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menghasilkan
angka pecahan maka perolehan dari jumlah kursi dihitung dengan pembulatan ke
atas.
(3)
Dalam
hal Partai Politik atau gabungan Partai Politik mengusulkan pasangan calon
menggunakan ketentuan memperoleh paling sedikit 25% (dua puluh lima persen)
dari akumulasi perolehan suara sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ketentuan itu hanya berlaku untuk Partai Politik yang memperoleh kursi di Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.
(4)
Partai
Politik atau gabungan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
dapat mengusulkan 1 (satu) pasangan calon.
(5)
Perhitungan
persentase dari jumlah kursi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
dikecualikan bagi kursi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua dan Dewan
Perwakilan Rakyat Papua Barat yang diangkat.
12. Di antara Pasal 40 dan Pasal 41 disisipkan 1
(satu) pasal, yakni Pasal 40A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal
40A
(1)
Partai
Politik yang dapat mendaftarkan pasangan calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal
40 merupakan Partai Politik yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2)
Dalam
hal terjadi perselisihan kepengurusan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), kepengurusan Partai Politik tingkat Pusat yang dapat mendaftarkan
pasangan calon merupakan kepengurusan Partai Politik tingkat Pusat yang sudah
memperoleh putusan Mahkamah Partai atau sebutan lain dan didaftarkan serta
ditetapkan dengan keputusan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang hukum dan hak asasi manusia.
(3)
Jika
masih terdapat perselisihan atas putusan Mahkamah Partai atau sebutan lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kepengurusan Partai Politik tingkat Pusat
yang dapat mendaftarkan pasangan calon merupakan kepengurusan yang sudah
memperoleh putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan
didaftarkan serta ditetapkan dengan keputusan menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.
(4)
Putusan
Mahkamah Partai atau sebutan lain atau putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan/atau ayat (3) wajib
didaftarkan ke kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
hukum dan hak asasi manusia paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung
sejak terbentuknya kepengurusan yang baru dan wajib ditetapkan dengan keputusan
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi
manusia paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak diterimanya
persyaratan.
(5)
Dalam
hal pendaftaran dan penetapan kepengurusan Partai Politik sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) belum selesai, sementara batas waktu pendaftaran pasangan calon
di KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota akan berakhir, kepengurusan Partai
Politik yang berhak mendaftarkan pasangan calon adalah kepengurusan Partai
Politik yang tercantum dalam keputusan terakhir menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.
13. Ketentuan
Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) diubah sehingga Pasal 41 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 41
(1) Calon
perseorangan dapat mendaftarkan diri sebagai Calon Gubernur dan Calon Wakil
Gubernur jika memenuhi syarat dukungan jumlah penduduk yang mempunyai hak pilih
dan termuat dalam daftar pemilih tetap pada pemilihan umum atau Pemilihan
sebelumnya yang paling akhir di daerah bersangkutan, dengan ketentuan:
a. provinsi
dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan
2.000.000 (dua juta) jiwa harus didukung paling sedikit 10% (sepuluh persen);
b. provinsi
dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari
2.000.000 (dua juta) jiwa sampai dengan 6.000.000 (enam juta) jiwa harus
didukung paling sedikit 8,5% (delapan setengah persen);
c. provinsi
dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari
6.000.000 (enam juta) jiwa sampai dengan 12.000.000 (dua belas juta) jiwa harus
didukung paling sedikit 7,5% (tujuh setengah persen);
d. provinsi
dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari
12.000.000 (dua belas juta) jiwa harus didukung paling sedikit 6,5% (enam
setengah persen); dan
e. jumlah
dukungan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d
tersebar di lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kabupaten/kota di
Provinsi dimaksud.
(2) Calon
perseorangan dapat mendaftarkan diri sebagai Calon Bupati dan Calon Wakil
Bupati serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota jika memenuhi syarat
dukungan jumlah penduduk yang mempunyai hak pilih dan termuat dalam daftar
pemilih tetap di daerah bersangkutan pada pemilihan umum atau Pemilihan
sebelumnya yang paling akhir di daerah bersangkutan, dengan ketentuan:
a. kabupaten/kota
dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan
250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa harus didukung paling sedikit 10%
(sepuluh persen);
b. kabupaten/kota
dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari
250.000 (dua ratus lima puluh ribu) sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu)
jiwa harus didukung paling sedikit 8,5% (delapan setengah persen);
c. kabupaten/kota
dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari
500.000 (lima ratus ribu) sampai dengan 1.000.000 (satu juta) jiwa harus
didukung paling sedikit 7,5% (tujuh setengah persen);
d. kabupaten/kota
dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari
1.000.000 (satu juta) jiwa harus didukung paling sedikit 6,5% (enam setengah
persen); dan
e. jumlah
dukungan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d
tersebar di lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di
kabupaten/kota dimaksud.
(3) Dukungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dibuat dalam bentuk surat
dukungan yang disertai dengan fotokopi Kartu Tanda Penduduk Elektronik atau
surat keterangan yang diterbitkan oleh dinas kependudukan dan catatan sipil
yang menerangkan bahwa penduduk tersebut berdomisili di wilayah administratif
yang sedang menyelenggarakan Pemilihan paling singkat 1 (satu) tahun dan
tercantum dalam Daftar Pemilih Tetap Pemilihan umum sebelumnya di provinsi atau
kabupaten/kota dimaksud.
(4) Dukungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya diberikan kepada 1 (satu) pasangan
calon perseorangan.
14. Di antara ayat (4) dan ayat (5) Pasal 42
disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (4a) dan di antara ayat (5) dan ayat (6)
disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (5a), sehingga Pasal 42 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 42
(1) Pasangan
Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur didaftarkan ke KPU Provinsi oleh Partai
Politik, gabungan Partai Politik, atau perseorangan.
(2) Pasangan
Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta pasangan Calon Walikota dan Calon
Wakil Walikota didaftarkan ke KPU Kabupaten/Kota oleh Partai Politik, gabungan
Partai Politik, atau perseorangan.
(3) Calon
Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, dan
Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
(4) Pendaftaran
pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur oleh Partai Politik
ditandatangani oleh ketua Partai Politik dan sekretaris Partai Politik tingkat
Provinsi disertai Surat Keputusan Pengurus Partai Politik tingkat Pusat tentang
Persetujuan atas calon yang diusulkan oleh Pengurus Partai Politik tingkat
Provinsi.
(4a) Dalam hal
pendaftaran pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak
dilaksanakan oleh pimpinan Partai Politik tingkat Provinsi, pendaftaran
pasangan calon yang telah disetujui Partai Politik tingkat Pusat, dapat
dilaksanakan oleh pimpinan Partai Politik tingkat Pusat.
(5) Pendaftaran
pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta pasangan Calon Walikota dan
Calon Wakil Walikota oleh Partai Politik ditandatangani oleh ketua Partai
Politik dan sekretaris Partai Politik tingkat Kabupaten/Kota disertai Surat
Keputusan Pengurus Partai Politik tingkat Pusat tentang Persetujuan atas calon
yang diusulkan oleh Pengurus Partai Politik tingkat Provinsi.
(5a) Dalam hal
pendaftaran pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak
dilaksanakan oleh pimpinan Partai Politik tingkat Kabupaten/Kota, pendaftaran
pasangan calon yang telah disetujui Partai Politik tingkat Pusat, dapat
dilaksanakan oleh pimpinan Partai Politik tingkat Pusat.
(6) Pendaftaran
pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, pasangan Calon Bupati dan
Calon Wakil Bupati, serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota oleh
gabungan Partai Politik ditandatangani oleh para ketua Partai Politik dan para
sekretaris Partai Politik di tingkat Provinsi atau para ketua Partai Politik
dan para sekretaris Partai Politik di tingkat Kabupaten/Kota disertai Surat
Keputusan masing-masing Pengurus Partai Politik tingkat Pusat tentang
Persetujuan atas calon yang diusulkan oleh Pengurus Partai Politik tingkat
Provinsi dan/atau Pengurus Partai Politik tingkat Kabupaten/Kota.
15. Ketentuan
Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 45
(1) Pendaftaran
pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, pasangan Calon Bupati dan
Calon Wakil Bupati, serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota
disertai dengan penyampaian kelengkapan dokumen persyaratan.
(2) Dokumen
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. surat
pernyataan, yang dibuat dan ditandatangani oleh calon sendiri, sebagai bukti
pemenuhan syarat calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a, huruf b,
huruf g, huruf n, huruf o, huruf p, huruf q, huruf s, huruf t, dan huruf u;
b. surat
keterangan:
1. hasil
pemeriksaan kemampuan secara jasmani, rohani, dan bebas penyalahgunaan
narkotika dari tim yang terdiri dari dokter, ahli psikologi, dan Badan
Narkotika Nasional, yang ditetapkan oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota
sebagai bukti pemenuhan syarat calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf
f;
2. tidak
pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap dari Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi
tempat tinggal calon atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur
mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana dari
pemimpin redaksi media massa lokal atau nasional dengan disertai buktinya,
sebagai bukti pemenuhan syarat calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf
g;
3. tidak
sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap dari Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi
tempat tinggal calon, sebagai bukti pemenuhan syarat calon sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 huruf h;
4. tidak
pernah melakukan perbuatan tercela yang dibuktikan dengan surat keterangan
catatan kepolisian, sebagai bukti pemenuhan syarat calon sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 huruf i;
5. tidak
sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan
hukum yang menjadi tanggungjawabnya yang merugikan keuangan negara, dari
Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal calon, sebagai
bukti pemenuhan syarat calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf k; dan
6. tidak
dinyatakan pailit dari Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat
tinggal calon, sebagai bukti pemenuhan syarat calon sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 huruf l.
c. surat tanda
terima laporan kekayaan calon dari instansi yang berwenang memeriksa laporan
kekayaan penyelenggara negara, sebagai bukti pemenuhan syarat calon sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 huruf j;
d. fotokopi:
1. ijazah
pendidikan terakhir paling rendah sekolah lanjutan tingkat atas atau sederajat
yang telah dilegalisir oleh pihak yang berwenang, sebagai bukti pemenuhan
syarat calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c;
2. kartu nomor
pokok wajib pajak atas nama calon, tanda terima penyampaian surat pemberitahuan
tahunan pajak penghasilan wajib pajak orang pribadi atas nama calon, untuk masa
5 (lima) tahun terakhir, yang dibuktikan dengan surat keterangan tidak
mempunyai tunggakan pajak dari kantor pelayanan pajak tempat calon yang
bersangkutan terdaftar, sebagai bukti pemenuhan syarat calon sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 huruf m;
3. Kartu Tanda
Penduduk elektronik dengan nomor induk kependudukan.
e. daftar
riwayat hidup calon yang dibuat dan ditandatangani oleh calon perseorangan dan
bagi calon yang diusulkan dari Partai Politik atau gabungan Partai Politik
ditandatangani oleh calon, pimpinan Partai Politik atau pimpinan gabungan
Partai Politik;
f. pas foto
terbaru Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil
Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota;
g. naskah
visi, misi, dan program Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati
dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota.
(3) Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara pemenuhan persyaratan dan kelengkapan dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan KPU.
16. Ketentuan
Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 48
(1) Pasangan
calon atau tim yang diberikan kuasa oleh pasangan calon menyerahkan dokumen
syarat dukungan pencalonan untuk Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur kepada
KPU Provinsi dan untuk Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati serta Pemilihan Walikota
dan Wakil Walikota kepada KPU Kabupaten/Kota untuk dilakukan verifikasi
administrasi dan dibantu oleh PPK dan PPS.
(2) Verifikasi
administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:
a. mencocokkan
dan meneliti berdasarkan nomor induk kependudukan, nama, jenis kelamin, tempat
dan tanggal lahir, dan alamat dengan mendasarkan pada Kartu Tanda Penduduk
Elektronik atau surat keterangan yang diterbitkan oleh dinas kependudukan dan
catatan sipil; dan
b. berdasarkan
Daftar Pemilih Tetap pemilu terakhir dan Daftar Penduduk Potensial Pemilih
Pemilihan dari Kementerian Dalam Negeri.
(3) Verifikasi
administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan KPU Provinsi atau KPU
Kabupaten/Kota dan dapat berkoordinasi dengan Dinas Kependudukan dan Pencatatan
Sipil Provinsi atau Kabupaten/Kota.
(4) KPU
Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota dibantu oleh pasangan calon perseorangan atau
tim yang diberikan kuasa oleh pasangan calon menyerahkan dokumen syarat
dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada PPS untuk dilakukan
verifikasi faktual paling lambat 28 (dua puluh delapan) Hari sebelum waktu
pendaftaran pasangan calon dimulai.
(5) Verifikasi
faktual sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan paling lama 14 (empat
belas) Hari terhitung sejak dokumen syarat dukungan pasangan calon perseorangan
diserahkan ke PPS.
(6) Verifikasi
faktual sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dilakukan dengan metode
sensus dengan menemui langsung setiap pendukung calon.
(7) Verifikasi
faktual sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5), terhadap pendukung
calon yang tidak dapat ditemui pada saat verifikasi faktual, pasangan calon
diberikan kesempatan untuk menghadirkan pendukung calon yang dimaksud di kantor
PPS paling lambat 3 (tiga) Hari terhitung sejak PPS tidak dapat menemui
pendukung tersebut.
(8) Jika
pasangan calon tidak dapat menghadirkan pendukung calon dalam verifikasi
faktual sebagaimana dimaksud pada ayat (7), maka dukungan calon dinyatakan
tidak memenuhi syarat.
(9) Hasil
verifikasi faktual berdasarkan nama sebagaimana dimaksud pada ayat (6), ayat
(7), dan ayat (8) tidak diumumkan.
(10) Hasil
verifikasi dokumen syarat dukungan pasangan calon perseorangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (5), ayat (6), ayat (7), dan ayat (8) dituangkan dalam
berita acara yang selanjutnya diteruskan kepada PPK dan salinan hasil
verifikasi disampaikan kepada pasangan calon.
(11) PPK
melakukan verifikasi dan rekapitulasi jumlah dukungan pasangan calon untuk
menghindari adanya seseorang yang memberikan dukungan kepada lebih dari 1
(satu) pasangan calon dan adanya informasi manipulasi dukungan yang
dilaksanakan paling lama 7 (tujuh) Hari.
(12) Hasil
verifikasi dukungan pasangan calon perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(11) dituangkan dalam berita acara yang selanjutnya diteruskan kepada KPU
Kabupaten/Kota dan salinan hasil verifikasi dan rekapitulasi disampaikan kepada
pasangan calon.
(13) Dalam
Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati, dan
Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota, salinan hasil verifikasi dan
rekapitulasi sebagaimana dimaksud pada ayat (12) dipergunakan oleh pasangan
calon perseorangan sebagai bukti pemenuhan persyaratan dukungan pencalonan.
(14) KPU
Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota melakukan verifikasi dan rekapitulasi jumlah
dukungan pasangan calon untuk menghindari adanya seseorang yang memberikan
dukungan kepada lebih dari 1 (satu) pasangan calon dan adanya informasi
manipulasi dukungan yang dilaksanakan paling lama 7 (tujuh) Hari.
(15) Ketentuan
lebih lanjut mengenai mekanisme dan tata cara verifikasi diatur dalam Peraturan KPU.
17. Ketentuan
Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 54
(1)
Dalam
hal pasangan calon atau salah satu calon dari pasangan calon meninggal dunia
dalam jangka waktu sejak penetapan pasangan calon sampai dengan hari pemungutan
suara, Partai Politik atau gabungan Partai Politik dapat mengusulkan pasangan
calon atau salah satu calon dari pasangan calon pengganti paling lambat 30
(tiga puluh) Hari sebelum hari pemungutan suara.
(2)
Partai
Politik atau gabungan Partai Politik mengusulkan pasangan calon atau salah satu
calon dari pasangan calon pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
lambat 7 (tujuh) Hari terhitung sejak pasangan calon atau salah satu calon dari
pasangan calon meninggal dunia.
(3)
KPU
Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota meneliti persyaratan administrasi pasangan
calon atau salah satu calon dari pasangan calon pengganti sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) Hari
terhitung sejak tanggal pengusulan.
(4)
Dalam
hal pasangan calon atau salah satu calon dari pasangan calon pengganti memenuhi
persyaratan berdasarkan hasil penelitian administrasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (3), KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota menetapkan pasangan calon atau
salah satu calon dari pasangan calon pengganti dalam jangka waktu paling lambat
1 (satu) Hari terhitung sejak dinyatakan memenuhi syarat.
(5)
Dalam
hal Partai Politik atau gabungan Partai Politik tidak mengusulkan pasangan
calon pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dinyatakan
gugur dan tidak dapat mengikuti Pemilihan.
(6)
Dalam
hal Partai Politik atau gabungan Partai Politik tidak mengusulkan salah satu
calon dari pasangan calon pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2), salah satu calon yang tidak meninggal dunia, dinyatakan gugur dan tidak
dapat mengikuti Pemilihan.
(7)
Dalam
hal salah satu calon dari pasangan calon meninggal dunia dalam jangka waktu 29
(dua puluh sembilan) Hari sebelum hari pemungutan suara, Partai Politik atau
gabungan Partai Politik tidak dapat mengusulkan calon pengganti, dan salah satu
calon dari pasangan calon yang tidak meninggal dunia ditetapkan sebagai
pasangan calon Pemilihan.
(8)
Dalam
hal salah satu calon dari pasangan calon meninggal dunia sebagaimana dimaksud
pada ayat (7), KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota wajib mengumumkan kepada
masyarakat.
18. Di antara Pasal 54 dan Pasal 55 disisipkan 4
(empat) pasal, yakni Pasal 54A, Pasal 54B, Pasal 54C, dan Pasal 54D yang
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 54A
(1)
Dalam
hal pasangan calon perseorangan meninggal dunia terhitung sejak ditetapkan
sebagai pasangan calon sampai dengan hari pemungutan suara, pasangan calon
dinyatakan gugur serta tidak dapat mengikuti Pemilihan.
(2)
Dalam
hal salah satu calon dari pasangan calon perseorangan meninggal dunia terhitung
sejak ditetapkan sebagai pasangan calon sampai dengan hari pemungutan suara,
calon perseorangan dapat mengusulkan calon pengganti paling lambat 30 (tiga
puluh) Hari sebelum hari pemungutan suara untuk ditetapkan sebagai pasangan
calon Pemilihan.
(3)
Dalam
hal salah satu calon dari pasangan calon perseorangan meninggal dunia
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota wajib
mengumumkan kepada masyarakat.
Pasal 54B
Ketentuan
mengenai meninggalnya pasangan calon atau salah satu calon dari pasangan calon
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 dan Pasal 54A berlaku secara mutatis
mutandis terhadap pasangan calon atau salah satu calon dari pasangan calon dalam
Pemilihan 1 (satu) pasangan calon.
Pasal
54C
(1) Pemilihan
1 (satu) pasangan calon dilaksanakan dalam hal memenuhi kondisi:
a. setelah
dilakukan penundaan dan sampai dengan berakhirnya masa perpanjangan
pendaftaran, hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon yang mendaftar dan
berdasarkan hasil penelitian pasangan calon tersebut dinyatakan memenuhi
syarat;
b. terdapat
lebih dari 1 (satu) pasangan calon yang mendaftar dan berdasarkan hasil
penelitian hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon yang dinyatakan memenuhi
syarat dan setelah dilakukan penundaan sampai dengan berakhirnya masa pembukaan
kembali pendaftaran tidak terdapat pasangan calon yang mendaftar atau pasangan
calon yang mendaftar berdasarkan hasil penelitian dinyatakan tidak memenuhi syarat
yang mengakibatkan hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon;
c. sejak
penetapan pasangan calon sampai dengan saat dimulainya masa Kampanye terdapat
pasangan calon yang berhalangan tetap, Partai Politik atau Gabungan Partai
Politik tidak mengusulkan calon/pasangan calon pengganti atau calon/pasangan
calon pengganti yang diusulkan dinyatakan tidak memenuhi syarat yang
mengakibatkan hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon;
d. sejak
dimulainya masa Kampanye sampai dengan hari pemungutan suara terdapat pasangan
calon yang berhalangan tetap, Partai Politik atau Gabungan Partai Politik tidak
mengusulkan calon/pasangan calon pengganti atau calon/pasangan calon pengganti
yang diusulkan dinyatakan tidak memenuhi syarat yang mengakibatkan hanya
terdapat 1 (satu) pasangan calon; atau
e. terdapat
pasangan calon yang dikenakan sanksi pembatalan sebagai peserta Pemilihan yang
mengakibatkan hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon.
(2) Pemilihan
1 (satu) pasangan calon dilaksanakan dengan menggunakan surat suara yang memuat
2 (dua) kolom yang terdiri atas 1 (satu) kolom yang memuat foto pasangan calon
dan 1 (satu) kolom kosong yang tidak bergambar.
(3) Pemberian
suara dilakukan dengan cara mencoblos.
Pasal
54D
(1)
KPU
Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota menetapkan pasangan calon terpilih pada
Pemilihan 1 (satu) pasangan calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54C, jika
mendapatkan suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari suara sah.
(2)
Jika
perolehan suara pasangan calon kurang dari sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
pasangan calon yang kalah dalam Pemilihan boleh mencalonkan lagi dalam
Pemilihan berikutnya.
(3)
Pemilihan
berikutnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diulang kembali pada tahun
berikutnya atau dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang dimuat dalam peraturan
perundang-undangan.
(4)
Dalam
hal belum ada pasangan calon terpilih terhadap hasil Pemilihan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), Pemerintah menugaskan penjabat Gubernur,
penjabat Bupati, atau penjabat Walikota.
(5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pemilihan
1 (satu) pasangan calon diatur dengan Peraturan KPU.
19. Ketentuan
ayat (2) Pasal 57 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 57
(1) Untuk
dapat menggunakan hak memilih, warga negara Indonesia harus terdaftar sebagai
Pemilih.
(2) Dalam hal
warga negara Indonesia tidak terdaftar sebagai Pemilih sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), pada saat pemungutan suara menunjukkan Kartu Tanda Penduduk
Elektronik.
(3) Untuk
dapat didaftar sebagai Pemilih, warga negara Indonesia sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus memenuhi syarat:
a. tidak
sedang terganggu jiwa/ingatannya; dan/atau
b. tidak
sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap.
(4) Warga
negara Indonesia yang tidak terdaftar dalam daftar Pemilih dan pada saat
pemungutan suara tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau
ayat (3), yang bersangkutan tidak dapat menggunakan hak memilihnya.
20. Ketentuan
Pasal 58 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 58
(1)
Daftar
Pemilih Tetap pemilihan umum terakhir digunakan sebagai sumber pemutakhiran
data pemilihan dengan mempertimbangkan Daftar Penduduk Potensial Pemilih
Pemilihan.
(2)
Daftar
Penduduk Potensial Pemilih Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal
dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten/Kota yang telah
dikonsolidasikan, diverifikasi, dan divalidasi oleh Menteri digunakan sebagai
bahan penyusunan daftar Pemilih untuk Pemilihan.
(3)
Daftar
pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) oleh PPS dilakukan
pemutakhiran berdasarkan perbaikan dari rukun tetangga, rukun warga, atau
sebutan lain dan tambahan Pemilih yang telah memenuhi persyaratan sebagai
Pemilih paling lambat 14 (empat belas) Hari terhitung sejak diterimanya hasil
konsolidasi, verifikasi, dan validasi.
(4)
Daftar
Pemilih hasil pemutakhiran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diserahkan kepada
PPK untuk dilakukan rekapitulasi daftar Pemilih tingkat PPK.
(5)
Rekapitulasi
daftar Pemilih hasil pemutakhiran sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diserahkan
oleh PPK kepada KPU Kabupaten/Kota paling lambat 3 (tiga) Hari terhitung sejak
selesainya pemutakhiran untuk dilakukan rekapitulasi daftar Pemilih tingkat
kabupaten/kota, yang kemudian ditetapkan sebagai Daftar Pemilih Sementara.
(6)
Daftar
Pemilih Sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diumumkan secara luas dan
melalui papan pengumuman rukun tetangga dan rukun warga atau sebutan lain oleh
PPS untuk mendapatkan masukan dan tanggapan dari masyarakat selama 10 (sepuluh)
Hari.
(7)
PPS
memperbaiki Daftar Pemilih Sementara berdasarkan masukan dan tanggapan dari
masyarakat paling lama 5 (lima) Hari terhitung sejak masukan dan tanggapan dari
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (6) berakhir.
(8)
Daftar
Pemilih Sementara yang telah diperbaiki sebagaimana dimaksud pada ayat (7)
diserahkan kepada KPU Kabupaten/Kota untuk ditetapkan sebagai Daftar Pemilih
Tetap dan diumumkan oleh PPS paling lama 2 (dua) Hari terhitung sejak jangka
waktu penyusunan Daftar Pemilih Tetap berakhir.
(9)
Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara pemutakhiran data Pemilih diatur dengan Peraturan KPU.
21. Ketentuan
Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 59
Penduduk
yang telah terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap diberi surat pemberitahuan
sebagai Pemilih oleh PPS.
22. Ketentuan
ayat (1) dan ayat (2) Pasal 61 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 61
(1)
Dalam
hal masih terdapat penduduk yang mempunyai hak pilih belum terdaftar dalam
daftar Pemilih tetap, yang bersangkutan dapat menggunakan hak pilihnya dengan
menunjukkan Kartu Tanda Penduduk Elektronik.
(2)
Penggunaan
hak pilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat digunakan di tempat
pemungutan suara yang berada di rukun tetangga atau rukun warga atau sebutan
lain sesuai dengan alamat yang tertera dalam Kartu Tanda Penduduk Elektronik.
(3)
Sebelum
menggunakan hak pilihnya penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlebih
dahulu mendaftarkan diri pada KPPS setempat dan dicatat dalam daftar Pemilih
tambahan.
(4)
Penggunaan
hak pilih penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan 1 (satu) jam
sebelum selesainya pemungutan suara di TPS.
23. Ketentuan
ayat (2) Pasal 63 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 63
(1)
Kampanye
dilaksanakan sebagai wujud dari pendidikan politik masyarakat yang dilaksanakan
secara bertanggung jawab.
(2)
Kampanye
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Partai Politik dan/atau
pasangan calon dan dapat difasilitasi oleh KPU Provinsi untuk Pemilihan
Gubernur dan Wakil Gubernur dan KPU Kabupaten/Kota untuk Pemilihan Bupati dan
Wakil Bupati, serta Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota.
(3)
Jadwal
pelaksanaan Kampanye ditetapkan oleh KPU Provinsi untuk Pemilihan Gubernur dan
Wakil Gubernur dan KPU Kabupaten/Kota untuk Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati
serta Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota dengan memperhatikan usul dari
pasangan calon.
(4)
Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan Kampanye sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diatur dengan Peraturan KPU.
24. Di antara ayat (2) dan ayat (3) Pasal 65
disisipkan 2 (dua) ayat, yakni ayat (2a) dan ayat (2b) yang berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 65
(1) Kampanye
dapat dilaksanakan melalui:
a. pertemuan
terbatas;
b. pertemuan
tatap muka dan dialog;
c. debat
publik/debat terbuka antarpasangan calon;
d. penyebaran
bahan Kampanye kepada umum;
e. pemasangan
alat peraga;
f. iklan media
massa cetak dan media massa elektronik; dan/atau
g. kegiatan
lain yang tidak melanggar larangan Kampanye dan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Kampanye
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f
difasilitasi oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota yang didanai Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah.
(2a) Kampanye
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b didanai dan dilaksanakan
oleh Partai Politik dan/atau pasangan calon.
(2b) Kampanye
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan huruf e dapat didanai dan
dilaksanakan oleh Partai Politik dan/atau pasangan calon.
(3) Ketentuan
lebih lanjut mengenai pelaksanaan metode Kampanye sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) sampai dengan ayat (2b) diatur
dengan Peraturan KPU.
25. Ketentuan
ayat (2) dan ayat (4) Pasal 68 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 68
(1) Debat
publik/debat terbuka antar calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1)
huruf c dilaksanakan paling banyak 3 (tiga) kali oleh KPU Provinsi dan KPU
Kabupaten/Kota.
(2) Debat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disiarkan secara langsung atau siaran tunda
melalui lembaga penyiaran publik.
(3) Moderator
debat dipilih oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dari kalangan
profesional dan akademisi yang mempunyai integritas, jujur, simpatik, dan tidak
memihak kepada salah satu calon.
(4) Materi
debat adalah visi, misi, dan program Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur,
Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil
Walikota dalam rangka:
a. meningkatkan
kesejahteraan masyarakat;
b. memajukan
daerah;
c. meningkatkan
pelayanan kepada masyarakat;
d. menyelesaikan
persoalan daerah;
e. menyerasikan
pelaksanaan pembangunan daerah kabupaten/kota dan provinsi dengan nasional; dan
f. memperkokoh
Negara Kesatuan Republik Indonesia dan kebangsaan.
(5) Moderator
dilarang memberikan komentar, penilaian, dan kesimpulan apapun terhadap
penyampaian materi debat dari setiap pasangan calon.
26. Ketentuan
Pasal 70 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 70
(1) Dalam
kampanye, pasangan calon dilarang melibatkan:
a. pejabat badan
usaha milik negara/badan usaha milik daerah;
b. aparatur
sipil Negara, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan anggota Tentara
Nasional Indonesia; dan
c. Kepala Desa
atau sebutan lain/Lurah dan perangkat Desa atau sebutan lain/perangkat Kelurahan.
(2) Gubernur
dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota,
pejabat negara lainnya, serta pejabat daerah dapat ikut dalam kampanye dengan
mengajukan izin kampanye sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Gubernur
dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota, yang
mencalonkan kembali pada daerah yang sama, selama masa kampanye harus memenuhi
ketentuan:
a. menjalani
cuti di luar tanggungan negara; dan
b. dilarang
menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya.
(4) Cuti
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bagi Gubernur dan Wakil Gubernur diberikan
oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden, dan bagi Bupati dan Wakil Bupati
serta Walikota dan Wakil Walikota diberikan oleh Gubernur atas nama Menteri.
(5) Cuti yang
telah diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), wajib diberitahukan oleh
Gubernur dan Wakil Gubernur kepada KPU Provinsi, dan bagi Bupati dan Wakil
Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota kepada KPU Kabupaten/Kota.
27. Ketentuan
Pasal 71 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 71
(1)
Pejabat
negara, pejabat daerah, pejabat aparatur sipil negara, anggota TNI/POLRI, dan
Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah dilarang membuat keputusan dan/atau
tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon.
(2)
Gubernur
atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota
dilarang melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan
pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan
tertulis dari Menteri.
(3)
Gubernur
atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota
dilarang menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau
merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah
lain dalam waktu 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai
dengan penetapan pasangan calon terpilih.
(4)
Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) berlaku juga untuk
penjabat Gubernur atau Penjabat Bupati/Walikota.
(5)
Dalam
hal Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau
Wakil Walikota selaku petahana melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dan ayat (3), petahana tersebut dikenai sanksi pembatalan sebagai
calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.
(6)
Sanksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) yang bukan petahana
diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
28. Ketentuan
Pasal 73 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 73
(1) Calon
dan/atau tim Kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi
lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara Pemilihan dan/atau Pemilih.
(2) Calon
yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berdasarkan putusan Bawaslu Provinsi dapat dikenai sanksi administrasi
pembatalan sebagai pasangan calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.
(3) Tim
Kampanye yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Selain
Calon atau Pasangan Calon, anggota Partai Politik, tim kampanye, dan relawan,
atau pihak lain juga dilarang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum
menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada
warga negara Indonesia baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk:
a.
mempengaruhi Pemilih untuk tidak menggunakan hak pilih;
b.
menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga mengakibatkan suara tidak
sah; dan
c.
mempengaruhi untuk memilih calon tertentu atau tidak memilih calon tertentu.
(5) Pemberian
sanksi administrasi terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
tidak menggugurkan sanksi pidana.
29. Ketentuan
Pasal 74 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 74
(1) Dana
Kampanye pasangan calon yang diusulkan Partai Politik atau gabungan Partai
Politik dapat diperoleh dari:
a. sumbangan
Partai Politik dan/atau gabungan Partai Politik yang mengusulkan pasangan
calon;
b. sumbangan
pasangan calon; dan/atau
c. sumbangan
pihak lain yang tidak mengikat yang meliputi sumbangan perseorangan dan/atau
badan hukum swasta.
(2) Dana
Kampanye pasangan calon perseorangan dapat diperoleh dari sumbangan pasangan
calon, sumbangan pihak lain yang tidak mengikat yang meliputi sumbangan
perseorangan dan/atau badan hukum swasta.
(3) Partai
Politik atau gabungan Partai Politik yang mengusulkan pasangan calon wajib
memiliki rekening khusus dana Kampanye atas nama pasangan calon dan didaftarkan
kepada KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.
(4) Pasangan
calon perseorangan bertindak sebagai penerima sumbangan dana Kampanye
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan wajib memiliki rekening khusus dana
Kampanye dan didaftarkan kepada KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.
(5) Sumbangan
dana Kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan ayat (2) dari
perseorangan paling banyak Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah) dan
dari badan hukum swasta paling banyak 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh
juta rupiah).
(6) Partai
Politik dan/atau gabungan Partai Politik yang mengusulkan pasangan calon dan
pasangan calon perseorangan dapat menerima dan/atau menyetujui sumbangan yang
bukan dalam bentuk uang secara langsung untuk kegiatan Kampanye yang jika
dikonversi berdasar harga pasar nilainya tidak melebihi sumbangan dana Kampanye
sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
(7) Pemberi
sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) harus mencantumkan
identitas yang jelas.
(8) Penggunaan
dana Kampanye pasangan calon wajib dilaksanakan secara transparan dan akuntabel
sesuai standar akuntasi keuangan.
(9) Pembatasan
dana Kampanye pasangan calon ditetapkan oleh KPU Provinsi dan KPU
Kabupaten/Kota dengan mempertimbangkan jumlah pemilih, cakupan/luas wilayah,
dan standar biaya daerah.
30. Di antara ayat (2) dan ayat (3) Pasal 85
disisipkan 2 (dua) ayat, yakni ayat (2a) dan ayat (2b) sehingga Pasal 85
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 85
(1) Pemberian
suara untuk Pemilihan dapat dilakukan dengan cara:
a.
memberi tanda satu kali pada surat suara; atau
b.
memberi suara melalui peralatan Pemilihan suara secara elektronik.
(2) Pemberian
tanda satu kali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan
berdasarkan prinsip memudahkan Pemilih, akurasi dalam penghitungan suara, dan
efisiensi dalam penyelenggaraan Pemilihan.
(2a) Pemberian
suara secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan
dengan mempertimbangkan kesiapan Pemerintah Daerah dari segi infrastruktur dan
kesiapan masyarakat berdasarkan prinsip efisiensi dan mudah.
(2b) Dalam
hal hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon yang mendaftar dan berdasarkan hasil
penelitian pasangan calon tersebut dinyatakan memenuhi syarat, pemberian suara
untuk Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara mencoblos
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54C ayat (3).
(3) Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara pemberian suara sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Peraturan KPU.
31. Ketentuan Pasal 107 ditambah 1 (satu) ayat,
yakni ayat (3) sehingga Pasal 107 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 107
(1)
Pasangan
Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta pasangan Calon Walikota dan Calon
Wakil Walikota yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pasangan
Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati terpilih serta pasangan Calon Walikota dan
Calon Wakil Walikota terpilih.
(2)
Dalam
hal terdapat jumlah perolehan suara yang sama untuk Pemilihan Bupati dan Wakil
Bupati serta Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota, pasangan calon yang
memperoleh dukungan Pemilih yang lebih merata penyebarannya di seluruh
kecamatan di kabupaten/kota tersebut ditetapkan sebagai pasangan Calon Bupati
dan Calon Wakil Bupati serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota
terpilih.
(3)
Dalam
hal hanya terdapat 1 (satu) pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta
pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota peserta Pemilihan memperoleh
suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari suara sah, ditetapkan sebagai
pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati terpilih serta pasangan Calon Walikota
dan Calon Wakil Walikota terpilih.
32. Ketentuan Pasal 109 ditambah 1 (satu) ayat,
yakni ayat (3) sehingga Pasal 109 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 109
(1)
Pasangan
Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur yang memperoleh suara terbanyak
ditetapkan sebagai pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur terpilih.
(2)
Dalam
hal terdapat jumlah perolehan suara yang sama untuk Pemilihan Gubernur dan
Wakil Gubernur, pasangan calon yang memperoleh dukungan Pemilih yang lebih
merata penyebarannya di seluruh kabupaten/kota di provinsi tersebut ditetapkan
sebagai pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur terpilih.
(3)
Dalam
hal hanya terdapat 1 (satu) pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur
peserta Pemilihan memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari
suara sah, ditetapkan sebagai pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur
terpilih.
33. Di antara Pasal 133 dan Pasal 134 disisipkan 1
(satu) pasal, yakni Pasal 133A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 133A
Pemerintahan
Daerah bertanggung jawab mengembangkan kehidupan demokrasi di daerah, khususnya
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak pilih.
34. Di antara Pasal 135 dan Pasal 136 disisipkan 1
(satu) pasal, yakni Pasal 135A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 135A
(1) Pelanggaran
administrasi Pemilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2) merupakan
pelanggaran yang terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif.
(2) Bawaslu
Provinsi menerima, memeriksa, dan memutus pelanggaran administrasi Pemilihan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 14 (empat
belas) hari kerja.
(3) Pemeriksaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilakukan secara terbuka dan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) KPU Provinsi
atau KPU Kabupaten/Kota wajib menindaklanjuti putusan Bawaslu Provinsi dengan
menerbitkan keputusan KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota dalam jangka waktu
paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak diterbitkannya putusan
Bawaslu Provinsi.
(5) Keputusan
KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat
berupa sanksi administrasi pembatalan pasangan calon.
(6) Pasangan
calon yang dikenai sanksi administrasi pembatalan sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) dapat mengajukan upaya hukum ke Mahkamah Agung dalam jangka waktu
paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak keputusan KPU Provinsi atau
KPU Kabupaten/Kota ditetapkan.
(7) Mahkamah
Agung memutus upaya hukum pelanggaran administrasi Pemilihan sebagaimana
dimaksud pada ayat (6) dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari
kerja terhitung sejak berkas perkara diterima oleh Mahkamah Agung.
(8) Dalam hal
putusan Mahkamah Agung membatalkan keputusan KPU Provinsi atau KPU
Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (6), KPU Provinsi atau KPU
Kabupaten/Kota wajib menetapkan kembali sebagai pasangan calon.
(9) Putusan
Mahkamah Agung bersifat final dan mengikat.
(10) Ketentuan
lebih lanjut mengenai pelanggaran administrasi Pemilihan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bawaslu.
35. Ketentuan
Pasal 144 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 144
(1)
Putusan
Bawaslu Provinsi dan Putusan Panwas Kabupaten/Kota mengenai penyelesaian
sengketa Pemilihan merupakan Putusan bersifat mengikat.
(2)
KPU
Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota wajib menindaklanjuti putusan Bawaslu
Provinsi dan/atau putusan Panwas Kabupaten/Kota mengenai penyelesaian sengketa
Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 3 (tiga) hari kerja.
(3)
Seluruh
proses pengambilan Putusan Bawaslu Provinsi dan Putusan Panwas Kabupaten/Kota
wajib dilakukan melalui proses yang terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan.
(4)
Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara penyelesaian sengketa diatur dengan Peraturan
Bawaslu.
36. Ketentuan
Pasal 146 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 146
(1)
Penyidik
Kepolisian Negara Republik Indonesia yang tergabung dalam sentra penegakan
hukum terpadu dapat melakukan penyelidikan setelah adanya laporan pelanggaran
Pemilihan yang diterima oleh Bawaslu Provinsi maupun Panwas Kabupaten/Kota.
(2)
Penyidik
Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam
menjalankan tugas dapat melakukan penggeledahan, penyitaan, dan pengumpulan
alat bukti untuk kepentingan penyelidikan maupun penyidikan tanpa surat izin
ketua pengadilan negeri setempat.
(3)
Penyidik
Kepolisian Negara Republik Indonesia menyampaikan hasil penyidikan disertai
berkas perkara kepada penuntut umum paling lama 14 (empat belas) hari kerja
terhitung sejak laporan diterima dari Bawaslu Provinsi maupun Panwas
Kabupaten/Kota.
(4)
Dalam
hal hasil penyidikan belum lengkap, dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja
penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada Penyidik Kepolisian Negara
Republik Indonesia disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk
dilengkapi.
(5)
Penyidik
Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari
kerja terhitung sejak tanggal penerimaan berkas sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara tersebut kepada penuntut
umum.
(6)
Penuntut
umum melimpahkan berkas perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) kepada
Pengadilan Negeri paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak menerima
berkas perkara dari penyidik.
37. Ketentuan
Pasal 152 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 152
(1)
Untuk
menyamakan pemahaman dan pola penanganan tindak pidana Pemilihan, Bawaslu
Provinsi, dan/atau Panwas Kabupaten/Kota, Kepolisian Daerah dan/atau Kepolisian
Resor, dan Kejaksaan Tinggi dan/atau Kejaksaan Negeri membentuk sentra
penegakan hukum terpadu.
(2)
Sentra
penegakan hukum terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melekat pada
Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Panwas Kabupaten/Kota.
(3)
Anggaran
operasional sentra penegakan hukum terpadu dibebankan pada Anggaran Bawaslu.
(4)
Ketentuan
mengenai sentra penegakan hukum terpadu diatur dengan peraturan bersama antara
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia,
dan Ketua Bawaslu.
(5)
Peraturan
bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan setelah berkonsultasi
dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah dalam forum rapat dengar pendapat
yang keputusannya bersifat mengikat.
38. Ketentuan
Pasal 153 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 153
(1)
Sengketa
tata usaha negara Pemilihan merupakan sengketa yang timbul dalam bidang tata
usaha negara Pemilihan antara Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon
Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota
dengan KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota sebagai akibat dikeluarkannya
Keputusan KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota.
(2)
Peradilan
Tata Usaha Negara dalam menerima, memeriksa, mengadili, dan memutus sengketa
Tata Usaha Negara Pemilihan menggunakan Hukum Acara Tata Usaha Negara, kecuali
ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
39. Ketentuan
Pasal 154 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 154
(1)
Peserta
Pemilihan mengajukan keberatan terhadap keputusan KPU Provinsi atau keputusan
KPU Kabupaten/Kota kepada Bawaslu Provinsi dan/atau Panwas Kabupaten/Kota dalam
jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak keputusan KPU
Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota ditetapkan.
(2)
Pengajuan
gugatan atas sengketa tata usaha negara Pemilihan ke Pengadilan Tinggi Tata
Usaha Negara dilakukan setelah seluruh upaya administratif di Bawaslu Provinsi
dan/atau Panwas Kabupaten/Kota telah dilakukan.
(3)
Dalam
hal pengajuan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kurang lengkap,
penggugat dapat memperbaiki dan melengkapi gugatan dalam jangka waktu paling
lama 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak diterimanya gugatan oleh Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara.
(4)
Apabila
dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) penggugat belum
menyempurnakan gugatan, hakim memberikan putusan bahwa gugatan tidak dapat
diterima.
(5)
Terhadap
putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dapat dilakukan upaya hukum.
(6)
Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara memeriksa dan memutus gugatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari kerja
terhitung sejak gugatan dinyatakan lengkap.
(7)
Terhadap
putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
hanya dapat dilakukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia.
(8)
Permohonan
kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diajukan dalam jangka waktu paling
lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak diterbitkannya putusan.
(9)
Mahkamah
Agung Republik Indonesia wajib memberikan putusan atas permohonan kasasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dalam jangka waktu paling lama 20 (dua
puluh) hari kerja terhitung sejak permohonan kasasi diterima.
(10)
Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (9) bersifat
final dan mengikat serta tidak dapat dilakukan upaya hukum peninjauan kembali.
(11)
KPU
Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota wajib menindaklanjuti putusan Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (6) atau putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (9) dalam
jangka waktu paling lama 7 (tujuh) Hari.
(12)
KPU
Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota wajib menindaklanjuti putusan Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara atau putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
mengenai keputusan tentang penetapan pasangan calon peserta Pemilihan sepanjang
tidak melewati tahapan paling lambat 30 (tiga puluh) Hari sebelum hari
pemungutan suara.
40. Ketentuan
Pasal 156 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 156
(1)
Perselisihan
hasil Pemilihan merupakan perselisihan antara KPU Provinsi dan/atau KPU
Kabupaten/Kota dan peserta Pemilihan mengenai penetapan perolehan suara hasil
Pemilihan.
(2)
Perselisihan
penetapan perolehan suara hasil Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah perselisihan penetapan perolehan suara yang signifikan dan dapat
mempengaruhi penetapan calon terpilih.
41. Ketentuan
Pasal 157 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 157
(1)
Perkara
perselisihan hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh badan peradilan khusus.
(2)
Badan
peradilan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk sebelum
pelaksanaan Pemilihan serentak nasional.
(3)
Perkara
perselisihan penetapan perolehan suara tahap akhir hasil Pemilihan diperiksa
dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi sampai dibentuknya badan peradilan khusus.
(4)
Peserta
Pemilihan dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan
perolehan suara oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota kepada Mahkamah
Konstitusi.
(5)
Peserta
Pemilihan mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak diumumkan
penetapan perolehan suara hasil Pemilihan oleh KPU Provinsi atau KPU
Kabupaten/Kota.
(6)
Pengajuan
permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilengkapi alat/dokumen bukti dan
Keputusan KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota tentang hasil rekapitulasi
penghitungan suara.
(7)
Dalam
hal pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) kurang lengkap,
pemohon dapat memperbaiki dan melengkapi permohonan paling lama 3 (tiga) hari
kerja sejak diterimanya permohonan oleh Mahkamah Konstitusi.
(8)
Mahkamah
Konstitusi memutuskan perkara perselisihan sengketa hasil Pemilihan paling lama
45 (empat puluh lima) hari kerja sejak diterimanya permohonan.
(9)
Putusan
Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (8) bersifat final dan
mengikat.
(10) KPU Provinsi
dan/atau KPU Kabupaten/Kota wajib menindaklanjuti putusan
Mahkamah Konstitusi.
42. Ketentuan
Pasal 158 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 158
(1) Peserta
pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dapat mengajukan permohonan pembatalan
penetapan hasil penghitungan suara dengan ketentuan:
a. provinsi
dengan jumlah penduduk sampai dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa, pengajuan
perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak
sebesar 2% (dua persen) dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap
akhir yang ditetapkan oleh KPU Provinsi;
b. provinsi
dengan jumlah penduduk lebih dari 2.000.000 (dua juta) sampai dengan 6.000.000
(enam juta), pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat
perbedaan paling banyak sebesar 1,5% (satu koma lima persen) dari total suara
sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU Provinsi;
c. provinsi
dengan jumlah penduduk lebih dari 6.000.000 (enam juta) sampai dengan
12.000.000 (dua belas juta) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara
dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1% (satu persen) dari
total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU
Provinsi; dan
d. provinsi
dengan jumlah penduduk lebih dari 12.000.000 (dua belas juta) jiwa, pengajuan
perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak
sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dari total suara sah hasil penghitungan
suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU Provinsi.
(2) Peserta
Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota dapat
mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara
dengan ketentuan:
a. kabupaten/kota
dengan jumlah penduduk sampai dengan 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa,
pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling
banyak sebesar 2% (dua persen) dari total suara sah hasil penghitungan suara
tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU Kabupaten/Kota;
b. kabupaten/kota
dengan jumlah penduduk lebih dari 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa
sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan
suara dilakukan apabila terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1,5% (satu
koma lima persen) dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir
yang ditetapkan oleh KPU Kabupaten/Kota;
c. kabupaten/kota
dengan jumlah penduduk lebih dari 500.000 (lima ratus ribu) jiwa sampai dengan
1.000.000 (satu juta) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan
jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1% (satu persen) dari total suara
sah hasil penghitungan suara tahap akhir KPU Kabupaten/Kota; dan
d. kabupaten/kota
dengan jumlah penduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa, pengajuan
perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak
sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dari total suara sah hasil penghitungan
suara tahap akhir KPU Kabupaten/Kota.
43. Ketentuan
Pasal 160A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 160A
(1)
Dalam
hal DPRD Provinsi tidak menyampaikan usulan pengesahan pengangkatan pasangan
calon Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih kepada Presiden melalui Menteri,
dalam jangka waktu 5 (lima) hari kerja sejak KPU Provinsi menyampaikan
penetapan pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih kepada DPRD
Provinsi, Presiden berdasarkan usulan Menteri mengesahkan pengangkatan pasangan
calon Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih berdasarkan usulan KPU Provinsi
melalui KPU.
(2)
Dalam
hal DPRD Kabupaten/Kota tidak menyampaikan usulan pengesahan pengangkatan
pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati serta pasangan calon Walikota dan Wakil
Walikota terpilih kepada Menteri melalui Gubernur, dalam jangka waktu 5 (lima)
hari kerja sejak KPU Kabupaten/Kota menyampaikan penetapan pasangan calon
Bupati dan Wakil Bupati serta pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota
terpilih kepada DPRD Kabupaten/Kota, Menteri berdasarkan usulan Gubernur
mengesahkan pengangkatan pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati serta pasangan
calon Walikota dan Wakil Walikota terpilih berdasarkan usulan KPU
Kabupaten/Kota melalui KPU Provinsi.
(3)
Dalam
hal Gubernur tidak menyampaikan usulan penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) kepada Menteri, Menteri mengesahkan pengangkatan pasangan calon Bupati dan
Wakil Bupati serta pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota terpilih
berdasarkan usulan KPU Kabupaten/Kota melalui KPU Provinsi.
(4)
Pengesahan
pengangkatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
dilakukan paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak diterimanya usulan.
(5)
Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara pengesahan pengangkatan pasangan calon terpilih
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
44. Ketentuan
Pasal 162 ayat (3) diubah sehingga Pasal 162 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 162
(1)
Gubernur
dan Wakil Gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 161 ayat (1) memegang
jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan dan sesudahnya
dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk 1 (satu) kali masa
jabatan.
(2)
Bupati
dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 161 ayat (3) memegang jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak
tanggal pelantikan dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama
hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
(3)
Gubernur,
Bupati, atau Walikota yang akan melakukan penggantian pejabat di lingkungan
Pemerintah Daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota, dalam jangka waktu 6 (enam)
bulan terhitung sejak tanggal pelantikan harus mendapatkan persetujuan tertulis
dari Menteri.
45. Ketentuan
Pasal 163 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 163
(1)
Gubernur
dan Wakil Gubernur dilantik oleh Presiden di ibu kota negara.
(2)
Dalam
hal Presiden berhalangan, pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur dilakukan oleh
Wakil Presiden.
(3)
Dalam
hal Wakil Presiden berhalangan, pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur
dilakukan oleh Menteri.
(4)
Dalam
hal calon Gubernur terpilih meninggal dunia, berhalangan tetap, atau
mengundurkan diri, calon Wakil Gubernur terpilih tetap dilantik menjadi Wakil
Gubernur meskipun tidak secara berpasangan.
(5)
Dalam
hal calon wakil Gubernur terpilih meninggal dunia, berhalangan tetap, atau
mengundurkan diri, calon Gubernur terpilih tetap dilantik menjadi Gubernur
meskipun tidak secara berpasangan.
(6)
Dalam
hal calon Gubernur dan/atau Calon Wakil Gubernur terpilih ditetapkan menjadi
tersangka pada saat pelantikan, yang bersangkutan tetap dilantik menjadi
Gubernur dan/atau Wakil Gubernur.
(7)
Dalam
hal calon Gubernur dan/atau Calon Wakil Gubernur terpilih ditetapkan menjadi
terdakwa pada saat pelantikan, yang bersangkutan tetap dilantik menjadi
Gubernur dan/atau Wakil Gubernur dan saat itu juga diberhentikan sementara
sebagai Gubernur dan/atau Wakil Gubernur.
(8)
Dalam
hal calon Gubernur dan/atau Calon Wakil Gubernur terpilih ditetapkan menjadi
terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap pada saat pelantikan, yang bersangkutan tetap dilantik menjadi Gubernur
dan/atau Wakil Gubernur dan saat itu juga diberhentikan sebagai Gubernur
dan/atau Wakil Gubernur.
46. Ketentuan
Pasal 164 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 164
(1)
Bupati
dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota dilantik oleh Gubernur di
ibu kota Provinsi yang bersangkutan.
(2)
Dalam
hal Gubernur berhalangan, pelantikan Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan
Wakil Walikota dilakukan oleh Wakil Gubernur.
(3)
Dalam
hal Gubernur dan/atau Wakil Gubernur tidak dapat melaksanakan sebagaimana
dimaksud pada ketentuan ayat (1) dan ayat (2), Menteri mengambil alih
kewenangan Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
(4)
Dalam
hal calon Bupati dan Calon Walikota terpilih meninggal dunia, berhalangan
tetap, atau mengundurkan diri, calon wakil Bupati dan Calon wakil Walikota
terpilih tetap dilantik menjadi Wakil Bupati dan Wakil Walikota meskipun tidak
secara berpasangan.
(5)
Dalam
hal calon Wakil Bupati, dan Calon Wakil Walikota terpilih meninggal dunia,
berhalangan tetap, atau mengundurkan diri, calon Bupati dan Calon Walikota
terpilih tetap dilantik menjadi Bupati, dan Walikota meskipun tidak secara
berpasangan.
(6)
Dalam
hal calon Bupati/Walikota dan/atau calon Wakil Bupati/Wakil Walikota terpilih
ditetapkan menjadi tersangka pada saat pelantikan, yang bersangkutan tetap
dilantik menjadi Bupati/Walikota dan/atau Wakil Bupati/Wakil Walikota.
(7)
Dalam
hal calon Bupati/Walikota dan/atau calon Wakil Bupati/Wakil Walikota terpilih
ditetapkan menjadi terdakwa pada saat pelantikan, yang bersangkutan tetap
dilantik menjadi Bupati/Walikota dan/atau Wakil Bupati/Wakil Walikota, kemudian
saat itu juga diberhentikan sementara sebagai Bupati/Walikota dan/atau Wakil
Bupati/Wakil Walikota.
(8)
Dalam
hal calon Bupati/Walikota dan/atau calon Wakil Bupati/Wakil Walikota terpilih
ditetapkan menjadi terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap pada saat pelantikan, yang bersangkutan tetap
dilantik menjadi Bupati/Walikota dan/atau Wakil Bupati/Wakil Walikota, kemudian
saat itu juga diberhentikan sebagai Bupati/Walikota dan/atau Wakil Bupati/Wakil
Walikota.
47. Di antara Pasal 164 dan Pasal 165 disisipkan 2
(dua) pasal, yakni Pasal 164A dan Pasal 164B sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 164A
(1)
Pelantikan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 163 dan Pasal 164 dilaksanakan secara
serentak.
(2)
Pelantikan
secara serentak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan pada akhir masa
jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota
dan Wakil Walikota periode sebelumnya yang paling akhir.
(3)
Dalam
hal terdapat 1 (satu) pasangan Bupati dan Wakil Bupati terpilih atau Walikota
dan Wakil Walikota terpilih yang tertunda dan tidak ikut pada pelantikan
serentak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Gubernur dapat melakukan
pelantikan di Ibu kota Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
(4)
Dalam
hal lebih dari 1 (satu) provinsi yang terdapat 1 (satu) pasangan Bupati dan
Wakil Bupati terpilih atau Walikota dan Wakil Walikota terpilih yang tertunda
dan tidak ikut pada pelantikan serentak sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Menteri dapat melakukan pelantikan secara bersamaan di Ibu kota Negara.
Pasal
164B
Presiden
sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan dapat melantik Bupati dan Wakil Bupati
serta Walikota dan Wakil Walikota secara serentak.
48. Ketentuan
Pasal 165 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 165
Ketentuan
mengenai jadwal dan tata cara pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati
dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota diatur dengan
Peraturan Presiden.
49.
Ketentuan ayat (2) dihapus sehingga Pasal 166 berbunyi sebagai berikut:
Pasal
166
(1)
Pendanaan
kegiatan Pemilihan dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, dan
dapat didukung oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2)
Dihapus.
(3)
Ketentuan
lebih lanjut mengenai pendanaan kegiatan Pemilihan yang bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah diatur dengan Peraturan Menteri.
50. Ketentuan
Pasal 173 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 173
(1) Dalam hal
Gubernur, Bupati, dan Walikota berhenti karena:
a.
meninggal dunia;
b.
permintaan sendiri; atau
c.
diberhentikan;
maka
Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota menggantikan Gubernur, Bupati,
dan Walikota.
(2) DPRD
Provinsi menyampaikan usulan pengesahan pengangkatan Wakil Gubernur menjadi
Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Presiden melalui Menteri
untuk disahkan pengangkatannya sebagai Gubernur.
(3) Dalam hal
DPRD Provinsi tidak menyampaikan usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak Gubernur berhenti, Presiden
berdasarkan usulan Menteri mengesahkan pengangkatan Wakil Gubernur sebagai
Gubernur berdasarkan:
a.
surat kematian;
b.
surat pernyataan pengunduran diri dari Gubernur; atau
c.
keputusan pemberhentian.
(4) DPRD
Kabupaten/Kota menyampaikan usulan pengangkatan dan pengesahan Wakil
Bupati/Wakil Walikota menjadi Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) kepada Menteri melalui Gubernur untuk diangkat dan disahkan sebagai
Bupati/Walikota.
(5) Dalam hal
DPRD Kabupaten/Kota tidak menyampaikan usulan sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak Bupati/Walikota
berhenti, Gubernur menyampaikan usulan kepada Menteri dan Menteri berdasarkan
usulan Gubernur mengangkat dan mengesahkan Wakil Bupati/Wakil Walikota sebagai
Bupati/Walikota.
(6) Dalam hal
Gubernur tidak menyampaikan usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dalam
waktu 5 (lima) hari kerja terhitung sejak diterimanya usulan dari DPRD Kabupaten/Kota
kepada Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Menteri berdasarkan usulan
DPRD Kabupaten/Kota mengangkat dan mengesahkan Wakil Bupati/Wakil Walikota
sebagai Bupati/Walikota.
(7) Dalam hal
Gubernur dan DPRD Kabupaten/Kota tidak menyampaikan usulan sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) dan ayat (5), Menteri mengesahkan pengangkatan Wakil Bupati/Wakil
Walikota menjadi Bupati/Walikota berdasarkan:
a.
surat kematian;
b.
surat pernyataan pengunduran diri dari Bupati/Walikota; atau
c.
keputusan pemberhentian.
(8) Ketentuan
mengenai tata cara pengisian Gubernur, Bupati, dan Walikota diatur dalam Peraturan Pemerintah.
51. Ketentuan
Pasal 174 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 174
(1)
Dalam
hal Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan
Wakil Walikota secara bersama-sama tidak dapat menjalankan tugas karena alasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1), dilakukan pengisian jabatan
melalui mekanisme pemilihan oleh DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota.
(2)
Partai
Politik atau gabungan Partai Politik pengusung yang masih memiliki kursi di
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengusulkan 2 (dua) pasangan calon kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah untuk dipilih.
(3)
Dalam
hal Partai Politik atau gabungan Partai Politik pengusung tidak memiliki kursi
di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pada saat dilakukan pengisian jabatan
Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil
Walikota maka Partai Politik atau gabungan Partai Politik yang memiliki kursi
di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengusulkan pasangan calon paling sedikit 20%
(dua puluh persen) dari jumlah kursi
(4)
Dalam
hal Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan
Wakil Walikota yang berasal dari perseorangan secara bersama-sama tidak dapat
menjalankan tugas karena alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1),
dilakukan pengisian jabatan melalui mekanisme pemilihan oleh DPRD Provinsi atau
DPRD Kabupaten/Kota, yang calonnya diusulkan oleh Partai Politik atau gabungan
Partai Politik yang memiliki kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah paling
sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi.
(5)
Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah melakukan proses pemilihan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) berdasarkan perolehan suara terbanyak.
(6)
Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah menyampaikan hasil pemilihan kepada Presiden melalui
Menteri untuk Gubernur dan Wakil Gubernur dan kepada Menteri melalui Gubernur
untuk Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota.
(7)
Dalam
hal sisa masa jabatan kurang dari 18 (delapan belas) bulan, Presiden menetapkan
penjabat Gubernur dan Menteri menetapkan penjabat Bupati/Walikota.
(8)
Ketentuan
lebih lanjut mengenai pengisian jabatan melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan
ayat (6) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
52. Ketentuan
Pasal 176 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 176
(1)
Dalam
hal Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota berhenti karena meninggal
dunia, permintaan sendiri, atau diberhentikan, pengisian Wakil Gubernur, Wakil
Bupati, dan Wakil Walikota dilakukan melalui mekanisme pemilihan oleh DPRD
Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota berdasarkan usulan dari Partai Politik atau
gabungan Partai Politik pengusung.
(2)
Partai
Politik atau gabungan Partai Politik pengusung mengusulkan 2 (dua) orang calon
Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota kepada Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah melalui Gubernur, Bupati, atau Walikota, untuk dipilih dalam rapat
paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
(3)
Dalam
hal Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota berasal dari calon
perseorangan berhenti karena meninggal dunia, permintaan sendiri, atau
diberhentikan, pengisian Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota
dilakukan melalui mekanisme pemilihan masing-masing oleh DPRD Provinsi dan DPRD
Kabupaten/Kota berdasarkan usulan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
(4)
Pengisian
kekosongan jabatan Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota dilakukan
jika sisa masa jabatannya lebih dari 18 (delapan belas) bulan terhitung sejak
kosongnya jabatan tersebut.
(5)
Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara pengusulan dan pengangkatan calon Wakil
Gubernur, calon Wakil Bupati, dan calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
53. Di antara Pasal 177 dan Pasal 178 disisipkan 2
(dua) pasal, yakni Pasal 177A dan Pasal 177B yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 177A
(1)
Setiap
orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum memalsukan data dan
daftar pemilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh
dua) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan
paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
(2)
Dalam
hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
penyelenggara Pemilihan dan/atau saksi pasangan calon dipidana dengan pidana
yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga) dari
ancaman pidana maksimumnya.
Pasal
177B
Anggota
PPS, anggota PPK, anggota KPU Kabupaten/Kota, dan anggota KPU Provinsi yang
dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum tidak melakukan verifikasi dan
rekapitulasi terhadap data dan daftar pemilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal
58, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan
dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp24.000.000,00
(dua puluh empat juta rupiah) dan paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh
dua juta rupiah).
54. Di antara
Pasal 178 dan Pasal 179 disisipkan 8 (delapan) pasal, yakni Pasal 178A sampai
dengan Pasal 178H yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal
178A
Setiap
orang yang pada waktu pemungutan suara dengan sengaja melakukan perbuatan
melawan hukum mengaku dirinya sebagai orang lain untuk menggunakan hak pilih,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan dan
paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp24.000.000,00
(dua puluh empat juta rupiah) dan paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh
dua juta rupiah).
Pasal
178B
Setiap
orang yang pada waktu pemungutan suara dengan sengaja melakukan perbuatan
melawan hukum memberikan suaranya lebih dari satu kali di satu atau lebih TPS,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan
paling lama 108 (seratus delapan) bulan dan denda paling sedikit
Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) dan paling banyak
Rp108.000.000,00 (seratus delapan juta rupiah).
Pasal
178C
(1)
Setiap
orang yang tidak berhak memilih yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara
memberikan suaranya 1 (satu) kali atau lebih pada 1 (satu) TPS atau lebih
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan
paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp36.000.000,00
(tiga puluh enam juta rupiah) dan paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh
dua juta rupiah).
(2)
Setiap
orang yang dengan sengaja menyuruh orang yang tidak berhak memilih memberikan
suaranya 1 (satu) kali atau lebih pada 1 (satu) TPS atau lebih dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 144
(seratus empat puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp36.000.000,00
(tiga puluh enam juta rupiah) dan paling banyak Rp144.000.000,00 (seratus empat
puluh empat juta rupiah).
(3)
Dalam
hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh
penyelenggara Pemilihan dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana maksimumnya.
Pasal
178D
Setiap
orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menggagalkan
pemungutan suara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh
enam) bulan dan paling lama 108 (seratus delapan) bulan dan denda paling
sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Pasal
178E
(1)
Setiap
orang yang dengan sengaja memberi keterangan tidak benar, mengubah, merusak,
menghilangkan hasil pemungutan dan/atau hasil penghitungan suara, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 48 (empat puluh delapan) bulan dan paling
lama 144 (seratus empat puluh empat) bulan dan denda paling sedikit
Rp48.000.000,00 (empat puluh delapan juta rupiah) dan paling banyak
Rp144.000.000,00 (seratus empat puluh empat juta rupiah).
(2)
Dalam
hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
penyelenggara Pemilihan dan/atau saksi pasangan calon dipidana dengan pidana
yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga) dari
ancaman pidana maksimumnya.
Pasal
178F
Setiap
orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menggagalkan pleno
penghitungan suara tahap akhir yang dilakukan di KPU Provinsi atau KPU
Kabupaten/Kota pemungutan suara dipidana dengan pidana penjara paling singkat
36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 144 (seratus empat puluh empat)
bulan dan denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Pasal
178G
Setiap
orang yang dengan sengaja pada waktu pemungutan suara mendampingi seorang
pemilih yang bukan pemilih tunanetra, tunadaksa, atau yang mempunyai halangan fisik
lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan
paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00
(dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta
rupiah).
Pasal
178H
Setiap
orang yang membantu pemilih untuk menggunakan hak pilih dengan sengaja
memberitahukan pilihan pemilih kepada orang lain, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh
enam) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah)
dan paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).
55.
Ketentuan Pasal 180 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal
180
(1)
Setiap
orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menghilangkan hak
seseorang menjadi Calon Gubernur/Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati/Calon Wakil
Bupati, dan Calon Walikota/Calon Wakil Walikota, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua)
bulan dan denda paling sedikit Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah)
dan paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
(2)
Setiap
orang yang karena jabatannya dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum
menghilangkan hak seseorang menjadi Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil
Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota atau meloloskan calon dan/atau pasangan
calon yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan
Pasal 45, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam)
bulan dan paling lama 96 (sembilan puluh enam) bulan dan denda paling sedikit
Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) dan paling banyak Rp96.000.000,00
(sembilan puluh enam juta rupiah).
56.
Di antara Pasal 182 dan Pasal 183 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 182A
dan Pasal 182B sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal
182A
Setiap
orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menggunakan
kekerasan, ancaman kekerasan, dan menghalang-halangi seseorang yang akan
melakukan haknya untuk memilih, dipidana dengan pidana penjara paling singkat
24 (dua puluh empat) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda
paling sedikit Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah) dan paling banyak
Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
Pasal
182B
Seorang
majikan atau atasan yang tidak memberikan kesempatan kepada seorang pekerja
untuk memberikan suaranya, kecuali dengan alasan bahwa pekerjaan tersebut tidak
bisa ditinggalkan diancam dengan pidana penjara paling singkat 24 (dua puluh
empat) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling
sedikit Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah) dan paling banyak
Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
57. Di antara Pasal 185 dan Pasal 186 disisipkan 2
(dua) pasal, yakni Pasal 185A dan Pasal 185B sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 185A
(1)
Setiap
orang yang dengan sengaja memalsukan daftar dukungan terhadap calon
perseorangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh
puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta
rupiah) dan paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
(2)
Dalam
hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
penyelenggara Pemilihan dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dengan ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana maksimumnya.
Pasal
185B
Anggota
PPS, anggota PPK, anggota KPU Kabupaten/Kota, anggota KPU Provinsi, dan/atau
petugas yang diberikan kewenangan melakukan verifikasi dan rekapitulasi yang
dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum tidak melakukan verifikasi dan
rekapitulasi terhadap dukungan calon perseorangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 48, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam)
bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit
Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) dan paling banyak Rp72.000.000,00
(tujuh puluh dua juta rupiah).
58. Di antara Pasal 186 dan Pasal 187 disisipkan 1
(satu) pasal, yakni Pasal 186A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 186A
(1)
Ketua
dan sekretaris Partai Politik tingkat Provinsi dan/atau tingkat Kabupaten/Kota
yang mendaftarkan pasangan calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (4),
ayat (5), dan ayat (6) yang tidak didasarkan pada surat keputusan pengurus
Partai Politik tingkat Pusat tentang Persetujuan atas calon yang diusulkan oleh
pengurus Partai Politik tingkat Provinsi dan/atau pengurus Partai Politik
tingkat Kabupaten/Kota, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga
puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling
sedikit Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) dan paling banyak
Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
(2)
Penyelenggara
Pemilihan yang menetapkan pasangan calon yang didaftarkan sebagai peserta
Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana yang sama
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana
maksimumnya.
59. Di antara Pasal 187 dan Pasal 188 disisipkan 4
(empat) pasal, yakni Pasal 187A sampai dengan Pasal 187D sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 187A
(1)
Setiap
orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menjanjikan atau
memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga negara
Indonesia baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk mempengaruhi
Pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara
tertentu sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak
memilih calon tertentu sebagaimana dimaksud pada Pasal 73 ayat (4) dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama
72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus
juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
(2)
Pidana
yang sama diterapkan kepada pemilih yang dengan sengaja melakukan perbuatan
melawan hukum menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal
187B
Anggota
Partai Politik atau anggota gabungan Partai Politik yang dengan sengaja
melakukan perbuatan melawan hukum menerima imbalan dalam bentuk apapun pada
proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta
Walikota dan Wakil Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan
paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit
Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00
(satu milyar rupiah).
Pasal
187C
Setiap
orang atau lembaga yang terbukti dengan sengaja melakukan perbuatan melawan
hukum memberi imbalan pada proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur,
Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota maka penetapan
sebagai calon, pasangan calon terpilih, atau sebagai Gubernur, Wakil Gubernur,
Bupati, Wakil Bupati, Walikota atau Wakil Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal
47 ayat (5), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 24 (dua puluh empat)
bulan dan pidana penjara paling lama 60 (enam puluh) bulan dan denda paling
sedikit Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Pasal
187D
Pengurus
lembaga pemantau Pemilihan yang melanggar ketentuan larangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 128, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36
(tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda
paling sedikit Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) dan paling banyak
Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
60. Di antara Pasal 190 dan Pasal 191 disisipkan 1
(satu) pasal, yakni Pasal 190A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 190A
Penyelenggara
Pemilihan, atau perusahaan yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan
hukum merubah jumlah surat suara yang dicetak sama dengan jumlah Pemilih tetap
ditambah dengan 2,5% (dua setengah persen) dari jumlah Pemilih tetap sebagai
cadangan, yang ditetapkan dengan Keputusan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua)
bulan dan denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp7.500.000.000,00 (tujuh milyar lima ratus juta rupiah).
61. Ketentuan
Pasal 193 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 193
(1)
Dalam
hal KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota tidak menetapkan pemungutan dan/atau
penghitungan suara ulang di TPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 dan Pasal
113 berdasarkan putusan Bawaslu Provinsi atau Panwas Kabupaten/Kota tanpa
alasan yang dibenarkan berdasarkan Undang-Undang ini, anggota KPU Provinsi dan
anggota KPU Kabupaten/Kota dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36
(tiga puluh enam) bulan dan paling lama 144 (seratus empat puluh empat) bulan
dan denda paling sedikit Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) dan
paling banyak Rp144.000.000,00 (seratus empat puluh empat juta rupiah).
(2)
Dalam
hal KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota tidak menetapkan pemilihan lanjutan
dan/atau pemilihan susulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 dan Pasal 121
berdasarkan putusan Bawaslu Provinsi atau Panwas Kabupaten/Kota tanpa alasan
yang dibenarkan berdasarkan Undang-Undang ini, anggota KPU Provinsi dan anggota
KPU Kabupaten/Kota dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh
enam) bulan dan paling lama 144 (seratus empat puluh empat) bulan dan denda
paling sedikit Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) dan paling banyak
Rp144.000.000,00 (seratus empat puluh empat juta rupiah).
(3)
Ketua
dan anggota KPPS, ketua dan anggota PPK, ketua dan anggota KPU Kabupaten/Kota,
atau ketua dan anggota KPU Provinsi yang dengan sengaja melakukan perbuatan
melawan hukum tidak membuat dan/atau menandatangani berita acara perolehan
pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, pasangan Calon Bupati dan
Calon Wakil Bupati, serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling
lama 60 (enam puluh) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas
juta rupiah) dan paling banyak Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
(4)
Ketua
dan anggota KPPS yang dengan sengaja tidak melaksanakan ketetapan KPU Provinsi
dan KPU Kabupaten/Kota untuk melaksanakan pemungutan suara ulang di TPS,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling
lama 60 (enam puluh) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas
juta rupiah) dan paling banyak Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
(5)
Setiap
KPPS yang dengan sengaja tidak memberikan salinan 1 (satu) eksemplar berita
acara pemungutan dan penghitungan suara dan/atau sertifikat hasil penghitungan
suara pada saksi calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur, calon Bupati dan
calon Wakil Bupati, serta calon Walikota dan calon Wakil Walikota, PPL, PPS dan
PPK melalui PPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (12) dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 60 (enam
puluh) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah)
dan paling banyak Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
(6)
Setiap
KPPS yang tidak menjaga, mengamankan keutuhan kotak suara, dan menyerahkan
kotak suara tersegel yang berisi surat suara, berita acara pemungutan suara,
dan sertifikat hasil penghitungan suara kepada PPK pada Hari yang sama
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf q, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 60 (enam puluh) bulan dan
denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak
Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
(7)
Setiap
PPS yang tidak mengumumkan hasil penghitungan suara dari seluruh TPS di wilayah
kerjanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 60 (enam puluh) bulan dan
denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak
Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
62. Di antara Pasal 193 dan Pasal 194 disisipkan 2
(dua) pasal, yakni Pasal 193A dan Pasal 193B yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 193A
(1)
Ketua
dan/atau anggota KPU Provinsi yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas)
bulan dan paling lama 144 (seratus empat puluh empat) bulan dan denda paling
sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak
Rp144.000.000,00 (seratus empat puluh empat juta rupiah).
(2)
Ketua
dan/atau anggota KPU Kabupaten/Kota yang melanggar kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua
belas) bulan dan paling lama 144 (seratus empat puluh empat) bulan dan denda
paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak
Rp144.000.000,00 (seratus empat puluh empat juta rupiah).
Pasal
193B
(1)
Ketua
dan/atau anggota Bawaslu Provinsi yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 29, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas)
bulan dan paling lama 144 (seratus empat puluh empat) bulan dan denda paling
sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak
Rp144.000.000,00 (seratus empat puluh empat juta rupiah).
(2)
Ketua
dan/atau anggota Panwas Kabupaten/Kota yang melanggar kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua
belas) bulan dan paling lama 144 (seratus empat puluh empat) bulan dan denda
paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak
Rp144.000.000,00 (seratus empat puluh empat juta rupiah).
63. Ketentuan Pasal 196 dihapus.
64. Di antara Pasal 198 dan Pasal 199 disisipkan 1
(satu) pasal, yakni Pasal 198A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 198A
Setiap
orang yang dengan sengaja melakukan tindak kekerasan atau menghalang-halangi
Penyelenggara Pemilihan dalam melaksanakan tugasnya, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 24 (dua puluh
empat) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah)
dan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
65. Di antara Pasal 200 dan Pasal 201 disisipkan 1
(satu) pasal, yakni Pasal 200A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 200A
(1)
Seleksi
Penerimaan PPK dan PPS yang telah dilaksanakan sebelum berlakunya Undang-Undang
ini, tetap berlaku dan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun harus
menyesuaikan dengan Pasal 16 dan Pasal 19 Undang-Undang ini.
(2)
Pengawasan
terhadap tahapan rekrutmen PPK, PPS, dan KPPS yang telah dilaksanakan sebelum
berlakunya Undang-Undang ini tetap berlaku dan dalam jangka waktu paling lama 1
(satu) tahun harus menyesuaikan dengan Pasal 30 huruf a angka 1 Undang-Undang
ini.
(2)(3) Surat
keterangan sementara dari kepala dinas yang menyelenggarakan urusan
kependudukan dan catatan sipil di kabupaten/kota setempat, baik sebagai syarat
dukungan calon perseorangan maupun sebagai syarat terdaftar sebagai pemilih
dapat dipergunakan paling lambat sampai dengan bulan Desember 2018.
(3)
Syarat
dukungan calon perseorangan maupun sebagai syarat terdaftar sebagai pemilih
menggunakan Kartu Tanda Penduduk Elektronik terhitung sejak bulan Januari 2019.
(4)
Pelantikan
pasangan calon terpilih hasil Pemilihan tahun 2017 dan tahun 2018 dapat
dilakukan secara serentak bertahap.
66. Ketentuan
Pasal 201 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 201
(1)
Pemungutan
suara serentak dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati,
serta Walikota dan Wakil Walikota yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2015
dan bulan Januari sampai dengan bulan Juni tahun 2016 dilaksanakan pada tanggal
dan bulan yang sama pada bulan Desember tahun 2015.
(2)
Pemungutan
suara serentak dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil
Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang masa jabatannya berakhir pada
bulan Juli sampai dengan bulan Desember tahun 2016 dan yang masa jabatannya
berakhir pada tahun 2017 dilaksanakan pada tanggal dan bulan yang sama pada
bulan Februari tahun 2017.
(3)
Gubernur
dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota
hasil Pemilihan tahun 2017 menjabat sampai dengan tahun 2022.
(4)
Pemungutan
suara serentak dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil
Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang masa jabatannya berakhir pada
tahun 2018 dan tahun 2019 dilaksanakan pada tanggal dan bulan yang sama pada
bulan Juni tahun 2018.
(5)
Gubernur
dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota
hasil Pemilihan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023.
(6)
Pemungutan
suara serentak Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta
Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan tahun 2015 dilaksanakan pada bulan
September tahun 2020.
(7)
Gubernur
dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota
hasil Pemilihan tahun 2020 menjabat sampai dengan tahun 2024.
(8)
Pemungutan
suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan
Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024.
(9)
Untuk
mengisi kekosongan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil
Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang berakhir masa jabatannya tahun
2022 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan yang berakhir masa jabatannya pada
tahun 2023 sebagaimana dimaksud pada ayat (5), diangkat penjabat Gubernur,
penjabat Bupati, dan penjabat Walikota sampai dengan terpilihnya Gubernur dan
Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota
melalui Pemilihan serentak nasional pada tahun 2024.
(10)
Untuk
mengisi kekosongan jabatan Gubernur, diangkat penjabat Gubernur yang berasal
dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan Gubernur sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(11)
Untuk
mengisi kekosongan jabatan Bupati/Walikota, diangkat penjabat Bupati/Walikota
yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama sampai dengan pelantikan
Bupati, dan Walikota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(12)
Ketentuan
lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), ayat (4), ayat (6), dan ayat (8) diatur dengan
Peraturan KPU.
67.Di antara
Pasal 205A dan Pasal 206 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 205B dan Pasal
205C sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 205B
Pada
saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua Peraturan Perundang-undangan yang
merupakan peraturan pelaksanaan dari:
a.
Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5678); dan
b.
Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2015 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5656);
dinyatakan masih
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang
ini.
Pasal
205C
Peraturan
pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 3 (tiga) bulan
terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal II
Undang-Undang
ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan
di Jakarta
pada
tanggal 1 Juli 2016
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
JOKO
WIDODO
Diundangkan
di Jakarta
pada
tanggal 1 Juli 2016
MENTERI
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK
INDONESIA,
ttd.
YASONNA
H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 130
PENJELASAN ATAS
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 10 TAHUN
2016
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA
ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015
TENTANG
PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI
UNDANG-UNDANG
NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA MENJADI
UNDANG-UNDANG
I. UMUM
Ketentuan
Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menyebutkan bahwa Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala
pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.
Untuk mewujudkan amanah tersebut telah ditetapkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang.
Beberapa
ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 dirasakan masih menyisakan
sejumlah kendala dalam pelaksanaannya. Di sisi lain, beberapa ketentuan dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 perlu
diselaraskan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi sehingga perlu disempurnakan.
Beberapa
penyempurnaan tersebut, antara lain:
a. tindak
lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi, antara lain terkait:
1) persyaratan
atas kewajiban bagi pegawai negeri sipil untuk menyatakan pengunduran diri
sejak penetapan sebagai pasangan calon pada pemilihan Gubernur dan Wakil
Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota;
2) persyaratan
atas kewajiban bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk menyatakan pengunduran diri sejak
penetapan sebagai pasangan calon pada pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur,
Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota;
3) persyaratan
terkait mantan terpidana dapat maju sebagai pasangan calon pada pemilihan
Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil
Walikota jika telah mengumumkan kepada masyarakat luas bahwa yang bersangkutan
pernah menjadi terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum;
4) dihapusnya
persyaratan tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana;
5) pengaturan
terkait pelaksanaan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil
Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota jika hanya terdapat 1 (satu)
pasangan;
b. penegasan
terkait pemaknaan atas nomenklatur Petahana untuk menghindari multitafsir dalam
implementasinya;
c. pengaturan
mengenai pendanaan kegiatan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan
Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota dibebankan pada Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah dan dapat didukung melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
d. penyederhanaan
penyelesaian sengketa proses pada setiap tahapan pemilihan Gubernur dan Wakil
Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota agar
keserentakan pencoblosan maupun pelantikan dapat terjamin;
e. penetapan
mengenai waktu pemungutan suara untuk pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur,
Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota pada tahun 2020 dan
2024;
f. pengaturan
mengenai pelantikan serentak Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil
Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota dilantik secara serentak oleh Presiden
di ibu kota Negara serta penegasan terkait waktu pelantikan agar selaras dengan
kebijakan penyelenggaraan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan
Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota secara serentak, yang
pelantikan tersebut dilaksanakan pada akhir masa jabatan Gubernur dan Wakil
Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota
sebelumnya yang paling akhir;
g. pengaturan
sanksi yang jelas bagi yang melakukan politik uang (money politic) dalam
pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota
dan Wakil Walikota;
h. pengaturan
terkait pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati,
atau Walikota dan Wakil Walikota yang diberhentikan.
Selain hal tersebut, Undang-Undang ini
juga menyempurnakan beberapa ketentuan teknis lainnya yang terkait dengan
penyelenggaraan Pemilihan.
II. PASAL DEMI
PASAL
Pasal
I
Angka
1
Pasal
7
Ayat
(1) Cukup jelas.
Ayat
(2)
Huruf
a Cukup jelas.
Huruf
b Cukup jelas.
Huruf
c Cukup jelas.
Huruf
d Dihapus.
Huruf
e Cukup jelas.
Huruf
f Cukup jelas.
Huruf
g Yang dimaksud dengan “mantan terpidana” adalah orang yang sudah tidak ada
hubungan baik teknis (pidana) maupun administratif dengan menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia,
kecuali mantan terpidana bandar narkoba dan terpidana kejahatan seksual
terhadap anak.
Huruf
h Cukup jelas.
Huruf
I Yang dimaksud dengan “melakukan perbuatan tercela” antara lain judi, mabuk,
pemakai/pengedar narkotika, dan berzina, serta perbuatan melanggar kesusilaan lainnya.
Huruf
j
Cukup
jelas.
Huruf
k
Yang
dimaksud dengan “merugikan keuangan negara” adalah kekurangan uang, surat
berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan
melawan hukum baik sengaja maupun lalai.
Huruf
l Cukup jelas.
Huruf
m Cukup jelas.
Huruf
n Cukup jelas.
Huruf
o Cukup jelas.
Huruf
p Cukup jelas.
Huruf
q Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah penjabat Gubernur, penjabat Bupati,
dan penjabat Walikota mengundurkan diri untuk mencalonkan diri menjadi
Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, atau Wakil Walikota.
Huruf r Dihapus.
Huruf
s Cukup jelas.
Huruf
t Cukup jelas.
Huruf
u Cukup jelas.
Angka
2
Pasal
9 Cukup jelas.
Angka
3
Pasal
10
Huruf
a Cukup jelas.
Huruf
b Cukup jelas.
Huruf
b1 Yang dimaksud dengan “segera” yakni tidak melampaui tahapan berikutnya.
Huruf
c Cukup jelas.
Huruf
d Cukup jelas.
Angka
4
Pasal
16 Cukup jelas.
Angka
5
Pasal
19
Ayat
(1) Cukup jelas.
Ayat
(2) Cukup jelas.
Ayat
(3) Yang dimaksud dengan “Anggota PPS” adalah orang yang diangkat, berasal, dan
berdomisili di wilayah kelurahan/desa setempat.
Angka
6
Pasal
20
Huruf
a Cukup jelas.
Huruf
b Cukup jelas.
Huruf
c Yang dimaksud dengan “verifikasi dukungan calon perseorangan” adalah
penelitian mengenai keabsahan surat pernyataan dukungan, fotokopi Kartu Tanda
Penduduk Elektronik, pembuktian tidak adanya dukungan ganda, tidak adanya
pendukung yang telah meninggal dunia, tidak adanya pendukung yang sudah tidak
lagi menjadi penduduk di wilayah yang bersangkutan, atau tidak adanya pendukung
yang tidak mempunyai hak pilih.
Yang
dimaksud dengan “rekapitulasi dukungan calon perseorangan” adalah pembuatan
rincian nama-nama pendukung calon perseorangan berdasarkan hasil verifikasi
yang ditandatangani oleh ketua dan anggota PPS serta diketahui oleh kepala
kelurahan/kepala desa atau sebutan lain.
Huruf
d Cukup jelas.
Huruf
e Cukup jelas.
Huruf
f Cukup jelas.
Huruf
g Cukup jelas.
Huruf
h Cukup jelas.
Huruf
I Cukup jelas.
Huruf
j Cukup jelas.
Huruf
k Cukup jelas.
Huruf
l Cukup jelas.
Huruf
m Dihapus.
Huruf
n Dihapus.
Huruf
o Dihapus.
Huruf
p Dihapus.
Huruf
q Cukup jelas.
Huruf
r Cukup jelas.
Huruf
s Cukup jelas.
Huruf
t Cukup jelas.
Huruf
u Cukup jelas.
Huruf
v Cukup jelas.
Huruf
w Cukup jelas.
Huruf
x Cukup jelas.
Angka
7
Pasal
21 Cukup jelas.
Angka
8
Pasal
22B Cukup jelas.
Angka
9
Pasal
30 Cukup jelas.
Angka
10
Pasal
33 Cukup jelas.
Angka
11
Pasal
40
Ayat
(1) Yang dimaksud dengan “jumlah kursi” adalah perolehan kursi yang dihitung
dari jumlah kursi Partai Politik/gabungan Partai Politik.
Ayat
(2) Cukup jelas.
Ayat
(3) Cukup jelas.
Ayat
(4) Cukup jelas.
Ayat
(5) Cukup jelas.
Angka
12
Pasal
40A
Ayat
(1) Cukup jelas.
Ayat
(2) Cukup jelas.
Ayat
(3) Yang dimaksud “putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap” adalah putusan pengadilan tingkat pertama, banding, dan kasasi yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Ayat
(4) Cukup jelas.
Ayat
(5) Cukup jelas.
Angka
13
Pasal
41 Cukup jelas.
Angka
14
Pasal
42 Cukup jelas.
Angka
15
Pasal
45 Cukup jelas.
Angka
16
Pasal
48
Ayat
(1) Cukup jelas.
Ayat
(2) Cukup jelas.
Ayat
(3) Yang dimaksud dengan “KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota dan dapat
berkoordinasi dengan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Provinsi atau
Kabupaten/Kota” antara lain dengan menggunakan sistem dan aplikasi yang bisa
diperbantukan atau dipinjamkan berupa peralatan dan tenaga teknis.
Ayat
(4) Cukup jelas.
Ayat
(5) Cukup jelas.
Ayat
(6) Cukup jelas.
Ayat
(7) Cukup jelas.
Ayat
(8) Cukup jelas.
Ayat
(9) Cukup jelas.
Ayat
(10) Cukup jelas.
Ayat
(11) Cukup jelas.
Ayat
(12) Cukup jelas.
Ayat
(13) Cukup jelas.
Ayat
(14) Cukup jelas.
Ayat
(15) Cukup jelas.
Angka
17
Pasal
54 Cukup jelas.
Angka
18
Pasal
54A Cukup jelas.
Pasal
54B Cukup jelas.
Pasal
54C Cukup jelas.
Pasal
54D Cukup jelas.
Angka
19
Pasal
57 Cukup jelas.
Angka
20
Pasal
58
Ayat
(1) Cukup jelas.
Ayat
(2) Cukup jelas.
Ayat
(3)
Yang
dimaksud dengan “pemutakhiran” adalah menambah dan/atau mengurangi calon
pemilih sesuai dengan kondisi nyata di lapangan, bukan untuk merubah elemen
data yang bersumber dari DP4.
Ayat
(4) Cukup jelas.
Ayat
(5) Cukup jelas.
Ayat
(6) Cukup jelas.
Ayat
(7) Cukup jelas.
Ayat
(8) Cukup jelas.
Ayat
(9) Cukup jelas.
Angka
21
Pasal
59 Cukup jelas.
Angka
22
Pasal
61 Cukup jelas
Angka
23
Pasal
63 Cukup jelas.
Angka
24
Pasal
65 Cukup jelas.
Angka
25
Pasal
68 Cukup jelas.
Angka
26
Pasal
70 Cukup jelas.
Angka
27
Pasal
71
Ayat
(1) Yang dimaksud dengan “pejabat negara” adalah yang sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai Aparatur Sipil Negara.
Yang
dimaksud dengan “pejabat daerah” adalah yang sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai Pemerintahan Daerah.
Ayat
(2) Dalam hal terjadi kekosongan jabatan, maka Gubernur, Bupati, dan Walikota
menunjuk pejabat pelaksana tugas.
Yang
dimaksud dengan “penggantian” adalah hanya dibatasi untuk mutasi dalam jabatan.
Ayat
(3) Cukup jelas.
Ayat
(4) Cukup jelas.
Ayat
(5) Cukup jelas.
Ayat
(6) Cukup jelas.
Angka
28
Pasal
73
Ayat
(1) Yang tidak termasuk “memberikan uang atau materi lainnya” meliputi
pemberian biaya makan minum peserta kampanye, biaya transpor peserta kampanye,
biaya pengadaan bahan kampanye pada pertemuan terbatas dan/atau pertemuan tatap
muka dan dialog, dan hadiah lainnya berdasarkan nilai kewajaran dan kemahalan
suatu daerah yang ditetapkan dengan Peraturan KPU.
Ayat
(2) Cukup jelas.
Ayat
(3) Cukup jelas.
Ayat
(4) Cukup jelas.
Ayat
(5) Cukup jelas.
Angka
29
Pasal
74
Ayat
(1) Cukup jelas.
Ayat
(2) Cukup jelas.
Ayat
(3) Cukup jelas.
Ayat
(4) Cukup jelas.
Ayat
(5) Cukup jelas.
Ayat
(6) Yang dimaksud dengan “sumbangan yang bukan dalam bentuk uang” adalah
pemberian sebagai bantuan atau sokongan yang bersifat sukarela dalam bentuk
barang atau kegiatan.
Ayat
(7) Cukup jelas.
Ayat
(8) Cukup jelas.
Ayat
(9) Cukup jelas.
Angka
30
Pasal
85 Cukup jelas.
Angka
31
Pasal
107 Cukup jelas.
Angka
32
Pasal
109 Cukup jelas.
Angka
33
Pasal
133A Cukup jelas.
Angka
34
Pasal
135A
Ayat
(1)
Yang
dimaksud dengan “terstruktur” adalah kecurangan yang dilakukan oleh aparat
struktural, baik aparat pemerintah maupun penyelenggara Pemilihan secara
kolektif atau secara bersama-sama.
Yang
dimaksud dengan “sistematis” adalah pelanggaran yang direncanakan secara
matang, tersusun, bahkan sangat rapi.
Yang
dimaksud dengan “masif” adalah dampak pelanggaran yang sangat luas pengaruhnya
terhadap hasil Pemilihan bukan hanya sebagian-sebagian.
Ayat
(2) Cukup jelas.
Ayat
(3) Cukup jelas.
Ayat
(4) Cukup jelas.
Ayat
(5) Cukup jelas.
Ayat
(6) Cukup jelas.
Ayat
(7) Cukup jelas.
Ayat
(8) Cukup jelas.
Ayat
(9) Cukup jelas.
Ayat
(10) Cukup jelas.
Angka
35
Pasal
144 Cukup jelas.
Angka
36
Pasal
146 Cukup jelas.
Angka
37
Pasal
152
Ayat
(1) Cukup jelas.
Ayat
(2) Cukup jelas.
Ayat
(3) Cukup jelas.
Ayat
(4)
Yang
dimaksud dengan “Peraturan Bersama” adalah peraturan yang dibuat Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kepala Kejaksaan Agung Republik
Indonesia, dan Ketua Bawaslu Republik Indonesia paling sedikit memuat ketentuan
mengenai tata cara pengajuan dan penanganan laporan atau keberatan, pola
hubungan, dan tata kerja, dan penempatan personil.
Ayat
(5) Cukup jelas.
Angka
38
Pasal
153 Cukup jelas.
Angka
39
Pasal
154 Cukup jelas.
Angka
40
Pasal
156 Cukup jelas.
Angka
41
Pasal
157 Cukup jelas.
Angka
42
Pasal
158 Cukup jelas.
Angka
43
Pasal
160A Cukup jelas.
Angka
44
Pasal
162 Cukup jelas.
Angka
45
Pasal
163
Ayat
(1) Pelaksanaan serah terima jabatan Gubernur dilakukan di ibu kota Provinsi.
Ayat
(2) Cukup jelas.
Ayat
(3) Cukup jelas.
Ayat
(4) Cukup jelas.
Ayat
(5) Cukup jelas.
Ayat
(6) Cukup jelas.
Ayat
(7) Cukup jelas.
Ayat
(8) Cukup jelas.
Angka
46
Pasal
164
Ayat
(1) Pelaksanaan serah terima jabatan Bupati/Walikota dilakukan di ibu kota
Kabupaten/Kota.
Ayat
(2) Cukup jelas.
Ayat
(3) Cukup jelas.
Ayat
(4) Cukup jelas.
Ayat
(5) Cukup jelas.
Ayat
(6) Cukup jelas.
Ayat
(7) Cukup jelas.
Ayat
(8) Cukup jelas.
Angka
47
Pasal
164A Cukup jelas.
Pasal
164B Cukup jelas.
Angka
48
Pasal
165 Cukup jelas.
Angka
49
Pasal
166 Cukup jelas.
Angka
50
Pasal
173
Ayat
(1) Yang dimaksud dengan “berhenti” adalah yang sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai Pemerintahan Daerah.
Ayat
(2)
Usulan
yang disampaikan DPRD Provinsi kepada Presiden melalui Menteri merupakan calon
Gubernur yang diumumkan dalam rapat paripurna DPRD Provinsi.
Ayat
(3) Cukup jelas.
Ayat
(4) Usulan yang disampaikan DPRD Kabupaten/Kota kepada Menteri melalui Gubernur
merupakan calon Bupati/Walikota yang diumumkan dalam rapat paripurna DPRD
Kabupaten/Kota.
Ayat
(5) Cukup jelas.
Ayat
(6) Cukup jelas.
Ayat
(7) Cukup jelas.
Ayat
(8) Cukup jelas.
Angka
51
Pasal
174
Ayat
(1) Cukup jelas.
Ayat
(2) Yang dimaksud dengan “Partai Politik atau gabungan Partai Politik pengusung
mengusulkan 2 (dua) pasangan calon” adalah Partai Politik atau gabungan Partai
Politik pengusung yang masih memiliki kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
pada saat dilakukan pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan
Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota melalui Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah.
Ayat
(3) Cukup jelas.
Ayat
(4) Cukup jelas.
Ayat
(5) Cukup jelas.
Ayat
(6) Cukup jelas.
Ayat
(7) Cukup jelas.
Ayat
(8) Cukup jelas.
Angka
52
Pasal
176
Ayat
(1) Cukup jelas.
Ayat
(2) Yang dimaksud dengan “gabungan Partai Politik pengusung mengusulkan 2 (dua)
orang” adalah calon Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota yang
diusulkan gabungan Partai Politik berjumlah 2 (dua) orang calon.
Ayat
(3) Cukup jelas.
Ayat
(4) Cukup jelas.
Ayat
(5) Cukup jelas.
Angka
53
Pasal
177A Cukup jelas.
Pasal
177B Cukup jelas.
Angka
54
Pasal
178A Cukup jelas.
Pasal
178B Cukup jelas.
Pasal
178C Cukup jelas.
Pasal
178D Cukup jelas.
Pasal
178E Cukup jelas.
Pasal
178F Cukup jelas.
Pasal
178G Cukup jelas.
Pasal
178H Cukup jelas.
Angka
55
Pasal
180 Cukup jelas.
Angka
56
Pasal
182A Cukup jelas.
Pasal
182B Cukup jelas.
Angka
57
Pasal
185A Cukup jelas.
Pasal
185B Cukup jelas.
Angka
58
Pasal
186A Cukup jelas.
Angka
59
Pasal
187A Cukup jelas.
Pasal
187B Cukup jelas.
Pasal
187C Cukup jelas.
Pasal
187D Cukup jelas.
Angka
60
Pasal
190A Cukup jelas.
Angka
61
Pasal
193 Cukup jelas.
Angka
62
Pasal
193A Cukup jelas.
Pasal
193B Cukup jelas.
Angka
63
Pasal 196 Dihapus.
Angka
64
Pasal
198A Cukup jelas.
Angka
65
Pasal
200A Cukup jelas.
Angka
66
Pasal
201
Ayat
(1) Cukup jelas.
Ayat
(2) Cukup jelas.
Ayat
(3) Cukup jelas.
Ayat
(4) Cukup jelas.
Ayat
(5) Cukup jelas.
Ayat
(6) Cukup jelas.
Ayat
(7) Cukup jelas.
Ayat
(8) Cukup jelas.
Ayat
(9) Penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Walikota masa jabatannya 1
(satu) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) tahun berikut dengan orang yang
sama/berbeda.
Ayat
(10) Cukup jelas.
Ayat
(11) Cukup jelas.
Ayat
(12) Cukup jelas.
Angka
67
Pasal
205B Cukup jelas.
Pasal
205C Cukup jelas.
Pasal
II Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5898
Tidak ada komentar:
Posting Komentar