Jumat, 09 Agustus 2019

UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1945 TENTANG KEDUDUKAN KOMITE NASIONAL DAERAH


UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1945[1]
TENTANG
KEDUDUKAN KOMITE NASIONAL DAERAH


Kami Presiden Republik Indonesia,

Menimbang :    bahwa sebelumnya diadakan pemilihan umum perlu diadakan aturan buat sementara waktu untuk menetapkan Kedudukan Komite Nasional Daerah;
Mengingat   :   Pasal 18 dan 20 Undang-Undang Dasar dan Maklumat Wakil-Presiden No. X, tanggal 16 Oktober 1945;

Dengan Persetujuan
Badan Pekerdja Komite Nasional Pusat;

MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG sebagai berikut :

Pasal 1
Komite Nasional Daerah diadakan kecuali di daerah Surakarta dan Yogyakarta, di Karesidenan, di Kota Berautonomi, Kabupaten dan lain-lain daerah yang dianggap perlu oleh Menteri Dalam Negeri.

Pasal 2
Komite Nasional Daerah menjadi Badan Perwakilan Rakyat Daerah, yang bersama-sama dengan dan dipimpin oleh Kepala Daerah menjalankan pekerjaan mengatur rumah tangga daerahnya, asal tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang lebih luas daripadanya.

Pasal 3
Oleh Komite Nasional Daerah dipilih beberapa orang, sebanyak-banyaknya 5 orang sebagai Badan Exsecutief, yang bersama-sama dengan dan dipimpin oleh Kepala Daerah menjalankan pemerintahan sehari-hari dalam daerah itu.

Pasal 4
Ketua Komite Nasional Daerah yang lama harus diangkat sebagai Wakil Ketua Badan yang dimaksudkan dalam Pasal 2 dan 3.

Pasal 5
Biaya untuk keperluan Komite Nasional Daerah disediakan oleh Pemerintah Daerah.

Pasal 6
Undang-Undang ini mulai berlaku pada hari diumumkan dan perubahan dalam daerah-daerah harus selesai dalam waktu selambat-lambatnya 14 hari.


Djakarta, tanggal 23 Nopember 1945
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

SOEKARNO


Diumumkan
Pada Tanggal 23 Nopember 1945
Sekretaris Negara,
A.G. PRINGGODIGDO

P E N D J E L A S A N[2]
UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1945
TENTANG

KEDUDUKAN KOMITE NASIONAL DAERAH


Didalam menjalankan UU tanggal 23 Nopember 1945 pemerintah telah menemui beberapa kesulitan yang ta’mudah dipecahkan, oleh karena menurut paham kami :
UU ini tidak disertai “memorie van toelichting” yang lazim disertakan dalam tidap-tidap rencana UU atau dalam tiap-tiap UU yang baru diumumkan. Hal yang demikian itu menyebabkan pembaca dari UU tersebut tidak dapat mengetahui tujuan dari UU itu, sehingga tergantung semata-mata pada susunan redaksi dari UU tersebut dalam menafsirkan isi UU itu.
Begitu timbullah beberapa pertanyaan dari masing-masing daerah seperti :
a.       apakah Kepala Daerah yang qualitatus qua memimpin Badan Perwakilan Rakyat dan Badan Exekutif itu, juga berkedudukan sebagai anggauta yang mempunyai suara (stem) dalam badan-badan tersebut?
b.       Seterusnya, jika Kepala Daerah (Residen, Bupati atau Kepala Kota) berhalangan, siapakah yang menjadi gantinya untuk memimpin persidangan dari badan-badan tersebut?
c.       Apakah seorang bukan anggauta dari Badan Perwakilan Rakyat boleh ditunjuk sebagai anggauta Badan Eksekutif?
d.       Apakah artinya Komite Nasional Indonesia menjadi Badan Perwakilan Rakyat Daerah dan sebagainya?
Begitulah masih banyak soal-soal yang menimbulkan kesulitan UU tersebut.
Oleh sebab itu didalam kita berusaha mengadakan penjelasan itu, perlu kita mengetahui tujuan serta sebab-sebab yang telah menggerakkan Badan Pekerja Pusat untuk mengusulkan UU tersebut pada pemerintah, dan untuk mengetahui hal itu perlu kita mendapat notulen rapat Badan Pekerja ketika merundingkan UU itu, serta meneliti pengumuman-pengumuman Badan Pekerja yang mengenai UU tersebut yang dapat kita gunakan sebagai “memorie van toelichting”.
Meskipun notulen tidak semua ada pada kita, akan tetapi dalam perundingannya itu Prof. Supomo dan saya sebagai wakil[3] pemerintah turut merundingkanrencana UU tersebut dalam Badan Pekerja, sehingga walaupun tidak autentik saya dapat memberikan keterangan tentang “wordingsgeschiedenisnya” UU ini.
Akan tetapi bagaimanapun juga, untuk mengetahui asas dan tujuan UU itu tidak cukup kiranya jika kita mengambil dasar “ingat-ingatan” saja. Cara semacam ini “yuridis” kurang harganya. Oleh karenanya, maka kita harus mencoba mencari dasar dan tujuan itu hanya daripada pengumuman-pengumuman Badan Pekerja yang dimuat dalam Berita Republik Indonesia, terutama dalam pengumuman No. 2 dan No. 3, serta penjelasan kedudukan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat, yang dapat dipergunakan sebagai perbandingan. Selain dari itu ada pada kita surat pengantar rancangan UU, dari Komite Nasional Indonesia Pusat pada Presiden tanggal 27-10-1945 No. 30/B.P, yang dapat dipergunakan sebagai penjelasan umum. Dalam pengumuman No. 2 terdapat alenia yang demikian bunyinya : “Maka kedudukan Komite Nasional Daerah perlu lekas diatur supaya hilang keragu-raguan tentang kedudukannya dan lekas tercapai keadaan yang sama di seluruh Negara kita”.
Kemudian dalam pengumuman No. 3 ada dikatakan : “Dalam waktu dua bulan semenjak berdirinya republic kita, sudah ternyata benar-benar komite-komite itu memenuhi kewajibannya sebagai badan yang harus mempertahankan dan membantu pemerintah, yang mula-mula belum terbentuk dan belum dapat bekerja dengan seksama”.
Setelah dikatakan bahwa dalam dua bulan kekuasaan sipil seluruhnya dapat dimiliki oleh pemerintah kita, maka dikatakan : “dengan keadaan itu setelah berusaha supaya tiap-tiap urusan Negara jangan lagi diurus oleh Komite Nasional Indonesia, tetapi oleh Badan Pemerintah yang bersangkutan, sampailah waktunya Komite Nasional berganti sifat”.
Kemudian dikatakan dalam : “Penjelasan tentang Kedudukan Badan Pekerja KNIP : KNIP tidak berhak lagi mengurus hal-hal yang berkenan dengan tindakan pemerintah (eksekutif).
Selanjutnya dalam surat pengantar tanggal 27-10-1945 tersebut : “ Badan Pekerja berpendapat bahwa Komite (Nasional) dan Si-ku dan Ku dalam kota tak perlu dilanjutkan berdiri.
Badan Pekerja, begitulah surat tersebut, telah membicarakan sifat mana hendaknya diberi kepada Komite Nasional daerah yang terus diadakan. Kesimpulan pembicaraan ialah : Komite Nasional Daerah itu hendaknya menjadi Badan legislative, dipimpin oleh Kepala Daerah, sedang sebagian dari Komite Nasional itu dipimpin (pula) oleh Kepala Daerah, hendaknya menjalankan pemerintahan sehari-hari.
Daripada pengumuman-pengumuman dan surat-surat pengantar tersebut, dapat kita menarik kesimpulan sebagai berikut :
1.       bahwa komite nasional Indonesia mula-mula dibentuk sebagai pembantu pemerintah, di masa kekuasaan sipil masih di tangah Jepang, serta pamong praja, polisi dan lain-lain alat-alat pemerintah masih di tangan Jepang.
2.       bahwa setelah kekuasaan sipil dapat direbut dari tangan Jepang, Komte Nasional Indonesia-lah dalam prakteknya mengganti Pangreh Praja dan Polisi, disamping Pangreh Praja dan Polisi yang telah sama melepaskan dirinya dari kekuasaan Jepang dan menjadi Pegawai Republik Indonesia.
3.       bahwa keadaan dualisme yang demikian itu sangat melemahkan kedudukan dan kekuasaan Pangreh Praja dan Polisi yang merupakan alat-alat pemerintahan yang resmi, menurut faham kami sendiri, yang menjadi ukuran untuk dunia internasional, apakah benar-benar bahwa soal local government de facto ada di tangan kita dengan beres (running welf).
Berhubung dengan itu maka soal itu harus lekas dipecahkan. Oleh karenanya Badan Pekerja memajukan rancangan UU kepada Presiden untuk mengaturnya.
Daripada pemandangan diatas dapat ditangkap, bahwa tujuan yang terutama daripada UU itu ialah menarik kekuasaan pemerintahan dari Komite Nasional Indonesia. Sedang penggantian sifat Komite Nasional Indonesia sebagai badan (dari sebagian eksekutif) dapat dipandang sebagai tindakan yang tepat untuk mengadakan forum, dalam mana pemerintahan daerah dapat mempertahankan atau bertanggung jawab atas tindakan atau sikapnya tentang pemerintahan sehari-hari.
Dengan jalan demikian tercapailah menurut paham saya usaha pemerintah pusat untuk menyempurnakan pemerintah daerah berdasarkan kedaulatan rakyat.
Dalam usaha memberi tempat pada Komite Nasional Indonesia Daerah sebagai Badan Perwakilan Rakyat perlu diperhatikan :
a.       bahwa semangat kedaulatan rakyat sedang berkobar.
b.       Bahwa semangat ini selekas mungkin harus diberi tempat.
c.       Bahwa peraturan diadakan sementara.
Mengingat hal-hal diatas maka peraturan-peraturan harus segera diadakan. Kecepatan adanya peraturan harus lebih diutamakan daripada kesempurnaan peraturan.
Berhubung terutama dengan “kecepatan” ini, maka untuk pemerintahan dalam negeri, yang oleh badan pekerja diserahi untuk mengeluarkan “uitvoeringsvoorschrift” tentang hal ini sukar sekali mengerjakan secara systematis.
Maka dari sebab itu “uitvoeringsvoorschrift” (penjelasan) yang akan kami bicarakan ini, kami bagi saja dalam dua golongan, yaitu :
Penjelasan umum dan penjelasan sepasal-sepasal.
Akan tetapi sebelumnya harus kita catat di sini, bahwa yang dikehendaki oleh BP itu bukanlah UU baru, tetapi hanya “uitvoeringsvoorschrift” (penjelasan) saja, yang tak dapat mengubah UU (UU hanya dapat dirubah dengan UU), sedang “uitvoeringsvoorschriften”  tadi lapangannya terbatas sekali, artinya tak dapat keluar daripada UU (lama atau baru).
Batasan ini terasa pula, oleh sebab menurut Peraturan Presiden No. 1 (Berita Republik Indonesia) segala aturan-aturan dan UU lama tetap berlaku, selama belum diadakan UU yang baru menurut UUD.
Berhubung dengan ini, maka kita harus memperhatikan pula Stadsgemeente dari Regentschapsordonantie yang dalam zaman Jepang telah dirubah kedudukannya oleh Osamu Seirei Nomor 12 dan Nomor 13 sebagai Ken dan Si, yang autonomie, akan setapi sifat demokrasinya dilenyapkan, karena segala hak-hak dari Raad-Raad dan College-College di daerah-daerah diberikan kepada Kepala Daerah , sehingga dengan sendirinya Raad-Raad dan College-College tersebut dihapuskan.
Akan tetapi UU tanggal 23 Nopember 1945 Nomor 1 itu, meskipun tidak disebut, pada hakekatnya merubah status-quo pemerintah daerah : “Komite Nasional Indonesia daerah menjadi Badan Perwakilan Rakyat Daerah” dengan dasar kedaulatan rakyat.
Dengan Pemandangan ini sebagai pendahuluan, datanglah waktunya untuk membicarakan “uitvoeringsvoorschrift” yang akan kita keluarkan itu.

PENJELASAN UNDANG-UNDANG 1945 NOMOR 1
A.     Pemandangan Umum.
Terlebih dahulu perlu dikemukakan di sini bahwa UU Nomor 1 dibuka dengan menimbang : bahwa sebelum diadakan pemilihan umum, perlu diadakan aturan sementara waktu utntuk menetapkan kedudukan Komite Nasional Indonesia Daerah. Dalam pembukaan ini ternyata, bahwa UU ini dimaksudkan sekedar mengatur Kedudukan Komite Nasionail Indonesia Daerah : untuk sementara waktu, sebelum diadakan pemilihan umum.
Sebagai peraturan sementara waktu, tentu peraturan ini tidak sempurna dan tentu tidak akan memberi kepuasan sepenuhnya, karena harus diadakan dengan cepat sekedar mencegah kemungkinan kekacauan. Sebagai badan yang harus menunggu pemilihan umum, maka tidak perlu diadakan pemilihan baru, agar Komite Nasional Indonesia, dapat menjelma menjadi Badan Perwakilan Rakyat.
Lain daripada utu perlu diterangkan, bahwa sifat Komite Nasional Indonesia sebagai Badan Perwakilan Rakyat lain sekali daripada sifat Komite Nasional Indonesia sebelum berganti sifat. Ketika Komite Nasional Indonesia dibentuk, kekuasaan Jepang masih merajalela, di mana-mana pegawai Pangreh Praja dan Polisi, sekalipun mereka telah bersumpah setia pada republic, pada hakekatnya masih di bawah kekuasaan Jepang. Oleh karena keadaan yang demikian itu, maka komite nasional pada masa itu merupakan kaki tangan republic dan mengerjakan  banyak hal-hal yang biasanya dikerjakan  oleh Pangreh Prad an Polisi. Setelah kekuasaan sipil dapat direbut dari tangan Jepang, dari kekuasaan mereka, maka dengan sendirinya hak-hak kekuasaan  Komite Nasional Indonesia itu harus dikembalikan kepada alat-alat pemerintahan yang resmi, dan dengan pengembalian itu terbukalah satu lapangan yang lebih sesuai dan indah bagi KNI sebagai badan yang meliputi segenap lapisan dan golongan rakyat, ialah lapangan penjelmaan kedaulatan rakyat dan berganti sifat menjadi : Badan Perwakilan Rakyat. Sebagai BPR, KNI hanya mempunyai satu kewajiban ialah : mengadakan UU untuk daerahnya. Sungguhpun berbeda dalam dasarnya, tetapi sebagai penjelmaan dapat dikatakan, bahwa kewajiban KNI sebagai BPR dapat diumpamakan sebagai Gemeenteraad dan Regentschapsraad dahulu, yang mempunyai kewajiban mengadakan Gemeente dan Regentschpaverordening dan sebagai juga Gemeenteraad dan Regentschapsraad berapat di dalam gedong-gedong kantor Gemeenteraad dan regentschpsraad dan personeelnya tergabung dengan badan tadi, begitulah pula KNI sebagai BPR tidak seharusnya mempunyai gedung, administrasi dan personel yang tersendiri pada kantor-kantor pemerintahan daerah.

B.     Penjelasan Sepasal-Sepasal.
Pasal Pertama, Komite Nasional Daerah diadakan kecuali di daerah Surakarta dan Yogyakarta, di Karesidenan, di Kota Berautonomi, Kabupaten dan lain-lain daerah yang dianggap perlu oleh Menteri Dalam Negeri.
a.       Ini berarti bahwa KND di Propinsi, Kawedanan, Asistenan (Kecamatan) dan di Si-ku dan Ku dalam kota, ta’ perlu dilanjutkan lagi.
b.       Tentang Yogyakarta dan Surakarta, dalam surat pengantar rancangan UU tersebut diterangkan bahwa ketika merundingkan rancangan itu, BP pusat tidak mempunyai gambaran yang jelas, jika begitulah surat pengantar sekiranya pemerintah menganggap perlu untuk daerah tersebut diadakan aturan yang berlainan. Badan Pekerja bersedia menerima untuk membicarakannya rancangan UU yang mengenai daerah itu.
c.       Tentang perkataan “ dilain-lain daerah yang dianggap perlu oleh Mendagri”. Ini tambahan diadakan berhubung dengan perkataan “mengatur rumah tangga daerahnya” dalam pasal 2.
Ketika kita merundingkan ini, kita menggambarkan daerah tersebut, tersusun menurut faham Decentralisatie Wetgeving yang dulu, dengan mempunyai harta benda dan penghasilan sendiri (eigen middelen). Dengan kefahaman itu, niscaya sukar sekali untuk merencanakan budgetnya, jika andaikata daerah dibawahnya kabupaten, umpama assistenan atau desa juga dijadikan badan yang berautonomie dengan mempunyai “eigen middelen”. Niscaya buat ketamsilan : jika desa telah memungut pajak kendaraan atau rooivergunningen dalam desa itu, niscaya saja tidak akan dapat memungut lagi pajak-pajak itu dari obyek dan subyek yang sama.
Dan lagi pemerintah, pada waktu itu (seperti diucapkan oleh menteri kehakiman Prof. Supomo) berkeberatan, bahwa bangunan-bangunan (adatinstituten) yang masih dihargai penduduk desa, akan dihapuskan oleh bangunan baru itu. Maka dari sebab itu, begitulah Prof. Supomo, sebelumnya hal ini harus diselidiki sedalam-dalamnya, sehingga kita dapat gambaran yang terang tentang keadaan di desa-desa. Baiklah kita selidiki dulu soal itu, jangan samai kecepatan untuk mengatur soal ini melahirkan akibat : kelakuan. Akan tetapi jika rakyat memang menghendaki bangunan baru itu, maka mereka diberi kesempatan  untuk mengusulkan hal itu kepada Mendagri, seperti di atas telah diterangkan : desa-autonomi yang digambarkan ini berlainan dengan adatrechtelijke autonomi.

Pasal Kedua, Komite Nasional Daerah menjadi Badan Perwakilan Rakyat Daerah, yang bersama-sama dengan dan dipimpin oleh Kepala Daerah menjalankan pekerjaan mengatur rumah tangga daerahnya, asal tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang lebih luas daripadanya.
1e. “menjadi” artinya berganti sifat (eigenschap), jadi samestellingnya atau anggotanya ta’ perlu diganti.
Ketika menjawab pertanyaan pemerintah, anggota BP sebagai juru bicara Badan Perwakilan mengatakan : “Pasal 2 dimaksudkan untuk memberi tempat KND, yang sekarang ada di awing-awang. (lihatlah notulen BP 7 Nopember 1945). Selanjutnya dalam pengumuman Nomor 2 BP, diterangkan dengan jelas, bahwa KND (BPR) itu menjadi “badan legislatif”, sedang bagian dari KNI yang terdiri dari sebanyak-banyaknya 5 orang, dipilih oleh KND diantaranya, anggota-anggotanya, menjalankan pemerintahan sehari-hari (executif) bersama-sama dengan dan dipimpin oleh Kepala Daerah.
2e. Susunan : BP Pusat memutuskan, bahwa banyaknya anggota untuk :
Karesidenan sebanyak-banyaknya ………………………. : 100 orang
Kabupaten (Kota) ……………………………………………. 60 Orang
3e. “bersama-sama dengan dan dipimpin oleh Kepala Daerah” : meskipun redaksi tentang hal ini sama dengan redaksinya pasal 3, maka menurut keterangan yang kami dapat dari BP ketika mengadakan tanya jawab pada tanggal 28 Desember 1945, perkataan “bersama-sama” di sini (pasal 2), harus diartikan bahwa Kepala Daerah yang memimpin BPR itu ta’ mempunyai suara dalam BPR itu. Jadi bukan “Iid tevens voorzitter” melainkan ketua saja.
4e. “mengatur rumah tangga”, ini agak sulit, sebab dalam UU ini ta’ diterangkan “werkkring” (lingkungan bekerja) dari badan-badan tersebut. Lazimnya perkataan “mengatur rumah tangga” diterjemahkan dengan perkataan autonomi. Apakah autonomi ini : autonomi Jepang ataukah Belanda? Dengan Osamu Seirei 12-13, autonomi Belanda telah dirobah sifat sebagai autonomi Nippon.
Jika berhubungan dengan adanya Peraturan Presiden Nomor 2, yaitu bahwa segala aturan yang ada sampai berdirinya RI tetap berlaku, selama belum diadakan yang baru, kita dalam menafsirkan tujuannya UU tersebut hanya memperhatikan redaksinya saja, maka strict interpretatie badan-badan tersebut hanya mempunyai hak autonomi Jepang, artinya : Karesidenan, Kabupaten dan Kota berautonomi tidak diperbolehkan mengatur hal-hal yang tidak dapat diatur oleh Sjuurei, Ken dan Si Zyoorei. Akan tetapi ini semua bukanlah yang dimaksudkan oleh BPR, seperti yang telah kami uraikan diatas, ketika kita berunding, kita menggambarkan autonomi itu sedikitnya sama dengan autonomi menurut kefahaman decentralisatie-wetgeving. Malahan kita dapat menentukan bahwa autonomi yang kita gambarkan itu bukan autonomi Jepang dan bukan autonomi Belanda, melainkan autonomi Indonesia, yang berdasarkan kedaulatan rakyat. Dan menurut faham saya ini ta’ bertentangan dengan UU tersebut di atas, karena pada hakekatnya status quo pemerintahan daerah sudah dirubah oleh lahirnya UU No. 1, yaitu BPR.
Yang kami qualifiseer sebagai autonomi Indonesia itu lebih luas dari autonomi Belanda, artinya dalam pasal ini hanya ada perbatasan : “asal tidak bertentangan dengan peraturan pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang lebih luas daripadanya”. Ini berarti suatu kemerdekaan untuk mengatur (vrijheid van regeling), meskipun dengan perbatasan.
Bagaimanapun juga menurut keilhaman tata-usaha yang berlaku di Negara-negara yang merdeka, maka lapangan pekerjaan BPR sebagai badan legeslatif dapat dibagi atas 3 bagian :
a.       Kemerdekaan tentang mengadakan aturan-aturan yang lazimnya diterjemahkan dengan perkataan : autonomi.
b.       Pertolongan kepada pemerintah atasan untuk menjalankan (uitvoeren) aturan-aturan yang ditetapkan oleh pemerintah itu, lazimnya disebut :medebewind dan self government.
c.       Untuk mengadakan aturan buat suatu hal yang diperintahkan oleh UU umum, dengan penetapan bahwa aturan itu harus disahkan dahulu oleh pemerintah atasan, diantaranya autonomi dan self government.
Jika hal-hal ini diperhatikan, maka meskipun lapangan pekerjaan legislatif tadi ta’ disebutkan, buat sementara (sebelum dipihak umum) BPR mengerjakan pekerjaan-pekerjaan dengan kepuasan.

Pasal Ketiga, Oleh Komite Nasional Daerah dipilih beberapa orang, sebanyak-banyaknya 5 orang sebagai Badan Exsecutief, yang bersama-sama dengan dan dipimpin oleh Kepala Daerah menjalankan pemerintahan sehari-hari dalam daerah itu.
a.       susunan (samestelling) : anggota 5 orang itu menurut pengumuman BP No. 2 : “dipilih oleh KND di antara anggota-anggotanya”. Jadi terang sekali, bahwa 5 orang anggota badan executif itu anggota pula dari BPR.
b.       “bersama-sama dengan”, ini menurut putusan dari BP, berarti bahwa dalam Badan Executif, Kepala Daerah merupakan : Ketua yang menjadi anggota pula, sebaliknta seperti di atas telah dijelaskan, dalam Bdan Legislatif, Kepala Daerah hanya menjadi Ketua saja. Oleh karena dengan ketua ini jumlahnya anggota badan executifdapat menjadi 6, angka yang genap (even getal), maka sukar sekali jika ada staking van stemmen (yang mufakat sama dengan yang tidak mufakat), sedang tentang hal ini belum teratur. Menurut pendapat kami kita harus mempergunakan kefahaman barat : jika yang diundikan itu orang, baiklah, jika yang mufakat sama dengan yang tidak mufakat (staking van stemmen), hal ini ditetapkan dengan undian (lot) pula. Jika yang diundikan barang atau hal sesuatu, baiklah dalam hal demikian, usul dianggap : sebagai tidak diterima.
c.       “Kepala Daerah” qualitatus qua menjadi ketua kedua badan, sehingga (begitulah putusan BP Pusat tanggal 28-12-1945) jika Kepala Daerah ini berhalangan, maka wakil kepala daerah pulalah yang memimpinnya (jadi wakil residen, patih atau wakil kepala kota).
d.       “Anggota Badan Executif”. Menurut keputusan BP Pusat, anggota ini bukannya “diensthoofd” (kepala jabatan, melainkan “politik leider” dari salah suatu jawatan sebagai gambaran barat : “wethouder voor openbare werken, wethouder voor onderwijs, dan sebagainya, sehingga kehendak anggota, Badan Executif senantiasa harus melalui kepala daerah.
e.       “Pemerintahan sehari-hari” (dagelijksche leiding en uitvoering van zaken). Apa yang diartikan ini, tidak disebut, akan tetapi menurut kefahaman barat, perkataan itu diartikan : Bestuur. Selanjutnya badan ini berkewajiban untuk menjalankan UU yang diputuskan oleh badan legislatif.
Dalam hal yang mengenai hak-hak pemerintahan pusat yang diperlukan kepada Kepala Daerah in self government atau lainnya, badan ini tidak berhak menyampurinya, umpama tentang polisi dan lain-lain yang pimpinannya diserahkan kepadanya. Ini kecuali jika dengan UU Badan Executif diserahi juga self government. Bagaimanapun juga sifatnya Kepala Daerah ini dua, yaitu : sebagai Wakil Pemerintah dan sebagai Ketua, pemimpin badan-badan tersebut.
Tentang tanggung jawab, meskipun menurut kefahaman decentralisatie (bestuurshervorming) pertanggungan jawab oleh Kepala Daerah (Ketua badan-badan diatas) dan executief komite hanya mengenai “rumah tangga” (huishouding daerah saja), maka menurut kehendaknya (geest) dari verordening No. 1 dan mengingat suaana sekarang ini, serta menurut kefahaman seperti yang diucapkan oleh wakil presiden dalam pidatonya tentang arti “kedaulatan rakyat”, maka pertanggungan jawab seharusnya mengenai segala lapangan pekerjaan juga tentang self government (terutama oleh Kepala Daerah).

Pasal Ke-empat, Ketua Komite Nasional Indonesia lama harus menjadi Wakil Ketua Badan executif dan Badan Perwakilan Rakyat.
Meskipun dalam redaksinya (tadi telah kami utarakan, bahwa accent-nya verordening ini “kecepatan”, bukanlah “kesempurnaan”) terang sekali, bahwa Ketua KNI lama menjadi Wakil Ketua badan tersebut, akan tetapi dalam pasal 2 dan 3 terang  pula, bahwa yang memimpin kedua badan itu kepala daerah. Jadi menurut pendapat BP : kalau kepala daerah berhalangan, wakil kepala daerah pula yang menggantinya.
Baiklah soal yang sulit ini kita kupas  dengan menafsirkan redaksi dan kehendak serta mengingat : sifat badan-badan tersebut. Pada azasnya : Kepala Daerah itu uit-voerder (executif), maka dari itu wakil kepala daerah yang harus memimpin badan executif, jika kepala daerah berhalangan, sedang wakil ketua (voorzitter KNI lama q.q. duduk sebagai anggota). Lain hanya dengan pimpinan badan-Legislatief (Badan Perwakilan Rakyat), disinilah pada tempatnya, bahwa ketua Komite Nasional lama mewakili kepala daerah yang berhalangan.

Pasal Ke-lima. Apabila kekurangan, negeri niscaya akan menyokong, jika pemerintah pusat menimbang perlu.



[1] Berita Republik Indonesia Tahun II No. 7 halaman 56 kolom 1

[2] Penjelasan ini dibuat oleh Kementerian Dalam Negeri beberapa waktu setelah undang-undang ini ditetapkan dan pendjelasan ini diedarkan pula kepada Kementerian (sebelum clash I)
[3] Mr. Hermani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar