UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 6 TAHUN 2014
TENTANG
DESA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa
Desa memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat dan berperan mewujudkan cita-cita kemerdekaan
berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa
dalam perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, Desa telah berkembang dalam
berbagai bentuk sehingga perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat,
maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat menciptakan landasan yang kuat
dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil,
makmur, dan sejahtera;
c. bahwa
Desa dalam susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan
perlu diatur tersendiri dengan undang-undang;
d. bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf
c perlu membentuk Undang-Undang tentang Desa;
Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, Pasal 18B ayat (2), Pasal 20, dan
Pasal 22D ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK
INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG
TENTANG DESA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam
Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama
lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki
batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan,
kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul,
dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Pemerintahan
Desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3. Pemerintah
Desa adalah Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain dibantu perangkat
Desa sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Desa.
4. Badan
Permusyawaratan Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah lembaga yang
melaksanakan fungsi pemerintahan yang anggotanya merupakan wakil dari penduduk
Desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis.
5. Musyawarah
Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah musyawarah antara Badan
Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat yang
diselenggarakan oleh Badan Permusyawaratan Desa untuk menyepakati hal yang
bersifat strategis.
6. Badan
Usaha Milik Desa, yang selanjutnya disebut BUM Desa, adalah badan usaha yang
seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Desa melalui penyertaan
secara langsung yang berasal dari kekayaan Desa yang dipisahkan guna mengelola
aset, jasa pelayanan, dan usaha lainnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan
masyarakat Desa.
7. Peraturan
Desa adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Kepala Desa
setelah dibahas dan disepakati bersama Badan Permusyawaratan Desa.
8. Pembangunan
Desa adalah upaya peningkatan kualitas hidup dan kehidupan untuk
sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat Desa.
9. Kawasan
Perdesaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk
pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat
permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan
kegiatan ekonomi.
10. Keuangan
Desa adalah semua hak dan kewajiban Desa yang dapat dinilai dengan uang serta
segala sesuatu berupa uang dan barang yang berhubungan dengan pelaksanaan hak
dan kewajiban Desa.
11. Aset
Desa adalah barang milik Desa yang berasal dari kekayaan asli Desa, dibeli atau
diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa atau perolehan hak
lainnya yang sah.
12. Pemberdayaan
Masyarakat Desa adalah upaya mengembangkan kemandirian dan kesejahteraan
masyarakat dengan meningkatkan pengetahuan, sikap, keterampilan, perilaku,
kemampuan, kesadaran, serta memanfaatkan sumber daya melalui penetapan
kebijakan, program, kegiatan, dan pendampingan yang sesuai dengan esensi
masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat Desa.
13. Pemerintah
Pusat selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang
memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
14. Pemerintahan
Daerah adalah Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan
dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
15. Pemerintah
Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota dan perangkat daerah sebagai
unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
16. Menteri
adalah menteri yang menangani Desa.
Pasal
2
Penyelenggaraan
Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa,
dan pemberdayaan masyarakat Desa berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan
Bhinneka Tunggal Ika.
Pasal
3
Pengaturan
Desa berasaskan:
a. rekognisi;
b. subsidiaritas;
c. keberagaman;
d. kebersamaan;
e. kegotongroyongan;
f. kekeluargaan;
g. musyawarah;
h. demokrasi;
i. kemandirian;
j. partisipasi;
k. kesetaraan;
l. pemberdayaan;
dan
m. keberlanjutan.
Pasal
4
Pengaturan
Desa bertujuan:
a. memberikan
pengakuan dan penghormatan atas Desa yang sudah ada dengan keberagamannya
sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. memberikan
kejelasan status dan kepastian hukum atas Desa dalam sistem ketatanegaraan
Republik Indonesia demi mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia;
c. melestarikan
dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat Desa;
d. mendorong
prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat Desa untuk pengembangan potensi
dan Aset Desa guna kesejahteraan bersama;
e. membentuk
Pemerintahan Desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta
bertanggung jawab;
f. meningkatkan
pelayanan publik bagi warga masyarakat Desa guna mempercepat perwujudan
kesejahteraan umum;
g. meningkatkan
ketahanan sosial budaya masyarakat Desa guna mewujudkan masyarakat Desa yang
mampu memelihara kesatuan sosial sebagai bagian dari ketahanan nasional;
h. memajukan
perekonomian masyarakat Desa serta mengatasi kesenjangan pembangunan nasional;
dan
i. memperkuat
masyarakat Desa sebagai subjek pembangunan.
BAB II KEDUDUKAN DAN JENIS DESA
Bagian Kesatu
Kedudukan
Pasal 5
Desa
berkedudukan di wilayah Kabupaten/Kota.
Bagian Kedua
Jenis Desa
Pasal 6
(1) Desa
terdiri atas Desa dan Desa Adat.
(2) Penyebutan
Desa atau Desa Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan
penyebutan yang berlaku di daerah setempat.
BAB
III
PENATAAN
DESA
Pasal
7
(1) Pemerintah,
Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat melakukan
penataan Desa.
(2) Penataan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan hasil evaluasi tingkat
perkembangan Pemerintahan Desa sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Penataan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan:
a. mewujudkan efektivitas
penyelenggaraan Pemerintahan Desa;
b. mempercepat peningkatan
kesejahteraan masyarakat Desa;
c. mempercepat peningkatan kualitas
pelayanan publik;
d. meningkatkan kualitas tata kelola
Pemerintahan Desa; dan
e. meningkatkan daya saing Desa.
(4) Penataan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pembentukan;
b. penghapusan;
c. penggabungan;
d. perubahan status; dan
e. penetapan Desa.
Pasal
8
(1) Pembentukan
Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) huruf a merupakan tindakan
mengadakan Desa baru di luar Desa yang ada.
(2) Pembentukan
Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota dengan mempertimbangkan prakarsa masyarakat Desa, asal usul,
adat istiadat, kondisi sosial budaya masyarakat Desa, serta kemampuan dan
potensi Desa.
(3) Pembentukan
Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat:
a. batas
usia Desa induk paling sedikit 5 (lima) tahun terhitung sejak pembentukan;
b. jumlah
penduduk, yaitu:
1) wilayah
Jawa paling sedikit 6.000 (enam ribu) jiwa atau 1.200 (seribu dua ratus) kepala
keluarga;
2) wilayah
Bali paling sedikit 5.000 (lima ribu) jiwa atau 1.000 (seribu) kepala keluarga;
3) wilayah
Sumatera paling sedikit 4.000 (empat ribu) jiwa atau 800 (delapan ratus) kepala
keluarga;
4) wilayah
Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara paling sedikit 3.000 (tiga ribu) jiwa atau
600 (enam ratus) kepala keluarga;
5) wilayah
Nusa Tenggara Barat paling sedikit 2.500 (dua ribu lima ratus) jiwa atau 500
(lima ratus) kepala keluarga;
6) wilayah
Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, dan Kalimantan
Selatan paling sedikit 2.000 (dua ribu) jiwa atau 400 (empat ratus) kepala
keluarga;
7) wilayah
Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Utara
paling sedikit 1.500 (seribu lima ratus) jiwa atau 300 (tiga ratus) kepala
keluarga;
8) wilayah
Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Maluku Utara paling sedikit 1.000 (seribu)
jiwa atau 200 (dua ratus) kepala keluarga; dan
9) wilayah
Papua dan Papua Barat paling sedikit 500 (lima ratus) jiwa atau 100 (seratus)
kepala keluarga.
c. wilayah
kerja yang memiliki akses transportasi antarwilayah;
d. sosial
budaya yang dapat menciptakan kerukunan hidup bermasyarakat sesuai dengan adat
istiadat Desa;
e. memiliki
potensi yang meliputi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya
ekonomi pendukung;
f. batas
wilayah Desa yang dinyatakan dalam bentuk peta Desa yang telah ditetapkan dalam
peraturan Bupati/Walikota;
g. sarana
dan prasarana bagi Pemerintahan Desa dan pelayanan publik; dan
h. tersedianya
dana operasional, penghasilan tetap, dan tunjangan lainnya bagi perangkat
Pemerintah Desa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Dalam
wilayah Desa dibentuk dusun atau yang disebut dengan nama lain yang disesuaikan
dengan asal usul, adat istiadat, dan nilai sosial budaya masyarakat Desa.
(5) Pembentukan
Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui Desa persiapan.
(6) Desa
persiapan merupakan bagian dari wilayah Desa induk.
(7) Desa
persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat ditingkatkan statusnya
menjadi Desa dalam jangka waktu 1 (satu) sampai 3 (tiga) tahun.
(8) Peningkatan
status sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilaksanakan berdasarkan hasil
evaluasi.
Pasal
9
Desa dapat
dihapus karena bencana alam dan/atau kepentingan program nasional yang
strategis.
Pasal
10
Dua Desa
atau lebih yang berbatasan dapat digabung menjadi Desa baru berdasarkan
kesepakatan Desa yang bersangkutan dengan memperhatikan persyaratan yang
ditentukan dalam Undang-Undang ini.
Pasal
11
(1)
Desa dapat berubah status menjadi
kelurahan berdasarkan prakarsa Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa
melalui Musyawarah Desa dengan memperhatikan saran dan pendapat masyarakat
Desa.
(2)
Seluruh barang milik Desa dan sumber
pendapatan Desa yang berubah menjadi kelurahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menjadi kekayaan/aset Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang digunakan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kelurahan tersebut dan pendanaan
kelurahan dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Kabupaten/Kota.
Pasal
12
(1) Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota dapat mengubah status kelurahan menjadi Desa berdasarkan
prakarsa masyarakat dan memenuhi persyaratan yang ditentukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Kelurahan
yang berubah status menjadi Desa, sarana dan prasarana menjadi milik Desa dan
dikelola oleh Desa yang bersangkutan untuk kepentingan masyarakat Desa.
(3) Pendanaan
perubahan status kelurahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan pada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota.
Pasal
13
Pemerintah
dapat memprakarsai pembentukan Desa di kawasan yang bersifat khusus dan
strategis bagi kepentingan nasional.
Pasal
14
Pembentukan,
penghapusan, penggabungan, dan/atau perubahan status Desa menjadi kelurahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11 atau
kelurahan menjadi Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ditetapkan dalam
Peraturan Daerah.
Pasal
15
(1) Rancangan
Peraturan Daerah tentang pembentukan, penghapusan, penggabungan, dan/atau
perubahan status Desa menjadi kelurahan atau kelurahan menjadi Desa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 yang telah mendapatkan persetujuan bersama
Bupati/Walikota dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah diajukan kepada Gubernur.
(2) Gubernur
melakukan evaluasi Rancangan Peraturan Daerah tentang pembentukan, penghapusan,
penggabungan, dan/atau perubahan status Desa menjadi kelurahan atau kelurahan
menjadi Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan urgensi,
kepentingan nasional, kepentingan daerah, kepentingan masyarakat Desa, dan/atau
peraturan perundang-undangan.
Pasal
16
(1) Gubernur
menyatakan persetujuan terhadap Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15 paling lama 20 (dua puluh) hari setelah menerima Rancangan
Peraturan Daerah.
(2) Dalam
hal Gubernur memberikan persetujuan atas Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota melakukan
penyempurnaan dan penetapan menjadi Peraturan Daerah paling lama 20 (dua puluh)
hari.
(3) Dalam
hal Gubernur menolak memberikan persetujuan terhadap Rancangan Peraturan Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Rancangan Peraturan Daerah tersebut tidak
dapat disahkan dan tidak dapat diajukan kembali dalam waktu 5 (lima) tahun
setelah penolakan oleh Gubernur.
(4) Dalam
hal Gubernur tidak memberikan persetujuan atau tidak memberikan penolakan
terhadap Rancangan Peraturan Daerah yang dimaksud dalam Pasal 15 dalam jangka
waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bupati/Walikota dapat mengesahkan
Rancangan Peraturan Daerah tersebut serta sekretaris daerah mengundangkannya
dalam Lembaran Daerah.
(5) Dalam
hal Bupati/Walikota tidak menetapkan Rancangan Peraturan Daerah yang telah
disetujui oleh Gubernur, Rancangan Peraturan Daerah tersebut dalam jangka waktu
20 (dua puluh) hari setelah tanggal persetujuan Gubernur dinyatakan berlaku
dengan sendirinya.
Pasal
17
(1) Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota tentang pembentukan, penghapusan, penggabungan, dan
perubahan status Desa menjadi kelurahan atau kelurahan menjadi Desa diundangkan
setelah mendapat nomor registrasi dari Gubernur dan kode Desa dari Menteri.
(2) Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai lampiran peta
batas wilayah Desa.
BAB
IV
KEWENANGAN
DESA
Pasal
18
Kewenangan
Desa meliputi kewenangan di bidang penyelenggaraan Pemerintahan Desa,
pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan
masyarakat Desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat
istiadat Desa.
Pasal
19
Kewenangan
Desa meliputi:
a. kewenangan
berdasarkan hak asal usul;
b. kewenangan
lokal berskala Desa;
c. kewenangan
yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota; dan
d. kewenangan
lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal
20
Pelaksanaan
kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a dan huruf b diatur dan diurus oleh
Desa.
Pasal
21
Pelaksanaan
kewenangan yang ditugaskan dan pelaksanaan kewenangan tugas lain dari
Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf c dan huruf d diurus oleh Desa.
Pasal
22
(1) Penugasan
dari Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah kepada Desa meliputi penyelenggaraan
Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa,
dan pemberdayaan masyarakat Desa.
(2) Penugasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai biaya.
BAB V
PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DESA
Pasal 23
Pemerintahan
Desa diselenggarakan oleh Pemerintah Desa.
Pasal
24
Penyelenggaraan
Pemerintahan Desa berdasarkan asas:
a.
kepastian hukum;
b. tertib
penyelenggaraan pemerintahan;
c. tertib
kepentingan umum;
d.
keterbukaan;
e.
proporsionalitas;
f.
profesionalitas;
g.
akuntabilitas;
h.
efektivitas dan efisiensi;
i. kearifan
lokal;
j.
keberagaman; dan
k.
partisipatif.
Bagian Kesatu
Pemerintah Desa
Pasal 25
Pemerintah
Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 adalah Kepala Desa atau yang disebut
dengan nama lain dan yang dibantu oleh perangkat Desa atau yang disebut dengan
nama lain.
Bagian Kedua
Kepala Desa
Pasal 26
(1) Kepala
Desa bertugas menyelenggarakan Pemerintahan Desa, melaksanakan Pembangunan
Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa.
(2) Dalam
melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa berwenang:
a. memimpin
penyelenggaraan Pemerintahan Desa;
b. mengangkat
dan memberhentikan perangkat Desa;
c. memegang
kekuasaan pengelolaan Keuangan dan Aset Desa;
d. menetapkan
Peraturan Desa;
e. menetapkan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa;
f. membina
kehidupan masyarakat Desa;
g. membina
ketenteraman dan ketertiban masyarakat Desa;
h. membina
dan meningkatkan perekonomian Desa serta mengintegrasikannya agar mencapai
perekonomian skala produktif untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat Desa;
i. mengembangkan
sumber pendapatan Desa;
j. mengusulkan
dan menerima pelimpahan sebagian kekayaan negara guna meningkatkan
kesejahteraan masyarakat Desa;
k. mengembangkan
kehidupan sosial budaya masyarakat Desa;
l. memanfaatkan
teknologi tepat guna;
m. mengoordinasikan
Pembangunan Desa secara partisipatif;
n. mewakili
Desa di dalam dan di luar pengadilan atau menunjuk kuasa hukum untuk
mewakilinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
o. melaksanakan
wewenang lain yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam
melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa berhak:
a. mengusulkan
struktur organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa;
b. mengajukan
rancangan dan menetapkan Peraturan Desa;
c. menerima
penghasilan tetap setiap bulan, tunjangan, dan penerimaan lainnya yang sah,
serta mendapat jaminan kesehatan;
d. mendapatkan
pelindungan hukum atas kebijakan yang dilaksanakan; dan
e. memberikan
mandat pelaksanaan tugas dan kewajiban lainnya kepada perangkat Desa.
(4) Dalam
melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa
berkewajiban:
a. memegang
teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, serta mempertahankan dan memelihara keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika;
b. meningkatkan
kesejahteraan masyarakat Desa;
c. memelihara
ketenteraman dan ketertiban masyarakat Desa;
d. menaati
dan menegakkan peraturan perundang-undangan;
e. melaksanakan
kehidupan demokrasi dan berkeadilan gender;
f. melaksanakan
prinsip tata Pemerintahan Desa yang akuntabel, transparan, profesional, efektif
dan efisien, bersih, serta bebas dari kolusi, korupsi, dan nepotisme;
g. menjalin
kerja sama dan koordinasi dengan seluruh pemangku kepentingan di Desa;
h. menyelenggarakan
administrasi Pemerintahan Desa yang baik;
i. mengelola
Keuangan dan Aset Desa;
j. melaksanakan
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Desa;
k. menyelesaikan
perselisihan masyarakat di Desa;
l. mengembangkan
perekonomian masyarakat Desa;
m. membina
dan melestarikan nilai sosial budaya masyarakat Desa;
n. memberdayakan
masyarakat dan lembaga kemasyarakatan di Desa;
o. mengembangkan
potensi sumber daya alam dan melestarikan lingkungan hidup; dan
p. memberikan
informasi kepada masyarakat Desa.
Pasal
27
Dalam
melaksanakan tugas, kewenangan, hak, dan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 26, Kepala Desa wajib:
a. menyampaikan
laporan penyelenggaraan Pemerintahan Desa setiap akhir tahun anggaran kepada
Bupati/Walikota;
b. menyampaikan
laporan penyelenggaraan Pemerintahan Desa pada akhir masa jabatan kepada
Bupati/Walikota;
c. memberikan
laporan keterangan penyelenggaraan pemerintahan secara tertulis kepada Badan
Permusyawaratan Desa setiap akhir tahun anggaran; dan
d. memberikan
dan/atau menyebarkan informasi penyelenggaraan pemerintahan secara tertulis
kepada masyarakat Desa setiap akhir tahun anggaran.
Pasal
28
(1) Kepala
Desa yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat
(4) dan Pasal 27 dikenai sanksi administratif berupa teguran lisan dan/atau
teguran tertulis.
(2) Dalam
hal sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan,
dilakukan tindakan pemberhentian sementara dan dapat dilanjutkan dengan
pemberhentian.
Pasal
29
Kepala Desa
dilarang:
a. merugikan
kepentingan umum;
b. membuat
keputusan yang menguntungkan diri sendiri, anggota keluarga, pihak lain, dan/atau
golongan tertentu;
c. menyalahgunakan
wewenang, tugas, hak, dan/atau kewajibannya;
d. melakukan
tindakan diskriminatif terhadap warga dan/atau golongan masyarakat tertentu;
e. melakukan
tindakan meresahkan sekelompok masyarakat Desa;
f. melakukan
kolusi, korupsi, dan nepotisme, menerima uang, barang, dan/atau jasa dari pihak
lain yang dapat memengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya;
g. menjadi
pengurus partai politik;
h. menjadi
anggota dan/atau pengurus organisasi terlarang;
i. merangkap
jabatan sebagai ketua dan/atau anggota Badan Permusyawaratan Desa, anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Daerah Republik
Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi atau Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten/Kota, dan jabatan lain yang ditentukan dalam peraturan
perundangan-undangan;
j. ikut
serta dan/atau terlibat dalam kampanye pemilihan umum dan/atau pemilihan kepala
daerah;
k. melanggar
sumpah/janji jabatan; dan
l. meninggalkan
tugas selama 30 (tiga puluh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang jelas
dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Pasal
30
(1) Kepala
Desa yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dikenai sanksi
administratif berupa teguran lisan dan/atau teguran tertulis.
(2) Dalam
hal sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan,
dilakukan tindakan pemberhentian sementara dan dapat dilanjutkan dengan
pemberhentian.
Bagian
Ketiga
Pemilihan
Kepala Desa
Pasal
31
(1) Pemilihan
Kepala Desa dilaksanakan secara serentak di seluruh wilayah Kabupaten/Kota.
(2) Pemerintahan
Daerah Kabupaten/Kota menetapkan kebijakan pelaksanaan pemilihan Kepala Desa
secara serentak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota.
(3) Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan Kepala Desa serentak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah.
Pasal
32
(1) Badan
Permusyawaratan Desa memberitahukan kepada Kepala Desa mengenai akan
berakhirnya masa jabatan Kepala Desa secara tertulis 6 (enam) bulan sebelum
masa jabatannya berakhir.
(2) Badan
Permusyawaratan Desa membentuk panitia pemilihan Kepala Desa.
(3) Panitia
pemilihan Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bersifat mandiri dan
tidak memihak.
(4) Panitia
pemilihan Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas unsur
perangkat Desa, lembaga kemasyarakatan, dan tokoh masyarakat Desa.
Pasal
33
Calon
Kepala Desa wajib memenuhi persyaratan:
a. warga
negara Republik Indonesia;
b. bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. memegang
teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, serta mempertahankan dan memelihara keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika;
d. berpendidikan
paling rendah tamat sekolah menengah pertama atau sederajat;
e. berusia
paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun pada saat mendaftar;
f. bersedia
dicalonkan menjadi Kepala Desa;
g. terdaftar
sebagai penduduk dan bertempat tinggal di Desa setempat paling kurang 1 (satu)
tahun sebelum pendaftaran;
h. tidak
sedang menjalani hukuman pidana penjara;
i. tidak
pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam
dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali 5
(lima) tahun setelah selesai menjalani pidana penjara dan mengumumkan secara
jujur dan terbuka kepada publik bahwa yang bersangkutan pernah dipidana serta
bukan sebagai pelaku kejahatan berulang-ulang;
j. tidak
sedang dicabut hak pilihnya sesuai dengan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap;
k. berbadan
sehat;
l. tidak
pernah sebagai Kepala Desa selama 3 (tiga) kali masa jabatan; dan
m. syarat
lain yang diatur dalam Peraturan Daerah.
Pasal
34
(1) Kepala
Desa dipilih langsung oleh penduduk Desa.
(2) Pemilihan
Kepala Desa bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
(3) Pemilihan
Kepala Desa dilaksanakan melalui tahap pencalonan, pemungutan suara, dan
penetapan.
(4) Dalam
melaksanakan pemilihan Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dibentuk
panitia pemilihan Kepala Desa.
(5) Panitia
pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bertugas mengadakan penjaringan
dan penyaringan bakal calon berdasarkan persyaratan yang ditentukan,
melaksanakan pemungutan suara, menetapkan calon Kepala Desa terpilih, dan
melaporkan pelaksanaan pemilihan Kepala Desa.
(6) Biaya
pemilihan Kepala Desa dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Kabupaten/Kota.
Pasal
35
Penduduk
Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) yang pada hari pemungutan
suara pemilihan Kepala Desa sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau
sudah/pernah menikah ditetapkan sebagai pemilih.
Pasal
36
(1) Bakal
calon Kepala Desa yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 33 ditetapkan sebagai calon Kepala Desa oleh panitia pemilihan Kepala
Desa.
(2) Calon
Kepala Desa yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan
kepada masyarakat Desa di tempat umum sesuai dengan kondisi sosial budaya
masyarakat Desa.
(3) Calon
Kepala Desa dapat melakukan kampanye sesuai dengan kondisi sosial budaya
masyarakat Desa dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal
37
(1) Calon
Kepala Desa yang dinyatakan terpilih adalah calon yang memperoleh suara
terbanyak.
(2) Panitia
pemilihan Kepala Desa menetapkan calon Kepala Desa terpilih.
(3) Panitia
pemilihan Kepala Desa menyampaikan nama calon Kepala Desa terpilih kepada Badan
Permusyawaratan Desa paling lama 7 (tujuh) hari setelah penetapan calon Kepala
Desa terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Badan
Permusyawaratan Desa paling lama 7 (tujuh) hari setelah menerima laporan
panitia pemilihan menyampaikan nama calon Kepala Desa terpilih kepada
Bupati/Walikota.
(5) Bupati/Walikota
mengesahkan calon Kepala Desa terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
menjadi Kepala Desa paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterimanya
penyampaian hasil pemilihan dari panitia pemilihan Kepala Desa dalam bentuk
keputusan Bupati/Walikota.
(6) Dalam
hal terjadi perselisihan hasil pemilihan Kepala Desa, Bupati/Walikota wajib
menyelesaikan perselisihan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(5).
Pasal
38
(1) Calon
Kepala Desa terpilih dilantik oleh Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk
paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah penerbitan keputusan Bupati/Walikota.
(2) Sebelum
memangku jabatannya, Kepala Desa terpilih bersumpah/berjanji.
(3) Sumpah/janji
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebagai berikut:
“Demi
Allah/Tuhan, saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya
selaku Kepala Desa dengan sebaik-baiknya, sejujur-jujurnya, dan seadil-adilnya;
bahwa saya akan selalu taat dalam mengamalkan dan mempertahankan Pancasila
sebagai dasar negara; dan bahwa saya akan menegakkan kehidupan demokrasi dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta melaksanakan
segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya yang berlaku bagi
Desa, daerah, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Pasal
39
(1) Kepala
Desa memegang jabatan selama 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan.
(2) Kepala
Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjabat paling banyak 3 (tiga)
kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut.
Bagian Keempat
Pemberhentian Kepala Desa
Pasal 40
(1) Kepala
Desa berhenti karena:
a. meninggal
dunia;
b. permintaan
sendiri; atau
c. diberhentikan.
(2) Kepala
Desa diberhentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c karena:
a. berakhir
masa jabatannya;
b. tidak
dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara
berturut-turut selama 6 (enam) bulan;
c. tidak
lagi memenuhi syarat sebagai calon Kepala Desa; atau
d. melanggar
larangan sebagai Kepala Desa.
(3) Pemberhentian
Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Bupati/Walikota.
(4) Ketentuan
lebih lanjut mengenai pemberhentian Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal
41
Kepala Desa
diberhentikan sementara oleh Bupati/Walikota setelah dinyatakan sebagai
terdakwa yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun
berdasarkan register perkara di pengadilan.
Pasal
42
Kepala Desa
diberhentikan sementara oleh Bupati/Walikota setelah ditetapkan sebagai
tersangka dalam tindak pidana korupsi, terorisme, makar, dan/atau tindak pidana
terhadap keamanan negara.
Pasal
43
Kepala Desa
yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan Pasal 42
diberhentikan oleh Bupati/Walikota setelah dinyatakan sebagai terpidana
berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pasal
44
(1) Kepala
Desa yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan Pasal
42 setelah melalui proses peradilan ternyata terbukti tidak bersalah
berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap,
paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penetapan putusan pengadilan diterima
oleh Kepala Desa, Bupati/Walikota merehabilitasi dan mengaktifkan kembali
Kepala Desa yang bersangkutan sebagai Kepala Desa sampai dengan akhir masa
jabatannya.
(2) Apabila
Kepala Desa yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
telah berakhir masa jabatannya, Bupati/Walikota harus merehabilitasi nama baik
Kepala Desa yang bersangkutan.
Pasal
45
Dalam hal
Kepala Desa diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan
Pasal 42, sekretaris Desa melaksanakan tugas dan kewajiban Kepala Desa sampai
dengan adanya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pasal
46
(1) Dalam
hal sisa masa jabatan Kepala Desa yang diberhentikan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 43 tidak lebih dari 1 (satu) tahun, Bupati/Walikota mengangkat pegawai
negeri sipil dari Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sebagai penjabat Kepala Desa
sampai dengan terpilihnya Kepala Desa.
(2) Penjabat
Kepala Desa melaksanakan tugas, wewenang, kewajiban, dan hak Kepala Desa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26.
Pasal
47
(1) Dalam
hal sisa masa jabatan Kepala Desa yang diberhentikan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 43 lebih dari 1 (satu) tahun, Bupati/Walikota mengangkat pegawai negeri
sipil dari Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sebagai penjabat Kepala Desa.
(2) Penjabat
Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaksanakan tugas, wewenang,
kewajiban, dan hak Kepala Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 sampai
dengan ditetapkannya Kepala Desa.
(3) Kepala
Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipilih melalui Musyawarah Desa yang
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33.
(4) Musyawarah
Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan paling lama 6 (enam) bulan
sejak Kepala Desa diberhentikan.
(5) Kepala
Desa yang dipilih melalui Musyawarah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
melaksanakan tugas Kepala Desa sampai habis sisa masa jabatan Kepala Desa yang
diberhentikan.
(6) Ketentuan
lebih lanjut mengenai Musyawarah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur
dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Kelima
Perangkat Desa
Pasal 48
Perangkat
Desa terdiri atas:
a.
sekretariat Desa;
b.
pelaksana kewilayahan; dan
c.
pelaksana teknis.
Pasal
49
(1) Perangkat
Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 bertugas membantu Kepala Desa dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya.
(2) Perangkat
Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat oleh Kepala Desa setelah
dikonsultasikan dengan Camat atas nama Bupati/Walikota.
(3) Dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya, perangkat Desa sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) bertanggung jawab kepada Kepala Desa.
Pasal
50
(1) Perangkat Desa sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 48 diangkat dari warga Desa yang memenuhi persyaratan:
a. berpendidikan
paling rendah sekolah menengah umum atau yang sederajat;
b. berusia
20 (dua puluh) tahun sampai dengan 42 (empat puluh dua) tahun;
c. terdaftar
sebagai penduduk Desa dan bertempat tinggal di Desa paling kurang 1 (satu)
tahun sebelum pendaftaran; dan
d. syarat
lain yang ditentukan dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
(2) Ketentuan
lebih lanjut mengenai perangkat Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48, Pasal
49, dan Pasal 50 ayat (1) diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Pasal
51
Perangkat
Desa dilarang:
a.
merugikan kepentingan umum;
b. membuat
keputusan yang menguntungkan diri sendiri, anggota keluarga, pihak lain,
dan/atau golongan tertentu;
c.
menyalahgunakan wewenang, tugas, hak, dan/atau kewajibannya;
d.
melakukan tindakan diskriminatif terhadap warga dan/atau golongan masyarakat
tertentu;
e.
melakukan tindakan meresahkan sekelompok masyarakat Desa;
f.
melakukan kolusi, korupsi, dan nepotisme, menerima uang, barang, dan/atau jasa
dari pihak lain yang dapat memengaruhi keputusan atau tindakan yang akan
dilakukannya;
g. menjadi
pengurus partai politik;
h. menjadi
anggota dan/atau pengurus organisasi terlarang;
i.
merangkap jabatan sebagai ketua dan/atau anggota Badan Permusyawaratan Desa,
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Daerah
Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi atau Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, dan jabatan lain yang ditentukan dalam
peraturan perundangan-undangan;
j. ikut
serta dan/atau terlibat dalam kampanye pemilihan umum dan/atau pemilihan kepala
daerah;
k.
melanggar sumpah/janji jabatan; dan
l.
meninggalkan tugas selama 60 (enam puluh) hari kerja berturut-turut tanpa
alasan yang jelas dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Pasal
52
(1)
Perangkat Desa yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51
dikenai sanksi administratif berupa teguran lisan dan/atau teguran tertulis.
(2) Dalam
hal sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan,
dilakukan tindakan pemberhentian sementara dan dapat dilanjutkan dengan
pemberhentian.
Pasal
53
(1)
Perangkat Desa berhenti karena:
a.
meninggal dunia;
b.
permintaan sendiri; atau
c.
diberhentikan.
(2)
Perangkat Desa yang diberhentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
karena:
a. usia
telah genap 60 (enam puluh) tahun;
b.
berhalangan tetap;
c. tidak
lagi memenuhi syarat sebagai perangkat Desa; atau
d.
melanggar larangan sebagai perangkat Desa.
(3)
Pemberhentian perangkat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh
Kepala Desa setelah dikonsultasikan dengan Camat atas nama Bupati/Walikota.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberhentian perangkat Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Keenam
Musyawarah Desa
Pasal 54
(1)
Musyawarah Desa merupakan forum permusyawaratan yang diikuti oleh Badan
Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat Desa untuk
memusyawarahkan hal yang bersifat strategis dalam penyelenggaraan Pemerintahan
Desa.
(2) Hal
yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. penataan
Desa;
b.
perencanaan Desa;
c. kerja
sama Desa;
d. rencana
investasi yang masuk ke Desa;
e.
pembentukan BUM Desa;
f.
penambahan dan pelepasan Aset Desa; dan
g. kejadian
luar biasa.
(3)
Musyawarah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan paling kurang
sekali dalam 1 (satu) tahun.
(4)
Musyawarah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibiayai dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Desa.
Bagian Ketujuh
Badan Permusyawaratan Desa
Pasal 55
Badan
Permusyawaratan Desa mempunyai fungsi:
a. membahas
dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa bersama Kepala Desa;
b.
menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat Desa; dan
c.
melakukan pengawasan kinerja Kepala Desa.
Pasal
56
(1) Anggota
Badan Permusyawaratan Desa merupakan wakil dari penduduk Desa berdasarkan
keterwakilan wilayah yang pengisiannya dilakukan secara demokratis.
(2) Masa
keanggotaan Badan Permusyawaratan Desa selama 6 (enam) tahun terhitung sejak
tanggal pengucapan sumpah/janji.
(3) Anggota
Badan Permusyawaratan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dipilih
untuk masa keanggotaan paling banyak 3 (tiga) kali secara berturut-turut atau
tidak secara berturut-turut.
Pasal
57
Persyaratan
calon anggota Badan Permusyawaratan Desa adalah:
a. bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. memegang
teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, serta mempertahankan dan memelihara keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika;
c. berusia
paling rendah 20 (dua puluh) tahun atau sudah/pernah menikah;
d.
berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah pertama atau sederajat;
e. bukan
sebagai perangkat Pemerintah Desa;
f. bersedia
dicalonkan menjadi anggota Badan Permusyawaratan Desa; dan
g. wakil
penduduk Desa yang dipilih secara demokratis.
Pasal
58
(1) Jumlah
anggota Badan Permusyawaratan Desa ditetapkan dengan jumlah gasal, paling
sedikit 5 (lima) orang dan paling banyak 9 (sembilan) orang, dengan
memperhatikan wilayah, perempuan, penduduk, dan kemampuan Keuangan Desa.
(2)
Peresmian anggota Badan Permusyawaratan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dengan keputusan Bupati/Walikota.
(3) Anggota
Badan Permusyawaratan Desa sebelum memangku jabatannya bersumpah/berjanji
secara bersama-sama di hadapan masyarakat dan dipandu oleh Bupati/ Walikota
atau pejabat yang ditunjuk.
(4) Susunan
kata sumpah/janji anggota Badan Permusyawaratan Desa sebagai berikut:
”Demi
Allah/Tuhan, saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya
selaku anggota Badan Permusyawaratan Desa dengan sebaik-baiknya,
sejujur-jujurnya, dan seadil-adilnya; bahwa saya akan selalu taat dalam
mengamalkan dan mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara, dan bahwa saya
akan menegakkan kehidupan demokrasi dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 serta melaksanakan segala peraturan perundang-undangan
dengan selurus-lurusnya yang berlaku bagi Desa, daerah, dan Negara Kesatuan
Republik Indonesia”.
Pasal
59
(1)
Pimpinan Badan Permusyawaratan Desa terdiri atas 1 (satu) orang ketua, 1 (satu)
orang wakil ketua, dan 1 (satu) orang sekretaris.
(2)
Pimpinan Badan Permusyawaratan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih
dari dan oleh anggota Badan Permusyawaratan Desa secara langsung dalam rapat
Badan Permusyawaratan Desa yang diadakan secara khusus.
(3) Rapat
pemilihan pimpinan Badan Permusyawaratan Desa untuk pertama kali dipimpin oleh
anggota tertua dan dibantu oleh anggota termuda.
Pasal
60
Badan
Permusyawaratan Desa menyusun peraturan tata tertib Badan Permusyawaratan Desa.
Pasal
61
Badan
Permusyawaratan Desa berhak:
a.
mengawasi dan meminta keterangan tentang penyelenggaraan Pemerintahan Desa
kepada Pemerintah Desa;
b.
menyatakan pendapat atas penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan
Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat
Desa; dan
c.
mendapatkan biaya operasional pelaksanaan tugas dan fungsinya dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Desa.
Pasal
62
Anggota
Badan Permusyawaratan Desa berhak:
a.
mengajukan usul rancangan Peraturan Desa;
b.
mengajukan pertanyaan;
c.
menyampaikan usul dan/atau pendapat;
d. memilih
dan dipilih; dan
e. mendapat
tunjangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.
Pasal
63
Anggota
Badan Permusyawaratan Desa wajib:
a. memegang
teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, serta mempertahankan dan memelihara keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika;
b.
melaksanakan kehidupan demokrasi yang berkeadilan gender dalam penyelenggaraan
Pemerintahan Desa;
c.
menyerap, menampung, menghimpun, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat Desa;
d.
mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan/atau
golongan;
e.
menghormati nilai sosial budaya dan adat istiadat masyarakat Desa; dan
f. menjaga
norma dan etika dalam hubungan kerja dengan lembaga kemasyarakatan Desa.
Pasal
64
Anggota
Badan Permusyawaratan Desa dilarang:
a.
merugikan kepentingan umum, meresahkan sekelompok masyarakat Desa, dan
mendiskriminasikan warga atau golongan masyarakat Desa;
b.
melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme, menerima uang, barang, dan/atau jasa
dari pihak lain yang dapat memengaruhi keputusan atau tindakan yang akan
dilakukannya;
c.
menyalahgunakan wewenang;
d.
melanggar sumpah/janji jabatan;
e.
merangkap jabatan sebagai Kepala Desa dan perangkat Desa;
f.
merangkap sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Dewan
Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi
atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, dan jabatan lain yang
ditentukan dalam peraturan perundangan-undangan;
g. sebagai
pelaksana proyek Desa;
h. menjadi
pengurus partai politik; dan/atau
i. menjadi
anggota dan/atau pengurus organisasi terlarang.
Pasal
65
(1)
Mekanisme musyawarah Badan Permusyawaratan Desa sebagai berikut:
a. musyawarah
Badan Permusyawaratan Desa dipimpin oleh pimpinan Badan Permusyawaratan Desa;
b.
musyawarah Badan Permusyawaratan Desa dinyatakan sah apabila dihadiri oleh
paling sedikit 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota Badan Permusyawaratan
Desa;
c.
pengambilan keputusan dilakukan dengan cara musyawarah guna mencapai mufakat;
d. apabila
musyawarah mufakat tidak tercapai, pengambilan keputusan dilakukan dengan cara
pemungutan suara;
e.
pemungutan suara sebagaimana dimaksud dalam huruf d dinyatakan sah apabila disetujui
oleh paling sedikit ½ (satu perdua) ditambah 1 (satu) dari jumlah anggota Badan
Permusyawaratan Desa yang hadir; dan
f. hasil
musyawarah Badan Permusyawaratan Desa ditetapkan dengan keputusan Badan
Permusyawaratan Desa dan dilampiri notulen musyawarah yang dibuat oleh
sekretaris Badan Permusyawaratan Desa.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Badan Permusyawaratan Desa diatur dalam
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Bagian Kedelapan
Penghasilan Pemerintah Desa
Pasal 66
(1) Kepala
Desa dan perangkat Desa memperoleh penghasilan tetap setiap bulan.
(2)
Penghasilan tetap Kepala Desa dan perangkat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) bersumber dari dana perimbangan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara yang diterima oleh Kabupaten/Kota dan ditetapkan dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota.
(3) Selain
penghasilan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa dan perangkat
Desa menerima tunjangan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Desa.
(4) Selain
penghasilan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa dan perangkat
Desa memperoleh jaminan kesehatan dan dapat memperoleh penerimaan lainnya yang
sah.
(5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran penghasilan tetap sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan tunjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) serta penerimaan
lainnya yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
BAB
VI
HAK
DAN KEWAJIBAN DESA DAN MASYARAKAT DESA
Pasal
67
(1) Desa
berhak:
a. mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan hak asal usul, adat istiadat,
dan nilai sosial budaya masyarakat Desa;
b.
menetapkan dan mengelola kelembagaan Desa; dan
c.
mendapatkan sumber pendapatan.
(2) Desa
berkewajiban:
a.
melindungi dan menjaga persatuan, kesatuan, serta kerukunan masyarakat Desa
dalam rangka kerukunan nasional dan keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
b.
meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat Desa;
c.
mengembangkan kehidupan demokrasi;
d.
mengembangkan pemberdayaan masyarakat Desa; dan
e.
memberikan dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat Desa.
Pasal
68
(1)
Masyarakat Desa berhak:
a. meminta
dan mendapatkan informasi dari Pemerintah Desa serta mengawasi kegiatan
penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan
kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa;
b.
memperoleh pelayanan yang sama dan adil;
c.
menyampaikan aspirasi, saran, dan pendapat lisan atau tertulis secara
bertanggung jawab tentang kegiatan penyelenggaraan Pemerintahan Desa,
pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan
masyarakat Desa;
d. memilih,
dipilih, dan/atau ditetapkan menjadi:
1. Kepala
Desa;
2.
perangkat Desa;
3. anggota
Badan Permusyawaratan Desa; atau
4. anggota
lembaga kemasyarakatan Desa.
e.
mendapatkan pengayoman dan perlindungan dari gangguan ketenteraman dan
ketertiban di Desa.
(2)
Masyarakat Desa berkewajiban:
a.
membangun diri dan memelihara lingkungan Desa;
b.
mendorong terciptanya kegiatan penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan
Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat
Desa yang baik;
c.
mendorong terciptanya situasi yang aman, nyaman, dan tenteram di Desa;
d. memelihara
dan mengembangkan nilai permusyawaratan, permufakatan, kekeluargaan, dan
kegotongroyongan di Desa; dan
e.
berpartisipasi dalam berbagai kegiatan di Desa.
BAB VII
PERATURAN DESA
Pasal 69
(1) Jenis
peraturan di Desa terdiri atas Peraturan Desa, peraturan bersama Kepala Desa,
dan peraturan Kepala Desa.
(2)
Peraturan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang bertentangan dengan
kepentingan umum dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi.
(3)
Peraturan Desa ditetapkan oleh Kepala Desa setelah dibahas dan disepakati
bersama Badan Permusyawaratan Desa.
(4)
Rancangan Peraturan Desa tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa,
pungutan, tata ruang, dan organisasi Pemerintah Desa harus mendapatkan evaluasi
dari Bupati/Walikota sebelum ditetapkan menjadi Peraturan Desa.
(5) Hasil
evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diserahkan oleh Bupati/Walikota
paling lama 20 (dua puluh) hari kerja terhitung sejak diterimanya rancangan
peraturan tersebut oleh Bupati/Walikota.
(6) Dalam
hal Bupati/Walikota telah memberikan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (5), Kepala Desa wajib memperbaikinya.
(7) Kepala
Desa diberi waktu paling lama 20 (dua puluh) hari sejak diterimanya hasil
evaluasi untuk melakukan koreksi.
(8) Dalam
hal Bupati/Walikota tidak memberikan hasil evaluasi dalam batas waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Peraturan Desa tersebut berlaku dengan
sendirinya.
(9)
Rancangan Peraturan Desa wajib dikonsultasikan kepada masyarakat Desa.
(10)
Masyarakat Desa berhak memberikan masukan terhadap Rancangan Peraturan Desa.
(11)
Peraturan Desa dan peraturan Kepala Desa diundangkan dalam Lembaran Desa dan
Berita Desa oleh sekretaris Desa.
(12) Dalam
pelaksanaan Peraturan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa
menetapkan Peraturan Kepala Desa sebagai aturan pelaksanaannya.
Pasal
70
(1)
Peraturan bersama Kepala Desa merupakan peraturan yang ditetapkan oleh Kepala
Desa dari 2 (dua) Desa atau lebih yang melakukan kerja sama antar-Desa.
(2)
Peraturan bersama Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
perpaduan kepentingan Desa masing-masing dalam kerja sama antar-Desa.
BAB
VIII
KEUANGAN
DESA DAN ASET DESA
Bagian
Kesatu
Keuangan
Desa
Pasal
71
(1)
Keuangan Desa adalah semua hak dan kewajiban Desa yang dapat dinilai dengan
uang serta segala sesuatu berupa uang dan barang yang berhubungan dengan
pelaksanaan hak dan kewajiban Desa.
(2) Hak dan
kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menimbulkan pendapatan, belanja,
pembiayaan, dan pengelolaan Keuangan Desa.
Pasal
72
(1)
Pendapatan Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (2) bersumber dari:
a.
pendapatan asli Desa terdiri atas hasil usaha, hasil aset, swadaya dan
partisipasi, gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli Desa;
b. alokasi
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
c. bagian
dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota;
d. alokasi
dana Desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota;
e. bantuan
keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi dan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota;
f. hibah
dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga; dan
g.
lain-lain pendapatan Desa yang sah.
(2) Alokasi
anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b bersumber dari Belanja
Pusat dengan mengefektifkan program yang berbasis Desa secara merata dan
berkeadilan.
(3) Bagian
hasil pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c paling sedikit 10% (sepuluh perseratus) dari pajak dan
retribusi daerah.
(4) Alokasi
dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d paling sedikit 10%
(sepuluh perseratus) dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus.
(5) Dalam
rangka pengelolaan Keuangan Desa, Kepala Desa melimpahkan sebagian kewenangan
kepada perangkat Desa yang ditunjuk.
(6) Bagi
Kabupaten/Kota yang tidak memberikan alokasi dana Desa sebagaimana dimaksud
pada ayat (4), Pemerintah dapat melakukan penundaan dan/atau pemotongan sebesar
alokasi dana perimbangan setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus yang seharusnya
disalurkan ke Desa.
Pasal
73
(1)
Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa terdiri atas bagian pendapatan, belanja,
dan pembiayaan Desa.
(2)
Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa diajukan oleh Kepala Desa dan
dimusyawarahkan bersama Badan Permusyawaratan Desa.
(3) Sesuai
dengan hasil musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala Desa
menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa setiap tahun dengan Peraturan
Desa.
Pasal
74
(1) Belanja
Desa diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan yang disepakati dalam
Musyawarah Desa dan sesuai dengan prioritas Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota,
Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah.
(2)
Kebutuhan pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi, tetapi tidak
terbatas pada kebutuhan primer, pelayanan dasar, lingkungan, dan kegiatan
pemberdayaan masyarakat Desa.
Pasal
75
(1) Kepala
Desa adalah pemegang kekuasaan pengelolaan Keuangan Desa.
(2) Dalam
melaksanakan kekuasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa
menguasakan sebagian kekuasaannya kepada perangkat Desa.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Keuangan Desa diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
Bagian
Kedua
Aset
Desa
Pasal
76
(1) Aset
Desa dapat berupa tanah kas Desa, tanah ulayat, pasar Desa, pasar hewan,
tambatan perahu, bangunan Desa, pelelangan ikan, pelelangan hasil pertanian,
hutan milik Desa, mata air milik Desa, pemandian umum, dan aset lainnya milik
Desa.
(2) Aset
lainnya milik Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain:
a. kekayaan
Desa yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, serta Anggaran Pendapatan dan
Belanja Desa;
b. kekayaan
Desa yang diperoleh dari hibah dan sumbangan atau yang sejenis;
c. kekayaan
Desa yang diperoleh sebagai pelaksanaan dari perjanjian/kontrak dan lain-lain
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
d. hasil
kerja sama Desa; dan
e. kekayaan
Desa yang berasal dari perolehan lainnya yang sah.
(3)
Kekayaan milik Pemerintah dan Pemerintah Daerah berskala lokal Desa yang ada di
Desa dapat dihibahkan kepemilikannya kepada Desa.
(4)
Kekayaan milik Desa yang berupa tanah disertifikatkan atas nama Pemerintah
Desa.
(5)
Kekayaan milik Desa yang telah diambil alih oleh Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota dikembalikan kepada Desa, kecuali yang sudah digunakan untuk
fasilitas umum.
(6)
Bangunan milik Desa harus dilengkapi dengan bukti status kepemilikan dan
ditatausahakan secara tertib.
Pasal
77
(1)
Pengelolaan kekayaan milik Desa dilaksanakan berdasarkan asas kepentingan umum,
fungsional, kepastian hukum, keterbukaan, efisiensi, efektivitas,
akuntabilitas, dan kepastian nilai ekonomi.
(2)
Pengelolaan kekayaan milik Desa dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan dan
taraf hidup masyarakat Desa serta meningkatkan pendapatan Desa.
(3)
Pengelolaan kekayaan milik Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibahas oleh
Kepala Desa bersama Badan Permusyawaratan Desa berdasarkan tata cara
pengelolaan kekayaan milik Desa yang diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB IX
PEMBANGUNAN DESA DAN PEMBANGUNAN
KAWASAN PERDESAAN
Bagian Kesatu
Pembangunan Desa
Pasal 78
(1)
Pembangunan Desa bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa dan
kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui pemenuhan
kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana Desa, pengembangan potensi
ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara
berkelanjutan.
(2)
Pembangunan Desa meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan.
(3)
Pembangunan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengedepankan kebersamaan,
kekeluargaan, dan kegotongroyongan guna mewujudkan pengarusutamaan perdamaian
dan keadilan sosial.
Paragraf
1
Perencanaan
Pasal
79
(1)
Pemerintah Desa menyusun perencanaan Pembangunan Desa sesuai dengan
kewenangannya dengan mengacu pada perencanaan pembangunan Kabupaten/Kota.
(2)
Perencanaan Pembangunan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun secara
berjangka meliputi:
a. Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Desa untuk jangka waktu 6 (enam) tahun; dan
b. Rencana
Pembangunan Tahunan Desa atau yang disebut Rencana Kerja Pemerintah Desa,
merupakan penjabaran dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa untuk jangka
waktu 1 (satu) tahun.
(3) Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Desa dan Rencana Kerja Pemerintah Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Desa.
(4)
Peraturan Desa tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa dan Rencana
Kerja Pemerintah Desa merupakan satu-satunya dokumen perencanaan di Desa.
(5) Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Desa dan Rencana Kerja Pemerintah Desa merupakan
pedoman dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa yang diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
(6) Program
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah yang berskala lokal Desa dikoordinasikan
dan/atau didelegasikan pelaksanaannya kepada Desa.
(7)
Perencanaan Pembangunan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan salah
satu sumber masukan dalam perencanaan pembangunan Kabupaten/Kota.
Pasal
80
(1)
Perencanaan Pembangunan Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79
diselenggarakan dengan mengikutsertakan masyarakat Desa.
(2) Dalam
menyusun perencanaan Pembangunan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Pemerintah Desa wajib menyelenggarakan musyawarah perencanaan Pembangunan Desa;
(3)
Musyawarah perencanaan Pembangunan Desa menetapkan prioritas, program,
kegiatan, dan kebutuhan Pembangunan Desa yang didanai oleh Anggaran Pendapatan
dan Belanja Desa, swadaya masyarakat Desa, dan/atau Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah Kabupaten/Kota.
(4)
Prioritas, program, kegiatan, dan kebutuhan Pembangunan Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dirumuskan berdasarkan penilaian terhadap kebutuhan
masyarakat Desa yang meliputi:
a.
peningkatan kualitas dan akses terhadap pelayanan dasar;
b.
pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur dan lingkungan berdasarkan kemampuan
teknis dan sumber daya lokal yang tersedia;
c.
pengembangan ekonomi pertanian berskala produktif;
d.
pengembangan dan pemanfaatan teknologi tepat guna untuk kemajuan ekonomi; dan
e.
peningkatan kualitas ketertiban dan ketenteraman masyarakat Desa berdasarkan
kebutuhan masyarakat Desa.
Paragraf 2
Pelaksanaan
Pasal 81
(1)
Pembangunan Desa dilaksanakan sesuai dengan Rencana Kerja Pemerintah Desa.
(2)
Pembangunan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh
Pemerintah Desa dengan melibatkan seluruh masyarakat Desa dengan semangat
gotong royong.
(3)
Pelaksanaan Pembangunan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan memanfaatkan kearifan lokal dan sumber daya alam Desa.
(4)
Pembangunan lokal berskala Desa dilaksanakan sendiri oleh Desa.
(5)
Pelaksanaan program sektoral yang masuk ke Desa diinformasikan kepada
Pemerintah Desa untuk diintegrasikan dengan Pembangunan Desa.
Paragraf 3
Pemantauan dan Pengawasan Pembangunan
Desa
Pasal 82
(1)
Masyarakat Desa berhak mendapatkan informasi mengenai rencana dan pelaksanaan
Pembangunan Desa.
(2)
Masyarakat Desa berhak melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan Pembangunan
Desa.
(3)
Masyarakat Desa melaporkan hasil pemantauan dan berbagai keluhan terhadap
pelaksanaan Pembangunan Desa kepada Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan
Desa.
(4)
Pemerintah Desa wajib menginformasikan perencanaan dan pelaksanaan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Desa, Rencana Kerja Pemerintah Desa, dan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Desa kepada masyarakat Desa melalui layanan informasi
kepada umum dan melaporkannya dalam Musyawarah Desa paling sedikit 1 (satu)
tahun sekali.
(5)
Masyarakat Desa berpartisipasi dalam Musyawarah Desa untuk menanggapi laporan
pelaksanaan Pembangunan Desa.
Bagian Kedua
Pembangunan Kawasan Perdesaan
Pasal 83
(1)
Pembangunan Kawasan Perdesaan merupakan perpaduan pembangunan antar-Desa dalam
1 (satu) Kabupaten/Kota.
(2)
Pembangunan Kawasan Perdesaan dilaksanakan dalam upaya mempercepat dan
meningkatkan kualitas pelayanan, pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat Desa
di Kawasan Perdesaan melalui pendekatan pembangunan partisipatif.
(3)
Pembangunan Kawasan Perdesaan meliputi:
a.
penggunaan dan pemanfaatan wilayah Desa dalam rangka penetapan kawasan
pembangunan sesuai dengan tata ruang Kabupaten/Kota;
b.
pelayanan yang dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan;
c.
pembangunan infrastruktur, peningkatan ekonomi perdesaan, dan pengembangan
teknologi tepat guna; dan
d.
pemberdayaan masyarakat Desa untuk meningkatkan akses terhadap pelayanan dan
kegiatan ekonomi.
(4)
Rancangan pembangunan Kawasan Perdesaan dibahas bersama oleh Pemerintah,
Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan Pemerintah
Desa.
(5) Rencana
pembangunan Kawasan Perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan
oleh Bupati/Walikota sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah.
Pasal
84
(1)
Pembangunan Kawasan Perdesaan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi,
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan/atau pihak ketiga yang terkait dengan
pemanfaatan Aset Desa dan tata ruang Desa wajib melibatkan Pemerintah Desa.
(2)
Perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan, dan pendayagunaan Aset Desa untuk
pembangunan Kawasan Perdesaan merujuk pada hasil Musyawarah Desa.
(3)
Pengaturan lebih lanjut mengenai perencanaan, pelaksanaan pembangunan Kawasan
Perdesaan, pemanfaatan, dan pendayagunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Pasal
85
(1)
Pembangunan Kawasan Perdesaan dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota melalui satuan kerja perangkat
daerah, Pemerintah Desa, dan/atau BUM Desa dengan mengikutsertakan masyarakat
Desa.
(2)
Pembangunan Kawasan Perdesaan yang dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan pihak ketiga wajib
mendayagunakan potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia serta
mengikutsertakan Pemerintah Desa dan masyarakat Desa.
(3)
Pembangunan Kawasan Perdesaan yang berskala lokal Desa wajib diserahkan
pelaksanaannya kepada Desa dan/atau kerja sama antar-Desa.
Bagian Ketiga
Sistem Informasi Pembangunan Desa dan
Pembangunan Kawasan Perdesaan
Pasal 86
(1) Desa
berhak mendapatkan akses informasi melalui sistem informasi Desa yang
dikembangkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
(2)
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mengembangkan sistem informasi Desa dan
pembangunan Kawasan Perdesaan.
(3) Sistem
informasi Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi fasilitas perangkat
keras dan perangkat lunak, jaringan, serta sumber daya manusia.
(4) Sistem
informasi Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi data Desa, data
Pembangunan Desa, Kawasan Perdesaan, serta informasi lain yang berkaitan dengan
Pembangunan Desa dan pembangunan Kawasan Perdesaan.
(5) Sistem
informasi Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikelola oleh Pemerintah Desa
dan dapat diakses oleh masyarakat Desa dan semua pemangku kepentingan.
(6)
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menyediakan informasi perencanaan pembangunan
Kabupaten/Kota untuk Desa.
BAB X
BADAN USAHA MILIK DESA
Pasal 87
(1) Desa
dapat mendirikan Badan Usaha Milik Desa yang disebut BUM Desa.
(2) BUM
Desa dikelola dengan semangat kekeluargaan dan kegotongroyongan.
(3) BUM
Desa dapat menjalankan usaha di bidang ekonomi dan/atau pelayanan umum sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal
88
(1)
Pendirian BUM Desa disepakati melalui Musyawarah Desa.
(2)
Pendirian BUM Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
Peraturan Desa.
Pasal
89
Hasil usaha
BUM Desa dimanfaatkan untuk:
a.
pengembangan usaha; dan
b.
Pembangunan Desa, pemberdayaan masyarakat Desa, dan pemberian bantuan untuk
masyarakat miskin melalui hibah, bantuan sosial, dan kegiatan dana bergulir
yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.
Pasal
90
Pemerintah,
Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan Pemerintah
Desa mendorong perkembangan BUM Desa dengan:
a.
memberikan hibah dan/atau akses permodalan;
b.
melakukan pendampingan teknis dan akses ke pasar; dan
c.
memprioritaskan BUM Desa dalam pengelolaan sumber daya alam di Desa.
BAB XI
KERJA SAMA DESA
Pasal 91
Desa dapat
mengadakan kerja sama dengan Desa lain dan/atau kerja sama dengan pihak ketiga.
Bagian Kesatu
Kerja Sama antar-Desa
Pasal 92
(1) Kerja
sama antar-Desa meliputi:
a.
pengembangan usaha bersama yang dimiliki oleh Desa untuk mencapai nilai ekonomi
yang berdaya saing;
b. kegiatan
kemasyarakatan, pelayanan, pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat antar-Desa;
dan/atau
c. bidang
keamanan dan ketertiban.
(2) Kerja
sama antar-Desa dituangkan dalam Peraturan Bersama Kepala Desa melalui
kesepakatan musyawarah antar-Desa.
(3) Kerja
sama antar-Desa dilaksanakan oleh badan kerja sama antar-Desa yang dibentuk
melalui Peraturan Bersama Kepala Desa.
(4)
Musyawarah antar-Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) membahas hal yang
berkaitan dengan:
a.
pembentukan lembaga antar-Desa;
b.
pelaksanaan program Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang dapat dilaksanakan
melalui skema kerja sama antar-Desa;
c.
perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan program pembangunan antar-Desa;
d.
pengalokasian anggaran untuk Pembangunan Desa, antar-Desa, dan Kawasan
Perdesaan;
e. masukan
terhadap program Pemerintah Daerah tempat Desa tersebut berada; dan
f. kegiatan
lainnya yang dapat diselenggarakan melalui kerja sama antar-Desa.
(5) Dalam
melaksanakan pembangunan antar-Desa, badan kerja sama antar-Desa dapat
membentuk kelompok/lembaga sesuai dengan kebutuhan.
(6) Dalam
pelayanan usaha antar-Desa dapat dibentuk BUM Desa yang merupakan milik 2 (dua)
Desa atau lebih.
Bagian Kedua
Kerja Sama dengan Pihak Ketiga
Pasal 93
(1) Kerja
sama Desa dengan pihak ketiga dilakukan untuk mempercepat dan meningkatkan
penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan
kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa.
(2) Kerja
sama dengan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimusyawarahkan
dalam Musyawarah Desa.
BAB XII
LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN LEMBAGA
ADAT DESA
Bagian Kesatu
Lembaga Kemasyarakatan Desa
Pasal 94
(1) Desa
mendayagunakan lembaga kemasyarakatan Desa yang ada dalam membantu pelaksanaan
fungsi penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan pembangunan Desa,
pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa.
(2) Lembaga
kemasyarakatan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan wadah
partisipasi masyarakat Desa sebagai mitra Pemerintah Desa.
(3) Lembaga
kemasyarakatan Desa bertugas melakukan pemberdayaan masyarakat Desa, ikut serta
merencanakan dan melaksanakan pembangunan, serta meningkatkan pelayanan
masyarakat Desa.
(4)
Pelaksanaan program dan kegiatan yang bersumber dari Pemerintah, Pemerintah
Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan lembaga non-Pemerintah
wajib memberdayakan dan mendayagunakan lembaga kemasyarakatan yang sudah ada di
Desa.
Bagian Kedua
Lembaga Adat Desa
Pasal 95
(1)
Pemerintah Desa dan masyarakat Desa dapat membentuk lembaga adat Desa.
(2) Lembaga
adat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan lembaga yang
menyelenggarakan fungsi adat istiadat dan menjadi bagian dari susunan asli Desa
yang tumbuh dan berkembang atas prakarsa masyarakat Desa.
(3) Lembaga
adat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas membantu Pemerintah Desa
dan sebagai mitra dalam memberdayakan, melestarikan, dan mengembangkan adat
istiadat sebagai wujud pengakuan terhadap adat istiadat masyarakat Desa.
BAB XIII
KETENTUAN KHUSUS DESA ADAT
Bagian Kesatu
Penataan Desa Adat
Pasal 96
Pemerintah,
Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota melakukan
penataan kesatuan masyarakat hukum adat dan ditetapkan menjadi Desa Adat.
Pasal
97
(1)
Penetapan Desa Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 memenuhi syarat:
a. kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya secara nyata masih hidup, baik
yang bersifat teritorial, genealogis, maupun yang bersifat fungsional;
b. kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya dipandang sesuai dengan
perkembangan masyarakat; dan
c. kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sesuai dengan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
(2)
Kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya yang masih hidup
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus memiliki wilayah dan paling
kurang memenuhi salah satu atau gabungan unsur adanya:
a.
masyarakat yang warganya memiliki perasaan bersama dalam kelompok;
b. pranata
pemerintahan adat;
c. harta
kekayaan dan/atau benda adat; dan/atau
d.
perangkat norma hukum adat.
(3)
Kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b dipandang sesuai dengan perkembangan masyarakat apabila:
a. keberadaannya
telah diakui berdasarkan undang-undang yang berlaku sebagai pencerminan
perkembangan nilai yang dianggap ideal dalam masyarakat dewasa ini, baik
undang-undang yang bersifat umum maupun bersifat sektoral; dan
b.
substansi hak tradisional tersebut diakui dan dihormati oleh warga kesatuan
masyarakat yang bersangkutan dan masyarakat yang lebih luas serta tidak
bertentangan dengan hak asasi manusia.
(4) Suatu
kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
apabila kesatuan masyarakat hukum adat tersebut tidak mengganggu keberadaan
Negara Kesatuan Republik lndonesia sebagai sebuah kesatuan politik dan kesatuan
hukum yang:
a. tidak
mengancam kedaulatan dan integritas Negara Kesatuan Republik lndonesia; dan
b.
substansi norma hukum adatnya sesuai dan tidak bertentangan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal
98
(1) Desa
Adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
(2)
Pembentukan Desa Adat setelah penetapan Desa Adat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan faktor penyelenggaraan Pemerintahan
Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, serta
pemberdayaan masyarakat Desa dan sarana prasarana pendukung.
Pasal
99
(1)
Penggabungan Desa Adat dapat dilakukan atas prakarsa dan kesepakatan antar-Desa
Adat.
(2)
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota memfasilitasi pelaksanaan penggabungan Desa
Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal
100
(1) Status
Desa dapat diubah menjadi Desa Adat, kelurahan dapat diubah menjadi Desa Adat,
Desa Adat dapat diubah menjadi Desa, dan Desa Adat dapat diubah menjadi
kelurahan berdasarkan prakarsa masyarakat yang bersangkutan melalui Musyawarah
Desa dan disetujui oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
(2) Dalam
hal Desa diubah menjadi Desa Adat, kekayaan Desa beralih status menjadi
kekayaan Desa Adat, dalam hal kelurahan berubah menjadi Desa Adat, kekayaan
kelurahan beralih status menjadi kekayaan Desa Adat, dalam hal Desa Adat
berubah menjadi Desa, kekayaan Desa Adat beralih status menjadi kekayaan Desa,
dan dalam hal Desa Adat berubah menjadi kelurahan, kekayaan Desa Adat beralih
status menjadi kekayaan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
Pasal
101
(1)
Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
dapat melakukan penataan Desa Adat.
(2)
Penataan Desa Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam
Peraturan Daerah.
(3)
Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai lampiran peta
batas wilayah.
Pasal
102
Peraturan
Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (2) berpedoman pada ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, dan
Pasal 17.
Bagian Kedua
Kewenangan Desa Adat
Pasal 103
Kewenangan
Desa Adat berdasarkan hak asal usul sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a
meliputi:
a.
pengaturan dan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan susunan asli;
b.
pengaturan dan pengurusan ulayat atau wilayah adat;
c.
pelestarian nilai sosial budaya Desa Adat;
d.
penyelesaian sengketa adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di Desa Adat
dalam wilayah yang selaras dengan prinsip hak asasi manusia dengan mengutamakan
penyelesaian secara musyawarah;
e.
penyelenggaraan sidang perdamaian peradilan Desa Adat sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
f.
pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban masyarakat Desa Adat berdasarkan hukum
adat yang berlaku di Desa Adat; dan
g.
pengembangan kehidupan hukum adat sesuai dengan kondisi sosial budaya
masyarakat Desa Adat.
Pasal
104
Pelaksanaan
kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan berskala lokal Desa Adat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a dan huruf b serta Pasal 103 diatur
dan diurus oleh Desa Adat dengan memperhatikan prinsip keberagaman.
Pasal
105
Pelaksanaan
kewenangan yang ditugaskan dan pelaksanaan kewenangan tugas lain dari
Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf c dan huruf d diurus oleh Desa Adat.
Pasal
106
(1)
Penugasan dari Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah kepada Desa Adat meliputi
penyelenggaraan Pemerintahan Desa Adat, pelaksanaan Pembangunan Desa Adat,
pembinaan kemasyarakatan Desa Adat, dan pemberdayaan masyarakat Desa Adat.
(2)
Penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan biaya.
Bagian Ketiga
Pemerintahan Desa Adat
Pasal 107
Pengaturan
dan penyelenggaraan Pemerintahan Desa Adat dilaksanakan sesuai dengan hak asal
usul dan hukum adat yang berlaku di Desa Adat yang masih hidup serta sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan tidak bertentangan dengan asas
penyelenggaraan Pemerintahan Desa Adat dalam prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Pasal
108
Pemerintahan
Desa Adat menyelenggarakan fungsi permusyawaratan dan Musyawarah Desa Adat
sesuai dengan susunan asli Desa Adat atau dibentuk baru sesuai dengan prakarsa
masyarakat Desa Adat.
Pasal
109
Susunan
kelembagaan, pengisian jabatan, dan masa jabatan Kepala Desa Adat berdasarkan
hukum adat ditetapkan dalam peraturan daerah Provinsi.
Bagian
Keempat
Peraturan
Desa Adat
Pasal
110
Peraturan
Desa Adat disesuaikan dengan hukum adat dan norma adat istiadat yang berlaku di
Desa Adat sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal
111
(1)
Ketentuan khusus tentang Desa Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 sampai
dengan Pasal 110 hanya berlaku untuk Desa Adat.
(2)
Ketentuan tentang Desa berlaku juga untuk Desa Adat sepanjang tidak diatur
dalam ketentuan khusus tentang Desa Adat.
BAB
XIV
PEMBINAAN
DAN PENGAWASAN
Pasal
112
(1)
Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
membina dan mengawasi penyelenggaraan Pemerintahan Desa.
(2)
Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
dapat mendelegasikan pembinaan dan pengawasan kepada perangkat daerah.
(3)
Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
memberdayakan masyarakat Desa dengan:
a.
menerapkan hasil pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, teknologi tepat
guna, dan temuan baru untuk kemajuan ekonomi dan pertanian masyarakat Desa;
b.
meningkatkan kualitas pemerintahan dan masyarakat Desa melalui pendidikan,
pelatihan, dan penyuluhan; dan
c. mengakui
dan memfungsikan institusi asli dan/atau yang sudah ada di masyarakat Desa.
(4)
Pemberdayaan masyarakat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan
dengan pendampingan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan Pembangunan
Desa dan Kawasan Perdesaan.
Pasal
113
Pembinaan
dan pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
112 ayat (1) meliputi:
a.
memberikan pedoman dan standar pelaksanaan penyelenggaraan Pemerintahan Desa;
b.
memberikan pedoman tentang dukungan pendanaan dari Pemerintah, Pemerintah
Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota kepada Desa;
c.
memberikan penghargaan, pembimbingan, dan pembinaan kepada lembaga masyarakat
Desa;
d.
memberikan pedoman penyusunan perencanaan pembangunan partisipatif;
e.
memberikan pedoman standar jabatan bagi perangkat Desa;
f.
memberikan bimbingan, supervisi, dan konsultasi penyelenggaraan Pemerintahan
Desa, Badan Permusyawaratan Desa, dan lembaga kemasyarakatan;
g.
memberikan penghargaan atas prestasi yang dilaksanakan dalam penyelenggaraan
Pemerintahan Desa, Badan Permusyawaratan Desa, dan lembaga kemasyarakatan Desa;
h.
menetapkan bantuan keuangan langsung kepada Desa;
i.
melakukan pendidikan dan pelatihan tertentu kepada aparatur Pemerintahan Desa
dan Badan Permusyawaratan Desa;
j.
melakukan penelitian tentang penyelenggaraan Pemerintahan Desa di Desa
tertentu;
k.
mendorong percepatan pembangunan perdesaan;
l.
memfasilitasi dan melakukan penelitian dalam rangka penentuan kesatuan
masyarakat hukum adat sebagai Desa; dan
m. menyusun
dan memfasilitasi petunjuk teknis bagi BUM Desa dan lembaga kerja sama Desa.
Pasal
114
Pembinaan
dan pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Provinsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 112 ayat (1) meliputi:
a.
melakukan pembinaan terhadap Kabupaten/Kota dalam rangka penyusunan Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota yang mengatur Desa;
b.
melakukan pembinaan Kabupaten/Kota dalam rangka pemberian alokasi dana Desa;
c.
melakukan pembinaan peningkatan kapasitas Kepala Desa dan perangkat Desa, Badan
Permusyawaratan Desa, dan lembaga kemasyarakatan;
d.
melakukan pembinaan manajemen Pemerintahan Desa;
e.
melakukan pembinaan upaya percepatan Pembangunan Desa melalui bantuan keuangan,
bantuan pendampingan, dan bantuan teknis;
f. melakukan
bimbingan teknis bidang tertentu yang tidak mungkin dilakukan oleh Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota;
g.
melakukan inventarisasi kewenangan Provinsi yang dilaksanakan oleh Desa;
h.
melakukan pembinaan dan pengawasan atas penetapan Rancangan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota dalam pembiayaan Desa;
i.
melakukan pembinaan terhadap Kabupaten/Kota dalam rangka penataan wilayah Desa;
j. membantu
Pemerintah dalam rangka penentuan kesatuan masyarakat hukum adat sebagai Desa;
dan
k. membina
dan mengawasi penetapan pengaturan BUM Desa Kabupaten/Kota dan lembaga kerja
sama antar-Desa.
Pasal
115
Pembinaan
dan pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 112 ayat (1) meliputi:
a.
memberikan pedoman pelaksanaan penugasan urusan Kabupaten/Kota yang
dilaksanakan oleh Desa;
b.
memberikan pedoman penyusunan Peraturan Desa dan Peraturan Kepala Desa;
c.
memberikan pedoman penyusunan perencanaan pembangunan partisipatif;
d.
melakukan fasilitasi penyelenggaraan Pemerintahan Desa;
e.
melakukan evaluasi dan pengawasan Peraturan Desa;
f.
menetapkan pembiayaan alokasi dana perimbangan untuk Desa;
g.
mengawasi pengelolaan Keuangan Desa dan pendayagunaan Aset Desa;
h.
melakukan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan Pemerintahan Desa;
i.
menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan bagi Pemerintah Desa, Badan
Permusyawaratan Desa, lembaga kemasyarakatan, dan lembaga adat;
j.
memberikan penghargaan atas prestasi yang dilaksanakan dalam penyelenggaraan
Pemerintahan Desa, Badan Permusyawaratan Desa, lembaga kemasyarakatan, dan
lembaga adat;
k.
melakukan upaya percepatan pembangunan perdesaan;
l.
melakukan upaya percepatan Pembangunan Desa melalui bantuan keuangan, bantuan
pendampingan, dan bantuan teknis;
m.
melakukan peningkatan kapasitas BUM Desa dan lembaga kerja sama antar-Desa; dan
n.
memberikan sanksi atas penyimpangan yang dilakukan oleh Kepala Desa sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB XV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 116
(1) Desa
yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku tetap diakui sebagai Desa.
(2)
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menetapkan Peraturan Daerah tentang penetapan
Desa dan Desa Adat di wilayahnya.
(3)
Penetapan Desa dan Desa Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 1
(satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.
(4) Paling
lama 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku, Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota bersama Pemerintah Desa melakukan inventarisasi Aset Desa.
Pasal
117
Penyelenggaraan
Pemerintahan Desa yang sudah ada wajib menyesuaikannya dengan ketentuan dalam
Undang-Undang ini.
Pasal
118
(1) Masa
jabatan Kepala Desa yang ada pada saat ini tetap berlaku sampai habis masa
jabatannya.
(2)
Periodisasi masa jabatan Kepala Desa mengikuti ketentuan Undang-Undang ini.
(3) Anggota
Badan Permusyawaratan Desa yang ada pada saat ini tetap menjalankan tugas
sampai habis masa keanggotaanya.
(4)
Periodisasi keanggotaan Badan Permusyawaratan Desa mengikuti ketentuan
Undang-Undang ini.
(5)
Perangkat Desa yang tidak berstatus pegawai negeri sipil tetap melaksanakan
tugas sampai habis masa tugasnya.
(6)
Perangkat Desa yang berstatus sebagai pegawai negeri sipil melaksanakan
tugasnya sampai ditetapkan penempatannya yang diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
BAB
XVI
KETENTUAN
PENUTUP
Pasal
119
Semua
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan secara langsung dengan
Desa wajib mendasarkan dan menyesuaikan pengaturannya dengan ketentuan Undang-Undang
ini.
Pasal
120
(1) Semua
peraturan pelaksanaan tentang Desa yang selama ini ada tetap berlaku sepanjang
tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.
(2)
Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus
ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini
diundangkan.
Pasal
121
Pada saat
Undang-Undang ini mulai berlaku, Pasal 200 sampai dengan Pasal 216
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4844) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal
122
Undang-Undang
ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di
Jakarta
pada
tanggal 15 Januari 2014
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H.
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan
di Jakarta
pada
tanggal 15 Januari 2014
MENTERI
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK
INDONESIA,
ttd.
AMIR
SYAMSUDIN
LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 7
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
6 TAHUN 2014
TENTANG
DESA
I. UMUM
1. Dasar
Pemikiran
Desa atau
yang disebut dengan nama lain telah ada sebelum Negara Kesatuan Republik
Indonesia terbentuk. Sebagai bukti keberadaannya, Penjelasan Pasal 18
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (sebelum perubahan)
menyebutkan bahwa “Dalam territori Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 “Zelfbesturende
landschappen” dan “Volksgemeenschappen”, seperti desa di Jawa dan
Bali, Nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, dan sebagainya.
Daerah-daerah itu mempunyai susunan Asli dan oleh karenanya dapat dianggap
sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati
kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang
mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal usul daerah tersebut”.
Oleh sebab itu, keberadaannya wajib tetap diakui dan diberikan jaminan
keberlangsungan hidupnya dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Keberagaman
karakteristik dan jenis Desa, atau yang disebut dengan nama lain, tidak menjadi
penghalang bagi para pendiri bangsa (founding fathers) ini untuk
menjatuhkan pilihannya pada bentuk negara kesatuan. Meskipun disadari bahwa
dalam suatu negara kesatuan perlu terdapat homogenitas, tetapi Negara Kesatuan
Republik Indonesia tetap memberikan pengakuan dan jaminan terhadap keberadaan
kesatuan masyarakat hukum dan kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak
tradisionalnya.
Dalam
kaitan susunan dan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, setelah perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengaturan Desa atau
disebut dengan nama lain dari segi pemerintahannya mengacu pada ketentuan Pasal
18 ayat (7) yang menegaskan bahwa “Susunan dan tata cara penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah diatur dalam undang-undang”. Hal itu berarti bahwa Pasal 18
ayat (7) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 membuka
kemungkinan adanya susunan pemerintahan dalam sistem pemerintahan Indonesia.
Melalui
perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengakuan
terhadap kesatuan masyarakat hukum adat dipertegas melalui ketentuan dalam
Pasal 18B ayat (2) yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.
Dalam
sejarah pengaturan Desa, telah ditetapkan beberapa pengaturan tentang Desa,
yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor
18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 19
Tahun 1965 tentang Desa Praja Sebagai Bentuk Peralihan Untuk Mempercepat
Terwujudnya Daerah Tingkat III di Seluruh Wilayah Republik Indonesia,
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah,
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, Undang-Undang Nomor
22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Dalam
pelaksanaannya, pengaturan mengenai Desa tersebut belum dapat mewadahi segala
kepentingan dan kebutuhan masyarakat Desa yang hingga saat ini sudah berjumlah
sekitar 73.000 (tujuh puluh tiga ribu) Desa dan sekitar 8.000 (delapan ribu)
kelurahan. Selain itu, pelaksanaan pengaturan Desa yang selama ini berlaku
sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, terutama antara lain
menyangkut kedudukan masyarakat hukum adat, demokratisasi, keberagaman,
partisipasi masyarakat, serta kemajuan dan pemerataan pembangunan sehingga
menimbulkan kesenjangan antarwilayah, kemiskinan, dan masalah sosial budaya
yang dapat mengganggu keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Undang-Undang
ini disusun dengan semangat penerapan amanat konstitusi, yaitu pengaturan
masyarakat hukum adat sesuai dengan ketentuan Pasal 18B ayat (2) untuk diatur
dalam susunan pemerintahan sesuai dengan ketentuan Pasal 18 ayat (7). Walaupun
demikian, kewenangan kesatuan masyarakat hukum adat mengenai pengaturan hak
ulayat merujuk pada ketentuan peraturan perundang-undangan sektoral yang
berkaitan.
Dengan
konstruksi menggabungkan fungsi self-governing community dengan local
self government, diharapkan kesatuan masyarakat hukum adat yang selama ini
merupakan bagian dari wilayah Desa, ditata sedemikian rupa menjadi Desa dan
Desa Adat. Desa dan Desa Adat pada dasarnya melakukan tugas yang hampir sama.
Sedangkan perbedaannya hanyalah dalam pelaksanaan hak asal-usul, terutama
menyangkut pelestarian sosial Desa Adat, pengaturan dan pengurusan wilayah
adat, sidang perdamaian adat, pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban bagi
masyarakat hukum adat, serta pengaturan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan
susunan asli.
Desa Adat
memiliki fungsi pemerintahan, keuangan Desa, pembangunan Desa, serta mendapat
fasilitasi dan pembinaan dari pemerintah Kabupaten/Kota. Dalam posisi seperti
ini, Desa dan Desa Adat mendapat perlakuan yang sama dari Pemerintah dan
Pemerintah Daerah. Oleh sebab itu, di masa depan Desa dan Desa Adat dapat
melakukan perubahan wajah Desa dan tata kelola penyelenggaraan pemerintahan
yang efektif, pelaksanaan pembangunan yang berdaya guna, serta pembinaan
masyarakat dan pemberdayaan masyarakat di wilayahnya. Dalam status yang sama
seperti itu, Desa dan Desa Adat diatur secara tersendiri dalam Undang-Undang
ini.
Menteri
yang menangani Desa saat ini adalah Menteri Dalam Negeri. Dalam kedududukan ini
Menteri Dalam Negeri menetapkan pengaturan umum, petunjuk teknis, dan
fasilitasi mengenai penyelenggaraan pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan
Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa.
2. Tujuan
dan Asas Pengaturan
a. Tujuan
Pengaturan
Pemerintah
negara Republik Indonesia dibentuk untuk melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional telah
menetapkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional yang merupakan
penjabaran dari tujuan dibentuknya pemerintahan negara Indonesia. Desa yang
memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat berperan mewujudkan cita-cita kemerdekaan berdasarkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perlu dilindungi dan
diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat
menciptakan landasan yang kukuh dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan
menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera. Dengan demikian, tujuan
ditetapkannya pengaturan Desa dalam Undang-Undang ini merupakan penjabaran
lebih lanjut dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (7) dan
Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
yaitu:
1)
memberikan pengakuan dan penghormatan atas Desa yang sudah ada dengan keberagamannya
sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia;
2)
memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas Desa dalam sistem
ketatanegaraan Republik Indonesia demi mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat
Indonesia;
3) melestarikan
dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat Desa;
4)
mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat Desa untuk pengembangan
potensi dan Aset Desa guna kesejahteraan bersama;
5)
membentuk Pemerintahan Desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka,
serta bertanggung jawab;
6)
meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat Desa guna mempercepat
perwujudan kesejahteraan umum;
7)
meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat Desa guna mewujudkan masyarakat
Desa yang mampu memelihara kesatuan sosial sebagai bagian dari ketahanan
nasional;
8)
memajukan perekonomian masyarakat Desa serta mengatasi kesenjangan pembangunan
nasional; dan
9)
memperkuat masyarakat Desa sebagai subjek pembangunan.
b. Asas Pengaturan
Asas
pengaturan dalam Undang-Undang ini adalah:
1)
rekognisi, yaitu pengakuan terhadap hak asal usul;
2)
subsidiaritas, yaitu penetapan kewenangan berskala lokal dan pengambilan
keputusan secara lokal untuk kepentingan masyarakat Desa;
3)
keberagaman, yaitu pengakuan dan penghormatan terhadap sistem nilai yang
berlaku di masyarakat Desa, tetapi dengan tetap mengindahkan sistem nilai
bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara;
4)
kebersamaan, yaitu semangat untuk berperan aktif dan bekerja sama dengan
prinsip saling menghargai antara kelembagaan di tingkat Desa dan unsur
masyarakat Desa dalam membangun Desa;
5)
kegotongroyongan, yaitu kebiasaan saling tolong-menolong untuk membangun Desa;
6)
kekeluargaan, yaitu kebiasaan warga masyarakat Desa sebagai bagian dari satu
kesatuan keluarga besar masyarakat Desa;
7)
musyawarah, yaitu proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan
masyarakat Desa melalui diskusi dengan berbagai pihak yang berkepentingan;
8)
demokrasi, yaitu sistem pengorganisasian masyarakat Desa dalam suatu sistem
pemerintahan yang dilakukan oleh masyarakat Desa atau dengan persetujuan
masyarakat Desa serta keluhuran harkat dan martabat manusia sebagai makhluk
Tuhan Yang Maha Esa diakui, ditata, dan dijamin;
9)
kemandirian, yaitu suatu proses yang dilakukan oleh Pemerintah Desa dan
masyarakat Desa untuk melakukan suatu kegiatan dalam rangka memenuhi
kebutuhannya dengan kemampuan sendiri;
10)
partisipasi, yaitu turut berperan aktif dalam suatu kegiatan;
11)
kesetaraan, yaitu kesamaan dalam kedudukan dan peran;
12)
pemberdayaan, yaitu upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat
Desa melalui penetapan kebijakan, program, dan kegiatan yang sesuai dengan
esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat Desa; dan
13)
keberlanjutan, yaitu suatu proses yang dilakukan secara terkoordinasi,
terintegrasi, dan berkesinambungan dalam merencanakan dan melaksanakan program
pembangunan Desa.
3. Materi Muatan
Undang-Undang
ini menegaskan bahwa penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan
pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat berdasarkan
Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara
Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Undang-Undang
ini mengatur materi mengenai Asas Pengaturan, Kedudukan dan Jenis Desa,
Penataan Desa, Kewenangan Desa, Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Hak dan
Kewajiban Desa dan Masyarakat Desa, Peraturan Desa, Keuangan Desa dan Aset
Desa, Pembangunan Desa dan Pembangunan Kawasan Perdesaan, Badan Usaha Milik
Desa, Kerja Sama Desa, Lembaga Kemasyarakatan Desa dan Lembaga Adat Desa, serta
Pembinaan dan Pengawasan. Selain itu, Undang-Undang ini juga mengatur dengan
ketentuan khusus yang hanya berlaku untuk Desa Adat sebagaimana diatur dalam
Bab XIII.
4. Desa dan Desa Adat
Desa atau
yang disebut dengan nama lain mempunyai karakteristik yang berlaku umum untuk
seluruh Indonesia, sedangkan Desa Adat atau yang disebut dengan nama lain
mempunyai karakteristik yang berbeda dari Desa pada umumnya, terutama karena
kuatnya pengaruh adat terhadap sistem pemerintahan lokal, pengelolaan sumber
daya lokal, dan kehidupan sosial budaya masyarakat Desa.
Desa Adat
pada prinsipnya merupakan warisan organisasi kepemerintahan masyarakat lokal
yang dipelihara secara turun-temurun yang tetap diakui dan diperjuangkan oleh
pemimpin dan masyarakat Desa Adat agar dapat berfungsi mengembangkan
kesejahteraan dan identitas sosial budaya lokal. Desa Adat memiliki hak asal
usul yang lebih dominan daripada hak asal usul Desa sejak Desa Adat itu lahir
sebagai komunitas asli yang ada di tengah masyarakat. Desa Adat adalah sebuah
kesatuan masyarakat hukum adat yang secara historis mempunyai batas wilayah dan
identitas budaya yang terbentuk atas dasar teritorial yang berwenang mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat Desa berdasarkan hak asal usul.
Pada
dasarnya kesatuan masyarakat hukum adat terbentuk berdasarkan tiga prinsip
dasar, yaitu genealogis, teritorial, dan/atau gabungan genealogis dengan
teritorial. Yang diatur dalam Undang-Undang ini adalah kesatuan masyarakat
hukum adat yang merupakan gabungan antara genealogis dan teritorial. Dalam
kaitan itu, negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Implementasi dari
kesatuan masyarakat hukum adat tersebut telah ada dan hidup di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia, seperti huta/nagori di Sumatera Utara, gampong
di Aceh, nagari di Minangkabau, marga di Sumatera bagian
selatan, tiuh atau pekon di Lampung, desa pakraman/desa adat di
Bali, lembang di Toraja, banua dan wanua di Kalimantan,
dan negeri di Maluku.
Di dalam
perkembangannya, Desa Adat telah berubah menjadi lebih dari 1 (satu) Desa Adat;
1 (satu) Desa Adat menjadi Desa; lebih dari 1 (satu) Desa Adat menjadi Desa;
atau 1 (satu) Desa Adat yang juga berfungsi sebagai 1 (satu) Desa/kelurahan.
Oleh karena itu, Undang-Undang ini memungkinkan perubahan status dari Desa atau
kelurahan menjadi Desa Adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia atas
prakarsa masyarakat. Demikian pula, status Desa Adat dapat berubah menjadi
Desa/kelurahan atas prakarsa masyarakat.
Penetapan
Desa Adat untuk pertama kalinya berpedoman pada ketentuan khusus sebagaimana
diatur dalam Bab XIII Undang-Undang ini. Pembentukan Desa Adat yang baru
berpedoman pada ketentuan sebagaimana diatur dalam Bab III Undang-Undang ini.
Penetapan
Desa Adat sebagaimana dimaksud di atas, yang menjadi acuan utama adalah Putusan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yaitu:
a. Putusan
Nomor 010/PUU-l/2003 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2003
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999 tentang Pembentukan
Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten
Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi, dan Kota
Batam;
b. Putusan
Nomor 31/PUU-V/2007 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2007 tentang
Pembentukan Kota Tual Di Provinsi Maluku;
c. Putusan
Nomor 6/PUU-Vl/2008 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1999 tentang
Pembentukan Kabupaten Buol, Kabupaten Morowali, dan Kabupaten Banggai
Kepulauan; dan
d. Putusan
Nomor 35/PUU–X/2012 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan.
Namun
demikian, karena kesatuan masyarakat hukum adat yang ditetapkan menjadi Desa
Adat melaksanakan fungsi pemerintahan (local self government) maka ada
syarat mutlak yaitu adanya wilayah dengan batas yang jelas, adanya
pemerintahan, dan perangkat lain serta ditambah dengan salah satu pranata lain
dalam kehidupan masyarakat hukum adat seperti perasaan bersama, harta kekayaan,
dan pranata pemerintahan adat.
5. Kelembagaan Desa
Di dalam
Undang-Undang ini diatur mengenai kelembagaan Desa/Desa Adat, yaitu lembaga
Pemerintahan Desa/Desa Adat yang terdiri atas Pemerintah Desa/Desa Adat dan
Badan Permusyawaratan Desa/Desa Adat, Lembaga Kemasyarakatan Desa, dan lembaga
adat.
Kepala Desa/Desa
Adat atau yang disebut dengan nama lain merupakan kepala Pemerintahan Desa/Desa
Adat yang memimpin penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Kepala Desa/Desa Adat
atau yang disebut dengan nama lain mempunyai peran penting dalam kedudukannya
sebagai kepanjangan tangan negara yang dekat dengan masyarakat dan sebagai
pemimpin masyarakat. Dengan posisi yang demikian itu, prinsip pengaturan
tentang Kepala Desa/Desa Adat adalah:
a. sebutan
Kepala Desa/Desa Adat disesuaikan dengan sebutan lokal;
b. Kepala
Desa/Desa Adat berkedudukan sebagai kepala Pemerintah Desa/Desa Adat dan
sebagai pemimpin masyarakat;
c. Kepala
Desa dipilih secara demokratis dan langsung oleh masyarakat setempat, kecuali
bagi Desa Adat dapat menggunakan mekanisme lokal; dan
d.
pencalonan Kepala Desa dalam pemilihan langsung tidak menggunakan basis partai
politik sehingga Kepala Desa dilarang menjadi pengurus partai politik.
Mengingat
kedudukan, kewenangan, dan Keuangan Desa yang semakin kuat, penyelenggaraan
Pemerintahan Desa diharapkan lebih akuntabel yang didukung dengan sistem
pengawasan dan keseimbangan antara Pemerintah Desa dan lembaga Desa. Lembaga
Desa, khususnya Badan Permusyawaratan Desa yang dalam kedudukannya mempunyai
fungsi penting dalam menyiapkan kebijakan Pemerintahan Desa bersama Kepala
Desa, harus mempunyai visi dan misi yang sama dengan Kepala Desa sehingga Badan
Permusyawaratan Desa tidak dapat menjatuhkan Kepala Desa yang dipilih secara
demokratis oleh masyarakat Desa.
6. Badan Permusyawaratan Desa
Badan
Permusyawaratan Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah lembaga yang
melakukan fungsi pemerintahan yang anggotanya merupakan wakil dari penduduk
Desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis.
Badan
Permusyawaratan Desa merupakan badan permusyawaratan di tingkat Desa yang turut
membahas dan menyepakati berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan Pemerintahan
Desa. Dalam upaya meningkatkan kinerja kelembagaan di tingkat Desa, memperkuat
kebersamaan, serta meningkatkan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat,
Pemerintah Desa dan/atau Badan Permusyawaratan Desa memfasilitasi
penyelenggaraan Musyawarah Desa. Musyawarah Desa atau yang disebut dengan nama
lain adalah forum musyawarah antara Badan Permusyawaratan Desa, Pemerintah
Desa, dan unsur masyarakat yang diselenggarakan oleh Badan Permusyawaratan Desa
untuk memusyawarahkan dan menyepakati hal yang bersifat strategis dalam
penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Hasil Musyawarah Desa dalam bentuk
kesepakatan yang dituangkan dalam keputusan hasil musyawarah dijadikan dasar
oleh Badan Permusyawaratan Desa dan Pemerintah Desa dalam menetapkan kebijakan
Pemerintahan Desa.
7. Peraturan Desa
Peraturan
Desa ditetapkan oleh Kepala Desa setelah dibahas dan disepakati bersama Badan
Permusyawaratan Desa merupakan kerangka hukum dan kebijakan dalam
penyelenggaraan Pemerintahan Desa dan Pembangunan Desa.
Penetapan
Peraturan Desa merupakan penjabaran atas berbagai kewenangan yang dimiliki Desa
mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Sebagai
sebuah produk hukum, Peraturan Desa tidak boleh bertentangan dengan peraturan
yang lebih tinggi dan tidak boleh merugikan kepentingan umum, yaitu:
a.
terganggunya kerukunan antarwarga masyarakat;
b.
terganggunya akses terhadap pelayanan publik;
c.
terganggunya ketenteraman dan ketertiban umum;
d.
terganggunya kegiatan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa;
dan
e.
diskriminasi terhadap suku, agama dan kepercayaan, ras, antargolongan, serta
gender.
Sebagai
sebuah produk politik, Peraturan Desa diproses secara demokratis dan
partisipatif, yakni proses penyusunannya mengikutsertakan partisipasi
masyarakat Desa. Masyarakat Desa mempunyai hak untuk mengusulkan atau
memberikan masukan kepada Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa dalam
proses penyusunan Peraturan Desa.
Peraturan
Desa yang mengatur kewenangan Desa berdasarkan hak asal usul dan kewenangan
berskala lokal Desa pelaksanaannya diawasi oleh masyarakat Desa dan Badan
Permusyawaratan Desa. Hal itu dimaksudkan agar pelaksanaan Peraturan Desa
senantiasa dapat diawasi secara berkelanjutan oleh warga masyarakat Desa
setempat mengingat Peraturan Desa ditetapkan untuk kepentingan masyarakat Desa.
Apabila
terjadi pelanggaran terhadap pelaksanaan Peraturan Desa yang telah ditetapkan,
Badan Permusyawaratan Desa berkewajiban mengingatkan dan menindaklanjuti
pelanggaran dimaksud sesuai dengan kewenangan yang dimiliki. Itulah salah satu
fungsi pengawasan yang dimiliki oleh Badan Permusyawaratan Desa. Selain Badan
Permusyawaratan Desa, masyarakat Desa juga mempunyai hak untuk melakukan
pengawasan dan evaluasi secara partisipatif terhadap pelaksanaan Peraturan
Desa.
Jenis
peraturan yang ada di Desa, selain Peraturan Desa adalah Peraturan Kepala Desa
dan Peraturan Bersama Kepala Desa.
8.
Pemilihan Kepala Desa
Kepala Desa
dipilih secara langsung oleh dan dari penduduk Desa warga negara Republik
Indonesia yang memenuhi persyaratan dengan masa jabatan 6 (enam) tahun
terhitung sejak tanggal pelantikan. Kepala Desa dapat menjabat paling banyak 3
(tiga) kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara
berturut-turut. Sedangkan pengisian jabatan dan masa jabatan Kepala Desa Adat
berlaku ketentuan hukum adat di Desa Adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat serta prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dengan berpedoman pada
Peraturan Pemerintah.
Khusus
mengenai pemilihan Kepala Desa dalam Undang-Undang ini diatur agar dilaksanakan
secara serentak di seluruh wilayah Kabupaten/Kota dengan maksud untuk
menghindari hal negatif dalam pelaksanaannya.
Pemilihan
Kepala Desa secara serentak mempertimbangkan jumlah Desa dan kemampuan biaya
pemilihan yang dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Kabupaten/Kota sehingga dimungkinkan pelaksanaannya secara bergelombang
sepanjang diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Sebagai
akibat dilaksanakannya kebijakan pemilihan Kepala Desa secara serentak, dalam
Undang-Undang ini diatur mengenai pengisian jabatan Kepala Desa yang berhenti
dan diberhentikan sebelum habis masa jabatan.
Jabatan
Kepala Desa Adat diisi berdasarkan ketentuan yang berlaku bagi Desa Adat. Dalam
hal terjadi kekosongan jabatan Kepala Desa Adat, Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota dapat menetapkan penjabat yang berasal dari masyarakat Desa Adat
yang bersangkutan.
9. Sumber Pendapatan Desa
Desa
mempunyai sumber pendapatan Desa yang terdiri atas pendapatan asli Desa, bagi
hasil pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota, bagian dari dana
perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh Kabupaten/Kota,
alokasi anggaran dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, bantuan keuangan
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi dan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota, serta hibah dan sumbangan yang tidak
mengikat dari pihak ketiga.
Bantuan
keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi dan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota kepada Desa diberikan sesuai
dengan kemampuan keuangan Pemerintah Daerah yang bersangkutan. Bantuan tersebut
diarahkan untuk percepatan Pembangunan Desa. Sumber pendapatan lain yang dapat
diusahakan oleh Desa berasal dari Badan Usaha Milik Desa, pengelolaan pasar
Desa, pengelolaan kawasan wisata skala Desa, pengelolaan tambang mineral bukan
logam dan tambang batuan dengan tidak menggunakan alat berat, serta sumber
lainnya dan tidak untuk dijualbelikan.
Bagian dari
dana perimbangan yang diterima Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota paling sedikit
10% (sepuluh perseratus) setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus yang selanjutnya
disebut Alokasi Dana Desa.
Alokasi
anggaran untuk Desa yang bersumber dari Belanja Pusat dilakukan dengan
mengefektifkan program yang berbasis Desa secara merata dan berkeadilan.
10. Pembangunan Desa dan Kawasan
Perdesaan
Pembangunan
Desa bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa dan kualitas hidup
manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui penyediaan pemenuhan kebutuhan
dasar, pembangunan sarana dan prasarana, pengembangan potensi ekonomi lokal,
serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan. Untuk
itu, Undang-Undang ini menggunakan 2 (dua) pendekatan, yaitu „Desa membangun‟
dan „membangun Desa‟ yang diintegrasikan dalam perencanaan Pembangunan Desa.
Sebagai
konsekuensinya, Desa menyusun perencanaan pembangunan sesuai dengan
kewenangannya dengan mengacu pada perencanaan pembangunan Kabupaten/Kota.
Dokumen rencana Pembangunan Desa merupakan satu-satunya dokumen perencanaan di
Desa dan sebagai dasar penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.
Perencanaan Pembangunan Desa diselenggarakan dengan mengikutsertakan masyarakat
Desa melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa. Musyawarah Perencanaan
Pembangunan Desa menetapkan prioritas, program, kegiatan, dan kebutuhan
Pembangunan Desa yang didanai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa,
swadaya masyarakat Desa, dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Kabupaten/Kota berdasarkan penilaian terhadap kebutuhan masyarakat Desa.
Pembangunan Desa dilaksanakan oleh Pemerintah Desa dan masyarakat Desa dengan
semangat gotong royong serta memanfaatkan kearifan lokal dan sumber daya alam
Desa. Pelaksanaan program sektor yang masuk ke Desa diinformasikan kepada
Pemerintah Desa dan diintegrasikan dengan rencana Pembangunan Desa. Masyarakat
Desa berhak mendapatkan informasi dan melakukan pemantauan mengenai rencana dan
pelaksanaan Pembangunan Desa.
Sejalan
dengan tuntutan dan dinamika pembangunan bangsa, perlu dilakukan pembangunan
Kawasan Perdesaan. Pembangunan Kawasan Perdesaan merupakan perpaduan
pembangunan antar-Desa dalam satu Kabupaten/Kota sebagai upaya mempercepat dan
meningkatkan kualitas pelayanan, pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat Desa
di Kawasan Perdesaan melalui pendekatan pembangunan partisipatif. Oleh karena
itu, rancangan pembangunan Kawasan Perdesaan dibahas bersama oleh Pemerintah,
Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan Pemerintah
Desa.
11. Lembaga Kemasyarakatan Desa
Di Desa
dibentuk lembaga kemasyarakatan Desa, seperti rukun tetangga, rukun warga,
pembinaan kesejahteraan keluarga, karang taruna, dan lembaga pemberdayaan
masyarakat atau yang disebut dengan nama lain. Lembaga kemasyarakatan Desa
bertugas membantu Pemerintah Desa dan merupakan mitra dalam memberdayakan
masyarakat Desa.
Lembaga
kemasyarakatan Desa berfungsi sebagai wadah partisipasi masyarakat Desa dalam
pembangunan, pemerintahan, kemasyarakatan, dan pemberdayaan yang mengarah
terwujudnya demokratisasi dan transparansi di tingkat masyarakat serta
menciptakan akses agar masyarakat lebih berperan aktif dalam kegiatan
pembangunan.
12. Lembaga Adat Desa
Kesatuan
masyarakat hukum adat yang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan pusat
kehidupan masyarakat yang bersifat mandiri. Dalam kesatuan masyarakat hukum
adat tersebut dikenal adanya lembaga adat yang telah tumbuh dan berkembang di
dalam kehidupan masyarakatnya. Dalam eksistensinya, masyarakat hukum adat
memiliki wilayah hukum adat dan hak atas harta kekayaan di dalam wilayah hukum
adat tersebut serta berhak dan berwenang untuk mengatur, mengurus, dan
menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan masyarakat Desa berkaitan dengan
adat istiadat dan hukum adat yang berlaku. Lembaga adat Desa merupakan mitra
Pemerintah Desa dan lembaga Desa lainnya dalam memberdayakan masyarakat Desa.
13. Ketentuan Khusus
Khusus bagi
Provinsi Aceh, Provinsi Papua, dan Provinsi Papua Barat, Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota dalam menetapkan kebijakan mengenai pengaturan Desa di samping
memperhatikan ketentuan dalam Undang-Undang ini juga memperhatikan:
a.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
Bagi Provinsi Papua menjadi Undang-Undang; dan
b.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
II. PASAL
DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup
jelas.
Pasal 2
Cukup
jelas.
Pasal 3
Cukup
jelas.
Pasal 4
Cukup
jelas.
Pasal 5
Desa yang
berkedudukan di wilayah Kabupaten/Kota dibentuk dalam sistem pemerintahan
negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Pasal 6
Ketentuan
ini untuk mencegah terjadinya tumpang tindih wilayah, kewenangan, duplikasi
kelembagaan antara Desa dan Desa Adat dalam 1 (satu) wilayah maka dalam 1
(satu) wilayah hanya terdapat Desa atau Desa Adat. Untuk yang sudah terjadi
tumpang tindih antara Desa dan Desa Adat dalam 1 (satu) wilayah, harus dipilih
salah satu jenis Desa sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup
jelas.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Ayat (3)
Cukup
jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup
jelas.
Huruf b
Cukup
jelas.
Huruf c
Cukup
jelas.
Huruf d
Yang
dimaksud dengan “perubahan status” adalah perubahan dari Desa menjadi kelurahan
dan perubahan kelurahan menjadi Desa serta perubahan Desa Adat menjadi Desa.
Huruf e
Yang
dimaksud dengan “penetapan Desa Adat” adalah penetapan kesatuan masyarakat
hukum adat dan Desa Adat yang telah ada untuk yang pertama kali oleh
Kabupaten/Kota menjadi Desa Adat dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Pasal 8
Ayat (1)
Pembentukan
Desa dapat berupa:
a.
pemekaran dari 1 (satu) Desa menjadi 2 (dua) Desa atau lebih;
b.
penggabungan bagian Desa dari Desa yang bersanding menjadi 1 (satu) Desa; atau
c.
penggabungan beberapa Desa menjadi 1 (satu) Desa baru.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Ayat (3)
Cukup
jelas.
Ayat (4)
Cukup
jelas.
Ayat (5)
Cukup
jelas.
Ayat (6)
Cukup
jelas.
Ayat (7)
Cukup
jelas.
Ayat (8)
Cukup
jelas.
Pasal 9
Yang
dimaksud dengan “program nasional yang strategis“ adalah antara lain program
pembuatan waduk atau bendungan yang meliputi seluruh wilayah Desa.
Pasal 10
Cukup
jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup
jelas.
Ayat (2)
Yang
dimaksud dengan “menjadi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Kabupaten/Kota” adalah termasuk untuk memberikan dana purnatugas (pesangon)
bagi Kepala Desa dan perangkat Desa yang diberhentikan sebagai akibat perubahan
status Desa menjadi kelurahan.
Pasal 12
Ayat (1)
Yang
dimaksud dengan “mengubah status kelurahan menjadi Desa” adalah perubahan
status kelurahan menjadi Desa atau kelurahan sebagian menjadi Desa dan sebagian
tetap menjadi kelurahan. Hal tersebut dilakukan dalam jangka waktu tertentu
untuk menyesuaikan adanya kelurahan yang kehidupan masyarakatnya masih bersifat
perdesaan.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Ayat (3)
Cukup
jelas.
Pasal 13
Yang
dimaksud dengan “kawasan yang bersifat khusus dan strategis” seperti kawasan
terluar dalam wilayah perbatasan antarnegara, program transmigrasi, dan program
lain yang dianggap strategis.
Pasal 14
Cukup
jelas.
Pasal 15
Cukup
jelas.
Pasal 16
Cukup
jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup
jelas.
Ayat (2)
Pembuatan
peta batas wilayah Desa harus menyertakan instansi teknis terkait.
Pasal 18
Yang
dimaksud dengan “hak asal usul dan adat istiadat Desa” adalah hak yang masih
hidup dan sesuai dengan perkembangan kehidupan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Pasal 19
Huruf a
Yang
dimaksud dengan “hak asal usul” adalah hak yang merupakan warisan yang masih
hidup dan prakarsa Desa atau prakarsa masyarakat Desa sesuai dengan
perkembangan kehidupan masyarakat, antara lain sistem organisasi masyarakat
adat, kelembagaan, pranata dan hukum adat, tanah kas Desa, serta kesepakatan
dalam kehidupan masyarakat Desa.
Huruf b
Yang
dimaksud dengan “kewenangan lokal berskala Desa” adalah kewenangan untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat Desa yang telah dijalankan oleh
Desa atau mampu dan efektif dijalankan oleh Desa atau yang muncul karena
perkembangan Desa dan prakasa masyarakat Desa, antara lain tambatan perahu,
pasar Desa, tempat pemandian umum, saluran irigasi, sanitasi lingkungan, pos pelayanan
terpadu, sanggar seni dan belajar, serta perpustakaan Desa, embung Desa, dan
jalan Desa.
Huruf c
Cukup
jelas.
Huruf d
Cukup
jelas.
Pasal 20
Cukup
jelas.
Pasal 21
Cukup
jelas.
Pasal 22
Cukup
jelas.
Pasal 23
Cukup
jelas.
Pasal 24
Huruf a
Yang
dimaksud dengan “kepastian hukum” adalah asas dalam negara hukum yang
mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan
dalam setiap kebijakan penyelenggaraan Pemerintahan Desa.
Huruf b
Yang
dimaksud dengan “tertib penyelenggara pemerintahan” adalah asas yang menjadi
landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian
penyelenggara Pemerintahan Desa
Huruf c
Yang
dimaksud dengan “tertib kepentingan umum” adalah asas yang mendahulukan
kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif.
Huruf d
Yang
dimaksud dengan “keterbukaan” adalah asas yang membuka diri terhadap hak
masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak
diskriminatif tentang penyelenggaraan Pemerintahan Desa dengan tetap
memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf e
Yang
dimaksud dengan “proporsionalitas” adalah asas yang mengutamakan keseimbangan
antara hak dan kewajiban penyelenggaraan Pemerintahan Desa.
Huruf f
Yang
dimaksud dengan “profesionalitas” adalah asas yang mengutamakan keahlian yang
berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf g
Yang
dimaksud dengan “akuntabilitas” adalah asas yang menentukan bahwa setiap
kegiatan dan hasil akhir kegiatan penyelenggaraan Pemerintahan Desa harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat Desa sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Huruf h
Yang
dimaksud dengan “efektivitas” adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan
yang dilaksanakan harus berhasil mencapai tujuan yang diinginkan masyarakat
Desa.
Yang
dimaksud dengan “efisiensi” adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan
yang dilaksanakan harus tepat sesuai dengan rencana dan tujuan.
Huruf i
Yang
dimaksud dengan “kearifan lokal” adalah asas yang menegaskan bahwa di dalam
penetapan kebijakan harus memperhatikan kebutuhan dan kepentingan masyarakat
Desa.
Huruf j
Yang
dimaksud dengan “keberagaman” adalah penyelenggaraan Pemerintahan Desa yang
tidak boleh mendiskriminasi kelompok masyarakat tertentu.
Huruf k
Yang
dimaksud dengan “partisipatif” adalah penyelenggaraan Pemerintahan Desa yang
mengikutsertakan kelembagaan Desa dan unsur masyarakat Desa.
Pasal 25
Penyebutan
nama lain untuk Kepala Desa dan perangkat Desa dapat menggunakan penyebutan di
daerah masing-masing.
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup
jelas.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup
jelas.
Huruf b
Cukup
jelas.
Huruf c
Jaminan
kesehatan yang diberikan kepada Kepala Desa diintegrasikan dengan jaminan
pelayanan yang dilakukan oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Huruf d
Cukup
jelas.
Huruf e
Cukup
jelas.
Ayat (4)
Cukup
jelas.
Pasal 27
Cukup
jelas.
Pasal 28
Cukup
jelas.
Pasal 29
Cukup
jelas.
Pasal 30
Cukup
jelas.
Pasal 31
Cukup
jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Pemberitahuan
Badan Permusyawaratan Desa kepada Kepala Desa tentang akan berakhirnya masa
jabatan Kepala Desa tembusannya disampaikan kepada Bupati/Walikota.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Ayat (3)
Cukup
jelas.
Ayat (4)
Yang
dimaksud dengan “tokoh masyarakat” adalah tokoh keagamaan, tokoh adat, tokoh
pendidikan, dan tokoh masyarakat lainnya.
Pasal 33
Cukup
jelas.
Pasal 34
Ayat (1)
Cukup
jelas.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Ayat (3)
Cukup
jelas.
Ayat (4)
Cukup
jelas.
Ayat (5)
Cukup
jelas.
Ayat (6)
Biaya pemilihan
Kepala Desa yang dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Kabupaten/Kota adalah untuk pengadaan surat suara, kotak suara, kelengkapan
peralatan lainnya, honorarium panitia, dan biaya pelantikan.
Pasal 35
Cukup
jelas.
Pasal 36
Cukup
jelas.
Pasal 37
Cukup
jelas.
Pasal 38
Cukup
jelas.
Pasal 39
Yang
dimaksud dengan “terhitung sejak tanggal pelantikan” adalah seseorang yang
telah dilantik sebagai Kepala Desa maka apabila yang bersangkutan mengundurkan
diri sebelum habis masa jabatannya dianggap telah menjabat satu periode masa
jabatan 6 (enam) tahun.
Kepala Desa
yang telah menjabat satu kali masa jabatan berdasarkan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 diberi kesempatan untuk mencalonkan kembali paling lama 2 (dua) kali
masa jabatan. Sementara itu, Kepala Desa yang telah menjabat 2 (dua) kali masa
jabatan berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 diberi kesempatan untuk
mencalonkan kembali hanya 1 (satu) kali masa jabatan.
Pasal 40
Ayat (1)
Cukup
jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang
dimaksud dengan “berakhir masa jabatannya” adalah apabila seorang Kepala Desa
yang telah berakhir masa jabatannya 6 (enam) tahun terhitung tanggal pelantikan
harus diberhentikan. Dalam hal belum ada calon terpilih dan belum dapat
dilaksanakan pemilihan, diangkat penjabat.
Huruf b
Yang
dimaksud dengan “tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau
berhalangan tetap” adalah apabila Kepala Desa menderita sakit yang
mengakibatkan, baik fisik maupun mental, tidak berfungsi secara normal yang dibuktikan
dengan surat keterangan dokter yang berwenang dan/atau tidak diketahui
keberadaannya.
Huruf c
Cukup
jelas.
Huruf d
Cukup
jelas.
Ayat (3)
Cukup
jelas.
Ayat (4)
Cukup
jelas.
Pasal 41
Cukup
jelas.
Pasal 42
Cukup
jelas.
Pasal 43
Cukup
jelas.
Pasal 44
Cukup
jelas.
Pasal 45
Cukup
jelas.
Pasal 46
Ayat (1)
Yang
dimaksud dengan “tidak lebih dari 1 (satu) tahun” adalah 1 (satu) tahun atau
kurang.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Pasal 47
Ayat (1)
Cukup
jelas.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Ayat (3)
Yang
dimaksud dengan ”musyawarah Desa” adalah musyawarah yang diselenggarakan oleh
Badan Permusyawaratan Desa khusus untuk pemilihan Kepala Desa antarwaktu (bukan
musyawarah Badan Permusyawaratan Desa), yaitu mulai dari penetapan calon,
pemilihan calon, dan penetapan calon terpilih.
Ayat (4)
Cukup
jelas.
Ayat (5)
Masa
jabatan Kepala Desa yang dipilih melalui Musyawarah Desa terhitung sejak yang
bersangkutan dilantik oleh Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk.
Ayat (6)
Cukup
jelas.
Pasal 48
Cukup
jelas.
Pasal 49
Ayat (1)
Cukup
jelas.
Ayat (2)
Yang
dimaksud dengan “Camat” adalah Camat atau yang disebut dengan nama lain.
Ayat (3)
Cukup
jelas.
Pasal 50
Cukup
jelas.
Pasal 51
Cukup
jelas.
Pasal 52
Cukup
jelas.
Pasal 53
Cukup
jelas.
Pasal 54
Ayat (1)
Musyawarah
Desa merupakan forum pertemuan dari seluruh pemangku kepentingan yang ada di
Desa, termasuk masyarakatnya, dalam rangka menggariskan hal yang dianggap
penting dilakukan oleh Pemerintah Desa dan juga menyangkut kebutuhan masyarakat
Desa.
Hasil ini
menjadi pegangan bagi perangkat Pemerintah Desa dan lembaga lain dalam
pelaksanaan tugasnya.
Yang
dimaksud dengan “unsur masyarakat” adalah antara lain tokoh adat, tokoh agama,
tokoh masyarakat, tokoh pendidikan, perwakilan kelompok tani, kelompok nelayan,
kelompok perajin, kelompok perempuan, dan kelompok masyarakat miskin.
Ayat (2)
Huruf a
Dalam hal
penataan Desa, Musyawarah Desa hanya memberikan pertimbangan dan masukan kepada
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
Huruf b
Cukup
jelas.
Huruf c
Cukup
jelas.
Huruf d
Cukup
jelas.
Huruf e
Cukup
jelas.
Huruf f
Cukup
jelas.
Huruf g
Cukup
jelas.
Ayat (3)
Cukup
jelas.
Ayat (4)
Cukup
jelas.
Pasal 55
Cukup
jelas.
Pasal 56
Ayat (1)
Yang
dimaksud dengan “dilakukan secara demokratis” adalah dapat diproses melalui
proses pemilihan secara langsung dan melalui proses musyawarah perwakilan.
Ayat (2)
Masa
keanggotaan Badan Permusyawaratan Desa terhitung sejak tanggal pengucapan
sumpah/janji.
Ayat (3)
Cukup
jelas.
Pasal 57
Cukup
jelas.
Pasal 58
Cukup
jelas.
Pasal 59
Cukup
jelas.
Pasal 60
Cukup
jelas.
Pasal 61
Huruf a
Yang
dimaksud dengan “meminta keterangan” adalah permintaan yang bersifat informasi
tentang penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan
kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat Desa, bukan dalam rangka laporan
pertanggungjawaban Kepala Desa.
Huruf b
Cukup
jelas.
Huruf c
Cukup
jelas.
Pasal 62
Cukup
jelas.
Pasal 63
Cukup
jelas.
Pasal 64
Cukup
jelas.
Pasal 65
Cukup
jelas.
Pasal 66
Ayat (1)
Cukup
jelas.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Ayat (3)
Cukup
jelas.
Ayat (4)
Jaminan kesehatan
yang diberikan kepada Kepala Desa dan perangkat Desa diintegrasikan dengan
jaminan pelayanan yang dilakukan oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Sebelum
program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial menjangkau ke tingkat Desa, jaminan
kesehatan dapat dilakukan melalui kerja sama Kabupaten/Kota dengan Badan Usaha
Milik Negara atau dengan memberikan kartu jaminan kesehatan sesuai dengan
kemampuan keuangan daerah masing-masing yang diatur dengan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota.
Ayat (5)
Cukup
jelas.
Pasal 67
Cukup
jelas.
Pasal 68
Cukup
jelas.
Pasal 69
Cukup
jelas.
Pasal 70
Cukup
jelas.
Pasal 71
Cukup
jelas.
Pasal 72
Ayat (1)
Huruf a
Yang
dimaksud dengan “pendapatan asli Desa” adalah pendapatan yang berasal dari
kewenangan Desa berdasarkan hak asal usul dan kewenangan skala lokal Desa.
Yang
dimaksud dengan “hasil usaha” termasuk juga hasil BUM Desa dan tanah bengkok.
Huruf b
Yang dimaksud
dengan “Anggaran bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
tersebut” adalah anggaran yang diperuntukkan bagi Desa dan Desa Adat yang
ditransfer melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota yang
digunakan untuk membiayai penyelenggaran pemerintahan, pembangunan, serta
pemberdayaan masyarakat, dan kemasyarakatan.
Huruf c
Cukup
jelas.
Huruf d
Cukup
jelas.
Huruf e
Cukup
jelas.
Huruf f
Cukup
jelas.
Huruf g
Yang
dimaksud dengan “lain-lain pendapatan Desa yang sah” adalah antara lain
pendapatan sebagai hasil kerja sama dengan pihak ketiga dan bantuan perusahaan
yang berlokasi di Desa.
Ayat (2)
Besaran
alokasi anggaran yang peruntukannya langsung ke Desa ditentukan 10% (sepuluh
perseratus) dari dan di luar dana Transfer Daerah (on top) secara
bertahap.
Anggaran
yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dihitung berdasarkan
jumlah Desa dan dialokasikan dengan memperhatikan jumlah penduduk, angka
kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat kesulitan geografis dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan dan pemerataan pembangunan Desa.
Ayat (3)
Cukup
jelas.
Ayat (4)
Cukup
jelas.
Ayat (5)
Cukup
jelas.
Ayat (6)
Cukup
jelas.
Pasal 73
Cukup
jelas.
Pasal 74
Ayat (1)
Dalam
penetapan belanja Desa dapat dialokasikan insentif kepada rukun tetangga (RT)
dan rukun warga (RW) dengan pertimbangan bahwa RT dan RW walaupun sebagai
lembaga kemasyarakatan, RT dan RW membantu pelaksanaan tugas pelayanan pemerintahan,
perencanaan pembangunan, ketertiban, dan pemberdayaan masyarakat Desa.
Ayat (2)
Yang
dimaksud dengan “tidak terbatas” adalah kebutuhan pembangunan di luar pelayanan
dasar yang dibutuhkan masyarakat Desa.
Yang
dimaksud dengan “kebutuhan primer” adalah kebutuhan pangan, sandang, dan papan.
Yang
dimaksud dengan “pelayanan dasar” adalah antara lain pendidikan, kesehatan, dan
infrastruktur dasar.
Pasal 75
Cukup
jelas.
Pasal 76
Ayat (1)
Cukup
jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup
jelas.
Huruf b
Yang
dimaksud dengan “sumbangan” adalah termasuk tanah wakaf sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Huruf c
Cukup
jelas.
Huruf d
Cukup
jelas.
Huruf e
Cukup
jelas.
Ayat (3)
Cukup
jelas.
Ayat (4)
Cukup
jelas.
Ayat (5)
Cukup
jelas.
Ayat (6)
Cukup
jelas.
Pasal 77
Cukup
jelas.
Pasal 78
Cukup
jelas.
Pasal 79
Cukup
jelas.
Pasal 80
Cukup
jelas.
Pasal 81
Cukup
jelas.
Pasal 82
Cukup
jelas.
Pasal 83
Cukup
jelas.
Pasal 84
Cukup
jelas.
Pasal 85
Cukup
jelas.
Pasal 86
Cukup
jelas.
Pasal 87
Ayat (1)
BUM Desa
dibentuk oleh Pemerintah Desa untuk mendayagunakan segala potensi ekonomi,
kelembagaan perekonomian, serta potensi sumber daya alam dan sumber daya
manusia dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa.
BUM Desa
secara spesifik tidak dapat disamakan dengan badan hukum seperti perseroan
terbatas, CV, atau koperasi. Oleh karena itu, BUM Desa merupakan suatu badan
usaha bercirikan Desa yang dalam pelaksanaan kegiatannya di samping untuk
membantu penyelenggaraan Pemerintahan Desa, juga untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat Desa. BUM Desa juga dapat melaksanakan fungsi pelayanan jasa,
perdagangan, dan pengembangan ekonomi lainnya.
Dalam
meningkatkan sumber pendapatan Desa, BUM Desa dapat menghimpun tabungan dalam
skala lokal masyarakat Desa, antara lain melalui pengelolaan dana bergulir dan
simpan pinjam.
BUM Desa
dalam kegiatannya tidak hanya berorientasi pada keuntungan keuangan, tetapi
juga berorientasi untuk mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat Desa.
BUM Desa diharapkan dapat mengembangkan unit usaha dalam mendayagunakan potensi
ekonomi. Dalam hal kegiatan usaha dapat berjalan dan berkembang dengan baik,
sangat dimungkinkan pada saatnya BUM Desa mengikuti badan hukum yang telah
ditetapkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Ayat (3)
Cukup
jelas.
Pasal 88
Cukup
jelas.
Pasal 89
Cukup
jelas.
Pasal 90
Huruf a
Cukup
jelas.
Huruf b
Yang
dimaksud dengan “pendampingan” adalah termasuk penyediaan sumber daya manusia
pendamping dan manajemen.
Huruf c
Cukup
jelas.
Pasal 91
Cukup
jelas.
Pasal 92
Cukup
jelas.
Pasal 93
Cukup
jelas.
Pasal 94
Cukup
jelas.
Pasal 95
Cukup
jelas.
Pasal 96
Penetapan
kesatuan masyarakat hukum adat dan Desa Adat yang sudah ada saat ini menjadi
Desa Adat hanya dilakukan untuk 1 (satu) kali.
Pasal 97
Ketentuan
ini sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi, yaitu:
a. Putusan
Nomor 010/PUU-l/2003 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2003
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999 tentang Pembentukan
Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten
Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi, dan Kota
Batam;
b. Putusan
Nomor 31/PUU-V/2007 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2007 tentang
Pembentukan Kota Tual Di Provinsi Maluku;
c. Putusan
Nomor 6/PUU-Vl/2008 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1999 tentang
Pembentukan Kabupaten Buol, Kabupaten Morowali, dan Kabupaten Banggai
Kepulauan; dan
d. Putusan
Nomor 35/PUU–X/2012 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan.
Pasal 98
Ayat (1)
Yang
dimaksud dengan “penetapan Desa Adat” adalah penetapan untuk pertama kalinya.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Pasal 99
Cukup
jelas.
Pasal 100
Ayat (1)
Perubahan
status Desa Adat menjadi kelurahan harus melalui Desa, sebaliknya perubahan
status kelurahan menjadi Desa Adat harus melalui Desa.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Pasal 101
Cukup
jelas.
Pasal 102
Cukup
jelas.
Pasal 103
Huruf a
Yang
dimaksud dengan “susunan asli” adalah sistem organisasi kehidupan Desa Adat
yang dikenal di wilayah masing-masing.
Huruf b
Yang
dimaksud dengan “ulayat atau wilayah adat” adalah wilayah kehidupan suatu
kesatuan masyarakat hukum adat.
Huruf c
Cukup
jelas.
Huruf d
Cukup
jelas.
Huruf e
Cukup
jelas.
Huruf f
Cukup
jelas.
Huruf g
Cukup
jelas.
Pasal 104
Yang
dimaksud dengan “keberagaman” adalah penyelenggaraan Pemerintahan Desa Adat
yang tidak boleh mendiskriminasi kelompok masyarakat tertentu.
Pasal 105
Cukup
jelas.
Pasal 106
Cukup
jelas.
Pasal 107
Cukup
jelas.
Pasal 108
Cukup
jelas.
Pasal 109
Cukup
jelas.
Pasal 110
Cukup
jelas.
Pasal 111
Cukup
jelas.
Pasal 112
Ayat (1)
Pemerintah
dalam hal ini adalah Menteri Dalam Negeri yang melakukan pembinaan umum
penyelenggaraan Pemerintahan Desa.
Pemerintah
Daerah Provinsi dalam hal ini adalah Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Ayat (3)
Pemerintah
dalam hal ini adalah Menteri Dalam Negeri yang melakukan pemberdayaan
masyarakat.
Pemerintah
Daerah Provinsi dalam hal ini adalah Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
Ayat (4)
Yang
dimaksud dengan “pendampingan” adalah termasuk penyediaan sumber daya manusia
pendamping dan manajemen.
Pasal 113
Cukup
jelas.
Pasal 114
Cukup
jelas.
Pasal 115
Huruf a
Cukup
jelas.
Huruf b
Cukup
jelas.
Huruf c
Cukup
jelas.
Huruf d
Cukup
jelas.
Huruf e
Yang
dimaksud dengan “pengawasan” adalah termasuk di dalamnya pembatalan Peraturan
Desa.
Huruf
f
Cukup
jelas.
Huruf
g
Cukup
jelas.
Huruf
h
Cukup
jelas.
Huruf
i
Cukup
jelas.
Huruf
j
Cukup
jelas.
Huruf
k
Cukup
jelas.
Huruf
l
Cukup
jelas.
Huruf
m
Cukup
jelas
Huruf
n
Cukup
jelas.
Pasal
116
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, sebelum Undang-Undang ini,
yang diakui adalah Desa. Oleh sebab itu, dengan berlakunya Undang-Undang ini
diberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota untuk menata
kembali status Desa menjadi Desa atau Desa Adat dengan ketentuan tidak boleh
menambah jumlah Desa.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Pasal
117
Cukup
jelas.
Pasal
118
Cukup
jelas.
Pasal
119
Cukup
jelas.
Pasal
120
Cukup
jelas.
Pasal
121
Cukup
jelas.
Pasal
122
Cukup
jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5495
Tidak ada komentar:
Posting Komentar