UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1945[1]
TENTANG
KEDUDUKAN
KOMITE NASIONAL DAERAH
Kami
Presiden Republik Indonesia,
Menimbang : bahwa sebelumnya diadakan pemilihan umum
perlu diadakan aturan buat sementara waktu untuk menetapkan Kedudukan Komite
Nasional Daerah;
Mengingat : Pasal 18 dan
20 Undang-Undang Dasar dan Maklumat Wakil-Presiden No. X, tanggal 16 Oktober
1945;
Dengan
Persetujuan
Badan
Pekerdja Komite Nasional Pusat;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
: UNDANG-UNDANG sebagai berikut :
Pasal
1
Komite
Nasional Daerah diadakan kecuali di daerah Surakarta dan Yogyakarta, di
Karesidenan, di Kota Berautonomi, Kabupaten dan lain-lain daerah yang dianggap
perlu oleh Menteri Dalam Negeri.
Pasal
2
Komite
Nasional Daerah menjadi Badan Perwakilan Rakyat Daerah, yang bersama-sama
dengan dan dipimpin oleh Kepala Daerah menjalankan pekerjaan mengatur rumah
tangga daerahnya, asal tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah yang lebih luas daripadanya.
Pasal
3
Oleh
Komite Nasional Daerah dipilih beberapa orang, sebanyak-banyaknya 5 orang
sebagai Badan Exsecutief, yang bersama-sama dengan dan dipimpin oleh Kepala
Daerah menjalankan pemerintahan sehari-hari dalam daerah itu.
Pasal
4
Ketua
Komite Nasional Daerah yang lama harus diangkat sebagai Wakil Ketua Badan yang
dimaksudkan dalam Pasal 2 dan 3.
Pasal
5
Biaya
untuk keperluan Komite Nasional Daerah disediakan oleh Pemerintah Daerah.
Pasal
6
Undang-Undang
ini mulai berlaku pada hari diumumkan dan perubahan dalam daerah-daerah harus
selesai dalam waktu selambat-lambatnya 14 hari.
Djakarta, tanggal 23 Nopember 1945
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
SOEKARNO
Diumumkan
Pada
Tanggal 23 Nopember 1945
Sekretaris
Negara,
A.G.
PRINGGODIGDO
P
E N D J E L A S A N[2]
UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1945
TENTANG
KEDUDUKAN KOMITE NASIONAL DAERAH
Didalam menjalankan UU tanggal 23 Nopember 1945 pemerintah
telah menemui beberapa kesulitan yang ta’mudah dipecahkan, oleh karena menurut
paham kami :
UU ini tidak disertai “memorie van toelichting” yang lazim
disertakan dalam tidap-tidap rencana UU atau dalam tiap-tiap UU yang baru
diumumkan. Hal yang demikian itu menyebabkan pembaca dari UU tersebut tidak
dapat mengetahui tujuan dari UU itu, sehingga tergantung semata-mata pada
susunan redaksi dari UU tersebut dalam menafsirkan isi UU itu.
Begitu timbullah beberapa pertanyaan dari masing-masing daerah
seperti :
a. apakah Kepala Daerah yang qualitatus qua memimpin Badan
Perwakilan Rakyat dan Badan Exekutif itu, juga berkedudukan sebagai anggauta
yang mempunyai suara (stem) dalam badan-badan tersebut?
b. Seterusnya, jika Kepala Daerah (Residen, Bupati atau Kepala
Kota) berhalangan, siapakah yang menjadi gantinya untuk memimpin persidangan
dari badan-badan tersebut?
c. Apakah seorang bukan anggauta dari Badan Perwakilan Rakyat
boleh ditunjuk sebagai anggauta Badan Eksekutif?
d. Apakah artinya Komite Nasional Indonesia menjadi Badan
Perwakilan Rakyat Daerah dan sebagainya?
Begitulah masih banyak soal-soal yang menimbulkan kesulitan UU
tersebut.
Oleh sebab itu didalam kita berusaha mengadakan penjelasan itu,
perlu kita mengetahui tujuan serta sebab-sebab yang telah menggerakkan Badan
Pekerja Pusat untuk mengusulkan UU tersebut pada pemerintah, dan untuk
mengetahui hal itu perlu kita mendapat notulen rapat Badan Pekerja ketika
merundingkan UU itu, serta meneliti pengumuman-pengumuman Badan Pekerja yang
mengenai UU tersebut yang dapat kita gunakan sebagai “memorie van toelichting”.
Meskipun notulen tidak semua ada pada kita, akan tetapi dalam
perundingannya itu Prof. Supomo dan saya sebagai wakil[3]
pemerintah turut merundingkanrencana UU tersebut dalam Badan Pekerja, sehingga
walaupun tidak autentik saya dapat memberikan keterangan tentang
“wordingsgeschiedenisnya” UU ini.
Akan tetapi bagaimanapun juga, untuk mengetahui asas dan tujuan
UU itu tidak cukup kiranya jika kita mengambil dasar “ingat-ingatan” saja. Cara
semacam ini “yuridis” kurang harganya. Oleh karenanya, maka kita harus mencoba
mencari dasar dan tujuan itu hanya daripada pengumuman-pengumuman Badan Pekerja
yang dimuat dalam Berita Republik Indonesia, terutama dalam pengumuman No. 2
dan No. 3, serta penjelasan kedudukan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia
Pusat, yang dapat dipergunakan sebagai perbandingan. Selain dari itu ada pada
kita surat pengantar rancangan UU, dari Komite Nasional Indonesia Pusat pada
Presiden tanggal 27-10-1945 No. 30/B.P, yang dapat dipergunakan sebagai
penjelasan umum. Dalam pengumuman No. 2 terdapat alenia yang demikian bunyinya
: “Maka kedudukan Komite Nasional Daerah perlu lekas diatur supaya hilang
keragu-raguan tentang kedudukannya dan lekas tercapai keadaan yang sama di
seluruh Negara kita”.
Kemudian dalam pengumuman No. 3 ada dikatakan : “Dalam waktu
dua bulan semenjak berdirinya republic kita, sudah ternyata benar-benar
komite-komite itu memenuhi kewajibannya sebagai badan yang harus mempertahankan
dan membantu pemerintah, yang mula-mula belum terbentuk dan belum dapat bekerja
dengan seksama”.
Setelah dikatakan bahwa dalam dua bulan kekuasaan sipil
seluruhnya dapat dimiliki oleh pemerintah kita, maka dikatakan : “dengan
keadaan itu setelah berusaha supaya tiap-tiap urusan Negara jangan lagi diurus
oleh Komite Nasional Indonesia, tetapi oleh Badan Pemerintah yang bersangkutan,
sampailah waktunya Komite Nasional berganti sifat”.
Kemudian dikatakan dalam : “Penjelasan tentang Kedudukan Badan
Pekerja KNIP : KNIP tidak berhak lagi mengurus hal-hal yang berkenan dengan
tindakan pemerintah (eksekutif).
Selanjutnya dalam surat pengantar tanggal 27-10-1945 tersebut :
“ Badan Pekerja berpendapat bahwa Komite (Nasional) dan Si-ku dan Ku dalam kota
tak perlu dilanjutkan berdiri.
Badan Pekerja, begitulah surat tersebut, telah membicarakan
sifat mana hendaknya diberi kepada Komite Nasional daerah yang terus diadakan.
Kesimpulan pembicaraan ialah : Komite Nasional Daerah itu hendaknya menjadi
Badan legislative, dipimpin oleh Kepala Daerah, sedang sebagian dari Komite
Nasional itu dipimpin (pula) oleh Kepala Daerah, hendaknya menjalankan pemerintahan
sehari-hari.
Daripada pengumuman-pengumuman dan surat-surat pengantar
tersebut, dapat kita menarik kesimpulan sebagai berikut :
1. bahwa komite nasional Indonesia mula-mula dibentuk sebagai
pembantu pemerintah, di masa kekuasaan sipil masih di tangah Jepang, serta
pamong praja, polisi dan lain-lain alat-alat pemerintah masih di tangan Jepang.
2. bahwa setelah kekuasaan sipil dapat direbut dari tangan Jepang,
Komte Nasional Indonesia-lah dalam prakteknya mengganti Pangreh Praja dan
Polisi, disamping Pangreh Praja dan Polisi yang telah sama melepaskan dirinya
dari kekuasaan Jepang dan menjadi Pegawai Republik Indonesia.
3. bahwa keadaan dualisme yang demikian itu sangat melemahkan
kedudukan dan kekuasaan Pangreh Praja dan Polisi yang merupakan alat-alat pemerintahan
yang resmi, menurut faham kami sendiri, yang menjadi ukuran untuk dunia
internasional, apakah benar-benar bahwa soal local government de facto ada di
tangan kita dengan beres (running welf).
Berhubung dengan itu maka soal itu harus lekas dipecahkan. Oleh
karenanya Badan Pekerja memajukan rancangan UU kepada Presiden untuk
mengaturnya.
Daripada pemandangan diatas dapat ditangkap, bahwa tujuan yang
terutama daripada UU itu ialah menarik kekuasaan pemerintahan dari Komite
Nasional Indonesia. Sedang penggantian sifat Komite Nasional Indonesia sebagai
badan (dari sebagian eksekutif) dapat dipandang sebagai tindakan yang tepat
untuk mengadakan forum, dalam mana pemerintahan daerah dapat mempertahankan
atau bertanggung jawab atas tindakan atau sikapnya tentang pemerintahan
sehari-hari.
Dengan jalan demikian tercapailah menurut paham saya usaha
pemerintah pusat untuk menyempurnakan pemerintah daerah berdasarkan kedaulatan
rakyat.
Dalam usaha memberi tempat pada Komite Nasional Indonesia
Daerah sebagai Badan Perwakilan Rakyat perlu diperhatikan :
a. bahwa semangat kedaulatan rakyat sedang berkobar.
b. Bahwa semangat ini selekas mungkin harus diberi tempat.
c. Bahwa peraturan diadakan sementara.
Mengingat hal-hal diatas maka peraturan-peraturan harus segera
diadakan. Kecepatan adanya peraturan harus lebih diutamakan daripada
kesempurnaan peraturan.
Berhubung terutama dengan “kecepatan” ini, maka untuk
pemerintahan dalam negeri, yang oleh badan pekerja diserahi untuk mengeluarkan
“uitvoeringsvoorschrift” tentang hal ini sukar sekali mengerjakan secara
systematis.
Maka dari sebab itu “uitvoeringsvoorschrift” (penjelasan) yang
akan kami bicarakan ini, kami bagi saja dalam dua golongan, yaitu :
Penjelasan
umum dan penjelasan sepasal-sepasal.
Akan tetapi sebelumnya harus kita catat di sini, bahwa yang
dikehendaki oleh BP itu bukanlah UU baru, tetapi hanya “uitvoeringsvoorschrift”
(penjelasan) saja, yang tak dapat mengubah UU (UU hanya dapat dirubah dengan
UU), sedang “uitvoeringsvoorschriften”
tadi lapangannya terbatas sekali, artinya tak dapat keluar daripada UU
(lama atau baru).
Batasan ini terasa pula, oleh sebab menurut Peraturan Presiden
No. 1 (Berita Republik Indonesia) segala aturan-aturan dan UU lama tetap
berlaku, selama belum diadakan UU yang baru menurut UUD.
Berhubung dengan ini, maka kita harus memperhatikan pula
Stadsgemeente dari Regentschapsordonantie yang dalam zaman Jepang telah dirubah
kedudukannya oleh Osamu Seirei Nomor 12 dan Nomor 13 sebagai Ken dan Si, yang
autonomie, akan setapi sifat demokrasinya dilenyapkan, karena segala hak-hak
dari Raad-Raad dan College-College di daerah-daerah diberikan kepada Kepala Daerah
, sehingga dengan sendirinya Raad-Raad dan College-College tersebut dihapuskan.
Akan tetapi UU tanggal 23 Nopember 1945 Nomor 1 itu, meskipun
tidak disebut, pada hakekatnya merubah status-quo pemerintah daerah : “Komite
Nasional Indonesia daerah menjadi Badan Perwakilan Rakyat Daerah” dengan dasar
kedaulatan rakyat.
Dengan Pemandangan ini sebagai pendahuluan, datanglah waktunya
untuk membicarakan “uitvoeringsvoorschrift” yang akan kita keluarkan itu.
PENJELASAN
UNDANG-UNDANG 1945 NOMOR 1
A. Pemandangan Umum.
Terlebih dahulu perlu dikemukakan di sini bahwa UU Nomor 1
dibuka dengan menimbang : bahwa sebelum diadakan pemilihan umum, perlu diadakan
aturan sementara waktu utntuk menetapkan kedudukan Komite Nasional Indonesia
Daerah. Dalam pembukaan ini ternyata, bahwa UU ini dimaksudkan sekedar mengatur
Kedudukan Komite Nasionail Indonesia Daerah : untuk sementara waktu, sebelum
diadakan pemilihan umum.
Sebagai peraturan sementara waktu, tentu peraturan ini tidak
sempurna dan tentu tidak akan memberi kepuasan sepenuhnya, karena harus
diadakan dengan cepat sekedar mencegah kemungkinan kekacauan. Sebagai badan
yang harus menunggu pemilihan umum, maka tidak perlu diadakan pemilihan baru,
agar Komite Nasional Indonesia, dapat menjelma menjadi Badan Perwakilan Rakyat.
Lain daripada utu perlu diterangkan, bahwa sifat Komite
Nasional Indonesia sebagai Badan Perwakilan Rakyat lain sekali daripada sifat
Komite Nasional Indonesia sebelum berganti sifat. Ketika Komite Nasional
Indonesia dibentuk, kekuasaan Jepang masih merajalela, di mana-mana pegawai
Pangreh Praja dan Polisi, sekalipun mereka telah bersumpah setia pada republic,
pada hakekatnya masih di bawah kekuasaan Jepang. Oleh karena keadaan yang
demikian itu, maka komite nasional pada masa itu merupakan kaki tangan republic
dan mengerjakan banyak hal-hal yang
biasanya dikerjakan oleh Pangreh Prad an
Polisi. Setelah kekuasaan sipil dapat direbut dari tangan Jepang, dari
kekuasaan mereka, maka dengan sendirinya hak-hak kekuasaan Komite Nasional Indonesia itu harus
dikembalikan kepada alat-alat pemerintahan yang resmi, dan dengan pengembalian
itu terbukalah satu lapangan yang lebih sesuai dan indah bagi KNI sebagai badan
yang meliputi segenap lapisan dan golongan rakyat, ialah lapangan penjelmaan
kedaulatan rakyat dan berganti sifat menjadi : Badan Perwakilan Rakyat. Sebagai
BPR, KNI hanya mempunyai satu kewajiban ialah : mengadakan UU untuk daerahnya.
Sungguhpun berbeda dalam dasarnya, tetapi sebagai penjelmaan dapat dikatakan,
bahwa kewajiban KNI sebagai BPR dapat diumpamakan sebagai Gemeenteraad dan
Regentschapsraad dahulu, yang mempunyai kewajiban mengadakan Gemeente dan
Regentschpaverordening dan sebagai juga Gemeenteraad dan Regentschapsraad
berapat di dalam gedong-gedong kantor Gemeenteraad dan regentschpsraad dan
personeelnya tergabung dengan badan tadi, begitulah pula KNI sebagai BPR tidak
seharusnya mempunyai gedung, administrasi dan personel yang tersendiri pada
kantor-kantor pemerintahan daerah.
B. Penjelasan Sepasal-Sepasal.
Pasal
Pertama, Komite Nasional Daerah diadakan kecuali di
daerah Surakarta dan Yogyakarta, di Karesidenan, di Kota Berautonomi, Kabupaten
dan lain-lain daerah yang dianggap perlu oleh Menteri Dalam Negeri.
a. Ini berarti bahwa KND di Propinsi, Kawedanan, Asistenan
(Kecamatan) dan di Si-ku dan Ku dalam kota, ta’ perlu dilanjutkan lagi.
b. Tentang Yogyakarta dan Surakarta, dalam surat pengantar
rancangan UU tersebut diterangkan bahwa ketika merundingkan rancangan itu, BP
pusat tidak mempunyai gambaran yang jelas, jika begitulah surat pengantar
sekiranya pemerintah menganggap perlu untuk daerah tersebut diadakan aturan
yang berlainan. Badan Pekerja bersedia menerima untuk membicarakannya rancangan
UU yang mengenai daerah itu.
c. Tentang perkataan “ dilain-lain daerah yang dianggap perlu oleh
Mendagri”. Ini tambahan diadakan berhubung dengan perkataan “mengatur rumah
tangga daerahnya” dalam pasal 2.
Ketika kita merundingkan ini, kita menggambarkan daerah
tersebut, tersusun menurut faham Decentralisatie Wetgeving yang dulu, dengan mempunyai
harta benda dan penghasilan sendiri (eigen middelen). Dengan kefahaman itu,
niscaya sukar sekali untuk merencanakan budgetnya, jika andaikata daerah
dibawahnya kabupaten, umpama assistenan atau desa juga dijadikan badan yang
berautonomie dengan mempunyai “eigen middelen”. Niscaya buat ketamsilan : jika
desa telah memungut pajak kendaraan atau rooivergunningen dalam desa itu,
niscaya saja tidak akan dapat memungut lagi pajak-pajak itu dari obyek dan
subyek yang sama.
Dan lagi pemerintah, pada waktu itu (seperti diucapkan oleh
menteri kehakiman Prof. Supomo) berkeberatan, bahwa bangunan-bangunan
(adatinstituten) yang masih dihargai penduduk desa, akan dihapuskan oleh
bangunan baru itu. Maka dari sebab itu, begitulah Prof. Supomo, sebelumnya hal
ini harus diselidiki sedalam-dalamnya, sehingga kita dapat gambaran yang terang
tentang keadaan di desa-desa. Baiklah kita selidiki dulu soal itu, jangan samai
kecepatan untuk mengatur soal ini melahirkan akibat : kelakuan. Akan tetapi
jika rakyat memang menghendaki bangunan baru itu, maka mereka diberi
kesempatan untuk mengusulkan hal itu
kepada Mendagri, seperti di atas telah diterangkan : desa-autonomi yang
digambarkan ini berlainan dengan adatrechtelijke autonomi.
Pasal
Kedua, Komite Nasional Daerah menjadi Badan
Perwakilan Rakyat Daerah, yang bersama-sama dengan dan dipimpin oleh Kepala
Daerah menjalankan pekerjaan mengatur rumah tangga daerahnya, asal tidak
bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang lebih
luas daripadanya.
1e. “menjadi” artinya berganti sifat (eigenschap), jadi
samestellingnya atau anggotanya ta’ perlu diganti.
Ketika menjawab pertanyaan pemerintah, anggota BP sebagai juru
bicara Badan Perwakilan mengatakan : “Pasal 2 dimaksudkan untuk memberi tempat
KND, yang sekarang ada di awing-awang. (lihatlah notulen BP 7 Nopember 1945).
Selanjutnya dalam pengumuman Nomor 2 BP, diterangkan dengan jelas, bahwa KND
(BPR) itu menjadi “badan legislatif”, sedang bagian dari KNI yang terdiri dari
sebanyak-banyaknya 5 orang, dipilih oleh KND diantaranya, anggota-anggotanya,
menjalankan pemerintahan sehari-hari (executif) bersama-sama dengan dan
dipimpin oleh Kepala Daerah.
2e. Susunan : BP Pusat memutuskan, bahwa banyaknya anggota
untuk :
Karesidenan
sebanyak-banyaknya ………………………. : 100 orang
Kabupaten
(Kota) ……………………………………………. 60 Orang
3e. “bersama-sama dengan dan dipimpin oleh Kepala Daerah” :
meskipun redaksi tentang hal ini sama dengan redaksinya pasal 3, maka menurut
keterangan yang kami dapat dari BP ketika mengadakan tanya jawab pada tanggal
28 Desember 1945, perkataan “bersama-sama” di sini (pasal 2), harus diartikan
bahwa Kepala Daerah yang memimpin BPR itu ta’ mempunyai suara dalam BPR itu.
Jadi bukan “Iid tevens voorzitter” melainkan ketua saja.
4e. “mengatur rumah tangga”, ini agak sulit, sebab dalam UU ini
ta’ diterangkan “werkkring” (lingkungan bekerja) dari badan-badan tersebut.
Lazimnya perkataan “mengatur rumah tangga” diterjemahkan dengan perkataan
autonomi. Apakah autonomi ini : autonomi Jepang ataukah Belanda? Dengan Osamu
Seirei 12-13, autonomi Belanda telah dirobah sifat sebagai autonomi Nippon.
Jika berhubungan dengan adanya Peraturan Presiden Nomor 2,
yaitu bahwa segala aturan yang ada sampai berdirinya RI tetap berlaku, selama
belum diadakan yang baru, kita dalam menafsirkan tujuannya UU tersebut hanya
memperhatikan redaksinya saja, maka strict interpretatie badan-badan tersebut
hanya mempunyai hak autonomi Jepang, artinya : Karesidenan, Kabupaten dan Kota
berautonomi tidak diperbolehkan mengatur hal-hal yang tidak dapat diatur oleh
Sjuurei, Ken dan Si Zyoorei. Akan tetapi ini semua bukanlah yang dimaksudkan
oleh BPR, seperti yang telah kami uraikan diatas, ketika kita berunding, kita
menggambarkan autonomi itu sedikitnya sama dengan autonomi menurut kefahaman
decentralisatie-wetgeving. Malahan kita dapat menentukan bahwa autonomi yang
kita gambarkan itu bukan autonomi Jepang dan bukan autonomi Belanda, melainkan
autonomi Indonesia, yang berdasarkan kedaulatan rakyat. Dan menurut faham saya
ini ta’ bertentangan dengan UU tersebut di atas, karena pada hakekatnya status
quo pemerintahan daerah sudah dirubah oleh lahirnya UU No. 1, yaitu BPR.
Yang kami qualifiseer sebagai autonomi Indonesia itu lebih luas
dari autonomi Belanda, artinya dalam pasal ini hanya ada perbatasan : “asal
tidak bertentangan dengan peraturan pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang
lebih luas daripadanya”. Ini berarti suatu kemerdekaan untuk mengatur (vrijheid
van regeling), meskipun dengan perbatasan.
Bagaimanapun
juga menurut keilhaman tata-usaha yang berlaku di Negara-negara yang merdeka,
maka lapangan pekerjaan BPR sebagai badan legeslatif dapat dibagi atas 3 bagian
:
a. Kemerdekaan tentang mengadakan aturan-aturan yang lazimnya
diterjemahkan dengan perkataan : autonomi.
b. Pertolongan kepada pemerintah atasan untuk menjalankan
(uitvoeren) aturan-aturan yang ditetapkan oleh pemerintah itu, lazimnya disebut
:medebewind dan self government.
c. Untuk mengadakan aturan buat suatu hal yang diperintahkan oleh
UU umum, dengan penetapan bahwa aturan itu harus disahkan dahulu oleh
pemerintah atasan, diantaranya autonomi dan self government.
Jika hal-hal ini diperhatikan, maka meskipun lapangan pekerjaan
legislatif tadi ta’ disebutkan, buat sementara (sebelum dipihak umum) BPR
mengerjakan pekerjaan-pekerjaan dengan kepuasan.
Pasal
Ketiga, Oleh Komite Nasional Daerah dipilih
beberapa orang, sebanyak-banyaknya 5 orang sebagai Badan Exsecutief, yang
bersama-sama dengan dan dipimpin oleh Kepala Daerah menjalankan pemerintahan
sehari-hari dalam daerah itu.
a. susunan (samestelling) : anggota 5 orang itu menurut pengumuman
BP No. 2 : “dipilih oleh KND di antara anggota-anggotanya”. Jadi terang sekali,
bahwa 5 orang anggota badan executif itu anggota pula dari BPR.
b. “bersama-sama dengan”, ini menurut putusan dari BP, berarti
bahwa dalam Badan Executif, Kepala Daerah merupakan : Ketua yang menjadi
anggota pula, sebaliknta seperti di atas telah dijelaskan, dalam Bdan
Legislatif, Kepala Daerah hanya menjadi Ketua saja. Oleh karena dengan ketua ini
jumlahnya anggota badan executifdapat menjadi 6, angka yang genap (even getal),
maka sukar sekali jika ada staking van stemmen (yang mufakat sama dengan yang
tidak mufakat), sedang tentang hal ini belum teratur. Menurut pendapat kami
kita harus mempergunakan kefahaman barat : jika yang diundikan itu orang,
baiklah, jika yang mufakat sama dengan yang tidak mufakat (staking van
stemmen), hal ini ditetapkan dengan undian (lot) pula. Jika yang diundikan
barang atau hal sesuatu, baiklah dalam hal demikian, usul dianggap : sebagai
tidak diterima.
c. “Kepala Daerah” qualitatus qua menjadi ketua kedua badan,
sehingga (begitulah putusan BP Pusat tanggal 28-12-1945) jika Kepala Daerah ini
berhalangan, maka wakil kepala daerah pulalah yang memimpinnya (jadi wakil residen,
patih atau wakil kepala kota).
d. “Anggota Badan Executif”. Menurut keputusan BP Pusat, anggota
ini bukannya “diensthoofd” (kepala jabatan, melainkan “politik leider” dari
salah suatu jawatan sebagai gambaran barat : “wethouder voor openbare werken, wethouder
voor onderwijs, dan sebagainya, sehingga kehendak anggota, Badan Executif
senantiasa harus melalui kepala daerah.
e. “Pemerintahan sehari-hari” (dagelijksche leiding en uitvoering
van zaken). Apa yang diartikan ini, tidak disebut, akan tetapi menurut
kefahaman barat, perkataan itu diartikan : Bestuur. Selanjutnya badan ini
berkewajiban untuk menjalankan UU yang diputuskan oleh badan legislatif.
Dalam hal yang mengenai hak-hak pemerintahan pusat yang
diperlukan kepada Kepala Daerah in self government atau lainnya, badan ini
tidak berhak menyampurinya, umpama tentang polisi dan lain-lain yang
pimpinannya diserahkan kepadanya. Ini kecuali jika dengan UU Badan Executif
diserahi juga self government. Bagaimanapun juga sifatnya Kepala Daerah ini
dua, yaitu : sebagai Wakil Pemerintah dan sebagai Ketua, pemimpin badan-badan
tersebut.
Tentang tanggung jawab, meskipun menurut kefahaman
decentralisatie (bestuurshervorming) pertanggungan jawab oleh Kepala Daerah
(Ketua badan-badan diatas) dan executief komite hanya mengenai “rumah tangga”
(huishouding daerah saja), maka menurut kehendaknya (geest) dari verordening
No. 1 dan mengingat suaana sekarang ini, serta menurut kefahaman seperti yang
diucapkan oleh wakil presiden dalam pidatonya tentang arti “kedaulatan rakyat”,
maka pertanggungan jawab seharusnya mengenai segala lapangan pekerjaan juga
tentang self government (terutama oleh Kepala Daerah).
Pasal
Ke-empat, Ketua Komite Nasional Indonesia lama harus
menjadi Wakil Ketua Badan executif dan Badan Perwakilan Rakyat.
Meskipun dalam redaksinya (tadi telah kami utarakan, bahwa
accent-nya verordening ini “kecepatan”, bukanlah “kesempurnaan”) terang sekali,
bahwa Ketua KNI lama menjadi Wakil Ketua badan tersebut, akan tetapi dalam
pasal 2 dan 3 terang pula, bahwa yang
memimpin kedua badan itu kepala daerah. Jadi menurut pendapat BP : kalau kepala
daerah berhalangan, wakil kepala daerah pula yang menggantinya.
Baiklah soal yang sulit ini kita kupas dengan menafsirkan redaksi dan kehendak serta
mengingat : sifat badan-badan tersebut. Pada azasnya : Kepala Daerah itu
uit-voerder (executif), maka dari itu wakil kepala daerah yang harus memimpin
badan executif, jika kepala daerah berhalangan, sedang wakil ketua (voorzitter
KNI lama q.q. duduk sebagai anggota). Lain hanya dengan pimpinan
badan-Legislatief (Badan Perwakilan Rakyat), disinilah pada tempatnya, bahwa
ketua Komite Nasional lama mewakili kepala daerah yang berhalangan.
Pasal
Ke-lima. Apabila kekurangan, negeri niscaya akan
menyokong, jika pemerintah pusat menimbang perlu.
[1] Berita Republik Indonesia Tahun II No. 7 halaman 56 kolom 1
[2] Penjelasan ini dibuat oleh Kementerian Dalam Negeri beberapa
waktu setelah undang-undang ini ditetapkan dan pendjelasan ini diedarkan pula
kepada Kementerian (sebelum clash I)
[3] Mr. Hermani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar