Jumat, 09 Agustus 2019

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1948 TENTANG PEMERINTAH DAERAH


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 22 TAHUN 1948
TENTANG

PEMERINTAH DAERAH


Presiden Republik Indonesia,
Menimbang :  bahwa perlu ditetapkan undang-undang berdasarkan pasal 18 UUD, yang menetapkan pokok-pokok tentang pemerintahan sendiri di daerah-daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri;

Mengingat    :   Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, Pasal 20 ayat (1) dan Pasal IV Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar dan Maklumat Wakil-Presiden No. X, tanggal 16 Oktober 1945;

Dengan Persetujuan
Badan Pekerdja Komite Nasional Pusat;
MEMUTUSKAN : Menetapkan peraturan sebagai berikut : UNDANG-UNDANG POKOK TENTANG PEMERINTAH DAERAH

BAB I : TENTANG PEMBAGIAN NEGARA DALAM DAERAH-DAERAH
            YANG DAPAT MENGATUR DAN MENGURUS RUMAH TANGGANYA SENDIRI
Pasal 1
(1)     Daerah Negara Republik Indonesia tersusun dalam tiga tingkatan, ialah : Propinsi, Kabupaten (kota besar) dan Desa (kota kecil) negeri, marga dan sebagainya, yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
(2)     Daerah-daerah yang mempunyai hak-hak asal-usul dan dizaman sebelum RI mempunyai pemerintahan sendiri yang bersifat istimewa dengan UU pembentukan termasuk dalam ayat (3) dapat ditetapkan sebagai daerah istimewa yang setingkat dengan Propinsi, Kabupaten atau Desa, yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
(3)     Nama, batas-batas, tingkatan, hak dan kewajiban daerah-daerah tersebut dalam ayat (1) dan (2) ditetapkan dengan UU.

BAB II : TENTANG BENTUK DAN SUSUNAN PEMERINTAH DAERAH
BAGIAN I Peraturan Umum
Pasal 2
(1)     Pemerintahan Daerah terdiri daripada DPRD dan DPD.
(2)     Ketua dan Wakil Ketua DPRD dipilih oleh dan dari anggauta DPRD.
(3)     Kepala Daerah menjabat Ketua dan anggota Dewan Pemerintah Daerah.
BAGIAN II : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Pasal 3
(1)     Bagi tiap-tiap daerah jumlah anggota DPRD ditetapkan dengan UU Pembentukan.
(2)     Anggota DPRD dipilih selama lima tahun.
(3)     Menyimpang daripada ketentuan tersebut dalam ayat (2) anggota-anggota DPRD yang pertama meletakkan jabatannya bersama-sama pada waktu yang ditentukan dalam UU pembentukan.
(4)     Dengan UU ditetapkan peraturan tentang pemilihan dan pengganti anggota-anggota tersebut dalam ayat (1).

Pasal 4
Yang dapat menjadi anggota DPRD, ialah :
a.       Warga Negara Indonesia.
b.       Telah berumur dua puluh satu tahun;
c.       Bertempat tinggal di dalam daerah yang bersangkutan sedikitnya enam bulan terakhir.
d.       Cakap menulis dan membaca dalam bahasa Indonesia dengan huruf latin;
e.       Tidak karena keputusan pengadilan yang tidak dapat dirobah lagi kehilanbgan hak menguasai atau mengurus harta bendanya;
f.        Tidak dengan keputusan pengadilan yang tidak dapat dirubah lagi dipecat dari hak memilih atau hak dipilih.
g.       Tidak terganggu ingatannya.

Pasal 5
Anggauta DPRD tidak boleh merangkap menjadi :
a.       Presiden, Wakil Presiden;
b.       Perdana Menteri, Wakil Perdana Menteri, Menteri, Menteri Muda.
c.       Komisaris Negara;
d.       Ketua dan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan;
e.       Kepala Daerah dari Daerah yang bersangkutan dan dari daerah yang lebih atas.
f.        Anggota DPRD yang setingkat lebih atas.
g.       Pegawai yang bertanggungjawab tentang keuangan kepada daerah yang bersangkutan.
h.       Kepala Jawatan dan Sekretaris Daerah yang bersangkutan.

Pasal 6
(1)     Anggota DPRD tidak boleh melakukan pekerjaan yang memberikan keuntungan baginya dalam hal-hal yang berhubungan lansung dengan yang bersangkutan.
(2)     Anggota yang melanggar larangan tersebut dalam ayat (1) setelah diberi kesempatan untuk mempertahankan diri dengan lisan dan tertulis dapat diperhentikan oleh DPRD yang bersangkutan dan sebelumnya dapat diperhentikan sementara oleh DPD.
(3)     Terhadap putusan pemberhentian tersebut dalam ayat (2), anggauta yang bersangkutan dalam waktu satu bulan sesudah menerima putusan itu, dapat diminta putusan Dewan Pemerintahan Daerah yang setingkat lebih atas atau dari Presiden bagi anggota DPRD Propinsi.

Pasal 7
(1)     Anggota DPRD menerima uang siding, uang jalan dan menginap menurut peraturan yang ditetapkan oleh DPRD.
(2)     Peraturan tersebut, harus disahkan lebih dahulu oleh Presiden bagi Propinsi dan bagi lain-lain daerah oleh DPD daripada daerah yang setingkat lebih atas.

BAGIAN III : Sidang dan Rapat Dewan Perwakilan Rakyat
Pasal 8
(1)     DPRD bersidang atau berapat atas panggilan Ketuanya atau atas permintaan seperlima dari jumlah anggotanya DPRD atau atas permintaan DPD, rapat diadakan di dalam satu bulan sesudah permintaan diterima oleh Ketua DPRD.
(2)     DPRD bersidang sekurang-kurangnya sekali dalam tiga bulan.
(3)     Semua yang hadir dalam rapat tertutup berkewajiban merahasiakan segala hal yang dibicarakan dalam rapat itu.
(4)     Merahasiakan itu berlansung terus, baik bagi anggota-anggota dan pegawai-pegawai yang mengetahui hal-hal yang dibicarakan itu dengan jalan lain atau dari surat-surat yang mengenai hal itu, sampai DPRD membebaskan mereka dari kewajiban tersebut.

Pasal 9
(1)     Rapat DPRD bersifat terbuka.
(2)     Rapat dapat memutuskan mengadakan rapat tertutup.
(3)     Dalam rapat tertutup tidak boleh diambil putusan tentang :
a.       anggaran pendapatan dan belanja, perhitungan anggaran pendapatan dan belanja dan perubahan anggaran pendapatan dan belanja.
b.       Penetapan, perubahan dan penghapusan pajak.
c.       Mengadakan pinjaman uang.
d.       Tindakan mengenai milik dan hak daerah.
e.       Penyerahan pekerjaan, pengangkutan dan pemasukan barang-barang dengan jalan dibawah tangan
f.        Menghapuskan penagihan, semuanya atau sebagian.
g.       Mengadakan perjanjian-perjanjian.
h.       Menerima anggota baru.

Pasal 10
Untuk ketertiban rapat DPRD membuat peraturan tata tertib.

Pasal 11
(1)     Rapat baru boleh berunding atau mengambil sesuatu putusan, jikalau jumlah anggota yang hadir lebih dari separoh jumlah anggota DPRD.
(2)     Sesuatu putusan rapat dipandang syah bila mendapat suara yang terbanyak dari anggota yang hadir.
(3)     Bila dalam pemungutan suara mengenai perkaran jumlah suara sama, maka pemungutan suara yang kedua kalinya dipertangguhkan sampai rapat pertama yang akan dating. Bila jumlah suara masih sama, maka usul dianggap tidak diterima.
(4)     Pemungutan suara yang mengenai orang harus dengan tulisan diatas kertas dengan tidak diberi tanda tangan. Bila jumlah suara sama, maka undianlah yang memberi putusan.

Pasal 12
Ketua dan anggota DPRD tidak dapat dituntut karena pembicaraannya di dalam rapat DPRD atau karena tulisannya yang dikirimkan kepada DPRD.

Pasal 13
(1)     DPD dipilih oleh dan dari DPRD atas dasar perwakilan berimbang.
(2)     Ketua dan wakil ketua DPRD
(3)     Jumlah anggota DPD ditentukan dengan UU pembentukan.

Pasal 14
(1)     Anggota DPD dipilih untuk suatu masa pemilihan DPRD, kecuali jika ia berhenti, baik atas kemauan sendiri, maupun karena keputusan DPRD.
(2)     Barang siapa berhenti menjadi anggota DPRD berhenti pula menjadi anggota DPD.

Pasal 15
(1)     DPRD membuat pedoman untuk DPD guna mengatur cara menjalankan kekuasaan dan kewajibannya.
(2)     Pedoman tersebut dalam ayat (1) harus dapat mengesahkan lebih dahulu dari Presiden bagi Propinsi dan bagi lain-lain daerah dari DPD setingkat lebih atas dari daerah yang bersangkutan.
Pasal 16
(1)     Anggota DPD menerima uang kehormatan menurut peraturan yang ditetapkan oleh DPRD.
(2)     Peraturan tersebut harus disyahkan lebih dahulu oleh Presiden bagi Propinsi dan bagi lain-lain daerah oleh DPD setingkat lebih atas dari daerah yang bersangkutan.

Pasal 17
(1)     Sebelum menjalankan jabatannya, anggota DPD bersumpah menurut agamanya, atau berjanji dengan sungguh-sungguh dihadapan DPRD untuk memenuhi kewajibannya sejujur-jujurnya.
(2)     Susunan kata sumpah dan janji tersebut dalam ayat (1) ditetapkan dalam peraturan pemerintah.

BAGIAN V : Kepala Daerah
Pasal 18
(1)     Kepala Daetah Propinsi diangkat oleh Presiden dari sedikit-dikitnya dua atau sebanyak-banyaknya empat orang calon yang diajukan oleh DPRD Propinsi.
(2)     Kepala Daerah Kabupaten (Kota Besar) diangkat oleh Menteri Dalam Negeri dari sedikit-dikitnya duad an sebanyak-banyaknya empat orang calon yang diajukan oleh DPRD Kabupaten (Kota Besar).
(3)     Kepala Daerah Desa (Kota Kecil) diangkat oleh Kepala Daerah Propinsi dari sedikit-dikitnya dua dan sebanyak-banyaknya empat orang calon yang diajukan oleh DPRD Desa (Kota Kecil).
(4)     Kepala Daerah dapat diberhentikan oleh yang berwajib atas usul DPRD yang bersangkutan.
(5)     Kepala Daerah Istimewa diangkat oleh Presiden dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu dizaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih menguasai daerahnya, dengan syarat-syarat kecakapan, kejujuran dan kesetiaan dan dengan mengingat adat-istiadat di daerah itu.
(6)     Untuk Daerah Istimewa dapat diangkat seorang wakil kepala daerah oleh Presiden dengan mengingat syarat-syarat tersebut dalam ayat (5).

Pasal 19
Untuk mewakili Kepala Daerah (Wakil Kepala Daerah istimewa) jika ia berhalangan oleh DPD ditunjuk seorang di antara anggotanya.

BAGIAN VI : Sekretaris dan Pegawai Daerah Istimewa
Pasal 20
(1)     Sekretaris DPRD diangkat dan diberhentikan oleh DPRD atas usul DPD.
(2)     Sekretaris DPRD juga menjadi Sekretaris DPD dan Sekretaris Kepala Daerah.
(3)     Bila sekretaris berhalangan, DPD menunjuk pegawai lain untuk gantinya.

Pasal 21
(1)     Peraturan tentang pengangkatan, penyekoresan, pemberhentian, gaji, pension, uang tunggu dan lain-lainnya ditetapkan oleh DPRD sedapat-dapatnya sesuai dengan peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah terhadap pegawai negeri.
(2)     Peraturan tersebut dalam ayat (1) harus disyahkan lebih dahulu oleh Presiden bagi Propinsi dan bagi lain-lain daerah oleh DPD yang setingkat lebih atas.

Pasal 22
(1)     Pegawai negeri atau pegawai daerah yang diperbantukan kepada daerah yang lebih rendah digaji dari keuangan daerah yang lebih rendah.
(2)     Iuran untuk pension pegawai tersebut, jandanya dan untuk tunjangan anak-anaknya bagi pegawai negeri atau bagi pegawai dari daerah lebih atas, oleh daerah yang dibantu sponsor dari gaji mereka dan dimasukkan dalam kas negeri atau kas daerah yang bersangkutan.

BAB III : TENTANG KEKUASAAN DAN KEWAJIBAN PEMERINTAH DAERAH
BAGIAN I : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Pasal 23
(1)     DPRD mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya.
(2)     Hal-hal yang masuk urusan rumah tangga tersebut dalam ayat (1) ditetapkan dalam UU pembentukan bagi tiap-tiap daerah.

Pasal 24
(1)     Kewajiban pemerintah di daerah-daerah yang tidak termasuk urusan rumah tangga daerah, dapat diserahkan dengan UU kepada DPRD atau kepada DPD untuk dijalankan.
(2)     Dengan Peraturan Daerah, suatu daerah dapat menyerahkan kewajibannya kepada DPRD atau kepada DPD dibawahnya untuk dijalankan.

Pasal 25
(1)     Jika pemerintah daerah melalaikan mengatur dan mengurus rmah tangganya,s ehingga merugikan daerah itu atau merugikan Negara maka pemerintah dengan peraturan pemerintah menentukan cara bagaimana daerah itu harus diatur dan diurus menyimpang dari pasal 23.
(2)     Jika pemerintah daerah tidak menjalankan hal-hal yang diserahkan kepadanya seperti termasuk dalam pasal 24, maka oleh pemerintah dengan peraturan pemerintah atau DPRD yang bersangkutan dengan peraturan daerah ditunjuk badan-badan pemerintahan yang harus menjalankan pekerjaan itu.

Pasal 26
(1)     Suatu DPRD dapat membela kepentingan daerah dan penduduknya dihadapan pemerintah dan DPR.
(2)     Suatu DPRD dapat membela kepentingan daerah dan penduduknya dihadapan DPD dan atau DPRD atasnya.

Pasal 27
(1)     DPRD dari beberapa daerah dapat bersama-sama mengatur kepentingan mereka bersama.
(2)     Peraturan tersebut dalam ayat (1), demikian tentang perubahan dan pencabutan, harus disyahkan lebih dahulu oleh Presiden bagi Propinsi, bagi lain-lain daerah oleh DPD setingkat lebih atas.
(3)     Bila tidak terdapat persetujuan tentang perubahan dan pencabutan dari peraturan bersama tersebut dalam ayat (1), maka presiden atau DPD tersebut dalam ayat (2) yang memutuskan.

Pasal 28
(1)     DPRD untuk kepentingan daerah atau untuk kepentingan pekerjaan tersebut dalam pasal 24 membuat peraturan-peraturan yang disebut “Peraturan Daerah” dengan ditambah tingkatan dan nama daerah.
(2)     Dalam peraturan daerah tidak diperkenankan diatur sesuatu yang telah diatur dalam UU atau Peraturan Pemerintah atau yang telah diatur dalam peraturan daerah yang lebih tinggi tingkatannya.
(3)     Peraturan Daerah tingkatan lebih atas tidak boleh mengatur hal-hal yang masuk urusan rumah tangga daerah tingkatan lebih rendah.
(4)     Peraturan Daerah tidak berlaku lagi jika hal-hal yang diatur di dalamnya kemudian diatur dalam UU atau dalam Peraturan Pemerintah atau dalam Peraturan daerah yang lebih tinggi tingkatannya.
(5)     Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan UU atau PP atau PERDA yang lebih tinggi tingkatannya.
(6)     Peraturan Daerah dipandang mulai berlaku sesudah ditandatangani oleh Kepala Daerah dan diumumkan menurut cara yang ditentukan oleh DPRD.

Pasal 29
(1)     Kecuali jikalau UU atau PP diadakan ketentuan lain, maka DPRD dapat menetapkan hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 100.- terhadap pelanggaran peraturan-peraturannya, dengan atau tidak dengan merampas barang-barang yang ditentukan.
(2)     Perbuatan yang dapat dihukum sebagai termaksud dalam ayat (1) dipandang sebagai pelanggaran.
(3)     Peraturan Daerah yang memuat peraturan-peraturan pidana untuk berlaku harus disyahkan lebih dahulu oleh Presiden bagi peraturan Propinsi dan peraturan daerah lain-lainnya oleh DPD tingkatan lebih atas.

Pasal 30
(1)     Bila untuk menjalankan sesuatu putusan DPRD menurut UU ini, harus ditunggu pengesahan lebih dulu dari Presiden bagi Propinsi dan bagi lain-lain daerah dari DPD setingkat lebih atas, maka putusan itu dapat dijalankan apabila presiden atau DPD tersebut dalam tiga bulan terhitung mulai hari putusan itu dikirimkan untuk mendapat pengesahan, tidak mengambil ketetapan.
(2)     Waktu tiga bulan itu dapat diperpanjang selama-lamanya tiga bulan lagi oleh presiden tau DPD tersebut dan hal ini diberitahukan kepada DPRD yang bersangkutan.
(3)     Bila putusan DPRD tersebut dalam ayat (1) tidak dapat disahkan maka presiden atau DPD tersebut memberitahukan hal itu dengan keterangan cukup kepada DPRD yang bersangkutan.
(4)     Terhadap penolakan pengesahan itu DPRD yang bersangkutan dapat memajukan keberatan kepada DPD setingkat lebih atas dari DPD yang menolak.

Pasal 31
Jika DPRD memutuskan hendak melebihi anggaran pendapatan dan belanja yang telah ditetapkan, maka putusan itu harus disahkan lebih dahulu oleh presiden bagi Propinsi dan bagi lain-lain daerah oleh DPD setingkat lebih atas.

Pasal 32
(1)     DPRD berhak membuat peraturan-peraturan tentang pemungutan pajak-pajak daerah.
(2)     Dalam UU ditetapkan peraturan ini tentang hal ini.
(3)     Pembebasan atau pengembalian pajak harus diatur dalam PERDA.

Pasal 33
DPRD berhak mengadakan pinjaman uang bagi daerah dengan pengesahan bagi propinsi dan bagi lain-lain daerah dari DPD setingkat lebih atas.

BAGIAN II : Dewan Pemerintah Daerah
Pasal 34
DPD menjalankan pemerintahan sehari-hari, mereka itu bersama-sama atau masing-masing bertanggungjawab terhadap DPRD dan diwajibkan memberi keterangan-keterangan yang diminta oleh DPRD.
Pasal 35
DPD mewakili daerahnya dan diluar pengadilan.

BAGIAN III : Kepala Daerah
Pasal 36
(1)     Kepala Daerah mengawasi pekerjaan DPRD dan DPD dan berhak menahan dijalankannya putusan-putusan DPRD dan DPD, bila dipandangputusan-putusan itu bertentangan dengan kepentingan umum atau bertentangan dengan UU atau PP dan peraturan-peraturan dari daerah yang lebih atas, bila putusan-putusan itu diambil oleh DPRD dan DPD di bawah propinsi.
(2)     Penahanan tersebut dalam ayat (1) harus dalam tujuh hari diberitahukan kepada DPRD atau DPD yang bersangkutan, demikian juga kepada Presiden bagi Propinsi dan bagi daerah-daerah lainnya kepada DPD setingkat lebih atas.
(3)     Bila dalam tiga bulan presiden atau DPD tersebut dalam ayat (2) tidak mengambil putusan, maka putusan yang ditahan menjalankannya itu, segera sesudah tempo itu lampau, dijalankan.

BAB IV : TENTANG KEUANGAN DAERAH
BAGIAN I : Pendapatan Daerah
Pasal 37
Pendapatan daerah adalah :
a.       Pajak Daerah, termasuk juga retribusi.
b.       Hasil Perusahaan daerah.
c.       Pajak Negara yang diserahkan kepada daerah.
d.       Dan lain-lain.

BAGIAN II : Urusan Keuangan Daerah
Pasal 38
(1)     DPRD menetapkan peraturan cara mengurus keuangan daerah.
(2)     Dengan persetujuan menteri yang bersangkutan DPRD dapat menyerahkan pekerjaan keuangan yang berupa menerima, mengeluarkan, menyimpan dan sebagainya kepada pegawai negeri yang menjalankan pekerjaan sedemikian rupa bagi Negara.

BAGIAN III : Anggaran Pendapatan dan Belanja
Pasal 39
(1)     Untuk pertama kali anggaran pendapatan dan belanja daerah ditetapkan dalam UU.
(2)     Buat selanjutnya anggaran pendapatan dan belanja daerah ditetapkan oleh DPRD.
(3)     Sesudah tahun pertama anggaran pendapatan dan belanja harus disahkan lebih dahulu oleh Presiden bagi Propinsi dan bagi lain-lain daerah oleh DPD setingkat lebih atas.
(4)     Pengesahan atau penolakan mengenai seluruh anggaran pendapatan dan belanja.
(5)     Tiap-tiap perubahan anggaran pendapatan dan belanja juga harus mendapatkan pengesahan.
(6)     Apabila tidak dapat disahkan maka dalam waktu satu bulan sesudah hari keputusan itu, hal itu harus diberitahukan kepada DPRD bersangkutan dengan keterangan tentang sebab-sebabnya.
(7)     Terhadap penolakan pengesahan itu DPRD yang bersangkutan dapat memajukan keberatan kepada DPD setingkat lebih atas dari DPD yang menolak. Bila penolakan pengesahan itu terjadi oleh Dewan Pemerintah Propinsi, maka kebertan itu diajukan kepada Presiden.
(8)     Apabila anggaran pendapatan dan belanja bagi tahun yang bersangkutan pada tanggal 1 Januari belum dapat pengesahan, maka anggaran tahun yang baru lalu untuk sementara waktu dipakai sebagai pedoman lebih dahulu.

Pasal 40
Tentang cara menyusun anggaran pendapatan dan belanja ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah.

BAGIAN IV : Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Pasal 41
(1)     Dalam PP ditetapkan peraturan tentang caranya menyusun perhitungan anggaran pendapatan dan belanja.
(2)     Ketentuan-ketentuan yang mengenai tanggung jawab pegawai atas pengeluaran belanja oleh pegawai ditetapkan dalam PP

BAGIAN V : TENTANG PENGAWASAN TERHADAP DAERAH
Pasal 42
(1)     Putusan DPRD atau DPD, jikalau bertentangan dengan kepentingan umum, UU, PP atau PERDA yang lebih tinggi tingkatannya, dapat ditunda atau dibatalkan, bagi propinsi oleh Presiden dan bagi lain-lain daerah oleh DPD setingkat lebih atas.
(2)     Putusan penundaan atau pembatalan diberikan dalam limabelas hari sesudah hari putusan itu kepada DPD yang bersangkutan disertai dengan alasan-alasannya.
(3)     Lamanya tempo penundaan disebutkan dalam surat ketetapan dan tidak boleh lebih dari enam bulan.
(4)     Apabila dalam enam bulan karena penundaan itu tidak ada putusan pembatalan, maka putusan daerah itu dipandang berlaku.


Pasal 43
(1)     Perselisihan tentang pemerintahan antara Propinsi dengan Propinsi atau antara propinsi dengan daerah-daerah lain diputus oleh presiden, perselisihan antara kabupaten dengan kabupaten atau kabupaten dengan desa diputus oleh propinsi, perselisihan antara desa dengan desa diputus oleh kabupaten.
(2)     Putusan itu diberitahukan kepada daerah-daerah yang bersangkutan.

Pasal 44
Tiap-tiap putusan baik oleh presiden maupun oleh DPD sebagai termaksud dalam pasal 42 dan 43 diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia atau menurut cara yang ditentukan oleh DPRD yang bersangkutan.

Pasal 45
(1)     Untuk kepentingan pimpinan dan pengawasan maka pemerintah dapat : a. meminta keterangan dari DPRD dan DPD; b. mengadakan penyelidikan dan pemeriksaan tentang segala sesuatu yang mengenai pekerjaan mengatur dan mengurus rumah tangga daerah oleh DPRD dan DPD.
(2)     Ketentuan tersebut dalam ayat (1) berlaku juga bagi daerah tingkat lebih atas terhadap daerah yang lebih rendah.

ATURAN PERALIHAN
Pasal 46
(1)     Daerah-daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri yang telah berdiri menurut UU No. 1 tertanggal 23 Nopember 1945 dan lain-lain penetapan pemerintah, berjalan terus sehingga diadakan pembentukan pemerintahan baru untuk daerah-daerah itu menurut UU ini atau dihapuskan atau dirubah.
(2)     Daerah-daerah administrasi yang ada pada waktu berlakunya UU ini, terus berdiri sampai dihapuskan.
(3)     Selama UU pemilihan belum ada, dan selama pemilihan menurut UU pemilihan belum dapat dijalankan, maka cara pembentukan DPRD dan DPD dijalankan menurut cara yang ditetapkan dalam PP.
(4)     Untuk sementara waktu angkatan Kepala Daerah dijalankan menyimpang dari ketentuan dalam pasal 18 ayat (1), (2) dan (3).
(5)     Selama UU untuk mengatur dan mengurus dan memperhitungkan keuangan daerah belum ditetapkan,s egala sesuatu dijalankan menurut cara yang ditetapkan dalam PP.

Pasal 47
Undang-Undang ini mulai berlaku pada hari diumumkan.


Ditetapkan di Yogyakarta, Pada tanggal 10 Juli 1948
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
SOEKARNO
Menteri dalam Negeri
SOEKIMAN


Diumumkan, Pada Tanggal 10 Juli 1948
Wakil Sekretaris Negara
RATMOKO

P e n d j e l a s a n
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 22 TAHUN 1948
TENTANG
PEMERINTAH DAERAH
I.        U m u m
1.       Baik pemerintah, maupun BP KNIP merasa akan pentingnya untuk dengan segera memperbaiki pemerintah daerah yang dapat memenuhi harapan rakyat, ialah pemerintah daerah yang collegial berdasarkan kedaulatan rakyat (demokrasi) dengan ditentukan batas-batas kekuasaannya. Bahwa untuk memenuhi harapan itu UU No. 1Tertanggal 23 Nopember 1945 tentang KND harus diganti dengan yang baru sesuai dengan harapan tadi, adalah semestinya, karena UU No. 1 tersebut diabuatnya amat sederhana, sekedar untuk sedapat mungkin dapat mengadakan pemerintahan daerah yang masih dalam suasana revolusi yang hebat.
2.       Oleh karena kesederhanaan UU No. 1 tersebut, maka kewajiban dan pekerjaan pemerintah daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri tidak dapat diatur oleh pemerintah pusat dengan baik dank arena itu pula maka DPRD tidak mengetahui batas-batas kewajibannya dan bekerja kearah yang tidak tertentu. Dewan itu lebih memperhatikan soal-soal politik yang mengenai beliid pemerintah pusat daripada kepentingan daerahnya.
3.       Pemerintahan Kabupaten yang mempunyai otonomi seperti zaman Belanda diteruskan, tetapi karena otonomi tersebut amat tidak berarti maka hal itu tidak dapat memberi keputusan kepada Dewan Perwakilan Kabupaten.
4.       Pemerintahan Otonomi Kota juga diteruskan apa yang telah terdapat pada tempo penjajahan dan otonomi ini lebih luas dari otonomi kabupaten.
5.       Pada pemerintahan Karesidenan, sekalipun terdapat DPR, tetapi hak otonomi tidak ada.
6.       Kemudian Pemerintahan Desa. Pada desa-desa yang telah terbentuk dewan perwakilan, juga belum diatur hak otonominya. Hak otonomi desa menurut peraturan yang lampau (ordonantie tanggal 3 Pebruari 1906 stbl. 83) pada hakekatknya tidak berarti apa-apa yang sampai sekarang diteruskan.
7.       Di daerah-daerah pemerintahan pada sekarang ini masih dualistis, sebagai pada zaman yang lampau, yang harus selekas mungkin dihindarkan dan pemerintahan collegial yang berdasarkan kedaulatan rakyat dapat dilahirkan.
8.       Mengingat apa yang tersebut diatas, maka amat perlulah menyusun UU baru tentang pemerintahan daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dengan sempurna dan berdasarkan kedaulatan rakyat.
9.       UU baru itu telah ditetapkan dengan diberi nama “Undang-Undang Pokok Pemerintahan Daerah.

II. Menghindarkan Pemerintahan yang Dualistis.
10.   Pemerintahan daerah pada sekarang ini masih merupakan pemerintahan dualistis, yang kuat, oleh karena pada samping pemerintahan daerah yang berdasarkan perwakilan rakyat (DPD dan Badan Exekutifnya yang etrmasuk juga kepala daerahnya), terdapat juga pemerintahan yang dijalankan oleh kepala daerah sendiri, dan pemerintahan ini mengambil bagian yang terbesar di daerah. Maka pemerintahan daerah yang serupa itulah yang merupakan pemerintahan dualistis, dan kuat, sehingga tidak sesuai lagi dengan pemerintahan yang berdasarkan demokrasi, sebagai tujuan revolusi kita. Dengan UU baru inilah pemerintahan dualistis itu akan dihindarkan.
11.   Menurut UU baru ii (pasal 1), daerah Negara RI tersusun dalam tiga tingkatan, ialah Propinsi, Kabupaten (kota Besar) dan Desa (Kota Kecil) Negeri, marga dsb) yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Jadi melihat ketentuan ini, daerah Negara RI hanya mempunyai daerah-daerah otonom (yang berhak dan mengurus rumah tangganya sendiri), diluar itu tidak ada lagi daerah Negara RI yang mempunyai daerah kedudukan (status) lain.
12.   Adapun yang memegang kekuasaan tertinggi dari daerah-daerah tersebut, ialah DPRD dan Dewan Pemerintahnya (pasal 2 ayat (1)). Ini berlainan dengan ketentuan yang sekarang masih berjalan ialah bahwa pemerintah dan kepala daerah. Maka dengan ketentuan ini kepala daerah bisa merupakan satu alat (organ) pemerintahan sendiri, di luar dewan perwakilan dan dewan pemerintahannya. Tetapi dengan ketentuan dalam UU baru tadi akan tidak bisa berjalan lagi, oleh karena dalam UU baru ini disebutkan dengan tegas, bahwa pemerintahan daerah terdiri dari DPRD dan Dewan Pemerintah Daerah saja. Maka dengan ketentuan inilah pemerintahan daerah dijalankan collegial (bersama-sama).
13.   Pemerintahan Daerah berupa dua macam, ialah : a. Pemerintahan daerah yang disandarkan pada hak otonomi dan b. pemerintahan daerah yang disandarkan pada hak medebewind. Tentang perbedaan hak otonomi dan medebewind adalah sebagai berikut : pada pembentukan pemerintahan daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri menurut UU Pokok Pemerintahan Daerah ini, maka oleh pemerintah pusat ditentukan kewajiban (pekerjaan) mana-mana saja yang dapat diserahkan kepada daerah. Pekerjaan ini ada dua rupa yaitu : a. Penyerahan penuh, artinya baik tentang asasnya (prinsip-prinsipnya) maupun tentang caranya menjalankan kewajiban (pekerjaan) yang diserahkan itu, diserahkan semuanya kepada daerah (hak otonomi) dan b. Penyerahan tidak penuh, artinya penyerahan hanya mengenai caranya menjalankan saja, sedangkanprinsip-prinsipnya (azas-azasnya) ditetapkan oleh pemerintah pusat sendiri (hak medebewind). Hak medebewind ini hendaknya jangan diartikan sempit, yaitu hanya menjalankan perintah dari atas saja, sekali-kali tidak, okeh karena pemerintah daerah berhak mengatur caranya menjalankan menurut pendapatnya sendiri, jadi masih mempunyai hak otonomi sekalipun hanya mengenai cara menjalankan saja. Tetapi cara menjalankan ini bisa besar artinya bagi tiap-tiap daerah.
14.   Menurut ketentuan yang masih berjalan pada sekarang ini (unutk kabupaten dan kota) hak medebewind itu dapat diserahkan kepada daerah sendiri dan oleh karena hak otonomi kabupaten dan kota itu merupakan bagian pemerintahan daerah yang amat kecil dan juga hak medebewindnya amay sedikit pula, maka kepala daerah lalu menerimah hak medebewind yang terbanyak. Boleh dikira-kirakan 70-80% pemerintahan daerah ada di tangan kepala Daerah. Keadaan itu akan berubah apabila pemerintahan daerah dibnetuk baru menurut UU pokok pemerintahan daerah ini. Oleh karena hak medebewind itu menurut pasal 24, baik dari pemerintah ke daerah, maupun dari daerah ke daerah dibawahnya, hanya dapat diserahkan kepada DPRD atau kepada DPD, maka kepala daerah sendiri tidak dapat diserahi hak medebewind. Tetapi kalau ada hak medebewind diserahkan kepada kepala daerah sendiri, itulah luar biasa, sebagai umpamanya yang mengenai angkatan kepala daerah desa (kota kecil), menurut pasal 18 ayat (3) diangkat oleh kepala daerah propinsi, tidak oleh DPD propinsi. Ketentuan ini atas usul Badan Pekerja Komite Nasional Pusat yang diterima baik oleh pemerintah.
15.   Untuk lebih jelasnya kiranya perlu diterangkan, bahwa di daerah-daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri akan terdapat : a. Pemerintah daerah yang bersandarkan hak otonomi dan medebewind dengan diberi batas-batasnya oleh pemerintah, dan b. kewajiban (pekerjaan) pemerintah pusat sendiri diluar pemerintahan daerah, misalnya : jawatan kereta api, pos dan tilpon dan lain-lain, ialah pekerjaan-pekerjaan yang dijalankan dari pusat (sentral) ke daerah-daerah oleh pemerintah sendiri, (belum atau tidak diserahkan kepada daerah).
16.   Tetapi tidak jarang jawatan-jawatan tersebut membutuhkan bantuan dari pemerintah daerah, untuk memenuhi kewajibannya di daerah-daerah. Permintaan bantuan yang sedemikian itu diajukan kepada Dewan Pemerintah Daerah.

III. Tentang Hak Mengatur dan Mengurus Rumah Tangga Sendiri.
17.   Di atas telah kami terangkan bahwa pemerintahan daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumaha tangganya sendiri dijalankan atas dasar hak otonomi dan hak medebewind. Terhadap sesuatu pekerjaan pemerintah, yang diserahkan kepada daerah, bisa merupakan hak otonomi atau hak medebewind seluruhnya. Tetapi bisa juga penyerahan itu terjadi berupa sebagian dengan hak otonomi dan sebagai dengan hak medebewind. Umpamanya jawatan pertanian, bagian yang mengenai urusan penyelidikan baik diserahkan dengan hak medebewind, deang bagian yang mengenai pekerjaan lainnya (mengadakan percobaan tanaman, dan lain-lain) bisa diserahkan berupa hak otonomi. Di dalam UU ini tidak disebutkan macam-macam kewajiban pemerintah yang diserahkan kepada daerah baik berupa hak otonomi maupun hak medebewind, oleh karena penyerahan serupa itu memerlukan tempo sedang UU ini perlu selekas-lekasnya ditetapkan. Kelak di dalam UU pembentukan dari masing-masing daerah akan disebutkan macam-macam kewajiban pemerintah yang diserahkan kepada daerah. Adalah hajat pemerintah akan menyerahkan kewajiban itu sebanyak-banyaknya. Sebagai missal saja, yang dapat diserahkan kepada daerah-daerah, ialah : pengairan, pertanian, perhewanan, kesehatan, koperasi, perindustrian, pendidikan, kebudayaan, pengajaran, dan lain-lain lagi.

IV. Letaknya titik berat dalam memberi hak mengatur dan mengurus Rumah Tangga Daerah.
18.   Menurut UU ini, maka daerah otonom yang terbawah ialah desa, negeri, marga, kota kecil dan sebagainya. Ini berarti bahwa desa ditaruh di dalam lingkungan pemerintahan yang modern tidak ditarik alurnya sebagai waktu yang lampau. Pada jaman itu tentunya pemerintahan penjajah mengerti, bahwa desa itu adalah sendi Negara, mengerti bahwa desa sebagai sendi Negara itu harus diperbaiki segala-galanya, diperkuat dan dinamisir, supaya dengan begitu Negara bisa mengalami kemajuan. Tetapi untuk kepentingan penjajahan, maka desa dibiarkan saja tetap statis (tetap keadaannya).Pemberian hak otonomi menurut ini, gemeente-ordonantie adalah tidak berarti apa-apa, karena desa dengan hak itu tidak bisa berbuat apa-apa, oleh karena tidak mempunyai keuangan dan oleh ordonantie itu diikat pada adat-adat, yang sebetulnya di desa itu sudah tidak hidup lagi. Malah sering kejadian adat yang telah mati dihidupkan pula atau sebaliknya adat yang hidup dimatikan, bertentangan dengan kemauan penduduk desa, hanya oleh karena kepentingan penjajah menghendaki itu.  Desa tetap tinggal terbelakang, Negara tidak berdaya, adalah sesuai dengan tujuan politik penjajah. Tetapi pemerintah republic kita mempunyai tujuan sebaliknya. Untuk memenuhi pasal 33 UUD, Negara dan rakyat Indonesia harus makmur. Untuk mendapatkan kemakmuran ini harus dibikin di dalam keadaan senantiasa bergerak maju (dinamis). Maka untuk kepentingan itu pemerintahan desa di masukkan di dalam lingkungan pemerintahan yang diatur dengan sempurna (modern), malah tidak sebegitu saja, tetapi juga akan diusulkan supaya bimbingan terhadap daerah-daerah yang mendapat pemerintahan menurut UU pokok ini lebih diutamakan diadakan di desa.

V. Pemerintahan Daerah.
19. Kiranya apa yang telah kami terangkan di atas (bagian II) jelaslah, bahwa di daerah-daerah pemerintahan sebagai hingga sekarang ini dijalankan, yaitu pemerintahan yang dipimpin oleh DPR dan Badan Exekutief, yang disebut pemerintah otonomi, dan pemerintahan yang dipimpin olej Kepala Daerah sendiri, yang lazim disebut Pamong Praja, akan tidak ada lagi setelah di daerah-daerah dibentuk pemerintahan menurut UU pokok ini. Jelaslah perpisahan pemerintahan sebagai kami sebutkan tadi itu tidak lagi ada. Pemerintahan sehari-hari dijalankan oleh Dewan Pemerintahan Daerah, jadi collegial (bersama-sama). Menurut keterangan yang kami dapat, pemerintahan collegial seperti diatas dengan jalan tidak resmi pada sekarang ini telah dijalankan di beberapa banyak daerah (di Jawa Timur disemua daerah). Inilah baik, karena dengan jalan begitu akan dapat menerima peraturan baru dengan mudah.
20. Menurut peraturan sekarang ini, Kepala Daerah menjadi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat dan juga menjadi Ketua dan anggota Dewan Pemerintah Daerah (Badan Exekutief). Tetapi menurut peraturan baru Kepala Daerah tidak lagi menjadi Ketua (dan Wakil Ketua) ialah yang dipilih oleh dan dari anggauta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (pasal 2 ayat 2). Adapun maksud peraturan tersebut ialah supaya pimpinan pekerjaan legislatief dan exekutief tidak berada pada seorang, dan oleh karena itu imbangan pekerjaan legislatief dan exekutief menjadi bertambah sempurna.
21. Maka terlihat diatas dapatlah diketahui bahwa Kepala Daerah di dalam pemerintahan daerah itu mempunyai dua rupa kewajiban, ialah sebagai pengawas pekerjaan DPRD di Dewan Pemerintah daerah (pasal 36) dan sebagai ketua dan anggauta DPD (pasal 2 ayat 3). Jadi terangnya : Kepala Daerah sebagai pengawas adalah wakil pemerintah dan sebagai ketua dan anggauta DPD adalah (organ) pemerintah daerah. Kewajiban Kepala daerah sebagai pengawas dapat dilihat pada pasal 36. Kecuali itu juga menjaga supaya putusan-putusan DPRD yang harus lebih dulu disahkan oleh instansi yang lebih atas, tidak dijalankan sebelum mendapat pengesahan yang dijalankan oleh Kepala Daerah itu amat terbatas dan hanya merupakan perantara kepada yang berwajib untuk mengambil putusan (pasal 42). Menurut pasal 34, DPD menjalankan pmerintahan sehari-hari, mereka itu bersama-sama atau masing-masing bertanggung jawab terhadap DPRD. Adanya pasal ini berhubung dengan kemungkinan adanya pembagian pekerjaan di antara anggota DPD.
      Di dalam mengatur pembagian pekerjaan ini kiranya Kepala Daerah sebagai ketua mempunyai pengaruh tidak sedikit dan oleh karenanya harus memakai segala kebijaksanaan supaya pembagian pekerjaan itu tidak akan membawa kesukaran-kesukaran di dalam menjalankannya. Kalau sekiranya keadaan memaksa, umpamanya karena ada anggota Dewan Pemerintah yang belum mempunyai pengalaman dan oleh karena itu Kepala Daerah itu lalu mendapat pembagian pekerjaan lebih banyak, maka adalah sudah seharusnya Kepala Daerah itu memenuhi kewajiban itu dengan segala keikhlasan hati.
      Malahan menurut pendapat kami adalah suatu kewajiban yang amat penting dari Kepala Daerah untuk memimpin DPD, sehingga para anggota Dewan Pemerintah yang belum berpengalaman di dalam pemerintahan daerah, segera dapat menjalankan pekerjaannya masing-masing dengan baik.

VI. Kepala Daerah.
22. Sebagai diatas (bagian V) telah kami terangkan, Kepala Daerah adalah pengawas dan juga alat (organ) dari pemerintah daerah. Untuk dapat menjalankan pekerjaannya dengan baik maka perlulah Kepala Daerah itu bisa mempunyai hubungan yang baik dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Pemerintah Daerahnya.
      Untuk mendapatkan hubungan yang baik harus pada kedua belah pihak terdapat hasrat (kemauan) dan saling mengerti. Mengingat ini adalah sebaiknya bila angkatan Kepala Daerah itu terjadi dengan jalan pemilihan oleg DPRD. Pada hakekatnya ketentuan dalam pasal 18 ayat (1) (2) (3) itu telah memenuhi harapan tadi, sebab angkatan Kepala Daerah terjadi dari calon-calon yang diajukan oleh DPRD.
      Hanyalah untuk sementara waktu perlu memakai aturan peralihan pasal 46 ayat (4), yang menyimpang dari ketentuan dalam pasal 18 ayat (1) (2) dan (3) tersebut diatas, terutama yang mengenai angkatan Kepala Daerah Desa. Menurut pendapat kami, adalah masih perlu calon-calon yang diajukan (dipilih oleh penduduk desa, tidak oleh DPRD Desa.
      Angkatan menurut pasal 18 ayat (1) (2) dan (3) kelak akan terjadi pada daerah-daerah yang dibentuk menurut UU pokok ini, yaitu apabila jabatan Kepala daerah terbuka dan juga tidak memerlukan lagi aturan peralihan pasal 46 ayat (4).
      Jika pada pembentukan baru itu, Kepala Daerah yang lama masih, ia menjabat Kepala Daerah terus.
23. Angkatan Kepala Daerah tidak dibatasi lamanya.
      Kalau Pasal 18 ayat (1) (2) dan (3) itu berjalan, maka untuk memindahkan Kepala Daerah dari satu kelain tempat, tidaklah mudah, karena harus mendapat persetujuan dulu dari DPRD yang bersangkutan.
24. Kepala daerah menurut Pasal 18 ayat (4) dapat diperhentikan oleh yang berwajib (presiden, menteri, gubernur) atas usul DPRD. Jadi terangnya sekalipun ada usul DPRD untuk diperhentikan, yang berwajib dapat mengambil putusan lain.

VII. Wakil Kepala Daerah.
25. Salah seorang anggota DPD ditunjuk mewakili Kepala Daerah, apabila Kepala Daerah itu berhalangan (pasal 19). Lamanya penunjuk itu sama dengan masa siding DPRD ialah lima tahun. Tetapi penunjukan itu tidak berakibat lahirnya jabatan baru (wakil kepala daerah) ada samping jabatan Kepala Daerah. Anggauta Dewan Pemerintah yang ditunjuk tadi tetap sebagai anggauta Dewan Pemerintah lain-lainnya.
      Oleh karena Dewan Pemerintah yang ditunjuk mewakili kepala daerah itu harus mengerti pekerjaan yang mengenai antro pemerintah Daerah, maka adalah sebaiknya penunjukan itu tidak berganti-ganti, supaya yang ditunjuk itu tidak berganti-ganti, supaya yang ditunjuk itu dalam tempo cukup untuk dapat mengerti kesemuanya (inwerken). Sekalipun wakil kepala daerah itu bukan pegawai, tetapi waktu menjalankan pekerjaan wakil kepala daerah, ia mempunyai kekuasaan kepala daerah.
VIII. Anggauta Dewan Pemerintah Daerah
26. Menurut peraturan sekarang ini anggauta DPD tidak diwajibkan bersumpah. Tetapi oleh karena menurut UU pokok ini kewajiban para anggauta DPD bertambah penting dan berat mereka itu bersama-sama dengan kepala daerah merupakan satu eksatuan yang bertanggung jawab bagi kewajiban yang berat di daerahnya maka perlulah mereka itu sebelum menjalankan kewajibannya bersumpah lebih dahulu (pasal 17).
27. Oleh karena DPD itu sebagai collegial bestuur bekerja sehari-hari, maka bolehlah dikira-kirakan kalau para anggauta DPD itu akan bisa merangkap pekerjaan lain, tenaganya tentu akan diburuhkan sepenuhnya oleh pemerintah daerah, maka karena itu jumlah uang kehormatan tersebut dalam pasal 16 ayat (1). Oleh DPRD akan ditetapkan dengan mengingat keadaan tersebut.
IX. Ketua dan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
28. Apabila nanti ternyata bahwa pekerjaan Ketua dan Wakil Ketua DPRD itu membutuhkan tenaga penuh, maka diatur tentang uang kehormatan yang akan diberikan kepadanya.
X. Daerah Istimewa.
29. Daerah-daerah istimewa yang sebagai termasuk dalam UUD Pasal 18, diatur juga tentang pemerintahannya di dalam UU pokok ini. Tentang dasar pemerintahan Daerah Istimewa adalah tidak berbeda dengan pemerintahan di daerah biasa, kekuasaan pemerintahan ada di tangan rakyat (DPRD).
      Yang berbeda ialah tentang angkatan Kepala Daerahnya, lihatlah pasal 18 ayat (5).
      Juga terdapat perbedaan sebagai tersebut dalam pasal 18 ayat (6), yang mengenai angkatan Wakil Kepala Daerah. Adapun yang dimaksudkan menurut ayat (6) ini ialah jika ada dua daerah istimewa dibentuk menjadi satu daerah menurut UU pokok ini, maka perlualah diadakan Wakil Kepala Daerah dari keturunan salah satu daerah yang digabungkan tadi.
XI. Tingkatan Daerah Istimewa.
30. Tingkatandaerah istimewa sama dengan tingkatan daerah biasa. Untuk menentukan tingkatan daerah istimewa, diselidiki lebih dulu keadaan daerah itu. Hasil penyelidikan itu akan menentukan apakah daerah istimewa itu masuk tingkatan Propinsi, Kabupaten, ataukah desa. Jikalau masuk tingkatan kabupaten, maka daerah istimewa itu masuk ke dalam lingkungan Propinsi biasa.


XII. Daerah Desa.
31. Pada sesungguhnya daerah Desa yang sekarang ini ada, belum cukup luasnya untuk dibentuk menjadi Daerah Desa yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri menurut UU Pokok ini.
      Oleh karena itu perlu digabung-gabungkan lebih dulu. Tetapi pekerjaan menggabungkan itu amat sukar dan akan memakan waktu lama. Maka karena itu masih di dalam penyelidikan, apakah kiranya mungkin mencapai hasil sebagai kita harapkan dengan jalan tidak menggabungkan lebih dulu tetapi desa sekarang ini dibentuk sebagai daerah otonom (yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri) menurut UU pokok ini dan selanjutnya dibimbing untuk bekerja bersama-sama (pasal 27), supaya lantaran bekerja bersama itu dapat menimbulkan perasaan butuh akan bergabung.

XIII. Kota-Kota Kecil
32. Menurut UU pokok ini, kota-kota kecil masuk tingkatan desa. Tetapi ini tidak berarti bahwa kedudukan kota kecil itu akan diturunkan, itulah bukan maksudnya. Hak-hak yang sudah ada tidak akan diambil kembali malah bisa tambah. Adalah maksud pemerintahan desa itu diberi kedudukan keatas dengan mendapat hak-hak yang layak untuk menjadi daerah yang berarti.

XIV. Pendapatan (Keuangan) Daerah.
33. Supaya yang diberi hak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri itu bisa bekerja dengan baik dan sedapat mungkin dapat memenuhi kebutuhan karena perkembangannya (kewajiban), maka pendapatan daerah itu disusun sebaik-baiknya. Penyerahan kewajiban dari pusat ke daerah harus disertai dengan biaya yang dapat memungkinkan daerah bekerja sebagai diatas diharapkan. Sumber pendapatan harus bisa menjamin berjalannya rumah tangga dengan baik. Jadi pendapatan harus tidak mudah turun naiknya (stabile). Untuk memenuhi harapan ini dalam UU ini sumber pendapatan diatur sebagai tersebut dalam pasal 37, yaitu dari pajak daerah, hasil perusahaan, penyerahan hasil pajak negeri sebagian atau semua, dan lain-lain pula. Systeem menutup kekurangan (sluitpost) tidak dipakai lain karena dengan system sluitpost itu keuangan daerah terlalu bergantung dari keuangan Negara. Lain daripada itu karena system sluitpost itu daerah menjalankan politk keuangannya kurang (berhati-hati) sebab kalau kurang lalu minta saja dari pemerintah. Oleh karena itu sluitpost itu diganti dengan penyerahan hasil pajak negeri, satu macam atau lebih, yang diterima dalam daerah yang bersangkutan.
      Dengan aturan ini daerah akan menjalankan politik keuangannya dengan lebih berhati-hati dan akan berusaha kekurangannya uang akan disesuaikan dengan maksudnya uang yang sebelumnya dapat dikira-kirakan berapa besarnya. Bila di daerah harus mengeluarkan biaya luar biasa, melebihi kekuatan daerah untuk pekerjaan-pekerjaan besar maka pemerintah akan memberi sokongan luar biasa.
      Pada sekarang ini system UU ini belum dapat dijalankan, karena itu untuk sementara waktu system sluitpoist (subsidie) dijalankan dulu.


XV. Pegawai yang dibutuhkan.
34. Daerah-daerah yang dibentuk daerah-daerah yang menurut UU ini akan membutuhkan pegawai yang cakap, yang tidak sedikit jumlahnya, terutama untuk speciale diensten. Oleh karena itu pemerintah akan berusaha untuk mencukupi kebutuhan itu.

XVI. Pamong Praja.
35. Berhubung dengan pembentukan daerah-daerah menurut UU ini, maka pamong praja lambat laun akan hilang dan masuk ke dalam lapangan pemerintahan daerah. Tinggal kepala-kepala daerah yang menjadi wakil pemerintah pusat.

XVII. Tentang UU sendiri dan Pasal-Pasalnya.
36. UU ini memuat pokok-pokok yang perlu bagi pembentukan, susunan dan pekerjaan pemerintah daerah. System Belanda dahulu mengadakan untuk masing-masing tingkatan daerah otonom suatu UU pokok hingga dengan demikian ada tiga UU pokok yaitu bagi Propinsi, bagi Regenschap dan bagi Stadsgemeente, seterusnya juga ada tiga UU tentang pemilihan. Denga cara yang diatur di dalam UU pokok ini, maka segala sesuatu dapat diringkas dan dipermudah.
      Susunan Pembagian UU adalah sebagai berikut :
BAB I
Tentang Pembagian Negara dalam daerah-daerah yang dapat mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (pasal 1).
BAB II
Tentang bentuk dan susunan pemerintahan daerah (pasal 2-22)
Bagian 1. Peraturan umum (pasal 2).
Bagian 2. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (pasal 3 – 7).
Bagian 3. Sidang dan Rapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (pasal 8-12).
Bagian 4. Dewan Pemerintah daerah (pasal 13-17).
Bagian 5. Kepala Daerah (pasal 18-19).
Bagian 6. sekretaris dan Pegawai Daerah lainnya (pasal 20-22).
BAB III
Tentang Kekuasaan dan Kewajiban Pemerintah Daerah (pasal 23-36).
Bagian 1. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (pasal 23-33).
Bagian 2. Dewan Pemerintah Daerah (pasal 34-35).
Bagian 3. Kepala Daerah (pasal 36).
BAB IV
Tentang Keuangan Daerah (pasal 37-41).
Bagian 1. Pendapatan Daerah (pasal 37).
Bagian 2. Urusan Keuangan Daerah (pasal 38).
Bagian 3. Anggaran Pendapatan dan Belanja (pasal 39-40).
Bagian 4. Perhitungan anggaran pendapatan dan belanja (pasal 41).
BAB V
Tentang Pengawasan terhadap Daerah (pasal 42-45).
Aturan Peralihan (pasal 46).
Pasal Penutup (pasal 47).

Pada BAB II dan BAB III terdapat nama-nama bagian yang sama, bagian 2, 4 dan 5 (bab II) sama dengan bagian 1,2, dan 3 (bab III), tetapi dengan masing-masing kewajiban menurut yang dijelaskan dalam Bab II dan III.

PENJELASAN SEPASAL DEMI SEPASAL
Pasal 1.
Tingkatan ditetapkan karena antara jarak Pemerintah pusat hingga pemerintah Daerah yang terbawah dipandang amat jauh, karena itu diadakan tingkatan–tingkatan yang cukup; selain daripada itu juga dikarenakan yang harus diperhatikan sungguh-sungguh daerah-daerah, yaitu desa, supaya binbingan daerah terdebut dapat dilaksanakan dan dapat perhatian dari dekat dari daerah daerah menengah, ialah kabupaten.
Dengan dimaksudkan terdiri dari suatu atau lebih dari satu desa (di Sumatra; negeri, marga, dan sebagainya) yang digambungkan hingga merupakan suatu daerah yang mempunyai syarat cukup untuk dapat berdiri menjadi daerah otonom, yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Misalnya desa-desa yang sekarang merupakan satu kecamatan di jawa atau beberapa desa besar dapat digabungkan dan dibentuk sebagai desa otonom. Menurut “undang-undang pokok Pemerintah Daerah“ Di sumatra mengingat luasnya daerah, negeri, marga, desa dan sebagainya akan diselidiki lebih lanjut tentang kemungkinan dibentuk sebagai daerah desa otonom.
Pembentukan desa otonom akan dijalankan berangsur-angsur, jadi tidak serentak, oleh karena memperlukan penyelidikan keadaaan dderah yang seksama.
Kota kecil dapat pula dibentuk sebagai daerah otonom terbawah. Dalam pembentukan jika perlu dapat pula daerahnya diperluas dengan beberapa daerah desa biasa.
Di dalam lingkungan desa atau kota kecil yang berautonomi dengan sendirinya sudah terdapat lagi desa biasa yang mempunyai pemerintahan sendiri, sebab desa atau kota kecil itu adalah pemerintah derah yang terbawah.
Desa-desa dalam linkungan daerah kabupaten yang belum digabungkan menjadi desa-desa otonom yang hak ”Otonominya” ditetapkan dalam desa ordornantie Stbl.1906.No.83 di jawa, madura dan di Sumatra dalam beberapa ordonnatie akan diatur kedudukannya dalam undang-undang . Hal ini masih didalam penyelidikan (selanjutnya lihat penjelasan XII, sub. 31 di atas).
Kabupaten menjadi daerah menengah; kemungkinan ada bahwa yang dibentuk sebagai kabupaten ialah Kabupaten–kabupaten yang ada pada waktu ini di jawa dan Sumatra atau kabupaten-kabupaten itu di tambah/digabungkan dengan daerah kabupaten lain.
Kota besar disamakan tingkatannya dengan kabupaten, ukuran yang di pakai untuk kota besar ialah selain luasanya daerah dan jumlahnya penduduknya, juga mendalamnya pemerintahannya, dan kemajuan perekonomiannya. Ini semua dapat gambaran dalam anggaran dan  belanjanya (begrooting).
Sebagai daerah menengah terbuka kemungkinan bahwa di dalam lingkungan kota besar berada daerah otonom terbawah yaitu desa atau kota kecil.
Yang dimaksudkan dalam pasal 1 ayat (2) dengan “Daerah-daerah yang mempunyai hak-hak asal-usul dan zaman sebelum Republik Indonesia mempunyai pemerintah sendiri yang besifat istimewa“ ialah yang pada zaman pemerintahan Hindia Belanda dinamakan “zelfbestuurendelandschappen” karena daerah-daerah itu menjadi bagian pula dari daerah Negara Republik Indonesia dan Undang-Undang Pokok Pemerintahan Daerah mengatur pemerintahan Daerah, maka daerah-daerah istimewa itu diatur pula di dalam Undang-Undang pokok tersebut, dan cara pemerintahannyapun dalam  daerah-daerah istimewa itu diatur sama dengan lain lain daerah, berdasarkan kedaulatan rakyat.
Ke-istemewa peraturan untuk daerah istimewa dalam undang-undang ini, hanya mengenai Kepala Daerah (lihat pasaal 18 ayat (5) dan (6) dimana di tentukan bahwa kepala (wakil kepala) daerah istimewa diangkat oleh pemerintah dari keturunann keluarga yang berkuasa idi daerah tu dengan syarat-syarat kecakapan, kejujuran dan kesetiaaan dan dengan mengingat adat-istiadat di daerah itu.
Daerah-daerah tersebut dapat ditetapkan sebagai daerah istimewa otonom, sesudah berlakunya undang-undang pokok ini, maka daerah-daerah istimewa dulu dapat di bentuk menjadi daerah biasa otonom atau menjadi daerah istimewa otonom, lain kemungkinan tidak ada.
Melihat penting atau kurang pentingnya kedudukan daerah-daerah istimewa itu maka daerah-daerah itu dapat dibentuk dengan tingkatan propinsi, kabupaten atau desa (lihat juga penjelasan umum sub 30).
Untuk keperluan daerah-daerah otonom dibutuhkan bahan-bahan pengetahuan tentang keadaan daerah dengan seksama. Persiapan untuk pembentukan daerah-daerah otonom di jawa dan madura di selenggarakan oleh kementerian Dalam Negeri (bagian perancang dan Desentralisasi dan bagi sumatera di bantu oleh Komisaiat Negera di sana).

Pasal 2
Dalam pasal 2 ayat (1) di tentukan bahwa pemerintah daerah terdiri dari Dewan Perwakilkan Rakyat dan Dewan Pemerintah Daerah : dengan ketentuan itu maka hanya kedua badan itu yang dengan permulaan mempunyai kekuasaan sebagai organ dari daerah dan yang dapat menerima menjalankan kekuasaan yang diserahkan oleh instansi yang lebih tinggi kepada daerah.
Dalam ayat (1) tidak disebut Kepala Daerah sebagai organ dari pemerintahan daerah, oleh karena itu kepala daerah hanya mempunyai kekuasaan yang di wajibkan kepadanya di “undang-undang“ pokok ini, ialah pada umummnya kewajiban pengawasan terhadap pekerjaan Pemerintahan Daerah, dan kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh pemerintahan daerah.
Dengan demikian maka segala sesuatu yang mengenai pemerintahan daerah di jalankan secara collegiaal.
Ketua dan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dipilih oleh dan dari anggota dewan tersebut, dalam pemilihan ini harus diadakan aturan dalam pasal 1 ayat (4).
Jabatan Ketua dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terpisah dari jabatan ketua dewan Pemerintah Daerah. Ketua Dewan Pemerintah Daerah ini dijabat oleh kepala daerah yang juga menjabat anggota dewan itu.
Peraturan ini terutama bermaksud supaya pimpinan pekerjaaan legislatif dan eksekutif tidak berada pada seorang dan agar supaya dengan demikian timbangan pekerjaan legislatif dan eksekutif menjadi bertambah sempurna.
Yang dimaksudkan dengan perkataan “pemerintahan” ialah dalam bahasa asing ”bestuursvoering” dan yang diartikan dengan perkataan pemerintah ialah ’orgaan’ atau”apparaat” yang menjalankan pemerintahan.

Pasal 3
Jumlah anggota dewan perwakilan rakyat daerah ditetapkan dalam undang-undang pembentukan, karena jumlah itu tergantung dari besar kecilnya jumlah penduduk dari tiap-tiap daerah otonom yang dibentuk.
Anggota dewan perwakilan rakyat daerah dipilih selama lima tahun, artinya lima tahun itu sama dengan waktu pemilihan dewan perwakilan rakyat daerah agar supaya waktu pemilihan itu dapat berjalan sama. Betapa daerah otonom dari satu tingkatan dapat mempunyai waktu pemilihan yang jatuh pada saat yang sama, meskipun pembentukan daerah-daerah itu tidak dilangsungkan pada suatu ketika, maka dalam undang-undang pemilihan akan dapat diatur sedemikian rupa hingga tercapai bersamaan saat itu.
Penggantian anggota dapat ditentukan dalam undang-undang pemilihan bahwa anggota yang dipilih pada saat sesudahnya waktu pemilihan bagi dewan perwakilan rakyat daerah daerah berjalan menjabat angggota tidak untuk lima tahun akan tetapi sampai akhirnya waktu pemilihan.
Dalam ayat(3) ditentukan bahwa para angggota DPRD yan pertama meletakkan jabatannya bersama–sama pada waktu yang ditentukan dalam undang-undang pembentukan.
Dengan ketentuan ini maka para anggota yang dipilih pada pembentukan daerah otonom ditentukan meletakkan jabatannya bersama-sama pada waktu yang telah ditentukan bagi waktu pemilihan daerah otonom yang tingkatannya sama.

Pasal 4
Untuk dapat dipilih menjadi anggota DPRD (‘’passief kiesrecht”) syarat-syarat tersebut dalam pasal ini diperlukan agar supaya anggota itu memmpunyai sifat dan pengetahuan minimum unuk dapat menjalankan kewajibannya dengan baik.
Umur dua puluh satu tahun sebagai ditentukan dalam sub b diangggap cukup bagi seseorang untuk memmpunyai pemandangan luas dan pendapat tertentu tentang berbagai soal sehinnga dapat diharap menjalankannya sebagai anggota DPRD dengan baik. Umur duapuluh satu tahun itu harus sudah tercapai pada waktu yang bersangkutan dipilih menjadi anggota DPRD. Perempuannyapun tidak dikecualikan untuk dapat di pilih sebagai anggota.
Dalam waktu enam bulan yang ditetapkan pada sub c anggota harus benar-benar bertempat tinggal di daerah yang bersanggkutan, agar dengan demikian dapat dianggap mengetahui keadaan dari daerah dimana ia menjadi wakil rakyatnya.
Dengan aturan pasal 4 ini orang–orang yang berada daam tahanan atau hukuman dapat di pilih menjadi anggota, kemungkinan ini terbuka untuk memberi kesempatan bagi mereka yang karena politik ideologinya terpaksa menjalankan hukuman dipilih mnjadi anggota DPRD. Orang-orang  yang dihukum atau dalam tahanan karena kejahatan biasa, misalnya, pencurian, penggelapan dan sebagainya sekiranya tidak akan dipilih menjadi anggota DPRD.

Pasal 5
Dengan peraturan ini semua pegawai daerah otonom, kecuali yang dimaksudkan sub g dan h dapat menjadi anggota dari DPRD. Dengan demiian diperbesar kemungkinan pemilih dapat memilih orang–orang yang cakap menjadi DPRD.
Yang dimaksudkan dengan jawatan pada sub h ialah bagaian khusus dari pekerjaan daerah misalnya : jawatan pertanian, jawatan pekerjan umum, jawatan pendidikan dan sebagainya. Dengan jawatan tidak di maksud bagian dari kantor sekretaris atau bagian dari kantor lainnya.
Jika daerah mempunyai lebih dari seorang sekretais, umpanya sekretaris I dan sekretais II, maka mereka itu semua tidak dapat duduk sebagai anggota DPRD.

Pasal 6
Pasal ini bermaksud untuk menghindarkan segala perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan daerah dengan mempergunakan kedudukan sebagai anggota DPRD.
Yang dimaksudkan dengan pekerjaan dalam ayat (1) ialah misalnya : menjadi advocaat atau procureur dalam perkara di mana daerah menjadi pihak (partai j), menjadi aannemer untuk keprluan pekerjaan daerah, atau menjadi tanggungan (borg) untuk pekerjaan itu dan sebagainya.
Ayat (2) mengenai pemberhentian sementara (scoorsing) dan pemberhentian anggauta yang menjalankan hal-hal tersebut dalam ayat (1). Atas pemberhentian tersebut terbuka kesempatan untuk minta keputusan (hooger beroep) dari Dewan Pemerintah Daerah lebih atas atau dari Presiden bagi anggauta DPRD Propinsi.

Pasal 7
Mengadakan peraturan tentang uang siding, uang jalan dan menginap menjadi kewajiban daerah. Untuk menjaga keadilan dan perimbangan dengan kekuatan keuangan daerah, maka diperlukan pengesahan peraturan itu olej instansi yang lebih atas, jika ketua atau wakil ketua DPRD kemudian hari ternyata harus bekerja sehari-hari dan menyumbangkan tenaga penuh maka tidak ada keberatannya untuk mengatur pula uang kehormatan bagi mereka agar mereka tidak mendapat kerugian karena menjabat ketua dan wakil ketua. Menetapkan uang kerugian itu seharusnya memakai maksimum yang tertentu.
Pasal 8
Yang diartikan dengan perkataan-perkataan “sidang dan rapat” ialah dalam bahasa asingnya “zitting dan vergadering”. Sidang dapat ditentukan untuk suatu waktu dimana diadakan rapat-rapat.
Ayat (1) dan (2) menentukan bahwa Ketua DPRD yang mempunyai kewajiban menyelenggarakan rapat dan sidang dan bilamana rapat dan sidang itu harus diadakan.
Kewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu yang dibicarakan dalam rapat tertutup tidak saja mengenai anggauta DPRD akan tetapi juga mengenai para pegawai dan semua yang hadir pada rapat tertutup itu ditambah pula dengan mereka yang mengetahui hal-hal yang dibicarakan dalam rapat itu dengan jalan lain, umpamanya pegawai yang mengetahuinya karena kedudukannya menerima laporan dari lain pegawai yang mengunjungi rapat.

Pasal 9
      Pada umumnya rapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terbuka bagi umum. Sifat terbuka ini yang menjadi kekuatan kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah karena dari luar dapat di adakan kritik atas pembicaraan dan keputusan dengan jalan pers, radio atau dengan jalan lain. Ini semua dapat memperbesar bahwa kepentingan umum di perhatikan benar-benar oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
      Dalam keadaan istimewa rapat dapat memutuskan mengadakan rapat tertutup. Dalam memutuskan ini harus diindahkan aturan dalam pasal 11 ayat(1), (2) dan (3).
      Ayat (3) menentukan beberapa hal yang dapat diambil putusan dalam rapat tersebut; tentang hal-hal itu juga tidak dapat dibicarakan dalam rapat tertutup karena pembicaraan–pembicaraan inilah yang perlu dapat diikuti oleh umum. Hal–hal yang tidak dapat dibicarakan atau diambil putusan dalam rapat tertutup umumnya mengenai keuangan dan harta benda daerah; juga tentang penerimaan anggota baru harus dilangsunkan dalam rapat terbuka; tentang hal-hal ini diharuskan supaya umum mempunyai pengetahuan seluas-luasnya dengan mengikuti pembicaraan dalam rapat terbuka.

Pasal 10
      Perturan Tata-tertib untuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak memerlukan pengesahan dari intansi atasan. Agar supaya bagi daerah-daerah diadakan peraturan tata-tertib yang dapat berjalan baik, maka Kementerian Dalam Negeri akan dibikin contoh untuk peraturan tersebut.

Pasal 11
      Dalam ayat (1) ditetapkan bahwa quorum terdiri  dari lebih dari separo jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
      Yang dimaksud dengan jumlah anggota termasuk ketuanya, ialah yang benar-benar duduk sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, jadi bukan jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang ditentukan didalam undang-undang pembentukan, umpamanya menurut undang –undang pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mempunyai lima puluh anggota, akan tetapi waktu yang akan diadakan rapat ada lowongan untuk dua kursi (anggota) maka jumlah untuk menentukan quorum ialah 50-2=48.
      Tercapai atau tidaknya quorum dilihat dari daftar anggota yang hadir pada suatu rapat (presensi lyst) dan selama pembicaraan jumlah anggota menurut daftar tersebut dianggap tetap hadir pada rapat itu, kecuali jika karena diadakan pemungutan suara anggota demi anggota ternyata bahwa quorum itu tidak ada lagi.
      Didalam mengeluarkan suara harus tegas dinyatakan ‘setuju atau tidak setuju’; suara blanco tidak diperbolehkan.
      Jika quorum tidak tercapai maka harus diadakan rapat lagi dilain waktu sehingga terdapat quorum. Aturan bahwa dengan rapat ke II, meskipun tidak tercapai quorum rapat tidak sah, tidak ada. Ini untuk menjaga agar supaya jangan sampai pembicaraan dan putusan dapat diadakan dalam rapat yang tidak dengan demikian dijaga bahwa dalam segala sesuatu dasar demokrasi, suara anggota terbanyak, dapat dilangsungkan.
      Ayat (3) mengatur pemungutan suara mengenai perkara, umpamanya mengenai rencana undang-undang, dan ayat (4)  mengatur pemungutan suara mengenai orang.
      Tentang cara pemungutan suara, undian dan sebagainya dapat diatur seterusnya dengan jelas dalam peraturan tata-tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Pasal 12
      Maka aturan ini ialah supaya anggota Dewan Perwakila Rakyat Daerah dapat mengeluarkan pendapatnya dengan bebas.
      Anggota tidak perlu takut akan dituntut karena dengan lisan atau tertulis dikemukakan dalam rapat. Meskipun demikian anggota harus mempunyai sopan santun sendiri dan didalam aturan tata-tertib dapat ditetapkan bahwa segala sesuatu harus di ajukan denga sopan dan tertib.
      Kemerdekan mengeluarkan pendapat dan keterangan dengan bebas ini hanya pada waktu diadakan rapat, dan di ucapakan atau diajukan didalam rapat itu.
     
Pasal 13
      Dalam ayat (1) ditetapakan bahwa anggota–anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dipillih oleh dari anggota-anggota Dewan Perwakilan Daerah atas dasar perwakilan berimbang atau dalam bahasa asing ”evenderige vertegenvoordiging”. Dengan aturan ini dimaksud agar wakil partai-partai atau golongan kecil dapat juga duduk dalam Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Diborong oleh partai-partai besar yang mempunyai wakil-wakil terbanyak dalam Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
      Dengan peraturan atas dasar perwakilan berimbang maka besarnya kiesquotientah yang menentukan perwakilan, umpama jumlah anggota–anggota Dewan Perwakilan Rakyat Derah 50 dan jumlah anggota Dewan Pemerintah Daerah ada 5 maka kiesquotient menjadi 50 = 10.
                                                                                                                        5
      Dengan demikian partai yang terbesar dan umpamanya mempunyai 25 anggota sebagaii wakilannya hanya akan dapat dua kursi dalam Dewan Pemerintahan dan 3 kursi lainnya dapat pula diperjuangkan oleh partai-partai atau lain-lain golongan kecil.
      Karena pemilihan anggota Dewan Pemerintah Daerah akan diterangkan dalam petunjuk yang lebih jelas.
      Ayat (2) menentukan bahwa bahwa Ketua dan wakil ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak boleh duduk sebagai anggota Dewan Pemerintah Daerah. Dengan demikian maksud untuk memisahkan kekuasaan legislatip dan eksekutip ditegaskan. Sebab jika hal ini tidak di pisahkan maka sebagi ketua (wakil ketua) badan legislatip (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ) sukar kedudukannya jika ia selaku angggota badan eksekutip (Dewan Pemeritah Daerah) bertanggung jawab pula kepada dewan yag di pimpin itu.
      Jumlah angggota Dewan Pemerintah Daerah ditetapkan dalam undang-undang pembentukan; jumlah ini tidak dapat ditetapkan dalam undang-undang pokok ini karena masing–masing Daerah otonom mempunyai jumlah penduduk, pemilih dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang berlainan.
      Pemilihan Dewan Pemerintah Daerah seharusnya di laksanakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah selekas mungkin sesudah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terbentuk.
                                                                                               
Pasal 14
      Yang dimaksud dengan masa pemilihan ialah waktu 5 tahun sebagai ditetapkan dalam pasall 3 ayat ( 2). Jika sesudah sebagian dari waktu tersebut telah lampau ada lowongan anggota, maka anggota baru yang dipilih untuk mengisi lowongan itu duduk dalam Dewan Pemerintah Daerah untuk kekurangan dari  5 tahun tersebut .
      Karena anggota Dewan Pemerintah Daerah dipilih dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, maka sudah semestinya, bahwa barang siapa berhenti menjadi anggota Dewan Perwkilan Rakyat Daerah, berhenti pula menjadi anggota Dewan Pemerintah Daerah.

Pasal 15
      Pedoman untuk Dewan Pemerintah Daerah yang mengatur cara menjalankan kekuasaan dan kewajibannya perlu di adakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah agar supaya Dewan Pemerintah Daerah menjalankan pekerjaannya dengan sebaik-baiknya. Karena pedoman tersebut mengenai soal yang dapat berakibat besar untuk berjalannya peraturan–peraturan daerah maka guna menjaga ketetapannya diperlukan pengesahan dari intansi atasan.

Pasal 16
      Uang kehormatan dimaksud untuk mengganti pendapatan anggota yang bersangkutan, meskipun penggantian ini harus mempunyai batas-batas dan hanya mengingat keadaan. Ketentuan ini perlu, sebab seumpama seorang saudagar besar yang mempunyai pendapatan beribu rupiah sebulan tidak akan dapat gantinya pendapatan itu, jika ia menjadi angggota Dewan Pemerintah Daerah. Uang kehormatan harus  diartikan sebagai uang kerugian terbatas. Lihat juga penjelasan umum sub 27

Pasal 17
      Sumpah atau janji yang susunan katanya ditetapkan dalam peraturan Pemerintah di ucapakan dihadapan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, hal ini dapat di jalankan demikian, bahwa sumpah di lakukan di muka ketua D.P.R.D. dalam rapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Lihat seterusnya penjelasan sub 26
     
Pasal 18 Lihat penjelasan umum sub 22, 23, 24 dan  29.

Pasal 19 Lihat penjelasan umum sub 25.

Pasal 20
      Karena pekerjaan dan kedudukan sekretaris sangat pentingnya maka pengangkatan /pemberhentiannya dilakukan  oleh Dewan Perwwakilan Rakyat Daerah. Tentang penyekoresan diatur dalam surat penetapan Dewan Perwakilan Rayat Dearah.
      Kemungkinan terbuka, bahwa karena banyaknya pekerjaan dan tanggung jawabnya suatu daerah mengangkat lebih dari satu sekretaris, umpamamnya sekretaris I dan Sekretaris II.
      Yang di maksud dalam ayat (3) ialah jika berhlangan itu terjadi untuk sementara waktu yang pendek; jika halangan itu menjadi lama lebih dari 3 bulan, karena sakit, maka Dewan Pemerintah Daerah untuk keberesan pekerjaan seharusnya mengajukan gantinya sekretaris itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Pasal 21
      Peraturan–peraturan yang mengenai pegawai harus ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, oleh karena ini menjadi kekuasaan dan kewajibannya. Maka daerah dapat mengadakan peraturan tentang hal itu berbeda denagn peraturan yang berlaku bagi pegawai Negeri;  tetapi sedapat mungkin daerah diharuskan dalam pasal ini penyesuaian  peraturannya dengan peraturan–peraturan yang di tetapkan oleh Pemerintah bagi pegawai negeri.
      Peraturan ini perlu disahkan lebih dulu oleh intansi yang lebih atas untuk menjaga jangan samapai imbangan tentang gaji dan lain-lain terganggu.

Pasal 22
      Karena pegawai-pegawai yang mempunyai keahlian sementara waktu ini tidak akan menyukupi keperluan keahlian daerah, maka dimaksud pada penyerahan kewajiban Pemerintah Pusat kepada daerah-daerah. Pegawai–pegawai yang bersangkutan tersebut (ahli-ahli) akan di serahkan juga, tetapi dengan cara diperbantukan terbeschikkingtelling, agar supaya Pemeritah dapat membagi–bagi tenaga dengan rasionil di natara daerah–daerah, di sampaing usaha Pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan pegawai-pegawai daerah yang di butuhkan.
      Pada pokoknya ditentukan bahwa intansi yang memakai tenaga kerja pegawai itu, membayar gajinya, uang iuran pensiun dan sebagainya di maksudkan dalam kas instansi yang memperbantukan tenaga tersebut.
     
Pasal 23
      Pasal ini mengenai kekuasaan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya atau hak otonmi; kekuasaan ini diletakkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai alat pemerintahan daerah yang tertinggi supaya dengan demikian Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mempunyai hak untuk memperhatikan segala kepentingan dan mengusahakan segala sesuatu dalam lingkungan daerah sendiri, asal saja tidak bertentangan dengan kepentingan umum Negara atau atauran–atauran Pemerintah. Lihat seterusnya penjelasan umum sub 13 s/d 18.

Pasal 24
      Pasal ini mengenai kemungkinan bahwa kewajiban pemerintah dapat diserahkan kepada daerah untuk dijalankan, menjalankan ini dapat berupa mengatur dan mengurus (medebewind).
      Selain pemerintah, juga sesuatu daerah dapat menyerahkan kewajibannya untuk diatur dan diurus. Lihat seterusnya penjelasan umum sub 13 s/d 18.

Pasal 25
      Jika pemerintah daerah keliru mempergunakan kekuasaannya otonomi hingga merugikan daerah atau Negara, atau melalikan kewajibannya medebewind yang diserahkan kepadanya, maka dalam pasal ini ditentukan oleh siapa dan bagimana harus diadakan tindakan agar supaya pemerintahan dapat terus berjalan dengan baik.

Pasal 26
      Dalam pasal ini ditetapkan bahwa DPRD dapat mebela kepentingan-kepentingan daerah dan penduduknya dihadapan instansi-instansi lebih atas (hak petitie). Hak ini dapat dijalankan dengan tulisan, lisan atau dengan mosi.

Pasal 27
      Dalam menjalankan kekuasaan dan kewajiban, daerah-daerah dapat bekerja bersama-sama, daerah-daerah itu tidak perlu setingkat. Dengan demikian daerah-daerah dari tingkatan yang tidak sama dapat mengadakan kerjasama, kemudian hari jika pekerjaan-pekerjaan daerah sudah meluas dan mendalam kemungkinan untuk berkerja bersama ini akan lebih-lebih dibutuhkan. Bekerja bersama ini dapat dijalankan jika kepentingan-kepentingan itu mengenai daerah yang bersangkutan. Kepentingan-kepentingan itu tidak saja yang mengenai pemerintahan akan tetapi juga hal-hal dalam hukum perdata.
      Peraturan daerah untuk mengatur kerjasama ini lebih dulu harus disahkan oleh instansi atasan.
      Apabila bekerja bersama itu terjadi di antara propinsi dan kabupaten, maka pengesahan dilakukan oleh instansi yang lebih tinggi dari salah satu daerah yang bersangkutan, jadi disini oleh presiden.

Pasal 28
      Ayat (1) menentukan bahwa DPRD untuk hal-hal dimaksudkan dalam pasal 23 dan 24 dapat membuat peraturan-peraturan yang disebut “Peraturan Daerah” dengan ditambah tingkatan dan nama daerah, menjadi misalnya “Peraturan daerah Kabupaten Ponorogo”.
      Ayat (2) sampai dengan ayat (5) mengenai pembagian kekuasaan antara pemerintah dengan daerah dan antara daerah yang lebih tinggi tingkatannya dengan daerah tingkatan bawahnya. Dalam UU pembentukan akan terlihat agak jelas tentang isi kekuasaan-kekuasaan tersebut dengan nyata (positief) hal-hal yang melulu menjadi hak pemerintah atasan (hak executif) dan hal-hal yang dapat diatur oleh pemerintah dan juga dapat diatur oleh daerah (kompetensi cincurent).

Pasal 29
      Pasal ini memberi kekuasaan kepada DPRD untuk menetapkan hukuman terhadap pelanggaran peraturan-peraturannya, hukuman selama-lamanya tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 100.- dapat ditetapkan oleh masing-masing DPRD dari tiga tingkatan. Bahwa hal ini dijalankan dengan cukup kebijaksanaan, dapat dijamin dengan keharusan pengesahan oleh pihak atasan bagi peraturan-peraturan yang memuat hukuman tersebut.
      Kekuasaan menetapkan hukuman itu terbatas, jika UU atau PP mengadakan ketentuan lain maka daerah tidak atau tidak dengan sepenuhnya menjalankan kekuasaan itu.

Pasal 30
      Yang diatur dalam pasal ini mengenai pengawasan atas putusan-putusan (dalam arti kata luas) dari DPRD sebelum putusan-putusan itu dapat berjalan dengan sah (pengawasan  preventif). Untuk menjamin jangan sampai pihak yang harus mengawasi menjalankan sesuatu dengan sewenang-wenang maka waktu ptutusan-putusan tersebut harus disahkan atau ditolak ditentukan dalam pasal ini.

Pasal 31
Aturan ini sudah terang

Pasal 32
Tentang mengadakan pajak serta pemungutannya akan diatur lebih lanjut dalam UU.


Pasal 33
      Jika DPRD mengadakan pinjaman uang maka untuk dapat mengesahkan dari pihak atasan seharusnya diterangkan untuk keperluan apa pinjaman itu diadakan dan cara bagaimana angsuran pembayaran kembali dan pembayaran akan dipenuhi oleh daerah. Lihat seterusnya penjelasan dari Pasal 37.

Pasal 34
      Dalam pasal ini tidak dijelaskan apa yang termasuk dalam pemerintahan sehari-hari. Kekuasaan dan kewajiban DPD dimaksudkan mengenai kekuasaan eksekutip. Pada umumnya DPD menjalankan segala putusan DPRD, seterusnya diwajibkan menjalankan apa yang diwajibkan dalam pasal-pasal 24 (tentang medebewind), pasal 26 (menerima petitie), pasal 27 (mengesahkan Peraturan Daerah mengenai kerjasama antara satu daerah dengan daerah lain), pasal 30 (mengenai pengawasan prevenntief), pasal 31 (pengesahan putusan untuk melebih anggaran pendapatan dan belanja oleh DPRD setingkat di bawahnya), pasal 33 (pengesahan mengenai putusan pinjaman uang), pasal 35 (perwakilan daerahnya di dalam dan di luar daerah-daerah di bawahnya) dan pasal 45 (kewajiban memberi keterangan-keterangan jika diminta oleh pihak yang ditentukan).
      Anggauta-anggauta DPRD bersama-sama atau masing-masing bertanggung jawab terhadap DPRD dan untuk ini mereka diwajibkan memberi ketarangan-keterangan yang diminta oleh DPRD, tanggung jawab ini mengenai segala pekerjaan yang dilakukan sebagai DPD. Jika keterangan ini tidak diberikan maka DPRD dapat memberhentikan sebagai anggauta DPRD seorang atau lebih dari seorang anggota DPD, kecuali ketuanya.

Pasal 35
      Perwakilan ini perlu ditegskan di sini agar supaya dalam perkara perdata atau pidana terang badan mana bertindak atas nama daerah menjadi penggugat atau yang digugat.

Pasal 36
      Pasal ini mengatur kewajiban Kepala Daerah mengenai pengawasan Preventief. Lihat seterusnya penjelasan dari Pasal 42 di mana pengawasan dijalankan oleh DPD dan bagi Propinsi oleh Presiden. Lihat pula penjelasan umum sub 21.

Pasal 37
      Syarat-syarat yang pertama bagi daerah otonom untuk dapat berkembang sengan sebaik-baiknya, ialah bahwa daerah otonom harus dapat menyusun anggaran pendapatan dan belanja yang sempurna dengan menyebut pula segala macam sumber-sumber yang dapat dipungut di daerahnya yang akan menjamin berjalannya rumah tangga daerah yang seimbang. Stabiliteit pendapatan harus ada.
      Di dalam pasal 32, 33 dan 37 UU pokok ini disebut beberapa macam sumber pendapatan yang besar-besar. Pasal 37 menyebut 4 macam yaitu :
a.       pajak daerah termasuk juga retribusi.
b.       Hasil perusahaan daerah.
c.       Pajak Negara yang diserahkan kepada daerah.
d.       dan lain-lain.

Ad. A. Pajak Daerah.
      Pajak daerah adalah sumber-sumber pandapatan yang kecil artinya bagi pemerintah daerah. Hanyalah pemerintah boleh mengadakan pajak. Untuk menghindarkan salah faham maka daerah otonom menurut ketentuan yang termuat dalam pasal 32 UU pokok dengan pasti dinyatakan mempunyai hak untuk mengadakan pajak. Untuk menjaga jangan sampai nanti di suatu daerah, pemerintah daerah mengadakan pajak semau-maunya, sehingga beban rakyat disitu menjadi lebih-lebih berat daripada beban dilain-lain daerah dan selanjutnya untuk mengadakan uniformiteit di dalam hal ini, juga untuk menggampangkan pengawasan, maka di dalam UU akan ditetapkan peraturan-peraturan umum tentang DPRD dapat membuat peraturan-peraturan tentang pemungutan pajak-pajak daerah.
      Yang dimaksudkan dengan pajak daerah ialah pajak yang tidak atau belum diatur oleh pemerintah (pusat).
      Yang dimaksud retribusi ialah pemungutan pendapatan oleh daerah sebagai pengganti (kerugian) diensten itu, misalnya bea pasar, air minum, tambangan, uang sekolah, pamakaian tempat pemandian, lapangan olah raga dan sebagainya, bea pemeriksaan susu, daging, hewan dan lain-lainnya.

Ad. B. Pendapatan hasil Perusahaan daerah.
      Maksudnya sudah terang. Daerah-daerah otonom dapat mendirikan perusahaan-perusahaan yang menguntungkan daerah dan memenuhi kewajiban sosial.

Ad. C. Pajak Negara yang diserahkan kepada Daerah.
      Pajak Negara yang diserahkan oleh pemerintah (pusat) kepada daerah otonom tetap menjadi urusan pemerintah, akan tetapi untuk membiayai pekerjaaan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah otonom “in medebewind” dan juga guna memberi bantuan kepada daerah otonom dalam hal mengurus rumah tangganya. Pemerintah memandang perlu menyerahkan pendapatan pajak Negara itu sebagian atau seluruhnya kepada daerah yang bersangkutan.
      Karena kebutuhan (anggaran pendapatan dan belanja) sesuatu daerah meskipun tingkatnya sama dengan daerah lain tidak sama jumlahnya, maka penyerahan pajak itu juga, melihat kebutuhan akan keuangan masing-masing daerah. Karena pula pada waktu ini belum dapat diketahui besarnya kebutuhan tadi dan tidak diketahui jumlah yang masuk dan pajak-pajak apa, maka pada waktu ini belum dapat dipastikan pajak-pajak apa dan kepada daerah-daerah mana pajak-pajak itu harus diberikan. Selanjutnya dipersilahkan membaca XIV sub 33 di muka.
Ad. D. Dan Lain-Lain.
      Yang dimaksud disini ialah sesuatu yang tidak termasuk dalam arti apa yang disebut dalam ad. A, b, dan c “lain-lain pendapatan daerah umpamanya bisa berupa :
1.       pinjaman.
2.       subsidi (sokongan).
3.       macam-macam penjualan barang-barang milik daerah sendiri, menyewakan barang-barang dan lain-lainnya.
4.       lain-lain.

1. Pinjaman
      Untuk menolong keuangan daerah, maka pemerintah daerah dapat mengadakan pinjaman uang sesuai dengan ketentuan yang tersebut dalam pasal 33 UU pokok ini. Biasanya uang pinjaman itu dipergunakan guna menjalankan usaha-usaha produktief dan menguntungkan kepentingan daerah umpamanya membikir saluran air, mendirikan jembatan-jembatan yang sangat penting artinya bagi daerah, mendirikan pabrik yang menguntungkan (rendabel), usaha mana niscaya tidak akan dapat dibelanjai dari pendapatan biasa (pajak). Pinjaman itu sebetulnya tidak lain ialah hanya m,erupakan usaha sementara untuk menolong kekuatan keuangan daerah pada pokoknya pinjaman itu ditanggung, seperti halnya dengan pengeluaran biasa, sebagian, mungkin sebagian besar dari hasil pendapatan pajak, dengan demikian pinjaman itu (angsuran dan bungan pinjaman) dibayar kembali sedikit demi sedikit selama waktu yang tertentu. Pengembalian keuangan daerah atau tidak boleh menyukarkan keuangan daerah dengan terus menerus. Karena itu maka ada baiknya hanya mengadakan pinjaman saja jika memang dipandang perlu untuk pengeluaran yang teristimewa yang menguntungkan daerah.
      Dalam putusan untuk mengadakan pinjaman juga harus diterangkan dan ditunjuk dengan jelas sumber-sumber guna membayar angsuran dan bunga pinjaman.

2. Subsidi (sokongan)
      Bila daerah harus mengeluarkan biaya luar biasa yang melebihi kekuatandaerah untuk pekerjaan besar, lebih-lebih pula yang mengenai kepentingan lebih luas dari kepentingan daerah, maka pemerintah dapat memberi subsidi kepada daerah otonom.
      Apa yang disebut sub 4 sudah terang. Tidak perlu diterangkan lebih lanjut. Sebagai contoh yang mengenai sub 4 misalnya ialah umpama uang derma atau waris dari seorang penduduk, pendapatan uang undian dan sebagainya.
      Perlu kiranya diterangkan disini, bahwa daerah-daerah yang diberi hak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri itu masih tetap menjadi tanggungan pemerintah dalam melaksanakan UU. Dasar kesejahteraan bersama harus merata pada semua daerah.
      Karena itu, bila terdapat daerah yang miskin, untuk memajukan kemakmuran di daerah itu pemerintah membantu usaha daerah dengan jalan memperkuat keuangannya.


Pasal 38
      Administrasi keuangan daerah memerlukan cara pembukuan yang terang dan rapi untuk mendapat pemandangan dan gambaran setiap waktu tentang tingkat dan keadaan pekerjaan daerah yang bertujuan memajukan penghidupan masyarakat daerah pada khususnya. Dalam hal ini yang paling penting ialah menetapkan dan menyusun anggaran pendapatan dan belanja daerah yang menurut pasal 39 ayat 2 ditetapkan dalam tangan DPRD (hak budget).
      Mengurus keuangan secara sehat adalah syarat yang penting untuk dapat mengembangkan otonomi di daerah yang sebaik-baiknya. Baik buruknya kesejahteraan daerah tergantung daripada baik tidaknya dapat mengurus keuangan daerah, maka sebagai contoh disini diterangkan beberapa hal yang harus difahamkan dan diperhatikan sungguh-sungguh, yaitu :
a.       Perbuatan-perbuatan yang mengikat daerah otonom, yang menimbulkan tagihan-tagihan dan berkaibat pengeluaran uang dalam garis-garis yang ditetapkan dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah, misalnya mengangkat pegawai daerah, memberi pension, mengadakan perjanjian-perjanjian jual beli, sewa menyewa, mengadakan perjanjian kerja arbeidsovereemkomst, memberi subsidi. Disini harus diatur siapa yang menguasai keuangan daerah untuk menjaga jangan sampai batas-batas yang sudah ditetapkan dalam anggaran itu dilanggar.
b.       Juga harus diatur siapa yang memberi kuasa atau autorisasi untuk mengadakan pengeluaran menurut anggaran pendapatan dan belanja, siapa yang menyelidiki surat-surat hutang yang diajukan kepada daerah, menetapkan jumlah uang sampai jumlah yang sebenar-benarnya (verevenen), yang menunjuk post pengeluaran dalam anggara menurut post mana pengeluaran itu boleh diadakan (effectatie) yang setelah kesemuanya itu terdapat beres dan sah, siapa yang memberi perintah kepada kashouder untuk membayar uangnya.
c.       Perintah yang terakhir yang membolehkan kashouder membayar uang diterimakan kepada kashouder yang mempunyai pekerjaan menyimpan, menerima dan mengeluarkan uang dari kas daerah, pekerjaan kashouder ini termasuk “geldelijk beheer”. Ini semua juga harus diatur dengan sebaik-baiknya. Menurut ayat 2 maka pekerjaan itu dengan persetujuan menteri yang bersangkutan oleh DPRD dapat diserahkan kepada pegawai negeri yang menjalankan pekerjaan sedemikian rupa bagi Negara. Umpamanya jika pekerjaan keuangan tersebut oleh DPRD diserahkan kepada kantor pos, bank rakyat dan sebagainya maka hal ini harus dengan persetujuan masing-masing dari menteri perhubungan dan menteri kemakmuran. Untuk menggabungkan pekerjaan pemerintah daerah, pemerintah akan membikin pedoman tentang hal ini.

Pasal 39
Lihat penjelasan XIV sub 33.
      Menurut ayat 3 dan 4 pasal ini maka anggaran pendapatan dan belanja yang ditetapkan oleh DPRD harus diserahkan oleh yang berwajib.
      Pengesahan atau penolakan mengenai anggaran itu seluruhnya, artinya pengesahan dengan sarat-sarat penolakan mengenai beberapa bagian-bagian dari anggaran itu tidak mungkin diadakan.
      Penolakan harus bersandar alas an-alasan yang jelas dan bersandarkan atas keadaan keuangan daerah yang bersangkutan dan pula jika penolakan itu terjadi maka otonoom yang bersangkutan dapat memajukan keberatan-keberatan atas penolakan anggarannya kepada instansi yang lebih tinggi (ayat 7).

Pasal 40 Lihat penjelasan Pasal 39

Pasal 41 Pasal ini sudah cukup terang, tidak perlu diberi penjelasan.

Pasal 42
      Pengesahan atas perbuatan-perbuatan daerah yang diletakkan dalam tangan yang berwajib yang berada diluar daerah otonom, dilakuakn setelah perbuatan-perbuatan itu ditetapkan (diputus) oleh DPRD atau DPD yang bersangkutan, akan tetapi sebelumnya putusan itu dilakukannya, artinya terhadap peraturan-peraturan daerah sebelumnya peraturan itu diumumkan menurut cara-cara yang sah. Ini semua mengenai “preventief toezicht”, lain halnya dengan apa yang dimaksud dalam ketentuan dalam pasal 42. Menurut ketentuan ini putusan-putusan DPRD atau DPD jika bertentangan dengan kepentingan umum, UU atau Peraturan-peraturan daerah yang lebih tinggi tingkatannya dapat ditunda atau dibatalkan.
      Hak pembatalan ini merupakan “repressief toericht” dan dijalankan sebelum putusan daerah itu berjalan atau sudah sedang berjalan. Hak pembatalan mempunyai lapangan yang lebih atas lagi daripada hak pengesahan. Hak pengesahan itu hanya mengenai beberapa hal yang ditentukan dalam UU pokok (pasal 7, 15 ayat 2, 16, 21, 27, 29, 31 dan lain sebagainya), sedang hak pembatalan mengenai semua perbuatan-perbuatan (putusan-putusan) DPRD atau DPD yang bertentangan dengan UU atau peraturan yang lebih tinggi tingkatannya atau bertentangan dengan kepentingan umum. Penundaan bersifat sementara mendahului kemungkinan tindakan pembatalan. Karena itu semua perkataan “putusan” tersebut dalam pasal 42 harus diartikan luas.
Di dalam ayat 1 diadakan perbedaan antara :
a.       putusan yang bertentangan dengan kepentingan umum dan
b.       putusan yang bertentangan dengan UU atau peraturan-peraturan yang lebih tinggi tingkatannya.
      Ini untuk mengadakan perbedaan dalam akibat, karena dengan pembatalan atas dasar pertentangan kepentingan umum segala akibat yang tidak bertentangan masih bisa berlaku terus sedang jika ada pertentangan dengan UU atau peraturan-peraturan yang lebih tinggi tingkatannya batal juga segala akibat yang ditimbulkan karenanya.
      Yang dapat menunda atau membatalkan putusan-putusan pemerintah daerah otonom itu ialah DPD yang setingkat lebih atas atau bagi propinsi ialah presiden.
      Timbul pertanyaan bagaimana DPD itu atau presiden dapat segera mengetahui dan mengambil tindakan-tindakan untuk mencegah berlakunya segala sesuatu yang tidak diharapkan karenanya disesuatu daerah otonom, padahal tidak ada peraturan dimuat di dalam UU pokok yang mengharuskan putusan-putusan pemerintah daerah diberitahukannya kepada instansi yabg bersangkutan.
      Menurut pasal 28 ayat 6 Kepala Daerah diserahi sebagian dari “preventief toezsicht” terhadap peraturan daerah. Ia tentu dengan segera dapat mengambil tindakan-tindakan seperlunya jika ia memandang peraturan yang ditetapkan itu bertentangan dengan jalan tidak memberi tanda tangannya.
      Lagi pula terhadap putusan-putusan lain Kepala Daerah berhak menahan dijalankannya putusan-putusan DPRD atau DPD, bila dipandangnya putusan-putusan itu bertentangan dengan kepentingan umum atau bertentnagan dengan UU atau Peraturan-peraturan pemerintah dan peraturan-peraturan dari daerah yang lebih atas (pasal 36 ayat 1). Teranglah bahwa Kepala Daerah dengan lekas dapat melaporkan ke atas hal-hal tersebut di atas akan terjadi.
      Untuk menyempurnakan pengawasan maka di dalam pasal 45 ditetapkan bahwa daerah otonom yang bersangkutan harus memberi semua keteranga-keterangan dan penjelasan yang perlu kepada yang berwajib jika diminta. Demikian juga pemerintah atau pemerintah daerah yang lebih atas (pegawai yang dikuasakannya) dapat mengadakan penyelidikan memasuki kantor-kantor daerah otonom yang bersangkutan guna mengadakan penjelasan dalam archief atau administrasi pemerintahan daerah.

Pasal 43 dan Pasal 44 Sudah Terang dan tidak perlu diberi penjelasan

Pasal 45 Lihat penjelasan Pasal 42.

Pasal 46
      Peraturan peralihan ini hanya dipergunakan selama waktu UU pokok karena rupa-rupa keadaan belum dapat dijalankan sepenuhnya. Pemerintah akan berusaha terhapusnya peraturan-peraturan peralihan selekas-lekasnya.
      Pembentukan daerah-daerah otonom menurut UU pokok bertepatan dengan pembangunan Negara, yang oleh pemerintah dikerjakan dengan segala alat yang ada dan yang akan diadakan.
Selekas mungkin akan diadakan kesempatan untuk memberi didikan kepada calon-calon pegawai untuk memenuhi keperluan pemerintah daerah.
      Tentang hapusnya pamong projo, segera atau tidak tergantung dari kemajuannya jalannya pemerintahan daerah menurut rancangan termaksud dalam UU ini. Adalah sebaiknya melihat praktik dulu.
      Tentang pegawai Karesidenan yang akan dihapuskan, akan diatur untuk kepentingan propinsi, kabupaten dan desa.
      Dalam menjalankan UU pokok ini akan masih banyak kesukaran-kesukaran yang harus diatasi. Tetapi sekalipun demikian pemerintah berharap akan dapat mengatasi kesukaran-kesukaran tadi dan UU pokok ini akhirnya dapat dijalankan sepenuhnya.
      Sebelumnya UU pemilihan anggauta-anggauta DPRD terbentuk dan dijalankan. Pemerintah akan berusaha memperbaiki susunan DPRD sesuai dengan keadaan ditempat-tempat itu yang dapat mendekati rasa keadilan bagi golongan yang berkepentingan.
      Oleh karena pemerintah selekas-lekasnya akan memajukan UU tentang pemilihan anggauta DPRD kepada Badan Pekerja agar dapat diusahakan selekas-lekasnya dapat diadakan pemilihan anggauta-anggauta termaksud tadi, maka karena itu cara yang dipakai sekarang sementara lebih dahulu dengan diperbaiki seperlunya. Hal ini dapat ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
      Yang diamksudkan dengan daerah administrasi dalam ayat 2 ialah umpamanya karesiden dan sebagainya.
Tentang ayat 4 lihat penjelasan umum sub 22.
      Mengenai ayat 5 dimaksudkan untuk menetapkan sementara supaya peraturan-peraturan mengenai keuangan dan sebagainya yang hingga sekarang berlaku, diteruskan berjalannya sehingga diadakan peraturan-peraturan khusus tentang hal ini.

Pasal 47 Pada tanggal 10 Juni 1948 UU ini telah diumumkan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar