UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
1 TAHUN 2015
TENTANG
PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH
PENGGANTI UNDANG-UNDANG
NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN
GUBERNUR, BUPATI, DAN
WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a.
bahwa untuk menjamin pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota dilaksanakan secara demokratis sebagaimana diamanatkan
dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 maka kedaulatan rakyat serta demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat wajib dihormati sebagai syarat utama pelaksanaan pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota;
b.
bahwa kedaulatan rakyat dan demokrasi
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu ditegaskan dengan pelaksanaan
pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota secara langsung oleh rakyat, dengan
tetap melakukan beberapa perbaikan mendasar atas berbagai permasalahan
pemilihan langsung yang selama ini telah dijalankan;
c.
bahwa Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang mengatur mekanisme
pemilihan kepala daerah secara tidak langsung melalui Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah telah mendapatkan penolakan yang luas oleh rakyat dan proses pengambilan
keputusannya telah menimbulkan persoalan serta kegentingan yang memaksa sesuai
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009;
d.
bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk
Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang;
Mengingat:
1.
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 22 ayat
(2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587);
Dengan
Persetujuan Bersama
DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
DAN
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG PENETAPAN PERATURAN
PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN
GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG.
Pasal
1
Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5588) ditetapkan
menjadi Undang-Undang dan melampirkannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan
dari Undang-Undang ini.
Pasal
2
Undang-Undang ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada
tanggal 2 Februari 2015
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
JOKO WIDODO
Diundangkan di
Jakarta
pada tanggal 2 Februari 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
YASONNA H.
LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 2015 NOMOR 23
PENJELASAN ATAS
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
1 TAHUN 2015
TENTANG
PENETAPAN
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG
NOMOR
1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN
WALIKOTA
MENJADI UNDANG-UNDANG
I.
UMUM
Untuk
menjamin Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dilaksanakan secara
demokratis sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maka kedaulatan rakyat serta demokrasi
dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat wajib dihormati sebagai syarat utama
pelaksanaan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
Kedaulatan
rakyat dan demokrasi tersebut perlu ditegaskan dengan pelaksanaan Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota secara langsung oleh rakyat, dengan melakukan
beberapa perbaikan mendasar atas berbagai permasalahan pemilihan langsung yang
selama ini telah dilaksanakan.
Namun,
pembentukan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota yang mengatur mekanisme pemilihan kepala daerah secara
tidak langsung melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah telah mendapatkan
penolakan yang luas oleh rakyat dan proses pengambilan keputusannya tidak mencerminkan
prinsip demokrasi.
Selain
berdasarkan alasan tersebut di atas, terdapat pertimbangan mengenai kegentingan
yang memaksa sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009
yang di dalamnya
memuat
tentang persyaratan perlunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
apabila:
1.
adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak
untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
2.
Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut
belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau ada Undang-Undang tetapi tidak
memadai;
3.
kekosongan hukum tersebut tidak dapat
diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan
memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu
kepastian untuk diselesaikan.
Atas
dasar tersebut, maka Presiden telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota. Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014
tersebut diatur mengenai KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota sebagai lembaga
penyelenggara Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. KPU Provinsi dan KPU
Kabupaten/Kota dalam menjalankan tugasnya melakukan seluruh tahapan Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota. Agar tercipta kualitas Gubernur, Bupati, dan
Walikota yang memiliki kompetensi, integritas, dan kapabilitas serta memenuhi
unsur akseptabilitas maka selain memenuhi persyaratan formal administratif juga
dilakukan Uji Publik oleh akademisi, tokoh masyarakat, dan Komisioner KPU
Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota. Guna menjamin transparansi dan efisiensi
penyelenggaraan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota maka lembaga penegak
hukum wajib mengawasi pelaksanaan seluruh tahapan Pemilihan Gubernur, Bupati,
dan Walikota.
Pendanaan
penyelenggaraan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota bersumber dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan dapat didukung Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah. Adapun pelaksanaan Kampanye difasilitasi oleh KPU Provinsi
dan KPU Kabupaten/Kota dengan menggunakan paradigma efisiensi, efektifitas, dan
proporsionalitas. Dalam rangka menegakkan supremasi hukum dalam konteks
kesatuan hukum nasional, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2014 tersebut mengatur penyelesaian baik penyelesaian untuk perselisihan
hasil Pemilihan Gubernur maupun perselisihan hasil Pemilihan Bupati dan
Walikota di tingkat Pengadilan Tinggi dan dapat mengajukan permohonan keberatan
ke Mahkamah Agung yang putusannya bersifat final dan mengikat serta tidak dapat
dilakukan upaya hukum lain.
Berdasarkan
ketentuan Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus mendapat
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, maka Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota perlu ditetapkan menjadi Undang-Undang.
II.
PASAL DEMI PASAL
Pasal
1
Cukup
jelas.
Pasal
2
Cukup
jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 5656
LAMPIRAN
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
1 TAHUN 2015
TENTANG
PENETAPAN
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI
UNDANG-UNDANG
NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG
PEMILIHAN
GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA
MENJADI
UNDANG-UNDANG
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
1 TAHUN 2014
TENTANG
PEMILIHAN
GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a.
bahwa untuk menjamin pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota dilaksanakan secara demokratis
sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maka kedaulatan rakyat serta demokrasi
dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat wajib dihormati sebagai syarat utama
pelaksanaan pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota;
b.
bahwa kedaulatan rakyat dan demokrasi
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu ditegaskan dengan pelaksanaan
pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota secara langsung oleh rakyat,
dengan tetap melakukan beberapa perbaikan mendasar atas berbagai permasalahan
pemilihan langsung yang selama ini telah dijalankan;
c.
bahwa Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang mengatur mekanisme
pemilihan kepala daerah secara tidak langsung melalui Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah telah mendapatkan penolakan yang luas oleh rakyat dan proses pengambilan
keputusannya telah menimbulkan persoalan serta kegentingan yang memaksa sesuai
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009;
d.
bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota;
Mengingat:
1.
Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI
UNDANG-UNDANG TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1.
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota yang selanjutnya disebut Pemilihan adalah pelaksanaan
kedaulatan rakyat di Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk memilih Gubernur,
Bupati, dan Walikota secara langsung dan demokratis.
2.
Uji Publik adalah
pengujian kompetensi dan integritas yang dilaksanakan secara terbuka oleh
panitia yang bersifat mandiri yang dibentuk oleh Komisi Pemilihan Umum Provinsi
atau Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota, yang hasilnya tidak menggugurkan
pencalonan.
3.
Calon Gubernur adalah
peserta pemilihan yang diusulkan oleh partai politik, gabungan partai politik,
atau perseorangan yang mendaftar atau didaftarkan di Komisi Pemilihan Umum
Provinsi.
4.
Calon Bupati dan Calon Walikota
adalah peserta pemilihan yang diusulkan oleh partai politik, gabungan partai
politik, atau perseorangan yang mendaftar atau didaftarkan di Komisi Pemilihan
Umum Kabupaten/Kota.
5.
Partai Politik adalah
organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara
Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan
dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta
memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
6.
Pemilih adalah
penduduk yang berusia paling rendah 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah
kawin yang terdaftar dalam Pemilihan.
7.
Komisi Pemilihan Umum
yang selanjutnya disingkat KPU adalah lembaga penyelenggara pemilihan umum yang
bersifat nasional, tetap, dan mandiri yang bertugas melaksanakan pemilihan
umum.
8.
Komisi Pemilihan Umum Provinsi
yang selanjutnya disingkat KPU Provinsi adalah penyelenggara Pemilihan
Gubernur.
9.
Komisi Pemilihan Umum
Kabupaten/Kota yang selanjutnya disingkat KPU Kabupaten/Kota adalah
penyelenggara Pemilihan Bupati/Walikota.
10.
Badan Pengawas Pemilihan Umum
yang selanjutnya disebut Bawaslu adalah lembaga penyelenggara pemilihan umum
yang bertugas mengawasi penyelenggaraan pemilihan umum di seluruh wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
11.
Dewan Kehormatan Penyelenggara
Pemilihan Umum yang selanjutnya disingkat DKPP adalah lembaga yang
bertugas menangani pelanggaran kode etik penyelenggara pemilihan umum dan
merupakan satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilihan umum.
12.
Panitia Pemilihan Kecamatan
yang selanjutnya disingkat PPK adalah panitia yang dibentuk oleh KPU
Kabupaten/Kota untuk menyelenggarakan Pemilihan di tingkat Kecamatan atau nama
lain.
13.
Panitia Pemungutan Suara
yang selanjutnya disingkat PPS adalah panitia yang dibentuk oleh KPU
Kabupaten/Kota untuk menyelenggarakan Pemilihan di tingkat Desa atau sebutan
lain/Kelurahan.
14.
Kelompok Penyelenggara
Pemungutan Suara yang selanjutnya disingkat KPPS adalah kelompok
yang dibentuk oleh PPS untuk menyelenggarakan pemungutan suara di tempat
pemungutan suara.
15.
Tempat Pemungutan Suara
yang selanjutnya disingkat TPS adalah tempat dilaksanakannya pemungutan suara
untuk Pemilihan.
16.
Badan Pengawas Pemilu Provinsi
yang selanjutnya disingkat Bawaslu Provinsi adalah Badan Pengawas Pemilihan
Gubernur yang bertugas untuk mengawasi penyelenggaraan Pemilihan Gubernur di
wilayah Provinsi.
17.
Panitia Pengawas Pemilihan
Kabupaten/Kota yang selanjutnya disebut Panwas Kabupaten/Kota adalah
panitia yang dibentuk oleh Bawaslu Provinsi yang bertugas untuk mengawasi
penyelenggaraan Pemilihan di wilayah Kabupaten/Kota.
18.
Panitia Pengawas Pemilihan
Kecamatan yang selanjutnya disebut Panwas Kecamatan adalah panitia
yang dibentuk oleh Panwas Kabupaten/Kota yang bertugas untuk mengawasi
penyelenggaraan Pemilihan di wilayah Kecamatan.
19.
Pengawas Pemilihan Lapangan
yang selanjutnya disingkat PPL adalah petugas yang dibentuk oleh Panwas
Kecamatan untuk mengawasi penyelenggaraan Pemilihan di Desa atau sebutan
lain/Kelurahan.
20.
Pengawas Tempat Pemungutan Suara
yang selanjutnya disebut Pengawas TPS adalah petugas yang dibentuk oleh Panwas
Kecamatan untuk membantu PPL.
21.
Kampanye Pemilihan
yang selanjutnya disebut Kampanye adalah kegiatan untuk meyakinkan Pemilih
dengan menawarkan visi, misi, dan program Calon Gubernur, Calon Bupati, dan
Calon Walikota.
22.
Pemerintahan Daerah
adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan
perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan
prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
23.
Pemerintah Daerah
adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang
memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
24.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi
yang selanjutnya disingkat DPRD Provinsi atau sebutan lainnya adalah lembaga
perwakilan rakyat daerah di Provinsi dan berkedudukan sebagai unsur
penyelenggara Pemerintahan Daerah.
25.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota yang selanjutnya disingkat DPRD Kabupaten/Kota atau
sebutan lainnya adalah lembaga perwakilan rakyat daerah di Kabupaten/Kota
sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
26.
Pemerintah Pusat yang
selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
27.
Menteri adalah
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri.
28.
Hari adalah hari kerja.
BAB
II
ASAS DAN
PRINSIP PELAKSANAAN
Bagian Kesatu
Asas
Pasal 2
Pemilihan
dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur, dan adil.
Bagian
Kedua
Prinsip
Pelaksanaan
Pasal 3
(1)
Pemilihan dilaksanakan setiap 5 (lima)
tahun sekali secara serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
(2)
Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon
Walikota yang dapat mengikuti Pemilihan harus mengikuti proses Uji Publik.
Pasal
4
(1)
DPRD Provinsi memberitahukan secara
tertulis kepada Gubernur dan KPU Provinsi mengenai berakhirnya masa jabatan
Gubernur dalam waktu paling lambat 6 (enam) bulan sebelum masa jabatan Gubernur
berakhir.
(2)
DPRD Kabupaten/Kota memberitahukan secara
tertulis kepada Bupati/Walikota dan KPU Kabupaten/Kota mengenai berakhirnya
masa jabatan Bupati/Walikota dalam waktu paling lambat 6 (enam) bulan sebelum
masa jabatan Bupati/Walikota berakhir.
Pasal
5
(1)
Pemilihan diselenggarakan melalui 2 (dua)
tahapan yaitu tahapan persiapan dan tahapan penyelenggaraan.
(2)
Tahapan persiapan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi:
a.
perencanaan program dan anggaran;
b.
penyusunan peraturan penyelenggaraan
Pemilihan;
c.
perencanaan penyelenggaraan yang meliputi
penetapan tata cara dan jadwal tahapan pelaksanaan Pemilihan;
d.
pembentukan PPK, PPS, dan KPPS;
e.
pembentukan Panwas Kabupaten/Kota, Panwas
Kecamatan, PPL, dan Pengawas TPS;
f.
pemberitahuan dan pendaftaran pemantau
Pemilihan; dan
g.
penyerahan daftar penduduk potensial
Pemilih.
(3)
Tahapan penyelenggaraan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.
pendaftaran bakal Calon Gubernur, Calon
Bupati, dan Calon Walikota;
b.
Uji Publik;
c.
pengumuman pendaftaran Calon Gubernur,
Calon Bupati, dan Calon Walikota;
d.
pendaftaran Calon Gubernur, Calon Bupati,
dan Calon Walikota;
e.
penelitian persyaratan Calon Gubernur,
Calon Bupati, dan Calon Walikota;
f.
penetapan Calon Gubernur, Calon Bupati,
dan Calon Walikota;
g.
pelaksanaan Kampanye;
h.
pelaksanaan pemungutan suara;
i.
penghitungan suara dan rekapitulasi
hasil penghitungan suara;
j.
penetapan calon terpilih;
k.
penyelesaian pelanggaran dan sengketa
hasil Pemilihan; dan
l.
pengusulan pengesahan pengangkatan calon
terpilih.
Pasal
6
(1)
KPU Provinsi menyampaikan laporan
kegiatan setiap tahapan penyelenggaraan Pemilihan Gubernur kepada DPRD Provinsi
dan KPU dengan tembusan kepada Presiden melalui Menteri.
(2)
KPU Kabupaten/Kota menyampaikan laporan
kegiatan setiap tahapan penyelenggaraan Pemilihan Bupati dan Walikota kepada
DPRD Kabupaten/Kota dengan tembusan kepada KPU Provinsi dan Gubernur.
(3)
Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) oleh KPU Provinsi diteruskan kepada KPU dan oleh Gubernur diteruskan kepada
Menteri.
BAB
III
PERSYARATAN
CALON
Pasal 7
Warga
negara Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon
Walikota adalah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b.
setia kepada Pancasila, Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17
Agustus 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
c.
berpendidikan paling rendah sekolah
lanjutan tingkat atas atau sederajat;
d.
telah mengikuti Uji Publik;
e.
berusia paling rendah 30 (tiga puluh)
tahun untuk Calon Gubernur dan 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan
Calon Walikota;
f.
mampu secara jasmani dan rohani
berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari tim dokter;
g.
tidak pernah dijatuhi pidana penjara
berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau
lebih;
h.
tidak sedang dicabut hak pilihnya
berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
i.
tidak pernah melakukan perbuatan
tercela;
j.
menyerahkan daftar kekayaan pribadi;
k.
tidak sedang memiliki tanggungan utang
secara perseorangan dan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya
yang merugikan keuangan negara;
l.
tidak sedang dinyatakan pailit
berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
m.
memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dan memiliki laporan pajak pribadi;
n.
belum pernah menjabat sebagai Gubernur,
Bupati, dan Walikota selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama;
o.
berhenti dari jabatannya bagi Gubernur,
Bupati, dan Walikota yang mencalonkan diri di daerah lain;
p.
tidak berstatus sebagai penjabat
Gubernur, penjabat Bupati dan penjabat Walikota;
q.
tidak memiliki konflik kepentingan dengan
petahana;
r.
memberitahukan pencalonannya sebagai
Gubernur, Bupati, dan Walikota kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat bagi
anggota Dewan Perwakilan Rakyat, kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah bagi
anggota Dewan Perwakilan Daerah, atau kepada Pimpinan DPRD bagi anggota DPRD;
s.
mengundurkan diri sebagai anggota Tentara
Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Pegawai Negeri
Sipil sejak mendaftarkan diri sebagai calon; dan
t.
berhenti dari jabatan pada badan usaha
milik negara atau badan usaha milik daerah.
BAB
IV
PENYELENGGARA
PEMILIHAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 8
(1)
Penyelenggaraan Pemilihan menjadi
tanggung jawab bersama KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota.
(2)
Pemilihan Gubernur dilaksanakan oleh KPU
Provinsi.
(3)
Pemilihan Bupati dan Walikota
dilaksanakan oleh KPU Kabupaten/Kota.
Bagian
Kedua
Tugas,
Wewenang, dan Kewajiban KPU
Pasal 9
Tugas dan
wewenang KPU dalam
penyelenggaraan Pemilihan meliputi:
a.
menyusun dan menetapkan pedoman teknis
untuk setiap tahapan Pemilihan setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan
Rakyat dan Pemerintah;
b.
mengkoordinasi dan memantau tahapan
Pemilihan;
c.
melakukan evaluasi penyelenggaraan
Pemilihan;
d.
menerima laporan hasil Pemilihan dari KPU
Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota;
e.
memfasilitasi pelaksanaan tugas KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dalam
melanjutkan tahapan pelaksanaan Pemilihan jika Provinsi, Kabupaten, dan Kota
tidak dapat melanjutkan tahapan Pemilihan secara berjenjang; dan
f.
melaksanakan tugas dan wewenang
lain yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan.
Pasal
10
KPU
dalam penyelenggaraan Pemilihan wajib:
a.
memperlakukan Calon Gubernur, Calon
Bupati, dan Calon Walikota secara adil dan setara;
b.
menyampaikan semua informasi
penyelenggaraan Pemilihan kepada masyarakat;
c.
melaksanakan Keputusan DKPP; dan
d.
melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian
Ketiga
Tugas,
Wewenang, dan Kewajiban KPU Provinsi
Pasal 11
Tugas dan
wewenang KPU Provinsi
dalam Pemilihan Gubernur meliputi:
a.
merencanakan program dan anggaran;
b.
merencanakan dan menetapkan jadwal
Pemilihan Gubernur;
c.
menyusun dan menetapkan tata kerja KPU
Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS, dan KPPS dalam Pemilihan Gubernur dengan
memperhatikan pedoman dari KPU;
d.
menyusun dan menetapkan pedoman teknis
untuk setiap tahapan penyelenggaraan Pemilihan Gubernur sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
e.
mengkoordinasikan, menyelenggarakan, dan
mengendalikan semua tahapan penyelenggaraan Pemilihan Gubernur sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan dengan memperhatikan pedoman dari KPU;
f.
menerima daftar pemilih dari KPU
Kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan Pemilihan Gubernur;
g.
memutakhirkan data Pemilih berdasarkan
data kependudukan yang disiapkan dan diserahkan oleh Pemerintah dengan
memperhatikan data terakhir:
1.
pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan DPRD;
2.
pemilihan umum Presiden dan Wakil
Presiden; dan
3.
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota,
dan menetapkannya sebagai daftar pemilih;
h.
menetapkan Calon Gubernur yang telah
memenuhi persyaratan;
i.
menetapkan dan mengumumkan hasil
rekapitulasi penghitungan suara Pemilihan Gubernur berdasarkan hasil
rekapitulasi penghitungan suara di KPU Kabupaten/Kota dalam wilayah Provinsi
yang bersangkutan;
j.
membuat berita acara penghitungan suara
dan sertifikat hasil penghitungan suara serta wajib menyerahkannya kepada saksi
peserta Pemilihan dan Bawaslu Provinsi;
k.
menerbitkan Keputusan KPU Provinsi untuk
mengesahkan hasil Pemilihan Gubernur dan mengumumkannya;
l.
mengumumkan Calon Gubernur terpilih dan
membuat berita acaranya;
m.
melaporkan hasil Pemilihan Gubernur kepada KPU dan Menteri;
n.
menindaklanjuti dengan segera rekomendasi
Bawaslu Provinsi atas temuan dan laporan adanya dugaan pelanggaran Pemilihan;
o.
mengenakan sanksi administratif dan/atau
menonaktifkan sementara anggota KPU Kabupaten/Kota, sekretaris KPU Provinsi,
dan pegawai sekretariat KPU Provinsi yang terbukti melakukan tindakan yang
mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan Pemilihan berdasarkan
rekomendasi Bawaslu Provinsi dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan;
p.
melaksanakan sosialisasi penyelenggaraan
Pemilihan Gubernur dan/atau yang berkaitan dengan tugas dan wewenang KPU
Provinsi kepada masyarakat;
q.
melaksanakan pedoman yang ditetapkan oleh
KPU;
r.
memberikan pedoman terhadap penetapan
organisasi dan tata cara penyelenggaraan Pemilihan Gubernur sesuai dengan
tahapan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan;
s.
melakukan evaluasi dan membuat laporan
penyelenggaraan Pemilihan Gubernur;
t.
menyampaikan laporan mengenai hasil
Pemilihan Gubernur kepada DPRD Provinsi; dan
u.
melaksanakan tugas dan wewenang lain yang
diberikan oleh KPU dan/atau ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal
12
Dalam
pelaksanaakan Pemilihan Gubernur, KPU
Provinsi wajib:
a.
melaksanakan semua tahapan
penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dengan tepat waktu;
b.
memperlakukan peserta Pemilihan Calon
Gubernur secara adil dan setara;
c.
menyampaikan semua informasi
penyelenggaraan Pemilihan Gubernur kepada masyarakat;
d.
melaporkan pertanggungjawaban penggunaan
anggaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
e.
menyampaikan laporan pertanggungjawaban
semua kegiatan penyelenggaraan Pemilihan Gubernur kepada KPU dan Menteri;
f.
mengelola, memelihara, dan merawat
arsip/dokumen serta melaksanakan penyusutannya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
g.
menyampaikan laporan periodik mengenai
tahapan penyelenggaraan Pemilihan Gubernur kepada KPU dan Menteri dengan
tembusan kepada Bawaslu;
h.
membuat berita acara pada setiap rapat
pleno KPU Provinsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
i.
menyediakan dan menyampaikan data hasil
Pemilihan Gubernur di tingkat Provinsi;
j.
melaksanakan Keputusan DKPP; dan
k.
melaksanakan kewajiban lain yang
diberikan KPU dan/atau ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal
13
Tugas dan
wewenang KPU Kabupaten/Kota dalam Pemilihan Bupati dan Walikota meliputi:
a.
merencanakan program dan anggaran;
b.
merencanakan dan menetapkan jadwal
Pemilihan Bupati dan Walikota;
c.
menyusun dan menetapkan tata kerja KPU
Kabupaten/Kota, PPK, PPS, dan KPPS dalam Pemilihan Bupati dan Walikota dengan
memperhatikan pedoman dari KPU dan/atau KPU Provinsi;
d.
menyusun dan menetapkan pedoman teknis
untuk setiap tahapan penyelenggaraan Pemilihan Bupati dan Walikota sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
e.
membentuk PPK, PPS, dan KPPS dalam
Pemilihan Gubernur serta Pemilihan Bupati dan Walikota dalam wilayah kerjanya;
f.
mengoordinasikan, menyelenggarakan, dan
mengendalikan semua tahapan penyelenggaraan Pemilihan Bupati dan Walikota
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dengan memperhatikan
pedoman dari KPU dan/atau KPU Provinsi;
g.
menerima daftar pemilih dari PPK dalam
penyelenggaraan Pemilihan Bupati dan Walikota;
h.
memutakhirkan data Pemilih berdasarkan
data kependudukan yang disiapkan dan diserahkan oleh Pemerintah dengan
memperhatikan data terakhir:
1.
pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan DPRD;
2.
pemilihan umum Presiden dan Wakil
Presiden; dan
3.
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota,
dan menetapkannya sebagai daftar pemilih;
i.
menerima daftar pemilih dari PPK dalam
penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan menyampaikannya kepada KPU Provinsi;
j.
menetapkan Calon Bupati dan Calon
Walikota yang telah memenuhi persyaratan;
k.
menetapkan dan mengumumkan hasil
rekapitulasi penghitungan suara Pemilihan Bupati dan Walikota berdasarkan
rekapitulasi hasil penghitungan suara dari seluruh PPK di wilayah
Kabupaten/Kota yang bersangkutan;
l.
membuat berita acara penghitungan suara
serta membuat sertifikat penghitungan suara dan wajib menyerahkannya kepada
saksi peserta Pemilihan, Panwaslu Kabupaten/Kota, dan KPU Provinsi;
m.
menerbitkan Keputusan KPU Kabupaten/Kota untuk mengesahkan hasil Pemilihan
Bupati dan Walikota dan mengumumkannya;
n.
mengumumkan Calon Bupati dan Walikota
terpilih dan dibuatkan berita acaranya;
o.
melaporkan hasil Pemilihan Bupati dan
Walikota kepada Menteri melalui Gubernur dan kepada KPU melalui KPU Provinsi;
p.
menindaklanjuti dengan segera rekomendasi
Panwaslu Kabupaten/Kota atas temuan dan laporan adanya dugaan pelanggaran
Pemilihan;
q.
mengenakan sanksi administratif dan/atau
menonaktifkan sementara anggota PPK, anggota PPS, sekretaris KPU
Kabupaten/Kota, dan pegawai sekretariat KPU Kabupaten/Kota yang terbukti
melakukan tindakan yang mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan
pemilihan berdasarkan rekomendasi Panwaslu Kabupaten/Kota dan/atau ketentuan
peraturan perundang-undangan;
r.
melaksanakan sosialisasi penyelenggaraan
Pemilihan dan/atau yang berkaitan dengan tugas KPU Kabupaten/Kota kepada
masyarakat;
s.
melaksanakan tugas dan wewenang yang
berkaitan dengan Pemilihan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan pedoman KPU dan/atau KPU Provinsi;
t.
melakukan evaluasi dan membuat laporan
penyelenggaraan Pemilihan Bupati dan Walikota;
u.
menyampaikan hasil Pemilihan Bupati dan
Walikota kepada KPU Provinsi, Gubernur, dan DPRD kabupaten/Kota; dan
v.
melaksanakan tugas dan wewenang lain yang
diberikan oleh KPU, KPU Provinsi, dan/atau ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal
14
KPU
Kabupaten/Kota dalam Pemilihan Bupati dan Walikota wajib:
a.
melaksanakan semua tahapan
penyelenggaraan Pemilihan Bupati dan Walikota dengan tepat waktu;
b.
memperlakukan peserta Pemilihan Calon
Bupati dan Walikota secara adil dan setara;
c.
menyampaikan semua informasi
penyelenggaraan Pemilihan Bupati dan Walikota kepada masyarakat;
d.
melaporkan pertanggungjawaban penggunaan
anggaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
e.
menyampaikan laporan pertanggungjawaban
semua kegiatan penyelenggaraan Pemilihan Bupati dan Walikota kepada Menteri melalui
Gubernur dan kepada KPU melalui KPU Provinsi;
f.
mengelola, memelihara, dan merawat
arsip/dokumen serta melaksanakan penyusutannya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
g.
mengelola barang inventaris KPU
Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
h.
menyampaikan laporan periodik mengenai
tahapan penyelenggaraan Pemilihan Bupati dan Walikota kepada Menteri melalui
Gubernur, kepada KPU dan KPU Provinsi serta menyampaikan tembusannya kepada
Bawaslu Provinsi;
i.
membuat berita acara pada setiap rapat
pleno KPU Kabupaten/Kota sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
j.
menyampaikan data hasil Pemilihan dari
tiap TPS pada tingkat Kabupaten/Kota kepada peserta Pemilihan paling lama 7
(tujuh) hari setelah rekapitulasi di Kabupaten/Kota;
k.
melaksanakan Keputusan DKPP; dan
l.
melaksanakan kewajiban lain yang
diberikan KPU, KPU Provinsi dan/atau ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Bagian
Keempat
PPK
Pasal 15
(1)
Untuk menyelenggarakan Pemilihan di
tingkat Kecamatan dibentuk PPK.
(2)
PPK berkedudukan di ibu kota Kecamatan.
(3)
PPK dibentuk oleh KPU Kabupaten/Kota
paling lambat 6 (enam) bulan sebelum pemungutan suara dan dibubarkan 2 (dua)
bulan setelah pemungutan suara.
(4)
Hak keuangan anggota PPK dihitung sesuai
dengan waktu pelaksanaan tugasnya.
Pasal
16
(1)
Anggota PPK sebanyak 5 (lima) orang yang
memenuhi syarat berdasarkan Undang-Undang.
(2)
Anggota PPK diangkat dan diberhentikan
oleh KPU Kabupaten/Kota.
(3)
Komposisi keanggotaan PPK memperhatikan
keterwakilan perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh persen).
(4)
Dalam menjalankan tugasnya, PPK dibantu
oleh sekretariat yang dipimpin oleh Sekretaris dari Pegawai Negeri Sipil yang
memenuhi persyaratan.
(5)
PPK melalui KPU Kabupaten/Kota
mengusulkan 3 (tiga) nama calon sekretaris PPK kepada Bupati/Walikota untuk
selanjutnya dipilih dan ditetapkan 1 (satu) nama sebagai Sekretaris PPK dengan
Keputusan Bupati/Walikota.
Pasal
17
Tugas,
wewenang, dan kewajiban PPK meliputi:
a.
membantu KPU Provinsi dan KPU
Kabupaten/Kota dalam melakukan pemutakhiran data pemilih, Daftar Pemilih
Sementara, dan Daftar Pemilih Tetap;
b.
membantu KPU Provinsi dan KPU
Kabupaten/Kota dalam menyelenggarakan Pemilihan;
c.
melaksanakan semua tahapan
penyelenggaraan Pemilihan di tingkat Kecamatan yang telah ditetapkan oleh KPU
Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota;
d.
menerima dan menyampaikan daftar pemilih
kepada KPU Kabupaten/Kota;
e.
mengumpulkan hasil penghitungan suara
dari seluruh PPS di wilayah kerjanya;
f.
melakukan rekapitulasi hasil
penghitungan suara sebagaimana dimaksud pada huruf e dalam rapat yang dihadiri
oleh saksi peserta Pemilihan dan Panwas kecamatan;
g.
mengumumkan hasil rekapitulasi sebagaimana dimaksud pada huruf f;
h.
menyerahkan hasil rekapitulasi suara
sebagaimana dimaksud pada huruf f kepada seluruh peserta Pemilihan;
i.
membuat berita acara penghitungan suara
serta membuat sertifikat penghitungan suara dan wajib menyerahkannya kepada
saksi peserta Pemilihan, Panwas Kecamatan, dan KPU Provinsi dan KPU
Kabupaten/Kota;
j.
menindaklanjuti dengan segera temuan dan
laporan yang disampaikan oleh Panwas Kecamatan;
k.
melakukan evaluasi dan membuat laporan
setiap tahapan penyelenggaraan Pemilihan di wilayah kerjanya;
l.
melakukan verifikasi dan rekapitulasi
dukungan calon perseorangan;
m.
melaksanakan sosialisasi penyelenggaraan Pemilihan dan/atau yang berkaitan
dengan tugas dan wewenang PPK kepada masyarakat;
n.
melaksanakan tugas, wewenang, dan
kewajiban lain yang diberikan oleh KPU Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan; dan
o.
melaksanakan tugas, wewenang, dan
kewajiban lain yang diberikan oleh ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Bagian
Kelima
PPS
Pasal 18
(1)
Untuk menyelenggarakan Pemilihan di Desa
atau sebutan lain/Kelurahan dibentuk PPS.
(2)
PPS berkedudukan di Desa atau sebutan
lain/Kelurahan.
(3)
PPS dibentuk oleh KPU Kabupaten/Kota 6
(enam) bulan sebelum pemungutan suara dan dibubarkan paling lambat 2 (dua)
bulan setelah pemungutan suara.
(4)
Hak keuangan anggota PPS dihitung sesuai
dengan waktu pelaksanaan tugasnya.
Pasal
19
(1)
Anggota PPS berjumlah 3 (tiga) orang yang
diangkat sesuai dengan persyaratan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
mengenai penyelenggara pemilihan umum.
(2)
Anggota PPS diangkat oleh KPU
Kabupaten/Kota atas usul bersama Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah dan Badan
Permusyawaratan Desa atau sebutan lain/Dewan Kelurahan.
Pasal
20
Tugas,
wewenang, dan kewajiban PPS meliputi:
a.
membantu KPU Kabupaten/Kota dan PPK dalam
melakukan pemutakhiran data Pemilih, Daftar Pemilih Sementara, daftar pemilih
hasil perbaikan, dan Daftar Pemilih Tetap;
b.
membentuk KPPS;
c.
melakukan verifikasi dan rekapitulasi
dukungan calon perseorangan;
d.
mengangkat petugas pemutakhiran data
pemilih;
e.
mengumumkan daftar pemilih;
f.
menerima masukan dari masyarakat tentang
Daftar Pemilih Sementara;
g.
melakukan perbaikan dan mengumumkan hasil
perbaikan Daftar Pemilih Sementara;
h.
menetapkan hasil perbaikan Daftar Pemilih
Sementara sebagaimana dimaksud pada huruf g untuk menjadi Daftar Pemilih Tetap;
i.
mengumumkan Daftar Pemilih Tetap
sebagaimana dimaksud pada huruf h dan melaporkan kepada KPU Kabupaten/Kota
melalui PPK;
j.
menyampaikan daftar Pemilih kepada PPK;
k.
melaksanakan semua tahapan
penyelenggaraan Pemilihan di tingkat Desa atau sebutan lain/Kelurahan yang
telah ditetapkan oleh KPU Kabupaten/Kota dan PPK;
l.
mengumpulkan hasil penghitungan suara
dari seluruh TPS di wilayah kerjanya;
m.
melakukan rekapitulasi hasil penghitungan suara sebagaimana dimaksud pada huruf
l dalam rapat yang harus dihadiri oleh saksi peserta Pemilihan dan PPL;
n.
mengumumkan rekapitulasi hasil
penghitungan suara dari seluruh TPS di wilayah kerjanya;
o.
menyerahkan rekapitulasi hasil
penghitungan suara sebgaimana dimaksud pada huruf m kepada seluruh peserta
Pemilihan;
p.
membuat berita acara penghitungan suara
serta membuat sertifikat penghitungan suara dan wajib menyerahkannya kepada
saksi peserta Pemilihan, PPL, dan PPK;
q.
menjaga dan mengamankan keutuhan kotak
suara setelah penghitungan suara dan setelah kotak suara disegel;
r.
meneruskan kotak suara dari setiap TPS
kepada PPK pada hari yang sama setelah terkumpulnya kotak suara dari setiap TPS
dan tidak memiliki kewenangan membuka kotak suara yang sudah disegel oleh KPPS;
s.
menindaklanjuti dengan segera temuan dan
laporan yang disampaikan oleh PPL;
t.
melakukan evaluasi dan membuat laporan
setiap tahapan penyelenggaraan Pemilihan di wilayah kerjanya;
u.
melaksanakan sosialisasi penyelenggaraan
Pemilihan dan/atau yang berkaitan dengan tugas dan wewenang PPS kepada
masyarakat;
v.
membantu PPK dalam menyelenggarakan
Pemilihan, kecuali dalam hal penghitungan suara;
w.
melaksanakan tugas, wewenang, dan
kewajiban lain yang diberikan oleh KPU Kabupaten/Kota, dan PPK sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
x.
melaksanakan tugas, wewenang, dan
kewajiban lain yang diberikan oleh peraturan
perundang-undangan.
Pasal
21
(1)
Anggota KPPS berjumlah 7 (tujuh) orang yang berasal dari anggota masyarakat di
sekitar TPS yang memenuhi syarat sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2)
Anggota KPPS diangkat dan diberhentikan
oleh PPS atas nama Ketua KPU Kabupaten/Kota.
(3)
Pengangkatan dan pemberhentian anggota
KPPS wajib dilaporkan kepada KPU Kabupaten/Kota.
(4)
Susunan keanggotaan KPPS terdiri atas
seorang ketua merangkap anggota dan anggota.
Pasal
22
Tugas,
wewenang, dan kewajiban KPPS meliputi:
a.
mengumumkan dan menempelkan Daftar Pemilih Tetap di TPS;
b.
menyerahkan Daftar Pemilih Tetap kepada saksi peserta Pemilihan yang hadir dan
PPL;
c.
melaksanakan pemungutan dan penghitungan suara di TPS;
d.
mengumumkan hasil penghitungan suara di TPS;
e.
menindaklanjuti dengan segera temuan dan laporan yang disampaikan oleh saksi,
PPL, peserta Pemilihan, dan masyarakat pada hari pemungutan suara;
f.
menjaga dan mengamankan keutuhan kotak suara setelah penghitungan suara dan
setelah kotak suara disegel;
g.
membuat berita acara pemungutan dan penghitungan suara serta membuat sertifikat
penghitungan suara dan wajib menyerahkannya kepada saksi peserta Pemilihan,
PPL, dan PPK melalui PPS;
h.
menyerahkan hasil penghitungan suara kepada PPS dan PPL;
i.
menyerahkan kotak suara tersegel yang berisi surat suara dan sertifikat hasil
penghitungan suara kepada PPK melalui PPS pada hari yang sama;
j.
melaksanakan tugas, wewenang, dan kewajiban lain yang diberikan oleh KPU
Kabupaten/Kota, PPK, dan PPS sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan; dan
k.
melaksanakan tugas, wewenang, dan kewajiban lain yang diberikan
oleh peraturan perundang-undangan.
Bagian
Keenam
Pengawas
Penyelenggaraan Pemilihan
Pasal 23
(1)
Pengawasan terhadap penyelenggaraan
Pemilihan dilaksanakan oleh Bawaslu Provinsi, Panwas Kabupaten/Kota, Panwas
Kecamatan, PPL, dan Pengawas TPS.
(2)
Keanggotaan Bawaslu Provinsi, Panwas
Kabupaten/Kota, Panwas Kecamatan, PPL, dan Pengawas TPS berasal dari kalangan
profesional yang mempunyai kemampuan dalam melakukan pengawasan dan tidak
menjadi anggota Partai Politik.
(3)
Bawaslu Provinsi, Panwas Kabupaten/Kota,
dan Panwas Kecamatan masing-masing beranggotakan 3 (tiga) orang.
(4)
PPL berjumlah 1 (satu) orang setiap Desa
atau sebutan lain/Kelurahan.
(5)
Pengawas TPS berjumlah 1 (satu) orang
setiap TPS.
Pasal
24
(1)
Panwas Kabupaten/Kota dibentuk paling
lambat 1 (satu) bulan sebelum tahapan persiapan penyelenggaraan Pemilihan
dimulai dan dibubarkan paling lambat 2 (dua) bulan setelah seluruh tahapan
penyelenggaraan Pemilihan selesai.
(2)
Panwas Kabupaten/Kota dibentuk dan
ditetapkan oleh Bawaslu Provinsi.
(3)
Penetapan anggota Panwas Kabupaten/Kota
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan setelah melalui seleksi oleh
Bawaslu Provinsi.
Pasal
25
(1)
Panwas Kecamatan dibentuk 1 (satu) bulan
sebelum tahapan pertama penyelenggaraan Pemilihan dimulai dan berakhir paling
lambat 2 (dua) bulan setelah seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilihan selesai.
(2)
Panwas Kecamatan untuk Pemilihan dibentuk
oleh Panwas Kabupaten/Kota dan ditetapkan dengan Keputusan Panwas
Kabupaten/Kota.
Pasal
26
(1)
PPL dibentuk 1 (satu) bulan sebelum
tahapan pertama penyelenggaraan Pemilihan dimulai dan dibubarkan paling lambat
2 (dua) bulan setelah seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilihan selesai.
(2)
Anggota PPL berjumlah 1 (satu) orang
setiap Desa atau sebutan lain/Kelurahan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3)
Anggota PPL sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Panwas Kecamatan.
Pasal
27
(1)
Dalam melaksanakan tugas pengawasan, PPL
dapat dibantu 1 (satu) orang Pengawas TPS di masing-masing TPS berdasarkan
usulan PPL kepada Panwas Kecamatan.
(2)
Pengawas TPS dibentuk 23 (dua puluh tiga)
hari sebelum hari pemungutan suara Pemilihan dan dibubarkan 7 (tujuh) hari
setelah hari pemungutan suara Pemilihan.
Pasal
28
(1)
Tugas dan wewenang Bawaslu Provinsi
adalah:
a.
mengawasi tahapan penyelenggaraan
Pemilihan di wilayah provinsi yang meliputi:
1.
pemutakhiran data pemilih berdasarkan
data kependudukan dan penetapan Daftar Pemilih Sementara dan Daftar Pemilih
Tetap;
2. pencalonan yang berkaitan dengan persyaratan dan
tata cara pencalonan Gubernur;
3. proses penetapan Calon Gubernur;
4. penetapan Calon Gubernur;
5. pelaksanaan Kampanye;
6. pengadaan logistik Pemilihan dan
pendistribusiannya;
7. pelaksanaan penghitungan dan pemungutan suara
dan penghitungan suara hasil Pemilihan;
8. pengawasan seluruh proses penghitungan suara di
wilayah kerjanya;
9. proses rekapitulasi suara dari seluruh
Kabupaten/Kota yang dilakukan oleh KPU Provinsi;
10.
pelaksanaan penghitungan dan pemungutan
suara ulang, Pemilihan lanjutan, dan Pemilihan susulan; dan
11.
proses penetapan hasil Pemilihan
Gubernur;
b.
mengelola, memelihara, dan merawat
arsip/dokumen serta melaksanakan penyusutannya berdasarkan jadwal retensi arsip
yang disusun oleh Bawaslu Provinsi dan lembaga kearsipan Provinsi berdasarkan
pedoman yang ditetapkan oleh Bawaslu dan Arsip Nasional Republik Indonesia;
c.
menerima laporan dugaan pelanggaran
terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan mengenai Pemilihan;
d.
menyampaikan temuan dan laporan kepada
KPU Provinsi untuk ditindaklanjuti;
e.
meneruskan temuan dan laporan yang bukan
menjadi kewenangannya kepada instansi yang berwenang;
f.
menyampaikan laporan kepada Bawaslu
sebagai dasar untuk mengeluarkan rekomendasi Bawaslu yang berkaitan dengan
adanya dugaan tindakan yang mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan
Pemilihan oleh Penyelenggara Pemilihan di tingkat Provinsi;
g.
mengawasi pelaksanaan tindak lanjut
rekomendasi Bawaslu tentang pengenaan sanksi kepada anggota KPU Provinsi,
sekretaris dan pegawai sekretariat KPU Provinsi yang terbukti melakukan
tindakan yang mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan Pemilihan yang
sedang berlangsung;
h.
mengawasi pelaksanaan sosialisasi
penyelenggaraan Pemilihan; dan
i.
melaksanakan tugas dan wewenang lain
yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan.
(2)
Dalam pelaksanaan tugas dan wewenang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bawaslu Provinsi dapat:
a.
memberikan rekomendasi kepada KPU untuk
menonaktifkan sementara dan/atau mengenakan sanksi administratif atas
pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f; dan
b.
memberikan rekomendasi kepada yang
berwenang atas temuan dan laporan terhadap tindakan yang mengandung unsur
tindak pidana Pemilihan.
Pasal
29
Bawaslu
Provinsi wajib:
a.
bersikap tidak diskriminatif dalam
menjalankan tugas dan wewenangnya;
b.
melakukan pembinaan dan pengawasan
terhadap pelaksanaan tugas pengawas pemilihan umum pada tingkatan di bawahnya;
c.
menerima dan menindaklanjuti laporan yang
berkaitan dengan dugaan adanya pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan
perundang-undangan mengenai Pemilihan;
d.
menyampaikan laporan hasil pengawasan
kepada Bawaslu sesuai dengan tahapan Pemilihan secara periodik dan/atau
berdasarkan kebutuhan;
e.
menyampaikan temuan dan laporan kepada
Bawaslu berkaitan dengan adanya dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh KPU
Provinsi yang mengakibatkan terganggunya penyelenggaraan tahapan Pemilihan di
tingkat Provinsi; dan
f.
melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal
30
Tugas
dan wewenang Panwas Kabupaten/Kota adalah:
a.
mengawasi tahapan penyelenggaraan
Pemilihan yang meliputi:
1.
pemutakhiran data pemilih berdasarkan
data kependudukan dan penetapan Daftar Pemilih Sementara dan Daftar Pemilih
Tetap;
2.
pencalonan yang berkaitan dengan
persyaratan dan tata cara pencalonan;
3.
proses dan penetapan calon;
4.
pelaksanaan Kampanye;
5.
perlengkapan Pemilihan dan
pendistribusiannya;
6.
pelaksanaan pemungutan suara dan
penghitungan suara hasil Pemilihan;
7.
mengendalikan pengawasan seluruh proses
penghitungan suara;
8.
penyampaian surat suara dari tingkat TPS
sampai ke PPK;
9.
proses rekapitulasi suara yang dilakukan
oleh KPU Provinsi, Kabupaten, dan Kota dari seluruh Kecamatan; dan
10.
pelaksanaan penghitungan dan pemungutan suara ulang, Pemilihan lanjutan, dan
Pemilihan susulan;
b.
menerima laporan dugaan pelanggaran
terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan mengenai Pemilihan;
c.
menyelesaikan temuan dan laporan sengketa
penyelenggaraan Pemilihan yang tidak mengandung unsur tindak pidana;
d.
menyampaikan temuan dan laporan kepada
KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota untuk ditindaklanjuti;
e.
meneruskan temuan dan laporan yang bukan
menjadi kewenangannya kepada instansi yang berwenang;
f.
menyampaikan laporan kepada Bawaslu
sebagai dasar untuk mengeluarkan rekomendasi Bawaslu yang berkaitan dengan
adanya dugaan tindakan yang mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan
Pemilihan oleh penyelenggara di Provinsi, Kabupaten, dan Kota;
g.
mengawasi pelaksanaan tindak lanjut
rekomendasi Bawaslu tentang pengenaan sanksi kepada anggota KPU Provinsi dan
KPU Kabupaten/Kota, sekretaris dan pegawai sekretariat KPU Provinsi dan KPU
Kabupaten/Kota yang terbukti melakukan tindakan yang mengakibatkan terganggunya
tahapan penyelenggaraan Pemilihan yang sedang berlangsung;
h.
mengawasi pelaksanaan sosialisasi
penyelenggaraan Pemilihan; dan
i.
melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan.
Pasal
31
Dalam
pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Bawaslu Provinsi
berwenang:
a.
memberikan rekomendasi kepada KPU dan KPU
Provinsi untuk menonaktifkan sementara dan/atau mengenakan sanksi administratif
atas pelanggaran sebagaimana dimaksud pada Pasal 28 huruf g dan Pasal 30 huruf
g;
b.
memberikan rekomendasi kepada yang
berwenang atas temuan dan laporan terhadap tindakan yang mengandung unsur
tindak pidana Pemilihan.
Pasal
32
Dalam
Pemilihan Bupati dan Walikota, Panwas Kabupaten/Kota wajib:
a.
bersikap tidak diskriminatif dalam
menjalankan tugas dan wewenangnya;
b.
melakukan pembinaan dan pengawasan
terhadap pelaksanaan tugas Panwas pada tingkatan di bawahnya;
c.
menerima dan menindaklanjuti laporan yang
berkaitan dengan dugaan adanya pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan
perundang-undangan mengenai Pemilihan;
d.
menyampaikan laporan hasil pengawasan
kepada Bawaslu sesuai dengan tahapan Pemilihan secara periodik dan/atau
berdasarkan kebutuhan;
e.
menyampaikan temuan dan laporan kepada
Bawaslu berkaitan dengan adanya dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh KPU
Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota yang mengakibatkan terganggunya
penyelenggaraan tahapan Pemilihan; dan
f.
melaksanakan kewajiban lain yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan.
Pasal
33
Tugas
dan wewenang Panwas Kecamatan dalam Pemilihan meliputi:
a.
mengawasi tahapan penyelenggaraan
Pemilihan di wilayah Kecamatan yang meliputi:
1.
pemutakhiran data Pemilih berdasarkan data kependudukan dan penetapan Daftar
Pemilih Sementara dan Daftar Pemilih Tetap;
2.
pelaksanaan Kampanye;
3.
perlengkapan Pemilihan dan
pendistribusiannya;
4.
pelaksanaan pemungutan dan penghitungan
suara hasil Pemilihan;
5.
penyampaian surat suara dari TPS sampai
ke PPK;
6.
proses rekapitulasi suara yang dilakukan
oleh PPK dari seluruh TPS; dan;
7.
pelaksanaan penghitungan dan pemungutan
suara ulang, Pemilihan lanjutan, dan Pemilihan susulan;
b.
mengawasi penyerahan kotak suara
tersegel kepada KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota;
c.
menerima laporan dugaan pelanggaran
terhadap tahapan penyelenggaraan Pemilihan yang dilakukan oleh penyelenggara
Pemilihan sebagaimana dimaksud pada huruf a;
d.
menyampaikan temuan dan laporan kepada
PPK untuk ditindaklanjuti;
e.
meneruskan temuan dan laporan yang bukan
menjadi kewenangannya kepada instansi yang berwenang;
f.
mengawasi pelaksanaan sosialisasi
penyelenggaraan Pemilihan;
g.
memberikan rekomendasi kepada yang
berwenang atas temuan dan laporan mengenai tindakan yang mengandung unsur
tindak pidana Pemilihan; dan
h.
melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan.
Pasal
34
Dalam
Pemilihan, Panwas Kecamatan wajib:
a.
bersikap tidak diskriminatif dalam
menjalankan tugas dan wewenangnya;
b.
menyampaikan laporan kepada Panwas
Kabupaten/Kota berkaitan dengan adanya dugaan tindakan yang mengakibatkan
terganggunya tahapan penyelenggaraan Pemilihan di tingkat Kecamatan;
c.
menyampaikan laporan pengawasan atas
tahapan penyelenggaraan Pemilihan di wilayah kerjanya kepada Panwas
Kabupaten/Kota;
d.
menyampaikan temuan dan laporan kepada
Panwas Kabupaten/Kota berkaitan dengan adanya dugaan pelanggaran yang dilakukan
oleh PPK yang mengakibatkan terganggunya penyelenggaraan tahapan Pemilihan di
tingkat Kecamatan; dan
e.
melaksanakan kewajiban lain yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan.
Pasal
35
Tugas
dan wewenang PPL meliputi:
a.
mengawasi tahapan penyelenggaraan
Pemilihan di tingkat Desa atau sebutan lain/Kelurahan yang meliputi:
1.
pelaksanaan pemutakhiran data Pemilih
berdasarkan data kependudukan dan penetapan Daftar Pemilih Sementara, daftar
Pemilih hasil perbaikan, dan Daftar Pemilih Tetap;
2.
pelaksanaan Kampanye;
3.
perlengkapan Pemilihan dan
pendistribusiannya;
4.
pelaksanaan pemungutan suara dan proses
penghitungan suara di setiap TPS;
5.
pengumuman hasil penghitungan suara di
setiap TPS;
6.
pengumuman hasil penghitungan suara dari
TPS yang ditempelkan di sekretariat PPS;
7.
penyampaian surat suara dari TPS sampai ke
PPK; dan
8.
pelaksanaan penghitungan dan pemungutan
suara ulang, Pemilihan lanjutan, dan Pemilihan susulan.
b.
menerima laporan dugaan pelanggaran
terhadap tahapan penyelenggaraan Pemilihan yang dilakukan oleh penyelenggara
Pemilihan sebagaimana dimaksud pada huruf a;
c.
meneruskan temuan dan laporan dugaan
pelanggaran terhadap tahapan penyelenggaraan Pemilihan sebagaimana dimaksud
pada huruf b kepada instansi yang berwenang;
d.
menyampaikan temuan dan laporan kepada
PPS dan KPPS untuk ditindaklanjuti;
e.
memberikan rekomendasi kepada yang
berwenang atas temuan dan laporan tentang adanya tindakan yang mengandung unsur
tindak pidana Pemilihan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
f.
mengawasi pelaksanaan sosialisasi
penyelenggaraan Pemilihan; dan
g.
melaksanakan tugas dan wewenang lain
yang diberikan oleh Panwas Kecamatan.
Pasal
36
Dalam
Pemilihan, PPL wajib:
a.
bersikap tidak diskriminatif dalam
menjalankan tugas dan wewenangnya;
b.
menyampaikan laporan kepada Panwas
Kecamatan berkaitan dengan adanya dugaan tindakan yang mengakibatkan
terganggunya tahapan penyelenggaraan Pemilihan di tingkat Desa atau sebutan
lain/Kelurahan;
c.
menyampaikan temuan dan laporan kepada
Panwas Kecamatan berkaitan dengan adanya dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh
PPS dan KPPS yang mengakibatkan terganggunya penyelenggaraan tahapan Pemilihan
di tingkat Desa atau sebutan lain/Kelurahan;
d.
menyampaikan laporan pengawasan atas
tahapan penyelenggaraan Pemilihan di wilayah kerjanya kepada Panwas Kecamatan;
dan
e.
melaksanakan kewajiban lain yang
diberikan oleh Panwas Kecamatan.
BAB V
PENDAFTARAN
BAKAL CALON
Pasal 37
(1)
KPU Provinsi mengumumkan masa pendaftaran
bakal Calon Gubernur bagi warga negara Indonesia yang berminat menjadi bakal
Calon Gubernur yang diusulkan Partai Politik, gabungan Partai Politik, atau
perseorangan.
(2)
KPU Kabupaten/Kota mengumumkan masa
pendaftaran bakal Calon Bupati dan Walikota bagi warga negara Indonesia yang
berminat menjadi bakal Calon Bupati dan Calon Walikota yang diusulkan Partai
Politik, gabungan Partai Politik, atau perseorangan.
(3)
Pendaftaran bakal Calon Gubernur, bakal
Calon Bupati, dan bakal Calon Walikota dilaksanakan 6 (enam) bulan sebelum
pembukaan pendaftaran Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota.
(4)
KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota
mengumumkan bakal Calon Gubernur, bakal Calon Bupati, dan bakal Calon Walikota
kepada masyarakat untuk memperoleh masukan dan tanggapan.
(5)
Bakal calon dapat mengenalkan dirinya
kepada masyarakat sebelum dimulainya pendaftaran Calon Gubernur, Calon Bupati,
dan Calon Walikota.
BAB
VI
UJI PUBLIK
Pasal 38
(1)
Warga negara Indonesia yang mendaftar
sebagai bakal Calon Gubernur, bakal Calon Bupati, dan bakal Calon Walikota yang
diusulkan oleh Partai Politik, gabungan Partai Politik, atau perseorangan wajib
mengikuti Uji Publik.
(2)
Partai Politik atau gabungan Partai
Politik dapat mengusulkan lebih dari 1 (satu) bakal Calon Gubernur, bakal Calon
Bupati, dan bakal Calon Walikota untuk dilakukan Uji Publik.
(3)
Uji Publik sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diselenggarakan oleh panitia Uji Publik.
(4)
Panitia Uji Publik sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) beranggotakan 5 (lima) orang yang terdiri atas 2 (dua) orang
berasal dari unsur akademisi, 2 (dua) orang berasal dari tokoh masyarakat, dan
1 (satu) orang anggota KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.
(5)
Uji Publik dilaksanakan secara terbuka
paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum pendaftaran Calon Gubernur, Calon Bupati,
dan Calon Walikota.
(6)
Bakal Calon Gubernur, bakal Calon Bupati,
dan bakal Calon Walikota yang mengikuti Uji Publik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) memperoleh surat keterangan telah mengikuti Uji Publik dari panitia
Uji Publik.
BAB
VII
PENDAFTARAN
CALON GUBERNUR, CALON BUPATI, DAN CALON WALIKOTA
Pasal 39
Peserta
Pemilihan adalah:
a.
Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon
Walikota yang diusulkan oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik;
dan/atau
b.
Calon perseorangan yang didukung oleh
sejumlah orang.
Pasal
40
(1)
Partai Politik atau gabungan Partai
Politik dapat mendaftarkan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan
paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPRD atau 25% (dua
puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum
anggota DPRD di daerah yang bersangkutan.
(2)
Dalam hal Partai Politik atau gabungan
Partai Politik dalam mengusulkan pasangan calon menggunakan ketentuan
memperoleh paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPRD
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jika hasil bagi jumlah kursi DPRD
menghasilkan angka pecahan maka perolehan dari jumlah kursi dihitung dengan
pembulatan ke atas.
(3)
Dalam hal Partai Politik atau gabungan
Partai Politik mengusulkan pasangan calon menggunakan ketentuan memperoleh
paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ketentuan itu hanya berlaku untuk Partai
Politik yang memperoleh kursi di DPRD.
(4)
Partai Politik atau gabungan Partai
Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat mengusulkan 1 (satu)
calon, dan calon tersebut tidak dapat diusulkan lagi oleh Partai Politik atau
gabungan Partai Politik lainnya.
Pasal
41
(1)
Calon perseorangan dapat mendaftarkan
diri sebagai Calon Gubernur jika memenuhi syarat dukungan dengan ketentuan:
a.
Provinsi dengan jumlah penduduk sampai
dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa harus didukung paling sedikit 6,5% (enam
setengah persen);
b.
Provinsi dengan jumlah penduduk lebih
dari 2.000.000 (dua juta) jiwa sampai dengan 6.000.000 (enam juta) jiwa harus
didukung paling sedikit 5% (lima persen);
c.
Provinsi dengan jumlah penduduk lebih
dari 6.000.000 (enam juta) jiwa sampai dengan 12.000.000 (dua belas juta) jiwa
harus didukung paling sedikit 4% (empat persen);
d.
Provinsi dengan jumlah penduduk lebih
dari 12.000.000 (dua belas juta) jiwa harus didukung paling sedikit 3% (tiga
persen); dan
e. jumlah dukungan sebagaimana dimaksud pada huruf
a, huruf b, huruf c dan huruf d tersebar di lebih dari 50% (lima puluh persen)
jumlah Kabupaten/Kota di Provinsi dimaksud.
(2)
Calon perseorangan dapat mendaftarkan
diri sebagai Calon Bupati dan Calon Walikota, jika memenuhi syarat dukungan
dengan ketentuan:
a.
Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk
sampai dengan 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa harus didukung paling
sedikit 6,5% (enam koma lima persen);
b.
Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk
lebih dari 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) sampai dengan 500.000 (lima
ratus ribu) jiwa harus didukung paling sedikit 5% (lima persen);
c.
Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk
lebih dari 500.000 (lima ratus ribu) sampai. dengan 1.000.000 (satu juta) jiwa
harus didukung paling sedikit 4% (empat persen);
d.
Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk
lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa harus didukung paling sedikit 3% (tiga
persen); dan
e.
Jumlah dukungan sebagaimana dimaksud pada
huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d tersebar di lebih dari 50% (lima puluh
persen) jumlah Kecamatan di Kabupaten/Kota dimaksud.
(3)
Dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) dibuat dalam bentuk surat dukungan yang disertai dengan
fotokopi Kartu Tanda Penduduk Elektronik atau surat keterangan tanda penduduk
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4)
Dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) hanya diberikan kepada 1 (satu) calon perseorangan.
Pasal
42
(1)
Calon Gubernur didaftarkan ke KPU
Provinsi oleh Partai Politik, gabungan Partai Politik, atau perseorangan.
(2)
Calon Bupati dan Calon Walikota
didaftarkan ke KPU Kabupaten/Kota oleh Partai Politik, gabungan Partai Politik,
atau perseorangan.
(3)
Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon
Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
(4)
Pendaftaran Calon Gubernur oleh Partai
Politik ditandatangani oleh ketua Partai Politik dan sekretaris Partai Politik
tingkat Provinsi.
(5)
Pendaftaran Calon Bupati dan Calon
Walikota oleh Partai Politik ditandatangani oleh ketua Partai Politik dan
sekretaris Partai Politik tingkat Kabupaten/Kota.
(6)
Pendaftaran Calon Gubernur, Calon Bupati,
dan Calon Walikota oleh gabungan Partai Politik ditandatangani oleh para ketua
Partai Politik dan para sekretaris Partai Politik di tingkat Provinsi atau para
ketua Partai Politik dan para sekretaris Partai Politik di tingkat
Kabupaten/Kota.
(7)
Pendaftaran calon perseorangan
ditandatangani oleh yang bersangkutan.
Pasal
43
(1)
Partai Politik atau gabungan Partai
Politik dilarang menarik calonnya dan/atau calonnya dilarang mengundurkan diri
terhitung sejak pendaftaran sebagai calon pada KPU Provinsi atau KPU
Kabupaten/Kota.
(2)
Dalam hal Partai Politik atau gabungan
Partai Politik menarik calonnya atau calonnya mengundurkan diri sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Partai Politik atau gabungan Partai Politik yang
mencalonkan tidak dapat mengusulkan calon pengganti.
(3)
Calon perseorangan dilarang mengundurkan
diri terhitung sejak pendaftaran sebagai calon pada KPU Provinsi atau KPU
Kabupaten/Kota.
(4)
Dalam hal calon perseorangan mengundurkan
diri dengan alasan yang tidak dapat diterima setelah pendaftaran pada KPU
Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota, yang bersangkutan dikenai sanksi
administratif berupa denda sebesar Rp.20.000.000.000,00 (dua puluh miliar
rupiah) untuk Calon Gubernur dan Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)
untuk Calon Bupati atau Calon Walikota.
Pasal
44
Masa
pendaftaran Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota paling lama 3
(tiga) hari terhitung sejak pengumuman pendaftaran Calon Gubernur, Calon
Bupati, dan Calon Walikota.
Pasal
45
(1)
Pendaftaran Calon Gubernur, Calon Bupati,
dan Calon Walikota disertai dengan penyampaian kelengkapan dokumen persyaratan.
(2)
Dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi:
a.
surat pernyataan, yang dibuat dan
ditandatangani oleh calon sendiri, sebagai bukti pemenuhan syarat calon
sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 huruf a, huruf b, huruf i, huruf n, huruf o,
huruf p, huruf r, huruf s, dan huruf t;
b.
surat keterangan hasil pemeriksaan
kemampuan secara rohani dan jasmani dari tim dokter yang ditetapkan oleh KPU
Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota, sebagai bukti pemenuhan syarat calon
sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 huruf f;
c.
surat tanda terima laporan kekayaan calon
dari instansi yang berwenang memeriksa laporan kekayaan penyelenggara negara,
sebagai bukti pemenuhan syarat calon sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 huruf j;
d.
surat keterangan tidak sedang memiliki
tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan hukum yang menjadi
tanggungjawabnya yang merugikan keuangan negara, dari Pengadilan Negeri yang
wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal calon, sebagai bukti pemenuhan syarat
calon sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 huruf k;
e.
surat keterangan tidak dinyatakan pailit
dari Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal calon,
sebagai bukti pemenuhan syarat calon sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 huruf l;
f.
surat keterangan tidak sedang dicabut
hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap, dari Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal
calon, sebagai bukti pemenuhan syarat calon sebagaimana dimaksud pada Pasal 7
huruf h;
g.
fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak
atas nama calon, tanda terima penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi atas nama calon, untuk masa 5 (lima)
tahun terakhir, dan tanda bukti tidak mempunyai tunggakan pajak dari Kantor
Pelayanan Pajak tempat calon yang bersangkutan terdaftar, sebagai bukti
pemenuhan syarat calon sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 huruf m;
h.
daftar riwayat hidup calon yang dibuat
dan ditandatangani oleh calon perseorangan dan bagi calon yang diusulkan dari
Partai Politik atau gabungan Partai Politik ditandatangani oleh calon, pimpinan
Partai Politik atau pimpinan gabungan Partai Politik;
i.
fotokopi Kartu Tanda Penduduk Elektronik
dengan Nomor Induk Kependudukan;
j.
fotokopi ijazah yang telah dilegalisir
oleh pihak yang berwenang, sebagai bukti pemenuhan syarat calon sebagaimana
dimaksud pada Pasal 7 huruf c;
k.
surat keterangan tidak pernah dijatuhi
pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara
5 (lima) tahun atau lebih dari Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi
tempat tinggal calon, sebagai bukti pemenuhan syarat calon sebagaimana dimaksud
pada Pasal 7 huruf g;
l.
pas foto terbaru Calon Gubernur, Calon
Bupati dan Calon Walikota;
m.
surat keterangan telah mengikuti Uji Publik; dan
n.
naskah visi dan misi Calon Gubernur,
Calon Bupati, dan Calon Walikota.
Pasal
46
Calon
perseorangan pada saat mendaftar wajib menyerahkan:
a.
surat pencalonan yang ditandatangani oleh
yang bersangkutan;
b.
berkas dukungan dalam bentuk pernyataan
dukungan yang dilampiri dengan identitas diri berupa fotokopi Kartu Tanda
Penduduk Elektronik atau surat keterangan tanda penduduk; dan
c.
dokumen persyaratan administrasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45.
Pasal
47
(1)
Partai Politik atau gabungan Partai
Politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan
Gubernur, Bupati, dan Walikota.
(2)
Dalam hal Partai Politik atau gabungan
Partai Politik terbukti menerima imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Partai Politik atau gabungan Partai Politik yang bersangkutan dilarang
mengajukan calon pada periode berikutnya di daerah yang sama.
(3)
Partai Politik atau gabungan Partai
Politik yang menerima imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus
dibuktikan dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
(4)
Setiap orang atau lembaga dilarang
memberi imbalan kepada Partai Politik atau gabungan Partai Politik dalam bentuk
apapun dalam proses pencalonan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
(5)
Dalam hal putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap menyatakan setiap orang atau lembaga terbukti
memberi imbalan pada proses pencalonan Gubernur, Bupati, atau Walikota maka
penetapan sebagai calon, calon terpilih, atau sebagai Gubernur, Bupati, atau
Walikota dibatalkan.
BAB
VIII
VERIFIKASI
DUKUNGAN CALON DAN PENELITIAN KELENGKAPAN PERSYARATAN CALON
Bagian Kesatu
Verifikasi dan
Rekapitulasi Dukungan Calon Perseorangan
Pasal 48
(1)
Verifikasi dukungan calon perseorangan
untuk Pemilihan Gubernur dilakukan oleh KPU Provinsi dan untuk Pemilihan Bupati
dan Pemilihan Walikota dilakukan oleh KPU Kabupaten/Kota yang dibantu oleh PPK
dan PPS.
(2)
Calon perseorangan menyerahkan dokumen
syarat dukungan kepada PPS untuk dilakukan verifikasi paling lambat 21 (dua
puluh satu) hari sebelum waktu pendaftaran calon dimulai.
(3)
Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dilakukan paling lama 14 (empat belas) hari sejak dokumen syarat dukungan
calon perseorangan diserahkan ke PPS.
(4)
Hasil verifikasi dokumen syarat dukungan
calon perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dituangkan dalam berita
acara yang selanjutnya diteruskan kepada PPK dan salinan hasil verifikasi
disampaikan kepada calon.
(5)
PPK melakukan verifikasi dan rekapitulasi
jumlah dukungan calon untuk menghindari adanya seseorang yang memberikan
dukungan kepada lebih dari 1 (satu) calon dan adanya informasi manipulasi
dukungan yang dilaksanakan paling lama 7 (tujuh) hari.
(6)
Hasil verifikasi dukungan calon
perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dituangkan dalam berita acara
yang selanjutnya diteruskan kepada KPU Kabupaten/Kota dan salinan hasil
verifikasi dan rekapitulasi disampaikan kepada calon.
(7)
Dalam Pemilihan Gubernur, Pemilihan
Bupati, dan Pemilihan Walikota, salinan hasil verifikasi dan rekapitulasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dipergunakan oleh calon dari perseorangan
sebagai bukti pemenuhan persyaratan dukungan pencalonan.
(8)
KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota
melakukan verifikasi dan rekapitulasi jumlah dukungan calon untuk menghindari adanya
seseorang yang memberikan dukungan kepada lebih dari 1 (satu) calon dan adanya
informasi manipulasi dukungan yang dilaksanakan paling lama 7 (tujuh) hari.
(9)
Mekanisme dan tata cara verifikasi
dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian
Kedua
Penelitian
Kelengkapan Persyaratan Calon
Pasal 49
(1)
KPU Provinsi meneliti kelengkapan
persyaratan administrasi Calon Gubernur dan dapat melakukan klarifikasi kepada
instansi yang berwenang jika diperlukan, dan menerima masukan dari masyarakat
terhadap keabsahan persyaratan Calon Gubernur.
(2)
Penelitian persyaratan administrasi
sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan paling lama 7 (tujuh) hari sejak
penutupan pendaftaran Calon Gubernur.
(3)
Hasil penelitian sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diberitahukan secara tertulis kepada Partai Politik, gabungan Partai
Politik, atau calon perseorangan paling lambat 2 (dua) hari setelah penelitian
selesai.
(4)
Apabila hasil penelitian sebagaimana
dimaksud ayat (3) dinyatakan tidak memenuhi syarat, Partai Politik, gabungan
Partai Politik, atau calon perseorangan diberi kesempatan untuk melengkapi
dan/atau memperbaiki persyaratan pencalonan paling lama 3 (tiga) hari sejak
pemberitahuan hasil penelitian persyaratan oleh KPU Provinsi.
(5)
Dalam hal Calon Gubernur yang diajukan
Partai Politik atau gabungan Partai Politik berhalangan tetap sampai dengan
tahap penelitian kelengkapan persyaratan, Partai Politik atau gabungan Partai
Politik diberi kesempatan untuk mengajukan Calon Gubernur pengganti paling lama
3 (tiga) hari sejak pemberitahuan hasil penelitian persyaratan oleh KPU
Provinsi diterima.
(6)
KPU Provinsi melakukan penelitian
kelengkapan dan/atau perbaikan persyaratan Calon Gubernur sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) dan ayat (5) dan memberitahukan hasil penelitian kepada pimpinan
Partai Politik atau pimpinan gabungan Partai Politik paling lama 7 (tujuh) hari
sejak kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diterima.
(7)
Dalam hal hasil penelitian sebagaimana
dimaksud pada ayat (6), menetapkan calon yang diajukan tidak memenuhi syarat,
Partai Politik atau gabungan Partai Politik tidak dapat mengajukan Calon
Gubernur pengganti.
(8)
Dalam hal hasil penelitian sebagaimana
dimaksud pada ayat (7) menghasilkan calon yang memenuhi persyaratan kurang dari
2 (dua) calon, tahapan pelaksanaan Pemilihan ditunda paling lama 10 (sepuluh)
hari.
(9)
KPU Provinsi membuka kembali
pendaftaran Calon Gubernur paling lama 3 (tiga) hari setelah penundaan tahapan
sebagaimana dimaksud pada ayat (8).
(10)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
penelitian persyaratan Calon Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan KPU.
Pasal
50
(1)
KPU Kabupaten/Kota meneliti kelengkapan
persyaratan administrasi Calon Bupati atau Calon Walikota dan dapat melakukan
klarifikasi kepada instansi yang berwenang jika diperlukan, dan menerima
masukan dari masyarakat terhadap keabsahan persyaratan Calon Bupati dan Calon
Walikota.
(2)
Penelitian persyaratan administrasi
sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan paling lama 7 (tujuh) hari sejak
penutupan pendaftaran Calon Bupati dan Calon Walikota.
(3)
Hasil penelitian sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diberitahukan secara tertulis kepada Partai Politik, gabungan
Partai Politik, atau calon perseorangan paling lambat 2 (dua) hari setelah
penelitian selesai.
(4)
Apabila hasil penelitian sebagaimana
dimaksud ayat (3) dinyatakan tidak memenuhi syarat, Partai Politik, gabungan
Partai Politik, atau calon perseorangan diberi kesempatan untuk melengkapi
dan/atau memperbaiki persyaratan pencalonannya paling lama 3 (tiga) hari sejak
pemberitahuan hasil penelitian persyaratan oleh KPU Kabupaten/Kota diterima.
(5)
Dalam hal Calon Bupati dan Calon Walikota
diajukan oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik berhalangan tetap
sampai dengan tahap penelitian kelengkapan persyaratan, Partai Politik atau
gabungan Partai Politik diberi kesempatan untuk mengajukan Calon Bupati dan
Calon Walikota pengganti paling lama 3 (tiga) hari sejak pemberitahuan hasil
penelitian persyaratan oleh KPU Kabupaten/Kota diterima.
(6)
KPU Kabupaten/Kota melakukan penelitian
tentang kelengkapan dan/atau perbaikan persyaratan Calon Bupati dan Calon
Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dan memberitahukan
hasilnya kepada pimpinan Partai Politik atau pimpinan gabungan Partai Politik
paling lama 7 (tujuh) hari sejak kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) diterima.
(7)
Dalam hal hasil penelitian sebagaimana
dimaksud pada ayat (6), menetapkan calon yang diajukan tidak memenuhi syarat,
Partai Politik atau gabungan Partai Politik tidak dapat mengajukan Calon Bupati
dan Calon Walikota pengganti.
(8)
Dalam hal hasil penelitian sebagaimana
dimaksud pada ayat (7) menghasilkan calon yang memenuhi persyaratan kurang dari
2 (dua) calon, tahapan pelaksanaan pemilihan ditunda paling lama 10 (sepuluh)
hari.
(9)
KPU Kabupaten/Kota membuka kembali
pendaftaran Calon Bupati dan Calon Walikota paling lama 3 (tiga) hari setelah
penundaan tahapan sebagaimana dimaksud pada ayat (8).
(10)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
penelitian persyaratan Calon Bupati dan Calon Walikota sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan KPU.
BAB
IX
PENETAPAN
CALON
Pasal 51
(1)
KPU Provinsi menuangkan hasil penelitian
syarat administrasi dan penetapan calon dalam Berita Acara Penetapan Calon
Gubernur.
(2)
Berdasarkan Berita Acara Penetapan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), KPU Provinsi menetapkan paling sedikit 2
(dua) Calon Gubernur dengan Keputusan KPU Provinsi.
(3)
Calon Gubernur yang telah ditetapkan oleh
KPU Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan pengundian nomor
urut Calon Gubernur.
(4)
Pengundian nomor urut Calon Gubernur
dilaksanakan KPU Provinsi yang disaksikan oleh Partai Politik, gabungan Partai
Politik, dan calon perseorangan.
(5)
Nomor urut Calon Gubernur bersifat tetap
dan sebagai dasar KPU Provinsi dalam pengadaan surat suara.
(6)
Calon yang telah ditetapkan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diumumkan secara terbuka paling lambat 1 (satu) hari
sejak tanggal penetapan.
Pasal
52
(1)
KPU Kabupaten/Kota menuangkan hasil
penelitian syarat administrasi dan penetapan calon dalam Berita Acara Penetapan
Calon Bupati dan Calon Walikota.
(2)
Berdasarkan Berita Acara Penetapan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), KPU Kabupaten/Kota menetapkan paling
sedikit 2 (dua) Calon Bupati dan Calon Walikota dengan Keputusan KPU
Kabupaten/Kota.
(3)
Calon Bupati, dan Calon Walikota yang
telah ditetapkan oleh KPU Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
dilakukan pengundian nomor urut Calon Bupati dan Calon Walikota.
(4)
Pengundian nomor urut Calon Bupati dan
Calon Walikota dilaksanakan KPU Kabupaten/Kota yang disaksikan oleh Partai
Politik, gabungan Partai Politik, dan calon perseorangan.
(5)
Nomor urut Calon Bupati dan Calon
Walikota bersifat tetap dan sebagai dasar KPU Kabupaten/Kota dalam pengadaan
surat suara.
(6)
Calon yang telah ditetapkan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diumumkan secara terbuka paling lambat 1 (satu) hari
sejak tanggal penetapan.
Pasal
53
(1)
Partai Politik atau gabungan Partai
Politik dilarang menarik calonnya dan/atau calonnya dilarang mengundurkan diri
terhitung sejak ditetapkan sebagai calon oleh KPU Provinsi dan KPU
Kabupaten/Kota.
(2)
Dalam hal Partai Politik dan gabungan
Partai Politik menarik calonnya dan/atau calonnya mengundurkan diri sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Partai Politik atau gabungan Partai Politik yang
mencalonkan tidak dapat mengusulkan calon pengganti.
(3)
Calon perseorangan dilarang mengundurkan
diri terhitung sejak ditetapkan sebagai calon oleh KPU Provinsi dan KPU
Kabupaten/Kota.
(4)
Apabila calon perseorangan mengundurkan
diri dari Calon Gubernur setelah ditetapkan oleh KPU Provinsi atau Calon Bupati
dan Calon Walikota setelah ditetapkan oleh KPU Kabupaten/Kota, calon dikenai sanksi
administratif berupa denda sebesar Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar
rupiah) untuk Calon Gubernur dan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)
untuk Calon Bupati dan Calon Walikota.
Pasal
54
(1)
Dalam hal calon berhalangan tetap sejak
penetapan calon sampai pada saat dimulainya hari Kampanye, Partai Politik atau
gabungan Partai Politik yang calonnya berhalangan tetap dapat mengusulkan calon
pengganti paling lama 3 (tiga) hari terhitung sejak calon berhalangan tetap.
(2)
KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota
melakukan penelitian persyaratan administrasi calon pengganti sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling lama 3 (tiga) hari terhitung sejak tanggal
pengusulan.
(3)
Dalam hal calon pengganti berdasarkan
hasil penelitian administrasi memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), paling lama 1 (satu) hari KPU Provinsi/Kabupaten/Kota, menetapkannya
sebagai calon.
(4)
Dalam hal calon berhalangan tetap sejak penetapan
calon sampai pada saat dimulainya hari Kampanye sehingga jumlah calon kurang
dari 2 (dua) orang, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota membuka kembali
pendaftaran pengajuan calon paling lama 7 (tujuh) hari.
(5)
Dalam hal calon berhalangan tetap pada
saat dimulainya Kampanye sampai hari pemungutan suara dan terdapat 2 (dua)
calon atau lebih, tahapan pelaksanaan Pemilihan dilanjutkan dan calon yang
berhalangan tetap tidak dapat diganti serta dinyatakan gugur.
(6)
Dalam hal calon berhalangan tetap pada
saat dimulainya Kampanye sampai hari pemungutan suara calon kurang dari 2 (dua)
orang, tahapan pelaksanaan Pemilihan ditunda paling lama 14 (empat belas) hari.
Pasal
55
(1)
Dalam hal salah satu calon yang perolehan
suaranya terbesar pertama dan terbesar kedua berhalangan tetap setelah
pemungutan suara putaran pertama sampai dimulainya hari pemungutan suara
putaran kedua, tahapan pelaksanaan Pemilihan ditunda paling lama 14 (empat
belas) hari.
(2)
Partai Politik atau gabungan Partai
Politik yang calonnya berhalangan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengusulkan calon pengganti paling lambat 3 (tiga) hari sejak calon berhalangan
tetap.
(3)
KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota
melakukan penelitian persyaratan administrasi terhadap calon pengganti
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan menetapkannya paling lama 3 (tiga) hari
terhitung sejak pendaftaran calon pengganti.
(4)
Dalam hal calon berhalangan tetap pada
hari pemungutan suara putaran kedua sehingga jumlah calon kurang dari 2 (dua),
KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota menetapkan calon yang memperoleh suara
terbanyak di bawah calon yang memperoleh suara terbanyak kedua untuk mengikuti
pemungutan suara putaran kedua.
BAB X
HAK MEMILIH
DAN PENYUSUNAN DAFTAR PEMILIH
Bagian Kesatu
Hak Memilih
Pasal 56
(1)
Warga negara Indonesia yang pada hari
pemungutan suara sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin,
mempunyai hak memilih.
(2)
Warga negara Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) didaftar 1 (satu) kali oleh penyelenggara.
(3)
Jika Pemilih mempunyai lebih dari 1
(satu) tempat tinggal, Pemilih tersebut harus memilih salah satu tempat
tinggalnya yang dicantumkan dalam daftar pemilih berdasarkan Kartu Tanda
Penduduk Elektronik dan/atau surat keterangan domisili dari Kepala Desa atau
sebutan lain/ Lurah.
Pasal
57
(1)
Untuk dapat menggunakan hak memilih,
warga negara Indonesia harus terdaftar sebagai Pemilih.
(2)
Dalam hal warga negara Indonesia tidak
terdaftar sebagai Pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemilih
menunjukkan Kartu Tanda Penduduk Elektronik atau surat keterangan penduduk pada
saat pemungutan suara.
(3)
Untuk dapat didaftar sebagai Pemilih, warga
negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat:
a.
tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya;
dan/atau
b.
tidak sedang dicabut hak pilihnya
berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
(4)
Warga negara Indonesia yang tidak
terdaftar dalam daftar Pemilih dan pada saat pemungutan suara tidak memenuhi
syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau ayat (3), yang bersangkutan
tidak dapat menggunakan hak memilihnya.
Bagian
Kedua
Penyusunan
Daftar Pemilih
Pasal 58
(1)
Daftar penduduk potensial pemilih dari
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil dan daftar pemilih pada saat pelaksanaan
pemilihan umum terakhir di daerah, digunakan sebagai bahan penyusunan daftar
Pemilih untuk Pemilihan.
(2)
Daftar Pemilih sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) oleh PPS dilakukan pemutakhiran berdasarkan perbaikan dari RT/RW atau
sebutan lain dan tambahan Pemilih yang telah memenuhi persyaratan sebagai
Pemilih.
(3)
Daftar Pemilih hasil pemutakhiran
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan sebagai Daftar Pemilih Sementara.
(4)
Daftar Pemilih Sementara sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diumumkan secara luas dan melalui papan pengumuman RT/RW
atau sebutan lain oleh PPS, untuk mendapatkan masukan dan tanggapan dari masyarakat
selama 10 (sepuluh) hari.
(5)
PPS memperbaiki Daftar Pemilih Sementara
berdasarkan masukan dan tanggapan dari masyarakat paling lama 5 (lima) hari
terhitung sejak masukan dan tanggapan dari masyarakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) berakhir.
(6)
Daftar Pemilih Sementara yang telah
diperbaiki sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan sebagai Daftar Pemilih
Tetap dan diumumkan oleh PPS paling lama 2 (dua) hari terhitung sejak jangka
waktu penyusunan Daftar Pemilih Tetap berakhir.
(7)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pemutakhiran data Pemilih diatur dengan Peraturan KPU.
Pasal
59
(1)
Penduduk yang telah terdaftar dalam
Daftar Pemilih Tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (6) diberikan
surat pemberitahuan sebagai Pemilih oleh PPS.
(2)
Penduduk yang mempunyai hak pilih dan
belum terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap dapat mendaftarkan diri sebagai
Pemilih kepada PPS untuk dicatat dalam Daftar Pemilih Tambahan.
(3)
Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak pengumuman
Daftar Pemilih Sementara.
(4)
Pemilih tambahan yang sudah didaftar
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diberikan surat pemberitahuan sebagai
Pemilih oleh PPS.
Pasal
60
Daftar
Pemilih Tetap harus ditetapkan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum
tanggal pemungutan suara Pemilihan.
Pasal
61
(1)
Dalam hal masih terdapat penduduk yang
mempunyai hak pilih belum terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap, yang
bersangkutan dapat menggunakan hak pilihnya dengan menunjukkan Kartu Tanda
Penduduk Elektronik atau surat keterangan penduduk.
(2)
Penggunaan hak pilih sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) hanya dapat digunakan di tempat pemungutan suara yang berada di
RT/RW atau sebutan lain sesuai dengan alamat yang tertera dalam Kartu Tanda
Penduduk Elektronik atau surat keterangan penduduk.
(3)
Sebelum menggunakan hak pilihnya penduduk
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlebih dahulu mendaftarkan diri pada KPPS
setempat dan dicatat dalam Daftar Pemilih Tambahan.
(4)
Penggunaan hak pilih penduduk sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dilakukan 1 (satu) jam sebelum selesainya pemungutan
suara di TPS.
Pasal
62
(1)
Pemilih yang telah terdaftar dalam Daftar
Pemilih Tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (6) kemudian berpindah
tempat tinggal atau karena ingin menggunakan hak pilihnya di tempat lain,
Pemilih yang bersangkutan harus melapor kepada PPS setempat.
(2)
PPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mencatat nama Pemilih dari daftar pemilih dan memberikan surat keterangan
pindah tempat memilih.
(3)
Pemilih melaporkan kepindahannya kepada
PPS di tempat Pemilihan yang baru.
BAB XI
KAMPANYE
Bagian
Kesatu
Umum
Pasal
63
(1)
Kampanye dilaksanakan sebagai wujud dari
pendidikan politik masyarakat yang dilaksanakan secara bertanggung jawab.
(2)
Kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilaksanakan oleh KPU Provinsi untuk Pemilihan Gubernur dan KPU
Kabupaten/Kota untuk Pemilihan Bupati dan Pemilihan Walikota.
(3)
Jadwal pelaksanaan Kampanye ditetapkan
oleh KPU Provinsi untuk Pemilihan Gubernur dan KPU Kabupaten/Kota untuk
Pemilihan Bupati dan Pemilihan Walikota dengan memperhatikan usul dari calon.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pelaksanaan Kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan KPU.
Bagian
Kedua
Materi
Kampanye
Pasal 64
(1)
Calon wajib menyampaikan visi dan misi
yang disusun berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi
atau Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kabupaten/Kota secara lisan
maupun tertulis kepada masyarakat.
(2)
Calon berhak untuk mendapatkan informasi
atau data dari Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3)
Penyampaian materi Kampanye dilakukan
dengan cara yang sopan, tertib, dan bersifat edukatif.
Bagian
Ketiga
Metode Kampanye
Pasal 65
(1)
Kampanye dapat dilaksanakan melalui:
a.
pertemuan terbatas;
b.
pertemuan tatap muka dan dialog;
c.
debat publik/debat terbuka antarcalon;
d.
penyebaran bahan Kampanye kepada umum;
e.
pemasangan alat peraga;
f.
iklan media massa cetak dan media massa
elektronik; dan/atau
g.
kegiatan lain yang tidak melanggar
larangan Kampanye dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2)
Kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf c, huruf d, huruf e dan huruf f difasilitasi oleh KPU Provinsi dan
KPU Kabupaten/Kota yang didanai APBN.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai
pelaksanaan metode Kampanye diatur dengan Peraturan KPU.
Pasal
66
(1)
Media cetak dan media elektronik dapat
menyampaikan tema, materi, dan iklan Kampanye.
(2)
Pemerintah Daerah dapat memberikan
kesempatan penggunaan fasilitas umum untuk kegiatan Kampanye pada KPU Provinsi
dan KPU Kabupaten/Kota.
(3)
Semua yang hadir dalam pertemuan terbatas
yang diadakan oleh calon hanya dibenarkan membawa atau menggunakan tanda gambar
dan/atau atribut calon yang bersangkutan.
(4)
KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota
berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah untuk menetapkan lokasi pemasangan alat
peraga untuk keperluan Kampanye.
(5)
Pemasangan alat peraga Kampanye
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota
dilaksanakan dengan mempertimbangkan etika, estetika, kebersihan, dan keindahan
kota atau kawasan setempat sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(6)
Pemasangan alat peraga Kampanye pada
tempat yang menjadi milik perseorangan atau badan swasta harus seizin pemilik
tempat tersebut.
(7)
Alat peraga Kampanye harus sudah dibersihkan
paling lambat 3 (tiga) hari sebelum hari pemungutan suara.
(8)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tatacara
pemasangan alat peraga dan penyebaran bahan Kampanye diatur dengan Peraturan KPU.
Bagian
Keempat
Jadwal
Kampanye
Pasal 67
(1)
Kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) dilaksanakan 3 (tiga)
hari setelah penetapan calon peserta Pemilihan sampai dengan dimulainya masa
tenang.
(2)
Masa tenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlangsung selama 3 (tiga) hari
sebelum hari pemungutan suara.
Pasal
68
(1)
Debat publik/debat terbuka antarcalon
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) huruf c dilaksanakan paling banyak
3 (tiga) kali oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota.
(2)
Debat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disiarkan secara langsung melalui lembaga penyiaran publik.
(3)
Moderator debat dipilih oleh KPU Provinsi
dan KPU Kabupaten/Kota dari kalangan profesional dan akademisi yang mempunyai
integritas, jujur, simpatik, dan tidak memihak kepada salah satu calon.
(4)
Materi debat adalah visi dan misi Calon
Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota dalam rangka:
a.
meningkatkan kesejahteraan masyarakat;
b.
memajukan daerah;
c.
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat;
d.
menyelesaikan persoalan daerah;
e.
menyerasikan pelaksanaan pembangunan
daerah kabupaten/kota dan provinsi dengan nasional; dan
f.
memperkokoh Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan kebangsaan.
Bagian
Kelima
Larangan dalam
Kampanye
Pasal 69
Dalam
Kampanye dilarang:
a.
mempersoalkan dasar negara Pancasila dan
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.
menghina seseorang, agama, suku, ras,
golongan, Calon Gubernur, Calon Bupati, Calon Walikota, dan/atau Partai Politik;
c.
melakukan Kampanye berupa menghasut,
memfitnah, mengadu domba Partai Politik, perseorangan, dan/atau kelompok
masyarakat;
d.
menggunakan kekerasan, ancaman kekerasan
atau menganjurkan penggunaan kekerasan kepada perseorangan, kelompok masyarakat
dan/atau Partai Politik;
e.
mengganggu keamanan, ketenteraman, dan
ketertiban umum;
f.
mengancam dan menganjurkan penggunaan
kekerasan untuk mengambil alih kekuasaan dari pemerintahan yang sah;
g.
merusak dan/atau menghilangkan alat
peraga Kampanye;
h.
menggunakan fasilitas dan anggaran
Pemerintah dan Pemerintah Daerah;
i.
menggunakan tempat ibadah dan tempat
pendidikan;
j.
melakukan pawai yang dilakukan dengan
berjalan kaki dan/atau dengan kendaraan di jalan raya; dan/atau
k.
melakukan kegiatan Kampanye di luar jadwal yang telah ditetapkan oleh KPU
Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota.
Pasal
70
(1)
Dalam Kampanye, calon dilarang
melibatkan:
a.
pejabat badan usaha milik negara/badan
usaha milik daerah;
b.
aparatur sipil Negara, anggota Kepolisian
Negara Republik Indonesia, dan anggota Tentara Nasional Indonesia; dan
c.
Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah dan
perangkat Desa atau sebutan lain/perangkat Kelurahan.
(2)
Gubernur, Bupati, Walikota, dan pejabat
negara lainnya dapat ikut dalam Kampanye dengan mengajukan izin cuti Kampanye
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3)
Pejabat negara sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) yang menjadi Calon Gubernur, Calon Bupati, Calon Walikota dalam
melaksanakan Kampanye tidak menggunakan fasilitas yang terkait dengan
jabatannya.
Pasal
71
(1)
Pejabat negara, pejabat aparatur sipil negara, dan Kepala Desa atau sebutan
lain/Lurah dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau
merugikan salah satu calon selama masa Kampanye.
(2)
Petahana dilarang melakukan penggantian
pejabat 6 (enam) bulan sebelum masa jabatannya berakhir.
(3)
Petahana dilarang menggunakan program dan
kegiatan Pemerintahan Daerah untuk kegiatan Pemilihan 6 (enam) bulan sebelum
masa jabatannya berakhir.
(4)
Dalam hal petahana melakukan hal
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), petahana dikenai sanksi
pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.
Pasal
72
(1)
Pelanggaran atas ketentuan larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 huruf a
sampai dengan huruf h merupakan tindak pidana dan dikenai sanksi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2)
Pelanggaran atas ketentuan larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 huruf i
dan huruf j, dikenai sanksi:
a.
peringatan tertulis walaupun belum
menimbulkan gangguan; dan/atau
b.
penghentian kegiatan Kampanye di tempat
terjadinya pelanggaran atau di seluruh daerah Pemilihan setempat jika terjadi
gangguan terhadap keamanan yang berpotensi menyebar ke daerah lain.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi terhadap pelanggaran
larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan KPU.
Pasal
73
(1)
Calon dan/atau tim Kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau
materi lainnya untuk mempengaruhi Pemilih.
(2)
Calon yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota
dan dikenai sanksi pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3)
Tim Kampanye yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian
Keenam
Dana Kampanye
Pasal 74
(1)
Dana Kampanye Calon yang diusulkan Partai
Politik atau gabungan Partai Politik dapat diperoleh dari:
a.
sumbangan Partai Politik dan/atau gabungan
Partai Politik yang mengusulkan Calon; dan/atau
b.
sumbangan pihak lain yang tidak mengikat
yang meliputi sumbangan perseorangan dan/atau badan hukum swasta.
(2)
Dana Kampanye calon perseorangan dapat
diperoleh dari sumbangan pihak lain yang tidak mengikat yang meliputi sumbangan
perseorangan dan/atau badan hukum swasta.
(3)
Partai Politik atau gabungan Partai
Politik yang mengusulkan Calon wajib memiliki rekening khusus dana Kampanye
atas nama Calon dan didaftarkan kepada KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.
(4)
Calon perseorangan bertindak sebagai
penerima sumbangan dana Kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan wajib
memiliki rekening khusus dana Kampanye dan didaftarkan kepada KPU Provinsi atau
KPU Kabupaten/Kota.
(5)
Sumbangan dana Kampanye sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (2) dari perseorangan paling banyak
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan dari badan hukum swasta paling
banyak Rp500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah).
(6)
Partai Politik dan/atau gabungan Partai
Politik yang mengusulkan calon dan calon perseorangan dapat menerima dan/atau
menyetujui pembiayaan bukan dalam bentuk uang secara langsung untuk kegiatan Kampanye
yang jika dikonversi berdasar harga pasar nilainya tidak melebihi sumbangan
dana Kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
(7)
Pemberi sumbangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) dan ayat (6) harus mencantumkan identitas yang jelas.
(8)
Penggunaan dana Kampanye calon wajib
dilaksanakan secara transparan dan akuntabel.
(9)
Pembatasan dana Kampanye Pemilihan
ditetapkan oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dengan mempertimbangkan
jumlah penduduk, cakupan/luas wilayah, dan standar biaya daerah.
Pasal
75
(1)
Laporan sumbangan dana Kampanye dan
pengeluaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (5) dan ayat (6),
disampaikan oleh Calon Gubernur kepada KPU Provinsi dan Calon Bupati/Calon
Walikota kepada KPU Kabupaten/Kota dalam waktu 1 (satu) hari sebelum masa
Kampanye dimulai dan 1 (satu) hari sesudah masa Kampanye berakhir.
(2)
KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota wajib
menyerahkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada kantor akuntan
publik untuk diaudit paling lambat 2 (dua) hari setelah KPU Provinsi dan KPU
Kabupaten/Kota menerima laporan dana Kampanye.
(3)
Kantor akuntan publik wajib menyelesaikan
audit paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dari KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota diterima.
(4)
Hasil audit sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) diumumkan oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota paling lambat 3
(tiga) hari setelah KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota menerima laporan hasil
audit dari kantor akuntan publik.
(5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai sumbangan
dan pengeluaran dana Kampanye calon diatur dengan Peraturan KPU.
Pasal
76
(1)
Partai Politik dan/atau gabungan Partai
Politik yang mengusulkan calon dan calon perseorangan dilarang menerima
sumbangan atau bantuan lain untuk Kampanye yang berasal dari:
a.
negara asing, lembaga swasta asing,
lembaga swadaya masyarakat asing dan warga negara asing;
b.
penyumbang atau pemberi bantuan yang
tidak jelas identitasnya;
c.
Pemerintah dan Pemerintah Daerah; dan
d.
badan usaha milik negara, badan usaha
milik daerah, dan badan usaha milik desa atau sebutan lain.
(2)
Partai Politik dan/atau gabungan Partai
Politik yang mengusulkan calon dan calon perseorangan yang menerima sumbangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dibenarkan menggunakan dana tersebut
dan wajib melaporkannya kepada KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota paling
lambat 14 (empat belas) hari setelah masa Kampanye berakhir dan menyerahkan
sumbangan tersebut kepada kas negara.
(3)
Partai Politik dan/atau gabungan Partai
Politik yang mengusulkan calon, yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dikenai sanksi berupa pembatalan calon yang diusulkan.
(4)
Calon yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi berupa pembatalan sebagai
calon.
(5)
Pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) dan ayat (4) dilakukan oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota.
BAB
XII
PERLENGKAPAN
PEMILIHAN
Pasal 77
(1)
KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota
bertanggung jawab dalam merencanakan dan menetapkan standar serta kebutuhan
pengadaan dan pendistribusian perlengkapan pemungutan suara.
(2)
Sekretaris KPU Provinsi dan sekretaris
KPU Kabupaten/Kota bertanggung jawab dalam pelaksanaan pengadaan dan
pendistribusian perlengkapan pemungutan suara sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
Pasal
78
(1)
Jenis perlengkapan pemungutan suara
terdiri atas:
a.
kotak suara;
b.
surat suara;
c.
tinta;
d.
bilik pemungutan suara;
e.
segel;
f.
alat untuk memberi tanda pilihan; dan
g.
TPS.
(2)
Selain perlengkapan pemungutan suara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk menjaga keamanan, kerahasiaan, dan
kelancaran pelaksanaan pemungutan suara dan penghitungan suara, diperlukan
dukungan perlengkapan lainnya.
(3)
Bentuk, ukuran, dan spesifikasi teknis
perlengkapan pemungutan suara ditetapkan dengan Keputusan KPU.
(4)
Pengadaan perlengkapan pemungutan suara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf f dilaksanakan
oleh sekretariat KPU Provinsi dan sekretariat KPU Kabupaten/Kota sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5)
Pengadaan perlengkapan pemungutan suara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g dilaksanakan oleh KPPS bekerja sama
dengan masyarakat.
(6)
Perlengkapan pemungutan suara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan, huruf f harus sudah diterima KPPS
paling lambat 1 (satu) hari sebelum hari/tanggal pemungutan suara.
(7)
Pendistribusian perlengkapan pemungutan
suara dilakukan oleh sekretariat KPU Provinsi dan sekretariat KPU Kabupaten/Kota.
(8)
Dalam pendistribusian dan pengamanan
perlengkapan pemungutan suara, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dapat
bekerja sama dengan Pemerintah, Pemerintah Daerah, Kepolisian Negara Republik
Indonesia, dan Tentara Nasional Indonesia.
Pasal
79
(1)
Surat suara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 78 ayat (1) huruf b memuat foto, nama, dan nomor urut calon.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai surat
suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan KPU.
Pasal
80
(1)
Jumlah surat suara yang dicetak sama
dengan jumlah Pemilih tetap ditambah dengan 2,5% (dua setengah persen) dari
jumlah Pemilih tetap sebagai cadangan, yang ditetapkan dengan Keputusan KPU
Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota.
(2)
Selain menetapkan pencetakan surat suara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota
menetapkan besarnya jumlah surat suara untuk pelaksanaan pemungutan suara
ulang.
(3)
Jumlah surat suara sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) ditetapkan oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota sebanyak
2.000 (dua ribu) surat suara untuk pemungutan suara ulang yang diberi tanda
khusus.
Pasal
81
(1)
Tambahan surat suara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 80 ayat (1) digunakan sebagai cadangan di setiap TPS untuk
mengganti surat suara Pemilih yang keliru memilih pilihannya, mengganti surat
suara yang rusak, dan untuk Pemilih tambahan.
(2)
Penggunaan tambahan surat suara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuatkan berita acara.
Pasal
82
(1)
Perusahaan pencetak surat suara dilarang
mencetak surat suara lebih dari jumlah yang ditetapkan oleh KPU Provinsi dan
KPU Kabupaten/Kota dan harus menjaga kerahasiaan, keamanan, serta keutuhan
surat suara.
(2)
KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dapat
meminta bantuan Pemerintah, Pemerintah Daerah, Kepolisian Negara Republik
Indonesia, dan Tentara Nasional Indonesia untuk mengamankan surat suara selama
proses pencetakan berlangsung, penyimpanan, dan pendistribusian ke tempat
tujuan.
(3)
KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota
memverifikasi jumlah surat suara yang telah dicetak, jumlah yang sudah dikirim
dan/atau jumlah yang masih tersimpan, dengan membuat berita acara yang
ditandatangani oleh pihak percetakan dan petugas KPU Provinsi atau petugas KPU
Kabupaten/Kota.
(4)
KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota
mengawasi dan mengamankan desain, film separasi, dan plat cetak yang digunakan
untuk membuat surat suara, sebelum dan sesudah digunakan serta menyegel dan
menyimpannya.
(5)
Dalam hal pencetakan surat suara melebihi
yang dibutuhkan, dilakukan pemusnahan surat suara oleh KPU Provinsi dan KPU
Kabupaten/Kota dengan disaksikan oleh aparat Kepolisian Negara Republik Indonesia
setempat, Bawaslu Provinsi, dan/atau Panwas Kabupaten/Kota.
(6)
Pemusnahan surat suara sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) dibuatkan berita acara.
(7)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pelaksanaan pengamanan terhadap pencetakan, penghitungan, penyimpanan,
pengepakan, pendistribusian surat suara ke tempat tujuan, dan pemusnahan surat
suara diatur dengan
Peraturan KPU.
Pasal
83
Pengawasan
atas pelaksanaan tugas dan wewenang KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota serta
sekretariat KPU Provinsi dan sekretariat KPU Kabupaten/Kota mengenai pengadaan
dan pendistribusian perlengkapan pemungutan suara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 78 dilaksanakan oleh Bawaslu Provinsi dan Panwas Kabupaten/Kota serta
Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia.
BAB
XIII
PEMUNGUTAN
SUARA
Pasal 84
(1)
KPPS memberikan undangan kepada Pemilih
untuk menggunakan hak pilihnya paling lambat 3 (tiga) hari sebelum tanggal
pemungutan suara.
(2)
Pemungutan suara dilakukan dengan
memberikan tanda melalui surat suara.
(3)
Pemungutan suara dilakukan pada hari
libur atau hari yang diliburkan.
(4)
Hari, tanggal, dan waktu pemungutan suara
Pemilihan ditetapkan dengan Keputusan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota.
Pasal
85
(1)
Pemberian suara untuk Pemilihan dapat
dilakukan dengan cara:
a.
memberi tanda satu kali pada surat suara;
atau
b.
memberi suara melalui peralatan Pemilihan
suara secara elektronik.
(2)
Pemberian tanda satu kali sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan berdasarkan prinsip memudahkan
Pemilih, akurasi dalam penghitungan suara, dan efisiensi dalam penyelenggaraan
Pemilihan.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pemberian suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan KPU.
Pasal
86
(1)
Pemilih tunanetra, tunadaksa, atau yang
mempunyai halangan fisik lain pada saat memberikan suaranya di TPS dapat
dibantu oleh petugas KPPS atau orang lain atas permintaan Pemilih.
(2)
Petugas KPPS atau orang lain yang
membantu Pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib merahasiakan pilihan
Pemilih yang dibantunya.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian
bantuan kepada Pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan KPU.
Pasal
87
(1)
Pemilih untuk setiap TPS paling banyak
800 (delapan ratus) orang.
(2)
TPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditentukan lokasinya di tempat yang mudah dijangkau.
(3)
Jumlah, lokasi, bentuk, dan tata letak
TPS ditetapkan oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota.
(4)
Jumlah surat suara di setiap TPS sama
dengan jumlah Pemilih yang tercantum di dalam Daftar Pemilih Tetap dan Daftar
Pemilih Tambahan ditambah dengan 2,5% (dua koma lima persen) dari Daftar
Pemilih Tetap sebagai cadangan.
(5)
Penggunaan surat suara cadangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibuatkan berita acara.
Pasal
88
(1)
Untuk keperluan pemungutan suara dalam
Pemilihan disediakan kotak suara sebagai tempat surat suara yang digunakan oleh
Pemilih.
(2)
Ketentuan mengenai jumlah, bahan, bentuk,
ukuran, dan warna kotak suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan KPU.
Pasal
89
(1)
Pelaksanaan pemungutan suara di TPS
dipimpin oleh KPPS.
(2)
Pemberian suara dilaksanakan oleh
Pemilih.
(3)
Pelaksanaan pemungutan suara disaksikan
oleh saksi calon.
(4)
Saksi calon sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) harus menyerahkan mandat tertulis dari calon.
(5)
Penanganan ketenteraman, ketertiban, dan keamanan di setiap TPS dilaksanakan
oleh 2 (dua) orang petugas yang ditetapkan oleh PPS.
(6)
Pengawasan pemungutan suara dilaksanakan
oleh PPL dan Pengawas TPS.
(7)
Pemantauan pemungutan suara dilaksanakan
oleh pemantau Pemilihan yang telah diakreditasi oleh KPU Provinsi atau KPU
Kabupaten/Kota.
Pasal
90
(1)
Dalam rangka persiapan pemungutan suara,
KPPS melakukan kegiatan yang meliputi:
a.
penyiapan TPS;
b.
pengumuman dengan menempelkan Daftar
Pemilih Tetap, Daftar Pemilih Tambahan, serta nama dan foto Calon di TPS; dan
c.
penyerahan salinan Daftar Pemilih Tetap
dan Daftar Pemilih Tambahan kepada saksi yang hadir dan Pengawas TPS.
(2)
Dalam pelaksanaan pemungutan suara, KPPS
melakukan kegiatan yang meliputi:
a.
pemeriksaan persiapan akhir pemungutan
suara;
b.
rapat pemungutan suara;
c.
pengucapan sumpah atau janji anggota KPPS
dan petugas ketenteraman, ketertiban, dan keamanan TPS;
d.
penjelasan kepada Pemilih tentang tata
cara pemungutan suara; dan
e.
pelaksanaan pemberian suara.
Pasal
91
(1)
Sebelum melaksanakan pemungutan suara,
KPPS:
a.
membuka kotak suara;
b.
mengeluarkan seluruh isi kotak suara;
c.
mengidentifikasi jenis dokumen dan
peralatan;
d.
menghitung jumlah setiap jenis dokumen
dan peralatan;
e.
memeriksa keadaan seluruh surat suara;
dan
f.
menandatangani surat suara yang akan
digunakan oleh Pemilih.
(2)
Kegiatan KPPS sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dihadiri oleh saksi calon, panitia pengawas, pemantau, dan
masyarakat.
(3)
Kegiatan KPPS sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib dibuatkan berita acara yang ditandatangani oleh Ketua KPPS dan
paling sedikit 2 (dua) anggota KPPS serta dapat ditandatangani oleh saksi
calon.
Pasal
92
(1)
Setelah melakukan kegiatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 91, KPPS memberikan penjelasan mengenai tata cara
pemungutan suara.
(2)
Dalam memberikan suara, Pemilih diberi
kesempatan oleh KPPS berdasarkan prinsip urutan kehadiran Pemilih.
(3)
Dalam hal surat suara yang diterima rusak
atau terdapat kekeliruan dalam cara memberikan suara, Pemilih dapat meminta
surat suara pengganti kepada KPPS.
(4)
KPPS memberikan surat suara pengganti
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya 1 (satu) kali.
(5)
Penentuan waktu pemungutan suara dimulai
pukul 07.00 dan berakhir pada pukul 13.00 waktu setempat.
Pasal
93
(1)
Pemilih yang telah memberikan suara di
TPS diberi tanda khusus oleh KPPS.
(2)
Ketentuan mengenai tanda khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan KPU.
Pasal
94
Surat
suara untuk Pemilihan dinyatakan sah jika:
a.
surat suara ditandatangani oleh Ketua
KPPS; dan
b.
pemberian tanda satu kali pada nomor
urut, foto, atau nama salah satu Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon
Walikota dalam surat suara.
Pasal
95
(1)
Pemilih yang berhak mengikuti pemungutan
suara di TPS meliputi:
a.
Pemilih yang terdaftar pada Daftar
Pemilih Tetap pada TPS yang bersangkutan; dan
b.
Pemilih yang terdaftar pada Daftar
Pemilih Tambahan.
(2)
Pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat menggunakan haknya untuk memilih di TPS lain dengan menunjukkan surat
pemberitahuan dari PPS untuk memberikan suara di TPS lain.
(3)
Dalam hal Pemilih tidak terdaftar dalam
daftar Pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemilih dapat menggunakan
haknya untuk memilih di TPS sesuai domisili dengan menunjukkan Kartu Tanda
Penduduk Elektronik atau surat keterangan penduduk.
(4)
Dalam hal terdapat Pemilih tambahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), KPPS pada TPS tersebut mencatat dan melaporkan
kepada KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota melalui PPK.
Pasal
96
(1)
Pemilih tidak boleh membubuhkan tulisan
dan/atau catatan lain pada surat suara.
(2)
Dalam hal surat suara terdapat tulisan
dan/atau catatan lain maka surat suara dinyatakan tidak sah.
Pasal
97
(1)
Dalam hal terjadi pelanggaran ketenteraman, ketertiban, dan keamanan dalam
pelaksanaan pemungutan suara oleh anggota masyarakat atau pemantau Pemilihan,
petugas ketenteraman, ketertiban, dan keamanan melakukan penanganan sesuai
prosedur yang telah ditetapkan.
(2)
Dalam hal anggota masyarakat dan/atau pemantau Pemilihan tidak mematuhi
penanganan yang dilakukan oleh petugas ketenteraman, ketertiban, dan keamanan
maka yang bersangkutan diserahkan kepada petugas Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
BAB
XIV
PENGHITUNGAN
SUARA
Bagian Kesatu
Penghitungan
Suara di TPS
Pasal 98
(1)
Penghitungan suara di TPS dilakukan oleh
KPPS setelah pemungutan suara berakhir.
(2)
Sebelum penghitungan suara dimulai, KPPS
menghitung:
a.
jumlah Pemilih yang memberikan suara
berdasarkan salinan Daftar Pemilih Tetap untuk TPS;
b.
jumlah Pemilih dari TPS lain;
c.
jumlah Pemilih yang menggunakan dasar
Kartu Tanda Penduduk Elektronik dan/atau surat keterangan penduduk;
d.
jumlah surat suara yang tidak terpakai;
dan
e.
jumlah surat suara yang dikembalikan oleh
Pemilih karena rusak atau keliru ditandai.
(3)
Dalam hal pemberian suara dilakukan
dengan cara elektronik, penghitungan suara dilakukan dengan cara manual
dan/atau elektronik.
(4)
Penggunaan surat suara cadangan wajib
dibuatkan berita acara yang ditandatangani oleh Ketua KPPS dan paling sedikit 2
(dua) orang anggota KPPS.
(5)
Penghitungan suara dilakukan sampai
dengan selesai di TPS oleh KPPS dan dihadiri oleh saksi calon, pengawas TPS,
pemantau, dan masyarakat.
(6)
Saksi calon harus membawa surat mandat
dari calon yang bersangkutan dan menyerahkannya kepada Ketua KPPS.
(7)
Penghitungan suara dilakukan dengan cara
yang memungkinkan saksi calon, panitia pengawas, pemantau, dan masyarakat yang
hadir dapat menyaksikan secara jelas proses penghitungan suara.
(8)
Dalam hal terdapat proses penghitungan
suara yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, saksi
calon yang hadir dapat mengajukan keberatan kepada KPPS.
(9)
Dalam hal keberatan yang diajukan oleh
saksi calon sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dapat diterima, KPPS seketika
itu juga mengadakan pembetulan.
(10)
Segera setelah selesai penghitungan suara di TPS, KPPS membuat berita acara dan
sertifikat hasil penghitungan suara yang ditandatangani oleh Ketua KPPS dan
paling sedikit 2 (dua) orang anggota KPPS serta dapat ditandatangani oleh saksi
calon.
(11)
KPPS wajib memberikan 1 (satu) eksemplar salinan berita acara dan sertifikat
hasil penghitungan suara kepada saksi calon Gubernur, saksi calon Bupati, saksi
calon Walikota, PPL, PPS, PPK melalui PPS serta menempelkan 1 (satu) eksemplar
sertifikat hasil penghitungan suara pada tempat pengumuman di TPS selama 7
(tujuh) hari.
Pasal
99
PPS
wajib mengumumkan salinan sertifikat hasil penghitungan suara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 98 ayat (11) dari seluruh TPS di wilayah kerjanya dengan
menempelkan salinan tersebut di tempat umum selama 7 (tujuh) hari.
Bagian
Kedua
Rekapitulasi
Penghitungan Suara di PPS
Pasal 100
(1)
PPS membuat berita acara penerimaan hasil
penghitungan perolehan suara calon peserta Pemilihan dari KPPS.
(2)
PPS melakukan rekapitulasi hasil
penghitungan perolehan suara calon peserta Pemilihan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dalam rapat yang dihadiri saksi calon, PPL, pemantau, dan masyarakat.
(3)
Rekapitulasi hasil penghitungan perolehan
suara dilakukan dengan membuka kotak suara tersegel untuk mengambil sampul yang
berisi berita acara pemungutan suara dan sertifikat hasil penghitungan
perolehan suara, kemudian kotak ditutup dan disegel kembali.
(4)
PPS membuat berita acara rekapitulasi
hasil penghitungan perolehan suara calon peserta Pemilihan dan membuat
sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara.
(5)
PPS mengumumkan hasil rekapitulasi
penghitungan perolehan suara calon peserta Pemilihan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) di tempat umum selama 7 (tujuh) hari.
(6)
PPS menyerahkan berita acara rekapitulasi
hasil penghitungan perolehan suara calon peserta Pemilihan serta sertifikat
rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara tersebut kepada saksi calon,
PPL, dan PPK.
(7)
Saksi calon sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dan ayat (6) harus membawa surat mandat dari calon yang bersangkutan.
(8)
Dalam hal proses penghitungan suara oleh
PPS tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, saksi calon
yang hadir dapat mengajukan keberatan kepada PPS.
(9)
Dalam hal keberatan yang diajukan oleh
saksi calon sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dapat diterima, PPS seketika itu
juga mengadakan pembetulan.
Pasal
101
(1)
PPL wajib menyampaikan laporan atas
dugaan pelanggaran, penyimpangan, dan/atau kesalahan dalam pelaksanaan
rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Calon Gubernur, Calon Bupati,
atau Calon Walikota kepada PPS.
(2)
PPS wajib langsung menindaklanjuti
laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada hari pelaksanaan rekapitulasi
hasil penghitungan perolehan suara calon peserta Pemilihan.
Pasal
102
(1)
Rekapitulasi hasil penghitungan perolehan
suara di PPS dituangkan ke dalam berita acara rekapitulasi hasil penghitungan
perolehan suara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara
calon Peserta Pemilihan dengan menggunakan format yang diatur dalam Peraturan
KPU.
(2)
Berita acara rekapitulasi hasil
penghitungan perolehan suara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan
perolehan suara calon peserta Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditandatangani oleh seluruh anggota PPS dan saksi calon yang hadir yang
bersedia menandatangani.
Pasal
103
(1)
Dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari
setelah pemungutan suara, PPS wajib menyerahkan kepada PPK:
a.
surat suara Calon Gubernur, Calon Bupati,
dan Calon Walikota dari TPS dalam kotak suara tersegel;
b.
berita acara rekapitulasi hasil
penghitungan perolehan suara; dan
c.
sertifikat rekapitulasi hasil
penghitungan perolehan suara calon peserta Pemilihan di tingkat PPS.
(2)
Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilampiri berita acara pemungutan suara dan sertifikat hasil penghitungan
perolehan suara dari PPS.
Bagian
Ketiga
Rekapitulasi
Penghitungan Suara di PPK
Pasal 104
(1)
Setelah menerima berita acara dan
sertifikat hasil penghitungan suara dari PPS, PPK membuat berita acara
penerimaan dan melakukan rekapitulasi jumlah suara untuk tingkat Kecamatan yang
dapat dihadiri oleh saksi calon, Panwas Kecamatan, pemantau, dan masyarakat.
(2)
Saksi calon harus membawa surat mandat
dari calon yang bersangkutan dan menyerahkannya kepada PPK.
(3)
Dalam hal proses penghitungan suara
oleh PPK tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, saksi calon yang
hadir dapat mengajukan keberatan terhadap jalannya penghitungan suara kepada
PPK.
(4)
Dalam hal keberatan yang diajukan oleh
saksi calon sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diterima, PPK seketika itu
juga mengadakan pembetulan.
(5)
Setelah selesai melakukan rekapitulasi
hasil penghitungan suara yang berasal dari seluruh PPS dalam wilayah kerja
Kecamatan yang bersangkutan, PPK membuat berita acara dan sertifikat
rekapitulasi hasil penghitungan suara yang ditandatangani oleh ketua dan paling
sedikit 2 (dua) orang anggota PPK serta saksi calon yang hadir yang bersedia
menandatangani.
(6)
PPK wajib memberikan 1 (satu) eksemplar
salinan berita acara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara di
PPK kepada para Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota atau saksi
calon dan Panwas Kecamatan yang ditunjuk serta menempelkan 1 (satu) eksemplar
sertifikat hasil penghitungan suara pada papan pengumuman di PPK selama 7 (
tujuh) hari.
(7)
PPK wajib menyerahkan berita acara
pemungutan suara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara kepada
KPU Kabupaten/Kota paling lambat 3 (tiga) hari setelah berita acara dan
sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara dari PPS diterima.
(8)
Berita acara dan sertifikat
rekapitulasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) beserta kelengkapannya
dimasukkan dalam sampul khusus dan dimasukkan ke dalam kotak suara yang
disediakan yang pada bagian luar ditempel label atau disegel.
(9)
PPK wajib menjaga dan mengamankan
keutuhan kotak suara.
(10)
Penyerahan berita acara dan sertifikat
beserta kelengkapannya sebagaimana dimaksud pada ayat (7) wajib diawasi oleh
Panwas Kecamatan dan wajib dilaporkan kepada Panwas Kabupaten/Kota.
Bagian
Ketiga
Rekapitulasi
Penghitungan Suara di KPU Kabupaten/Kota
Pasal 105
(1)
Setelah menerima berita acara dan
sertifikat hasil penghitungan suara dari PPK, KPU Kabupaten/Kota membuat berita
acara penerimaan dan melakukan rekapitulasi jumlah suara untuk tingkat
Kabupaten/Kota yang dapat dihadiri oleh saksi calon, Panwas Kabupaten/Kota,
pemantau, dan masyarakat.
(2)
Saksi calon harus membawa surat mandat
dari calon yang bersangkutan dan menyerahkannya kepada KPU Kabupaten/Kota.
(3)
Dalam hal rekapitulasi jumlah suara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan, saksi calon yang hadir dapat mengajukan keberatan kepada
KPU Kabupaten/Kota.
(4)
Dalam hal keberatan yang diajukan oleh
saksi calon sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diterima, KPU
Kabupaten/Kota seketika itu juga mengadakan pembetulan.
(5)
Setelah selesai melakukan rekapitulasi
hasil penghitungan suara dari semua PPK dalam wilayah kerja Kabupaten/Kota yang
bersangkutan, KPU Kabupaten/Kota membuat berita acara dan sertifikat
rekapitulasi hasil penghitungan suara yang ditandatangani oleh Ketua KPU
Kabupaten/Kota dan paling sedikit 2 (dua) orang anggota KPU Kabupaten/Kota
serta saksi calon yang hadir yang bersedia menandatangani.
(6)
KPU Kabupaten/Kota wajib memberikan 1
(satu) eksemplar salinan berita acara dan sertifikat rekapitulasi hasil
penghitungan suara di KPU Kabupaten/Kota kepada Calon Gubernur, Calon Bupati,
atau Calon Walikota atau saksi calon dan Panwas Kabupaten/Kota dan menempelkan
1 (satu) eksemplar sertifikat hasil penghitungan suara pada tempat pengumuman
di KPU Kabupaten/Kota selama 7 (tujuh) hari.
(7)
Setelah membuat berita acara dan
sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara sebagaimana dimaksud pada ayat
(5), KPU Kabupaten/Kota menetapkan Calon Bupati dan Calon Walikota terpilih
dalam pleno KPU Kabupaten/Kota dalam waktu paling lama 1 (satu) hari.
(8)
KPU Kabupaten/Kota mengumumkan penetapan
rekapitulasi hasil penghitungan suara dan penetapan Calon Bupati dan Calon
Walikota terpilih dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari.
Pasal
106
(1)
Dalam hal Pemilihan Gubernur, KPU
Kabupaten/Kota wajib menyerahkan berita acara pemungutan suara dan sertifikat
hasil penghitungan suara kepada KPU Provinsi dalam waktu paling lambat 3 (tiga)
hari setelah berita acara dan sertifikat hasil penghitungan suara dari KPPS
melalui PPK diterima.
(2)
Berita Acara dan sertifikat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) beserta kelengkapannya dimasukkan dalam sampul khusus
dan selanjutnya dimasukkan dalam kotak suara yang disediakan yang pada bagian
luar ditempel label atau disegel.
(3)
KPU Kabupaten/Kota wajib menjaga dan mengamankan
keutuhan kotak suara.
(4)
Penyerahan berita acara dan sertifikat
beserta kelengkapannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diawasi oleh
Bawaslu Provinsi.
Pasal
107
(1)
Calon Bupati dan Calon Walikota yang
memperoleh suara lebih dari 30% (tiga puluh persen) dari jumlah suara sah
ditetapkan sebagai Calon Bupati terpilih dan Calon Walikota terpilih.
(2)
Dalam hal tidak ada Calon Bupati dan
Calon Walikota yang memperoleh suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
diadakan Pemilihan Bupati dan Pemilihan Walikota putaran kedua yang diikuti
oleh calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua pada putaran
pertama.
(3)
Calon Bupati dan Calon Walikota yang
memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah suara sah pada putaran
kedua ditetapkan sebagai Bupati terpilih dan Walikota terpilih.
Bagian
Keempat
Rekapitulasi
Penghitungan Suara di KPU Provinsi
Pasal 108
(1)
Setelah menerima berita acara dan
sertifikat hasil penghitungan suara dari KPU Kabupaten/Kota, KPU Provinsi
membuat berita acara penerimaan dan melakukan rekapitulasi jumlah suara untuk
tingkat Provinsi yang dapat dihadiri oleh saksi calon, Bawaslu Provinsi,
pemantau, dan masyarakat.
(2)
Saksi calon harus membawa surat mandat
dari calon yang bersangkutan dan menyerahkannya kepada KPU Provinsi.
(3)
Dalam hal penghitungan suara oleh KPU
Provinsi tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, saksi
calon yang hadir dapat mengajukan keberatan kepada KPU Provinsi.
(4)
Dalam hal keberatan yang diajukan oleh
saksi calon sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diterima, KPU Provinsi
seketika itu juga mengadakan pembetulan.
(5)
Setelah selesai melakukan rekapitulasi
hasil penghitungan suara dari semua KPU Kabupaten/Kota, KPU Provinsi membuat
berita acara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara yang
ditandatangani oleh Ketua KPU Provinsi dan paling sedikit 2 (dua) orang anggota
KPU Provinsi serta saksi calon yang hadir yang bersedia menandatangani.
(6)
KPU Provinsi wajib memberikan 1 (satu)
eksemplar salinan berita acara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan
suara di KPU Provinsi kepada para Calon Gubernur atau saksi calon dan Bawaslu
Provinsi dan menempelkan 1 (satu) eksemplar sertifikat hasil penghitungan suara
pada tempat pengumuman di KPU Provinsi selama 7 (tujuh) hari. (7) Setelah
membuat berita acara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara sebagaimana
dimaksud pada ayat (5), KPU Provinsi menetapkan Calon Gubernur terpilih dalam
pleno KPU dalam waktu paling lama 1 (satu) hari.
(8)
KPU Provinsi mengumumkan penetapan
rekapitulasi hasil penghitungan suara dan penetapan calon Gubernur terpilih dalam
waktu paling lama 3 (tiga) hari.
Pasal
109
(1)
Calon Gubernur yang memperoleh suara
lebih dari 30% (tiga puluh persen) dari jumlah suara sah ditetapkan sebagai
Gubernur terpilih.
(2)
Dalam hal tidak ada Calon Gubernur yang
memperoleh suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diadakan Pemilihan
Gubernur putaran kedua yang diikuti oleh calon yang memperoleh suara terbanyak
pertama dan kedua pada putaran pertama.
(3)
Calon Gubernur yang memperoleh suara
lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah suara sah pada putaran kedua
ditetapkan sebagai Gubernur terpilih.
Bagian
Kelima
Pengawasan dan
Sanksi dalam Penghitungan Suara dan
Rekapitulasi
Penghitungan Suara
Pasal 110
(1)
Bawaslu Provinsi, Panwas Kabupaten/Kota,
Panwas Kecamatan, dan PPL melakukan pengawasan atas rekapitulasi penghitungan
suara yang dilaksanakan oleh KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, dan KPPS.
(2)
Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan terhadap kemungkinan adanya pelanggaran, penyimpangan, dan/atau
kesalahan oleh anggota KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, dan KPPS dalam
melakukan rekapitulasi penghitungan suara.
(3)
Dalam hal terdapat bukti permulaan yang
cukup adanya pelanggaran, penyimpangan, dan/atau kesalahan dalam rekapitulasi
penghitungan suara, Bawaslu Provinsi, Panwas Kabupaten/Kota, Panwas Kecamatan,
dan PPL melaporkan adanya pelanggaran, penyimpangan, dan/atau kesalahan kepada
petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(4)
Anggota KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota,
PPK, PPS, dan KPPS yang melakukan pelanggaran, penyimpangan, dan/atau kesalahan
dikenai tindakan hukum sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
Pasal
111
(1)
Mekanisme penghitungan dan rekapitulasi
suara Pemilihan secara manual dan/atau menggunakan sistem penghitungan suara
secara elektronik diatur dengan Peraturan KPU.
(2)
Peraturan KPU sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan setelah dikonsultasikan dengan Pemerintah.
BAB
XV
PEMUNGUTAN
SUARA ULANG, PENGHITUNGAN
SUARA ULANG,
DAN REKAPITULASI HASIL PENGHITUNGAN
SUARA ULANG
Bagian Kesatu
Pemungutan
Suara Ulang
Pasal 112
(1)
Pemungutan suara di TPS dapat diulang
jika terjadi gangguan keamanan yang mengakibatkan hasil pemungutan suara tidak
dapat digunakan atau penghitungan suara tidak dapat dilakukan.
(2)
Pemungutan suara di TPS dapat diulang
jika dari hasil penelitian dan pemeriksaan Panwas Kecamatan terbukti terdapat 1
(satu) atau lebih keadaan sebagai berikut:
a.
pembukaan kotak suara dan/atau berkas
pemungutan dan penghitungan suara tidak dilakukan menurut tata cara yang
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan;
b.
petugas KPPS meminta Pemilih memberi
tanda khusus, menandatangani, atau menulis nama atau alamatnya pada surat suara
yang sudah digunakan;
c.
petugas KPPS merusak lebih dari satu surat suara yang sudah digunakan oleh
Pemilih sehingga surat suara tersebut menjadi tidak sah;
d.
lebih dari seorang Pemilih menggunakan hak pilih lebih dari satu kali, pada TPS
yang sama atau TPS yang berbeda; dan/atau
e.
lebih dari seorang Pemilih yang tidak terdaftar sebagai Pemilih, mendapat
kesempatan memberikan suara pada TPS.
Bagian
Kedua
Penghitungan
Suara Ulang dan
Rekapitulasi
Penghitungan Suara Ulang
Pasal 113
(1)
Penghitungan suara ulang meliputi:
a.
penghitungan ulang surat suara di TPS;
atau
b.
penghitungan ulang surat suara di PPS.
(2)
Penghitungan ulang suara di TPS dilakukan
seketika itu juga jika:
a.
penghitungan suara dilakukan secara
tertutup;
b.
penghitungan suara dilakukan di tempat yang kurang terang atau yang kurang
mendapat penerangan cahaya;
c.
penghitungan suara dilakukan dengan suara
yang kurang jelas;
d.
penghitungan suara dicatat dengan tulisan
yang kurang jelas;
e.
saksi calon, PPL, dan masyarakat tidak
dapat menyaksikan proses penghitungan suara secara jelas;
f.
penghitungan suara dilakukan di tempat
lain atau waktu lain dari yang telah ditentukan; dan/atau
g.
terjadi ketidakkonsistenan dalam
menentukan surat suara yang sah dan surat suara yang tidak sah.
(3)
Dalam hal terjadi keadaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), saksi calon atau PPL dapat mengusulkan penghitungan
ulang surat suara di TPS yang bersangkutan.
(4)
Dalam hal TPS sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) tidak dapat melakukan penghitungan suara ulang, saksi calon atau PPL
dapat mengusulkan penghitungan ulang surat suara di PPS.
(5)
Penghitungan ulang surat suara di TPS
atau PPS harus dilaksanakan dan selesai pada hari yang sama dengan hari
pemungutan suara.
Pasal
114
Dalam
hal TPS atau PPS tidak dapat melakukan penghitungan suara ulang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 113 ayat (5), pelaksanaan penghitungan suara ulang
dilakukan oleh panitia pemilihan setingkat di atasnya paling lama 2 (dua) hari
setelah hari pemungutan suara.
Pasal
115
Rekapitulasi
hasil penghitungan perolehan suara di PPS, PPK,
KPU
Kabupaten/Kota, dan KPU Provinsi dapat diulang jika terjadi keadaan sebagai
berikut:
a.
kerusuhan yang mengakibatkan rekapitulasi
hasil penghitungan suara tidak dapat dilanjutkan;
b.
rekapitulasi hasil penghitungan suara
dilakukan secara tertutup;
c.
rekapitulasi hasil penghitungan suara dilakukan di tempat yang kurang terang
atau kurang mendapatkan penerangan cahaya;
d.
rekapitulasi hasil penghitungan suara
dilakukan dengan suara yang kurang jelas;
e.
rekapitulasi hasil penghitungan suara
dicatat dengan tulisan yang kurang jelas;
f.
saksi calon, pengawas penyelenggara
Pemilihan, pemantau, dan masyarakat tidak dapat menyaksikan proses rekapitulasi
hasil penghitungan suara secara jelas; dan/atau
g.
rekapitulasi hasil penghitungan suara
dilakukan di tempat lain di luar tempat dan waktu yang telah ditentukan.
Pasal
116
(1)
Dalam hal terjadi keadaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 115, saksi calon dan pengawas penyelenggara Pemilihan
dapat mengusulkan untuk dilaksanakan rekapitulasi hasil penghitungan suara
ulang di PPS, PPK, KPU Kabupaten/Kota, dan KPU Provinsi yang bersangkutan.
(2)
Rekapitulasi hasil penghitungan suara
ulang di PPS, PPK, KPU Kabupaten/Kota, dan KPU Provinsi harus dilaksanakan dan
selesai pada hari yang sama dengan pelaksanaan rekapitulasi.
Pasal
117
(1)
Dalam hal terdapat perbedaan jumlah suara
pada sertifikat hasil penghitungan suara dari TPS dengan sertifikat hasil
penghitungan suara yang diterima PPS dari TPS, saksi calon tingkat Kecamatan
dan saksi calon di TPS, Panwas Kecamatan, atau PPL maka PPS melakukan penghitungan
suara ulang untuk TPS yang bersangkutan.
(2)
Penghitungan dan rekapitulasi hasil
penghitungan suara ulang di PPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
paling lama 4 (empat) hari setelah tanggal pemungutan suara.
Pasal
118
Penghitungan
suara ulang untuk TPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 ayat (1) dilakukan
dengan cara membuka kotak suara yang hanya dilakukan di PPS.
Pasal
119
(1)
Dalam hal terdapat perbedaan jumlah suara
dalam sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara pemilihan
Gubernur dari PPS dengan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan
suara yang diterima oleh PPK, KPU Kabupaten/Kota, saksi calon tingkat
Kabupaten/Kota, dan saksi calon tingkat Kecamatan, Panwas Kabupaten/Kota, atau
Panwas Kecamatan, maka KPU Kabupaten/Kota melakukan pembetulan data melalui
pengecekan dan/atau rekapitulasi ulang data yang termuat dalam sertifikat
rekapitulasi hasil penghitungan suara untuk PPS yang bersangkutan.
(2)
Dalam hal terdapat perbedaan jumlah suara
dalam sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara pemilihan
Bupati dan Walikota dari PPS dengan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan
suara yang diterima oleh PPK, KPU Kabupaten/Kota, saksi calon tingkat
Kabupaten/Kota, dan saksi calon tingkat Kecamatan, Panwas Kabupaten/Kota, atau
Panwas Kecamatan maka KPU Kabupaten/Kota melakukan pembetulan data melalui
pengecekan dan/atau rekapitulasi ulang data yang termuat dalam sertifikat
rekapitulasi hasil penghitungan suara untuk PPS yang bersangkutan.
(3)
Dalam hal terdapat perbedaan jumlah suara
dalam sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Pemilihan
Gubernur dari KPU Kabupaten/Kota dengan sertifikat rekapitulasi hasil
penghitungan suara yang diterima oleh KPU Provinsi, saksi peserta tingkat
Provinsi, saksi peserta tingkat Kabupaten/Kota, Panwas Kabupaten/Kota, dan
Bawaslu Provinsi maka KPU Provinsi melakukan pembetulan data melalui pengecekan
dan/atau rekapitulasi ulang data yang termuat dalam sertifikat rekapitulasi hasil
penghitungan suara untuk KPU Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
BAB
XVI
PEMILIHAN
LANJUTAN DAN PEMILIHAN SUSULAN
Pasal 120
(1)
Dalam hal sebagian atau seluruh wilayah
Pemilihan terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan
lainnya yang mengakibatkan sebagian tahapan penyelenggaraan Pemilihan tidak
dapat dilaksanakan maka dilakukan Pemilihan lanjutan.
(2)
Pelaksanaan Pemilihan lanjutan dimulai
dari tahap penyelenggaraan Pemilihan yang terhenti.
Pasal
121
(1)
Dalam hal di suatu wilayah Pemilihan
terjadi bencana alam, kerusuhan, gangguan keamanan, dan/atau gangguan lainnya
yang mengakibatkan terganggunya seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilihan maka
dilakukan Pemilihan susulan.
(2)
Pelaksanaan Pemilihan susulan dilakukan
untuk seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilihan.
Pasal
122
(1)
Pemilihan lanjutan dan Pemilihan susulan
dilaksanakan setelah penetapan penundaan pelaksanaan Pemilihan diterbitkan.
(2)
Penetapan penundaan pelaksanaan Pemilihan
dilakukan oleh:
a.
KPU Kabupaten/Kota atas usul PPK dalam
hal penundaan pelaksanaan Pemilihan meliputi 1 (satu) atau beberapa Desa atau
sebutan lain/Kelurahan;
b.
KPU Kabupaten/Kota atas usul PPK dalam
hal penundaan pelaksanaan Pemilihan meliputi 1 (satu) atau beberapa Kecamatan;
atau
c.
KPU Provinsi atas usul KPU Kabupaten/Kota
dalam hal penundaan pelaksanaan Pemilihan meliputi 1 (satu) atau beberapa Kabupaten/Kota.
(3)
Dalam hal pemilihan Gubernur tidak dapat
dilaksanakan di 40% (empat puluh persen) jumlah Kabupaten/Kota atau 50% (lima
puluh persen) dari jumlah Pemilih terdaftar tidak dapat menggunakan haknya
untuk memilih, penetapan Pemilihan Gubernur lanjutan atau Pemilihan Gubernur
susulan dilakukan oleh Menteri atas usul KPU Provinsi.
(4)
Dalam hal pemilihan Bupati dan Walikota
tidak dapat dilaksanakan di 40% (empat puluh persen) jumlah Kecamatan atau 50%
(lima puluh persen) dari jumlah pemilih terdaftar tidak dapat menggunakan
haknya untuk memilih, penetapan Pemilihan Bupati/Walikota lanjutan atau Bupati
dan Walikota susulan dilakukan oleh Gubernur atas usul KPU Kabupaten/Kota.
(5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
dan waktu pelaksanaan Pemilihan lanjutan dan Pemilihan susulan diatur dalam Peraturan KPU.
BAB
XVII
PEMANTAU
Pasal 123
(1)
Pelaksanaan Pemilihan dapat dipantau oleh
pemantau Pemilihan.
(2)
Pemantau Pemilihan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi:
a.
organisasi kemasyarakatan pemantau
Pemilihan dalam negeri yang terdaftar di Pemerintah; dan
b.
lembaga pemantau Pemilihan asing.
(3)
Lembaga pemantau Pemilihan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi persyaratan yang meliputi:
a.
bersifat independen;
b.
mempunyai sumber dana yang jelas; dan
c.
terdaftar dan memperoleh akreditasi dari
KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota sesuai dengan cakupan wilayah
pemantauannya.
(4)
Selain harus memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pemantau Pemilihan asing juga harus
memenuhi persyaratan khusus:
a.
mempunyai kompetensi dan pengalaman
sebagai pemantau pemilihan di negara lain yang dibuktikan dengan surat
pernyataan dari organisasi pemantau yang bersangkutan atau dari pemerintah negara
lain tempat yang bersangkutan pernah melakukan pemantauan;
b.
memperoleh visa untuk menjadi pemantau
pemilihan dari Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri; dan
c.
memenuhi tata cara melakukan pemantauan
yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5)
Lembaga pemantau Pemilihan asing
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b wajib melapor dan mendaftar ke KPU
atas rekomendasi Kementerian Luar Negeri.
Pasal
124
(1)
Lembaga pemantau Pemilihan wajib
menyampaikan laporan hasil pemantauannya kepada KPU Provinsi dan KPU
Kabupaten/Kota dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah pelantikan
Gubernur, Bupati, dan Walikota terpilih.
(2)
Lembaga pemantau Pemilihan wajib mematuhi
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3)
Lembaga pemantau Pemilihan yang tidak
mematuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau tidak lagi
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (3), dicabut
haknya sebagai pemantau Pemilihan.
Pasal
125
(1)
Untuk menjadi pemantau Pemilihan, lembaga
pemantau mendaftarkan kepada KPU Provinsi untuk Pemilihan Gubernur dan kepada
KPU Kabupaten/Kota untuk Pemilihan Bupati dan Walikota.
(2)
Pendaftaran sebagai pemantau Pemilihan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengisi formulir
pendaftaran dengan menyerahkan kelengkapan administrasi yang meliputi:
a.
profil organisasi lembaga pemantau;
b.
nama dan jumlah anggota pemantau;
c.
alokasi anggota pemantau Pemilihan
Gubernur masing-masing di Provinsi, Kabupaten/Kota, dan Kecamatan;
d.
alokasi anggota pemantau pemilihan Bupati
dan Walikota masing-masing di Kabupaten/Kota dan Kecamatan;
e.
rencana dan jadwal kegiatan pemantauan
serta daerah yang ingin dipantau;
f.
nama, alamat, dan pekerjaan pengurus
lembaga pemantau;
g.
pas foto terbaru pengurus lembaga
pemantau; dan
h.
sumber dana.
(3)
KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota
melakukan penelitian terhadap kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 123.
(4)
Dalam hal persyaratan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) terpenuhi, KPU Provinsi memberikan akreditasi kepada
lembaga pemantau Pemilihan Gubernur.
(5)
Dalam hal persyaratan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) terpenuhi, KPU Kabupaten/Kota memberikan akreditasi
kepada lembaga pemantau Pemilihan Bupati dan Walikota.
Pasal
126
Lembaga
pemantau Pemilihan mempunyai hak:
a.
mendapatkan akses di wilayah Pemilihan;
b.
mendapatkan perlindungan hukum dan
keamanan;
c.
mengamati dan mengumpulkan informasi jalannya
proses pelaksanaan Pemilihan dari tahap awal sampai tahap akhir;
d.
berada di lingkungan TPS pada hari
pemungutan suara dan memantau jalannya proses pemungutan dan penghitungan
suara;
e.
mendapat akses informasi dari KPU
Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota; dan
f.
menggunakan perlengkapan untuk
mendokumentasikan kegiatan pemantauan sepanjang berkaitan dengan pelaksanaan
Pemilihan.
Pasal
127
Lembaga
pemantau Pemilihan wajib:
a.
mematuhi kode etik pemantau Pemilihan
yang diterbitkan oleh KPU;
b.
mematuhi permintaan untuk meninggalkan
atau tidak memasuki daerah atau tempat tertentu atau untuk meninggalkan TPS
atau tempat penghitungan suara dengan alasan keamanan;
c.
menanggung sendiri semua biaya selama
kegiatan pemantauan berlangsung;
d.
menyampaikan hasil pemantauan mengenai
pemungutan dan penghitungan suara kepada KPU Provinsi dan/atau KPU
Kabupaten/Kota, serta pengawas penyelenggara Pemilihan sebelum pengumuman hasil
pemungutan suara;
e.
menghormati peranan, kedudukan, dan
wewenang penyelenggara Pemilihan serta menunjukkan sikap hormat dan sopan
kepada penyelenggara Pemilihan dan kepada Pemilih; dan
f.
melaksanakan perannya sebagai pemantau
secara tidak berpihak dan obyektif.
Pasal
128
Lembaga
pemantau Pemilihan dilarang:
a.
melakukan kegiatan yang mengganggu proses
pelaksanaan Pemilihan;
b.
mempengaruhi Pemilih dalam menggunakan
haknya untuk memilih;
c.
mencampuri pelaksanaan tugas dan wewenang
penyelenggara Pemilihan;
d.
memihak kepada peserta Pemilihan
tertentu;
e.
menggunakan seragam, warna, atau atribut
lain yang memberikan kesan mendukung atau menolak peserta Pemilihan;
f.
menerima atau memberikan hadiah,
imbalan, atau fasilitas apapun dari atau kepada peserta Pemilihan;
g.
mencampuri dengan cara apapun urusan
politik dan Pemerintahan dalam negeri Indonesia dalam hal pemantau merupakan
pemantau Pemilihan asing;
h.
membawa senjata, bahan peledak, dan/atau
bahan berbahaya lainnya selama melakukan pemantauan;
i.
masuk ke dalam TPS;
j.
menyentuh perlengkapan/alat pelaksanaan
Pemilihan termasuk surat suara tanpa persetujuan petugas Pemilihan; dan
k.
melakukan kegiatan lain selain yang
berkaitan dengan pemantauan Pemilihan.
Pasal
129
(1)
Lembaga pemantau Pemilihan yang melanggar
kewajiban dan larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 dan Pasal 128
dicabut status dan haknya sebagai pemantau Pemilihan.
(2)
Sebelum mencabut status dan hak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota wajib
mendengarkan penjelasan lembaga pemantau Pemilihan.
(3)
Pencabutan status dan hak lembaga
pemantau Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
Keputusan KPU Provinsi atau Keputusan KPU Kabupaten/Kota.
(4)
Lembaga pemantau Pemilihan yang telah
dicabut status dan haknya sebagai lembaga pemantau Pemilihan dilarang
menggunakan atribut lembaga pemantau Pemilihan dan melakukan kegiatan yang ada
hubungannya dengan pemantauan Pemilihan.
(5)
Pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan
yang bersifat tindak pidana dan/atau perdata yang dilakukan oleh pemantau
Pemilihan, dikenai sanksi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal
130
(1)
Setiap anggota lembaga pemantau Pemilihan
wajib memakai kartu tanda pengenal pemantau Pemilihan dalam melaksanakan
pemantauan Pemilihan.
(2)
Kartu tanda pengenal pemantau Pemilihan
diberikan oleh KPU Provinsi untuk Pemilihan Gubernur dan oleh KPU Kabupaten/Kota
untuk Pemilihan Bupati dan Walikota.
(3)
Lembaga pemantau Pemilihan wajib menaati
dan mematuhi semua ketentuan yang berkenaan dengan Pemilihan serta
memperhatikan kode etik pemantau Pemilihan.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai
pelaksanaan pemantauan Pemilihan diatur dalam Peraturan KPU.
BAB
XVIII
PARTISIPASI
MASYARAKAT
DALAM
PENYELENGGARAAN PEMILIHAN
Pasal 131
(1)
Untuk mendukung kelancaran
penyelenggaraan Pemilihan dapat melibatkan partisipasi masyarakat.
(2)
Partisipasi masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam bentuk pengawasan pada setiap
tahapan Pemilihan, sosialisasi Pemilihan, pendidikan politik bagi Pemilih,
survei atau jajak pendapat tentang Pemilihan, dan penghitungan cepat hasil
Pemilihan.
(3)
Partisipasi masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan ketentuan:
a.
tidak melakukan keberpihakan yang
menguntungkan atau merugikan salah satu Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon
Walikota;
b.
tidak mengganggu proses penyelenggaraan
tahapan Pemilihan;
c.
bertujuan meningkatkan partisipasi
politik masyarakat secara luas; dan
d.
mendorong terwujudnya suasana yang
kondusif bagi penyelenggaraan Pemilihan yang aman, damai, tertib, dan lancar.
Pasal
132
(1)
Pelaksana survei atau jajak pendapat dan
pelaksana penghitungan cepat hasil Pemilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
131 ayat (2) wajib melaporkan status badan hukum atau surat keterangan
terdaftar, susunan kepengurusan, sumber dana, alat, dan metodologi yang
digunakan kepada KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.
(2)
KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota
menetapkan lembaga yang dapat melaksanakan survei atau jajak pendapat dan
pelaksana penghitungan cepat hasil Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3)
Pelaksana survei atau jajak pendapat dan
Pelaksana penghitungan cepat hasil Pemilihan dalam mengumumkan dan/atau
menyebarluaskan hasilnya wajib memberitahukan bahwa hasil penghitungan cepat
yang dilakukannya bukan merupakan hasil resmi penyelenggara Pemilihan.
(4)
Ketentuan mengenai syarat dan tata cara
penetapan lembaga yang dapat melaksanakan survei atau jajak pendapat dan
pelaksana penghitungan cepat hasil Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dalam Peraturan KPU.
Pasal
133
Partisipasi
masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 ayat (2) wajib mengikuti
ketentuan yang diatur oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota.
BAB
XIX
PENANGANAN
LAPORAN PELANGGARAN PEMILIHAN
Pasal 134
(1)
Bawaslu Provinsi, Panwas Kabupaten/Kota,
Panwas Kecamatan, PPL, dan Pengawas TPS menerima laporan pelanggaran Pemilihan
pada setiap tahapan penyelenggaraan Pemilihan.
(2)
Laporan pelanggaran Pemilihan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan oleh:
a.
Pemilih;
b.
pemantau Pemilihan; atau
c.
peserta Pemilihan.
(3)
Laporan pelanggaran Pemilihan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) disampaikan secara tertulis yang memuat paling sedikit:
a.
nama dan alamat pelapor;
b.
pihak terlapor;
c.
waktu dan tempat kejadian perkara; dan
d.
uraian kejadian.
(4)
Laporan pelanggaran Pemilihan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) disampaikan paling lama 7 (tujuh) hari sejak diketahui
dan/atau ditemukannya pelanggaran Pemilihan.
(5)
Dalam hal laporan pelanggaran Pemilihan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah dikaji dan terbukti kebenarannya,
Bawaslu Provinsi, Panwas Kabupaten/Kota, Panwas Kecamatan, PPL, dan Pengawas
TPS wajib menindaklanjuti laporan paling lama 3 (tiga) hari setelah laporan diterima.
(6)
Dalam hal diperlukan, Bawaslu Provinsi,
Panwas Kabupaten/Kota, Panwas Kecamatan, PPL, dan Pengawas TPS dapat meminta
keterangan tambahan dari pelapor dalam waktu paling lama 2 (dua) hari.
Pasal
135
(1)
Laporan pelanggaran Pemilihan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 134 ayat (1) yang merupakan:
a. pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilihan
diteruskan oleh Bawaslu kepada DKPP;
b. pelanggaran administrasi Pemilihan diteruskan
kepada KPU, KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota;
c. sengketa Pemilihan diselesaikan oleh Bawaslu;
dan
d. tindak pidana Pemilihan ditindaklanjuti oleh
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(2)
Laporan tindak pidana Pemilihan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diteruskan kepada Kepolisian Negara
Republik Indonesia paling lama 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam sejak
diputuskan oleh Bawaslu Provinsi, Panwas Kabupaten/Kota, dan/atau Panwas
Kecamatan.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai
penanganan laporan pelanggaran Pemilihan diatur dengan Peraturan Bawaslu.
BAB
XX
PELANGGARAN
KODE ETIK, PELANGGARAN ADMINISTRASI,
PENYELESAIAN
SENGKETA, TINDAK PIDANA PEMILIHAN,
SENGKETA TATA
USAHA NEGARA, DAN PERSELISIHAN
HASIL
PEMILIHAN
Bagian Kesatu
Pelanggaran
Kode Etik Penyelenggara Pemilihan
Pasal 136
Pelanggaran
kode etik penyelenggara Pemilihan adalah pelanggaran terhadap etika
penyelenggara Pemilihan yang berpedoman pada sumpah dan/atau janji sebelum
menjalankan tugas sebagai penyelenggara Pemilihan.
Pasal
137
(1)
Pelanggaran kode etik penyelenggara
Pemilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 diselesaikan oleh DKPP.
(2)
Tata cara penyelesaian pelanggaran kode
etik penyelenggara Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penyelenggara
pemilihan umum.
Bagian
Kedua
Pelanggaran
Administrasi
Pasal 138
Pelanggaran
administrasi Pemilihan meliputi pelanggaran terhadap tata cara yang berkaitan
dengan administrasi pelaksanaan Pemilihan dalam setiap tahapan Pemilihan.
Pasal
139
(1)
Bawaslu Provinsi dan/atau Panwaslu
Kabupaten/Kota membuat rekomendasi atas hasil kajiannya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 134 ayat (5) terkait pelanggaran administrasi Pemilihan.
(2)
KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota
wajib menindaklanjuti rekomendasi Bawaslu Provinsi dan/atau Panwaslu
Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3)
KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota
menyelesaikan pelanggaran administrasi Pemilihan berdasarkan rekomendasi
Bawaslu Provinsi dan/atau Panwaslu Kabupaten/Kota sesuai dengan tingkatannya.
Pasal
140
(1)
KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota
memeriksa dan memutus pelanggaran administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
139 ayat (2) paling lama 7 (tujuh) hari sejak rekomendasi Bawaslu Provinsi
dan/atau Panwaslu Kabupaten/Kota diterima.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
penyelesaian pelanggaran administrasi Pemilihan diatur dalam Peraturan KPU.
Pasal
141
Dalam
hal KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS, atau peserta Pemilihan tidak
menindaklanjuti rekomendasi Bawaslu Provinsi dan/atau Panwas Kabupaten/Kota sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 139 ayat (2), Bawaslu Provinsi dan/atau Panwas
Kabupaten/Kota memberikan sanksi peringatan lisan atau peringatan tertulis.
Bagian
Ketiga
Sengketa
Antarpeserta Pemilihan dan Sengketa Antara Peserta dengan Penyelenggara Pemilihan
Pasal
142
Sengketa
Pemilihan terdiri atas:
a.
sengketa antar peserta Pemilihan; dan
b.
sengketa antara Peserta Pemilihan dengan
penyelenggara Pemilihan.
Pasal
143
(1)
Bawaslu Provinsi dan Panwaslu
Kabupaten/Kota berwenang menyelesaikan sengketa sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 142.
(2)
Bawaslu Provinsi dan Panwaslu
Kabupaten/Kota memeriksa dan memutus sengketa Pemilihan paling lama 12 (dua
belas) hari sejak diterimanya laporan atau temuan.
(3)
Bawaslu Provinsi dan Panwaslu
Kabupaten/Kota melakukan penyelesaian sengketa melalui tahapan:
a.
menerima dan mengkaji laporan atau
temuan; dan
b.
mempertemukan pihak yang bersengketa
untuk mencapai kesepakatan melalui musyawarah dan mufakat.
Pasal
144
(1)
Keputusan Bawaslu Provinsi dan Keputusan
Panwaslu Kabupaten/Kota mengenai penyelesaian sengketa Pemilihan merupakan
keputusan terakhir dan mengikat.
(2)
Seluruh proses pengambilan Keputusan
Bawaslu Provinsi dan Keputusan Panwaslu Kabupaten/Kota wajib dilakukan melalui
proses yang transparan dan dapat dipertanggungjawabkan.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
penyelesaian sengketa diatur dengan Peraturan Bawaslu.
Bagian
Keempat
Tindak Pidana
Pemilihan
Paragraf 1
Umum
Pasal 145
Tindak
pidana Pemilihan merupakan pelanggaran atau kejahatan terhadap ketentuan
Pemilihan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
Paragraf
2
Penyelesaian
Tindak Pidana
Pasal 146
(1)
Penyidik Kepolisian Negara Republik
Indonesia menyampaikan hasil penyidikannya disertai berkas perkara kepada
penuntut umum paling lama 14 (empat belas) hari sejak laporan diterima.
(2)
Dalam hal hasil penyidikan belum lengkap,
dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari penuntut umum mengembalikan berkas
perkara kepada Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia disertai petunjuk
tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi.
(3)
Penyidik Kepolisian Negara Republik
Indonesia dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak tanggal penerimaan berkas
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus sudah menyampaikan kembali berkas
perkara tersebut kepada penuntut umum.
(4)
Penuntut umum melimpahkan berkas perkara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) kepada Pengadilan Negeri paling
lama 5 (lima) hari sejak menerima berkas perkara.
Pasal
147
(1)
Pengadilan Negeri dalam memeriksa,
mengadili, dan memutus perkara tindak pidana Pemilihan menggunakan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang
ini.
(2)
Sidang pemeriksaan perkara tindak pidana
Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh majelis khusus.
Pasal
148
(1)
Pengadilan Negeri memeriksa, mengadili,
dan memutus perkara tindak pidana Pemilihan paling lama 7 (tujuh) hari setelah
pelimpahan berkas perkara.
(2)
Dalam hal putusan pengadilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diajukan banding, permohonan banding diajukan paling
lama 3 (tiga) hari setelah putusan dibacakan.
(3)
Pengadilan Negeri melimpahkan berkas
perkara permohonan banding kepada Pengadilan Tinggi paling lama 3 (tiga) hari setelah
permohonan banding diterima.
(4)
Pengadilan Tinggi memeriksa dan memutus
perkara banding sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 7 (tujuh) hari
setelah permohonan banding diterima.
(5)
Putusan Pengadilan Tinggi sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) merupakan putusan terakhir dan mengikat serta tidak
dapat dilakukan upaya hukum lain.
Pasal
149
(1)
Putusan pengadilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 148 ayat (1) dan ayat (4) harus sudah disampaikan kepada penuntut
umum paling lambat 3 (tiga) hari setelah putusan dibacakan.
(2)
Putusan pengadilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 148 harus dilaksanakan paling lambat 3 (tiga) hari setelah putusan
diterima oleh jaksa.
Pasal
150
(1)
Putusan pengadilan terhadap kasus tindak
pidana Pemilihan yang menurut Undang-Undang ini dapat mempengaruhi perolehan
suara peserta Pemilihan harus sudah selesai paling lama 5 (lima) hari sebelum
KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota menetapkan hasil Pemilihan.
(2)
KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota
wajib menindaklanjuti putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3)
Salinan putusan pengadilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus sudah diterima KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan
peserta Pemilihan pada hari putusan pengadilan tersebut dibacakan.
Paragraf
3
Majelis Khusus
Tindak Pidana
Pasal 151
(1)
Majelis khusus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 147 ayat (2) terdiri atas hakim khusus yang merupakan hakim karier pada
Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi yang ditetapkan secara khusus untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana Pemilihan.
(2)
Hakim khusus sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia.
(3)
Hakim khusus sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus memenuhi syarat telah melaksanakan tugasnya sebagai hakim paling
singkat 3 (tiga) tahun, kecuali dalam suatu pengadilan tidak terdapat hakim
yang masa kerjanya telah mencapai 3 (tiga) tahun.
(4)
Hakim khusus sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) selama memeriksa, mengadili, dan memutus tindak pidana Pemilihan
dibebaskan dari tugasnya untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara lain.
(5)
Hakim khusus sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus menguasai pengetahuan tentang Pemilihan.
(6)
Ketentuan lebih lanjut mengenai hakim
khusus diatur dengan
Peraturan Mahkamah Agung.
Paragraf
4
Sentra
Penegakan Hukum Terpadu
Pasal 152
(1)
Untuk menyamakan pemahaman dan pola
penanganan tindak pidana Pemilihan, Bawaslu Provinsi, dan/atau Panwas
Kabupaten/Kota, Kepolisian Daerah dan/atau Kepolisian Resor, dan Kejaksaan
Tinggi dan/atau Kejaksaan Negeri membentuk sentra penegakan hukum terpadu.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai sentra
penegakan hukum terpadu diatur berdasarkan kesepakatan bersama antara Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, dan Ketua
Bawaslu.
Bagian
Kelima
Sengketa Tata
Usaha Negara
Pasal 153
Sengketa
tata usaha negara Pemilihan merupakan sengketa yang timbul dalam bidang tata
usaha negara Pemilihan antara Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota
dengan KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota sebagai akibat dikeluarkannya
Keputusan KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota.
Paragraf
1
Penyelesaian
Sengketa Tata Usaha Negara
Pasal 154
(1)
Pengajuan gugatan atas sengketa tata
usaha negara Pemilihan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dilakukan setelah
seluruh upaya administratif di Bawaslu Provinsi dan/atau Panwas Kabupaten/Kota
telah dilakukan.
(2)
Pengajuan gugatan atas sengketa tata
usaha negara Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama
3 (tiga) hari setelah dikeluarkannya Keputusan Bawaslu Provinsi dan/atau Panwas
Kabupaten/Kota.
(3)
Dalam hal pengajuan gugatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) kurang lengkap, penggugat dapat memperbaiki dan
melengkapi gugatan paling lama 3 (tiga) hari sejak diterimanya gugatan oleh
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
(4)
Apabila dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) penggugat belum menyempurnakan gugatan, hakim memberikan
putusan bahwa gugatan tidak dapat diterima.
(5)
Terhadap putusan sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) tidak dapat dilakukan upaya hukum.
(6)
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
memeriksa dan memutus gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 21
(dua puluh satu) hari sejak gugatan dinyatakan lengkap.
(7)
Terhadap putusan Pengadilan Tinggi Tata
Usaha Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (6) hanya dapat dilakukan
permohonan kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia.
(8)
Permohonan kasasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (7) diajukan paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak putusan
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (6).
(9)
Mahkamah Agung Republik Indonesia wajib
memberikan putusan atas permohonan kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7)
paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan kasasi diterima.
(10)
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (9) bersifat final dan mengikat serta tidak
dapat dilakukan upaya hukum lain.
(11)
KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota
wajib menindaklanjuti putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagaimana
dimaksud pada ayat (6) atau putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (9) paling lama 7 (tujuh) hari.
Paragraf
2
Majelis Khusus
Tata Usaha Negara
Pasal 155
(1)
Dalam memeriksa, mengadili, dan memutus
sengketa tata usaha negara Pemilihan dibentuk majelis khusus yang terdiri dari
hakim khusus yang merupakan hakim karier di lingkungan Pengadilan Tinggi Tata
Usaha Negara dan Mahkamah Agung Republik Indonesia.
(2)
Hakim khusus sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik
Indonesia.
(3)
Hakim khusus sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah hakim yang telah melaksanakan tugasnya sebagai hakim minimal 3
(tiga) tahun, kecuali apabila dalam suatu pengadilan tidak terdapat hakim yang
masa kerjanya telah mencapai 3 (tiga) tahun.
(4)
Hakim khusus sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) selama menangani sengketa tata usaha negara Pemilihan dibebaskan dari
tugasnya untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara lain.
(5)
Hakim khusus sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus menguasai pengetahuan tentang Pemilihan.
(6)
Ketentuan lebih lanjut mengenai hakim
khusus diatur dengan
Peraturan Mahkamah Agung.
Bagian
Keenam
Perselisihan
Hasil Pemilihan
Pasal 156
(1)
Perselisihan hasil Pemilihan adalah
perselisihan antara KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota dan peserta
Pemilihan mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilihan.
(2)
Perselisihan penetapan perolehan suara
hasil Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah perselisihan
penetapan perolehan suara yang signifikan dan dapat mempengaruhi penetapan
calon untuk maju ke putaran berikutnya atau penetapan calon terpilih.
Pasal
157
(1)
Dalam hal terjadi perselisihan penetapan
perolehan suara hasil Pemilihan, peserta Pemilihan dapat mengajukan permohonan
pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi dan
KPU Kabupaten/Kota kepada Pengadilan Tinggi yang ditunjuk oleh Mahkamah Agung.
(2)
Peserta Pemilihan mengajukan permohonan
kepada Pengadilan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 3 x 24
(tiga kali dua puluh empat) jam sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil
Pemilihan oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota.
(3)
Pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dilengkapi dengan alat bukti dan surat keputusan KPU Provinsi dan
KPU Kabupaten/Kota tentang hasil rekapitulasi perhitungan suara.
(4)
Dalam hal pengajuan permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kurang lengkap, pemohon dapat memperbaiki
dan melengkapi permohonan paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam
sejak diterimanya permohonan oleh Pengadilan Tinggi.
(5)
Pengadilan Tinggi memutuskan perkara
perselisihan sengketa hasil Pemilihan paling lama 14 (empat belas) hari sejak
diterimanya permohonan.
(6) Pihak yang tidak menerima Putusan Pengadilan
Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat mengajukan permohonan keberatan
ke Mahkamah Agung paling lama 3 (tiga) hari sejak putusan Pengadilan Tinggi
dibacakan.
(7)
Mahkamah Agung memutuskan permohonan
keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) paling lama 14 (empat belas) hari
sejak diterimanya permohonan.
(8)
Putusan Mahkamah Agung sebagaimana
dimaksud pada ayat (7) bersifat final dan mengikat.
(9)
KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota
wajib menindaklanjuti putusan Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung.
Pasal
158
(1)
Peserta pemilihan Gubernur dapat
mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan suara dengan
ketentuan:
a.
Provinsi dengan jumlah penduduk sampai
dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara
dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 2% (dua persen) dari
penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi;
b.
Provinsi dengan jumlah penduduk lebih
dari 2.000.000 (dua juta) sampai dengan 6.000.000 (enam juta), pengajuan
perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak
sebesar 1,5% (satu koma lima persen) dari penetapan hasil penghitungan
perolehan suara oleh KPU Provinsi;
c.
Provinsi dengan jumlah penduduk lebih
dari 6.000.000 (enam juta) sampai dengan 12.000.000 (dua belas juta) jiwa,
pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling
banyak sebesar 1% (satu persen) dari penetapan hasil penghitungan perolehan
suara oleh KPU Provinsi; dan
d.
Provinsi dengan jumlah penduduk lebih
dari 12.000.000 (dua belas juta) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara
dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 0,5% (nol koma lima
persen) dari penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi.
(2)
Peserta Pemilihan Bupati dan Walikota
dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan
suara dengan ketentuan:
a.
Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk
sampai dengan 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa, pengajuan perselisihan
perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 2% (dua
persen) dari penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU
Kabupaten/Kota;
b.
Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk
sampai dengan 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa sampai dengan 500.000
(lima ratus ribu) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan
apabila terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1,5% (satu koma lima persen)
dari penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Kabupaten/Kota;
c.
Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk
sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa sampai dengan 1.000.000 (satu
juta) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat
perbedaan paling banyak sebesar 1% (satu persen) dari penetapan hasil
penghitungan perolehan suara oleh KPU Kabupaten/Kota; dan
d.
Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk
lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara
dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 0,5% (nol koma lima
persen) dari penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU
Kabupaten/Kota.
Pasal
159
(1)
Penyelesaian sengketa hasil Pemilihan
ditangani oleh hakim adhoc di Pengadilan Tinggi yang ditetapkan oleh Mahkamah
Agung.
(2)
Mahkamah Agung menetapkan 4 (empat)
Pengadilan Tinggi yang menangani sengketa hasil Pemilihan yang tersebar di
seluruh Indonesia.
(3)
Mahkamah Agung menetapkan hakim adhoc dan
masa tugas hakim adhoc untuk penyelesaian sengketa Pemilihan.
(4)
Hakim adhoc memutuskan sengketa Pemilihan
paling lama 14 (empat belas) hari sejak perkara diregister.
(5)
Pihak yang tidak menerima putusan
Pengadilan Tinggi sebagai mana dimaksud pada ayat (4) dapat mengajukan
keberatan ke Mahkamah Agung paling lama 3 (tiga) hari sejak putusan Pengadilan
Tinggi dibacakan.
(6)
Mahkamah Agung memutuskan permohonan
keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) paling lama 14 (empat belas) hari
sejak diterimanya permohonan.
(7)
Ketentuan lebih lanjut mengenai
penyelesaian sengketa hasil pemilihan diatur dengan Peraturan Mahkamah Agung.
BAB
XXI
PENGESAHAN
PENGANGKATAN DAN PELANTIKAN
Bagian Kesatu
Pengesahan
Pengangkatan
Pasal 160
(1)
Pengesahan pengangkatan Gubernur terpilih
dilakukan berdasarkan penetapan calon terpilih oleh KPU Provinsi yang
disampaikan oleh DPRD Provinsi kepada Presiden melalui Menteri.
(2)
Pengesahan pengangkatan calon Gubernur
terpilih dilakukan oleh Presiden dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari
terhitung sejak tanggal usul dan berkas diterima secara lengkap.
(3)
Pengesahan pengangkatan Bupati dan
Walikota terpilih dilakukan berdasarkan penetapan calon terpilih oleh KPU
Kabupaten/Kota yang disampaikan oleh DPRD Kabupaten/Kota kepada Menteri melalui
Gubernur.
(4)
Pengesahan pengangkatan Bupati dan
Walikota terpilih dilakukan oleh Menteri dalam waktu paling lama 14 (empat
belas) hari terhitung sejak tanggal usul dan berkas diterima secara lengkap.
Bagian
Kedua
Pelantikan
Pasal 161
(1)
Gubernur sebelum memangku jabatannya
dilantik dengan mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh pejabat yang
melantik.
(2)
Sumpah/janji Gubernur sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut:
"Demi Allah (Tuhan), saya bersumpah/berjanji
akan memenuhi kewajiban saya sebagai Gubernur dengan sebaik-baiknya dan
seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan menjalankan segala Undang-Undang dan peraturannya dengan
selurus-lurusnya, serta berbakti kepada masyarakat, nusa, dan bangsa."
(3)
Bupati dan Walikota sebelum memangku
jabatannya dilantik dengan mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh pejabat
yang melantik.
(4)
Sumpah/janji Bupati dan Walikota sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) adalah sebagai berikut:
"Demi Allah (Tuhan), saya bersumpah/berjanji
akan memenuhi kewajiban saya sebagai Bupati dan Walikota dengan sebaik-baiknya
dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan menjalankan segala Undang-Undang dan peraturannya dengan
selurus-lurusnya, serta berbakti kepada masyarakat, nusa, dan bangsa."
Pasal
162
(1)
Gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal
161 ayat (1) memegang jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal
pelantikan dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya
untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
(2)
Bupati dan Walikota sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 161 ayat (3) memegang jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak
tanggal pelantikan dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama
hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
(3)
Gubernur, Bupati, atau Walikota dilarang
melakukan penggantian pejabat di lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi atau
Kabupaten/Kota, dalam jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal
pelantikan.
Pasal
163
(1)
Gubernur dilantik oleh Presiden di ibu
kota negara.
(2)
Dalam hal Presiden berhalangan,
pelantikan Gubernur dilakukan oleh Wakil Presiden.
(3)
Dalam hal Wakil Presiden berhalangan,
pelantikan Gubernur dilakukan oleh Menteri.
Pasal
164
(1)
Bupati dan Walikota dilantik oleh
Gubernur di ibu kota Provinsi yang bersangkutan.
(2)
Dalam hal Gubernur berhalangan,
pelantikan Bupati dan Walikota dilakukan oleh Wakil Gubernur.
(3)
Dalam hal Gubernur dan/atau Wakil
Gubernur tidak dapat melaksanakan sebagaimana dimaksud pada ketentuan ayat (1)
dan ayat (2), Menteri mengambil alih kewenangan Gubernur sebagai wakil
Pemerintah Pusat.
Pasal
165
Ketentuan
mengenai tata cara pelantikan Gubernur, Bupati, dan Walikota diatur dengan Peraturan Presiden.
BAB
XXII
PENDANAAN
Pasal 166
Pendanaan
kegiatan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dibebankan pada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara dan dapat didukung melalui Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB
XXIII
PENGISIAN
WAKIL GUBERNUR, WAKIL BUPATI, DAN WAKIL WALIKOTA
Pasal 167
(1)
Gubernur, Bupati, dan Walikota dibantu
oleh Wakil Gubernur, Wakil Bupati dan Wakil Walikota.
(2)
Wakil Gubernur, Wakil Bupati dan Wakil
Walikota menjalankan tugas membantu Gubernur, Bupati, dan Walikota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
mengenai pemerintahan daerah.
Pasal
168
(1)
Penentuan jumlah Wakil Gubernur berlaku
ketentuan sebagai berikut:
a.
Provinsi dengan jumlah penduduk sampai
dengan 1.000.000 (satu juta) jiwa tidak memiliki Wakil Gubernur;
b.
Provinsi dengan jumlah penduduk di atas
1.000.000 (satu juta) jiwa sampai dengan 3.000.000 (tiga juta) jiwa memiliki 1
(satu) Wakil Gubernur;
c.
Provinsi dengan jumlah penduduk di atas
3.000.000 (tiga juta) sampai dengan 10.000.000 (sepuluh juta) jiwa dapat
memiliki 2 (dua) Wakil Gubernur;
d.
Provinsi dengan jumlah penduduk di atas
10.000.000 (sepuluh juta) dapat memiliki 3 (tiga) Wakil Gubernur.
(2)
Penentuan jumlah Wakil Bupati/Wakil
Walikota berlaku ketentuan sebagai berikut:
a.
Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk
sampai dengan 100.000 (seratus ribu) jiwa tidak memiliki Wakil Bupati/Wakil
Walikota;
b.
Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk di
atas 100.000 (seratus ribu) jiwa sampai dengan 250.000 (dua ratus lima puluh
ribu) jiwa memiliki 1 (satu) Wakil Bupati/Wakil Walikota;
c.
Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk di
atas 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa dapat memiliki 2 (dua) Wakil
Bupati/Wakil Walikota.
Pasal
169
Persyaratan
calon Wakil Gubernur, calon Wakil Bupati, dan calon Wakil Walikota adalah
sebagai berikut:
a.
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b.
setia kepada Pancasila, Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17
Agustus 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia;
c.
berpendidikan paling rendah sekolah
lanjutan tingkat atas atau sederajat;
d.
mempunyai kecakapan dan pengalaman
pekerjaan yang cukup di bidang pelayanan publik;
e.
calon Wakil Gubernur, calon Wakil Bupati,
dan calon Wakil Walikota yang berasal dari Pegawai Negeri Sipil dengan golongan
kepangkatan paling rendah IV/c untuk calon Wakil Gubernur, dan golongan
kepangkatan paling rendah IV/b untuk calon Wakil Bupati/calon Wakil Walikota
dan pernah atau sedang menduduki jabatan eselon II/a untuk calon Wakil Gubernur
dan eselon II/b untuk calon Wakil Bupati dan calon Wakil Walikota;
f.
berusia paling rendah 30 (tiga puluh)
tahun untuk calon Wakil Gubernur dan 25 (dua puluh lima) tahun untuk calon
Wakil Bupati/calon Wakil Walikota;
g.
mampu secara jasmani dan rohani
berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari tim dokter daerah;
h.
tidak pernah dijatuhi pidana penjara
berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau
lebih;
i.
tidak sedang dicabut hak pilihnya
berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
j.
menyerahkan daftar kekayaan pribadi dan
bersedia untuk diumumkan;
k.
tidak sedang memiliki tanggungan utang
secara perseorangan dan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya
yang merugikan keuangan negara;
l.
tidak sedang dinyatakan pailit
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
m.
memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dan laporan pajak pribadi;
n.
tidak memiliki konflik kepentingan dengan
Gubernur, Bupati, dan Walikota;
o.
tidak pernah dijatuhi hukuman disiplin
berat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai aparatur
sipil negara dalam hal calon berasal dari Pegawai Negeri Sipil;
p.
menyerahkan surat kesediaan mengundurkan
diri bagi Pegawai Negeri Sipil sejak diangkat menjadi Wakil Gubernur, Wakil
Bupati, dan Wakil Walikota; dan
q.
menyerahkan daftar riwayat hidup.
Pasal
170
(1)
Pengisian Wakil Gubernur, Wakil Bupati,
dan Wakil Walikota dilaksanakan paling lambat 1 (satu) bulan setelah pelantikan
Gubernur, Bupati, dan Walikota.
(2)
Masa jabatan Wakil Gubernur, Wakil
Bupati, dan Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir
bersamaan dengan masa jabatan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
(3)
Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil
Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari Pegawai Negeri Sipil
atau non-pegawai negeri sipil.
Pasal
171
(1)
Gubernur, Bupati, dan Walikota wajib
mengusulkan Calon Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota dalam waktu
paling lambat 15 (lima belas) hari setelah pelantikan Gubernur, Bupati, dan
Walikota.
(2)
Wakil Gubernur diangkat oleh Presiden
berdasarkan usulan Gubernur melalui Menteri.
(3)
Wakil Bupati/Wakil Walikota diangkat oleh
Menteri berdasarkan usulan Bupati/Walikota melalui Gubernur sebagai wakil
Pemerintah.
(4)
Gubernur, Bupati, dan Walikota yang tidak
mengusulkan Calon Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pengusulan dan pengangkatan Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal
172
(1)
Wakil Gubernur dilantik oleh Gubernur.
(2)
Wakil Bupati dilantik oleh Bupati dan
Wakil Walikota dilantik oleh Walikota.
(3)
Dalam hal Wakil Gubernur, Wakil Bupati,
dan Wakil Walikota tidak dilantik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2), Wakil Gubernur dilantik oleh Menteri dan Wakil Bupati/Wakil Walikota
dilantik oleh Gubernur.
(4)
Dalam hal Wakil Bupati dan Wakil Walikota
tidak dilantik sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Wakil Bupati dan Wakil
Walikota dilantik oleh Menteri.
Pasal
173
(1)
Dalam hal Gubernur, Bupati, dan Walikota
berhalangan tetap, Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota tidak serta
merta menggantikan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
(2)
Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil
Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjalankan tugas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
mengenai pemerintahan daerah.
Pasal
174
(1)
Apabila Gubernur berhenti atau
diberhentikan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap dan sisa masa jabatan kurang dari 18 (delapan belas) bulan,
Presiden menetapkan penjabat Gubernur atas usul Menteri sampai dengan berakhirnya
masa jabatan Gubernur.
(2)
Apabila sisa masa jabatan Gubernur
berhenti atau diberhentikan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap dan sisa masa jabatan lebih dari 18 (delapan belas) bulan
maka dilakukan Pemilihan Gubernur melalui DPRD Provinsi.
(3)
Gubernur hasil Pemilihan melalui DPRD
Provinsi meneruskan sisa masa jabatan Gubernur yang berhenti atau yang
diberhentikan.
(4)
Apabila Gubernur berhenti atau
diberhentikan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap dicalonkan dari fraksi atau gabungan fraksi, fraksi atau gabungan
fraksi yang mengusung Gubernur yang berhenti atau yang diberhentikan
mengusulkan 2 (dua) orang Calon Gubernur kepada DPRD Provinsi untuk dipilih.
(5)
Apabila Gubernur berhenti atau
diberhentikan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap berasal dari perseorangan, fraksi atau gabungan fraksi yang
memiliki kursi di DPRD Provinsi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari
jumlah kursi atau memiliki paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) dari
suara sah mengusulkan 2 (dua) orang Calon Gubernur kepada DPRD Provinsi untuk
dipilih.
(6)
Presiden mengesahkan pengangkatan Calon
Gubernur terpilih sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 160 ayat
(1) dan ayat (2).
(7)
Ketentuan mengenai tata cara pemilihan
Gubernur oleh DPRD Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal
175
(1)
Apabila Bupati/Walikota berhenti atau
diberhentikan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap dan sisa masa jabatan kurang dari 18 (delapan belas) bulan, Menteri
menetapkan penjabat Bupati/Walikota sampai dengan berakhirnya masa jabatan
Bupati/Walikota atas usul Gubernur sebagai wakil Pemerintah.
(2)
Apabila sisa masa jabatan Bupati/Walikota
berhenti atau diberhentikan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap dan sisa masa jabatan lebih dari 18 (delapan belas) bulan
maka dilakukan Pemilihan Bupati/Walikota melalui DPRD Kabupaten/Kota.
(3)
Bupati/Walikota hasil Pemilihan melalui
DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meneruskan sisa masa jabatan
Bupati/Walikota yang berhenti atau yang diberhentikan.
(4)
Apabila Bupati/Walikota berhenti atau
diberhentikan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap dicalonkan dari fraksi atau gabungan fraksi maka fraksi atau gabungan
fraksi yang mengusung Bupati/Walikota yang berhenti atau yang diberhentikan
mengusulkan 2 (dua) orang calon Bupati/Walikota kepada DPRD Kabupaten/Kota
untuk dipilih.
(5)
Apabila Bupati/Walikota berhenti atau
diberhentikan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap berasal dari perseorangan, fraksi atau gabungan fraksi yang
memiliki kursi di DPRD Kabupaten/Kota paling sedikit 20% (dua puluh persen)
dari jumlah kursi atau memiliki paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) dari
suara sah mengusulkan 2 (dua) orang Calon Bupati/Walikota kepada DPRD
Kabupaten/Kota untuk dipilih.
(6)
Menteri mengesahkan pengangkatan Calon
Bupati/Walikota terpilih sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 160
ayat (3) dan ayat (4).
(7)
Ketentuan mengenai tata cara pemilihan
Bupati/Walikota oleh DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal
176
(1)
Apabila Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan
Wakil Walikota berhenti atau diberhentikan, dapat dilakukan pengisian Wakil
Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota paling lama 1 (satu) bulan setelah
yang bersangkutan berhalangan tetap.
(2)
Apabila Wakil Gubernur berhenti atau
diberhentikan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap, Gubernur mengusulkan calon Wakil Gubernur yang memenuhi
persyaratan kepada Presiden melalui Menteri untuk diangkat sesuai ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 171.
(3)
Apabila Wakil Bupati dan Wakil Walikota
berhenti atau diberhentikan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap, Bupati/Walikota mengusulkan calon Wakil Bupati/Wakil
Walikota yang memenuhi persyaratan kepada Menteri melalui Gubernur sebagai
wakil Pemerintah untuk diangkat sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 172.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pengusulan dan pengangkatan calon Wakil Gubernur, calon Wakil Bupati, dan calon
Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
BAB
XXIV
KETENTUAN
PIDANA
Pasal 177
Setiap
orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar mengenai diri
sendiri atau diri orang lain tentang suatu hal yang diperlukan untuk pengisian
daftar pemilih, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan
dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp.3.000.000,00
(tiga juta rupiah) dan paling banyak Rp.12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
Pasal
178
Setiap
orang yang dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling
lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp.12.000.000,00 (dua
belas juta rupiah) dan paling banyak Rp.24.000.000,00 (dua puluh empat juta
rupiah).
Pasal
179
Setiap
orang yang dengan sengaja memalsukan surat yang menurut suatu aturan dalam
Undang-Undang ini diperlukan untuk menjalankan suatu perbuatan dengan maksud
untuk digunakan sendiri atau orang lain sebagai seolah-olah surat sah atau
tidak dipalsukan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh
enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit
Rp.36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) dan paling banyak Rp.72.000.000,00
(tujuh puluh dua juta rupiah).
Pasal
180
(1)
Setiap orang yang dengan sengaja secara
melawan hukum menghilangkan hak seseorang menjadi Calon Gubernur, Calon Bupati,
dan Calon Walikota, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga
puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling
sedikit Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) dan paling banyak Rp.72.000.000,00
(tujuh puluh dua juta rupiah).
(2)
Setiap orang yang karena jabatannya
dengan sengaja secara melawan hukum menghilangkan hak seseorang menjadi
Gubernur, Bupati, dan Walikota, dipidana dengan pidana penjara paling singkat
48 (empat puluh delapan) bulan dan paling lama 96 (sembilan puluh enam) bulan
dan denda paling sedikit Rp.48.000.000,00 (empat puluh delapan juta rupiah) dan
paling banyak Rp.96.000.000,00 (sembilan puluh enam juta rupiah).
Pasal
181
Setiap
orang yang dengan sengaja dan mengetahui bahwa suatu surat adalah tidak sah
atau dipalsukan, menggunakannya, atau menyuruh orang lain menggunakannya sebagai
surat sah, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam)
bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp.36.000.000,00
(tiga puluh enam juta rupiah) dan paling
banyak
Rp.72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
Pasal
182
Setiap
orang yang dengan kekerasan atau dengan ancaman kekuasaan yang ada padanya saat
pendaftaran pemilih menghalang-halangi seseorang untuk terdaftar sebagai
pemilih dalam Pemilihan menurut Undang-Undang ini, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh
enam) bulan dan denda paling sedikit Rp.12.000.000,00 (dua belas juta rupiah)
dan paling banyak Rp.36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).
Pasal
183
Setiap
orang yang melakukan kekerasan terkait dengan penetapan hasil Pemilihan menurut
Undang-Undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas)
bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp.12.000.000,00
(dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp.36.000.000,00 (tiga puluh enam
juta rupiah).
Pasal
184
Setiap
orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar atau
menggunakan surat palsu seolah-olah sebagai surat yang sah tentang suatu hal
yang diperlukan bagi persyaratan untuk menjadi Calon Gubernur, Calon Bupati,
dan Calon Walikota, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga
puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling
sedikit Rp.36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) dan paling banyak Rp.72.000.000,00
(tujuh puluh dua juta rupiah).
Pasal
185
Setiap
orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar atau
menggunakan identitas diri palsu untuk mendukung bakal Calon perseorangan
Gubernur, bakal Calon perseorangan Bupati, dan bakal Calon perseorangan
Walikota, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan
dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp.12.000.000,00
(dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp.36.000.000,00 (tiga puluh enam
juta rupiah).
Pasal
186
(1)
Anggota PPS, anggota PPK, anggota KPU
Kabupaten/Kota, dan anggota KPU Provinsi yang dengan sengaja memalsukan daftar
dukungan terhadap calon perseorangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
ini, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan
dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp.36.000.000,00
(tiga puluh enam juta rupiah) dan paling banyak Rp.72.000.000,00 (tujuh puluh
dua juta rupiah).
(2)
Anggota PPS, anggota PPK, anggota KPU
Kabupaten/Kota, dan anggota KPU Provinsi yang dengan sengaja tidak melakukan
verifikasi dan rekapitulasi terhadap calon perseorangan sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga
puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling
sedikit Rp.36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) dan paling banyak Rp.72.000.000,00
(tujuh puluh dua juta rupiah).
Pasal
187
(1)
Setiap orang yang dengan sengaja
melakukan Kampanye di luar jadwal waktu yang telah ditetapkan oleh KPU Provinsi
dan KPU Kabupaten/Kota untuk masing-masing calon, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 15 (lima belas) hari atau paling lama 3 (tiga) bulan dan/atau
denda paling sedikit Rp.100.000,00 (seratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp.1.000.000,00
(satu juta rupiah).
(2)
Setiap orang yang dengan sengaja
melanggar ketentuan larangan pelaksanaan Kampanye sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 69 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, atau huruf f dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 18
(delapan belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp.600.000.00 (enam ratus
ribu rupiah) atau paling banyak Rp.6.000.000.00 (enam juta rupiah).
(3)
Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan larangan pelaksanaan
Kampanye Pemilihan Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 huruf g,
huruf h, huruf i, atau huruf j dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp.100.000,00
(seratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah).
(4)
Setiap orang yang dengan sengaja
mengacaukan, menghalangi, atau mengganggu jalannya Kampanye, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan
dan/atau denda paling sedikit Rp.600.000,00 (enam ratus ribu ruplah) atau
paling banyak Rp.6.000.000,00 (enam juta rupiah).
(5)
Setiap orang yang memberi atau menerima
dana Kampanye melebihi batas yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
74 ayat (5), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) bulan atau
paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp.200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah) atau paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).
(6)
Setiap orang yang dengan sengaja menerima
atau memberi dana Kampanye dari atau kepada pihak yang dilarang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) dan/atau tidak memenuhi kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4
(empat) bulan atau paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan/atau denda paling
sedikit Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) atau paling banyak Rp.1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).
(7)
Setiap orang yang dengan sengaja
memberikan keterangan yang tidak benar dalam laporan dana Kampanye sebagaimana
diwajibkan oleh Undang-Undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 2 (dua) bulan atau paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda
paling sedikit Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau paling banyak Rp.10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah).
(8)
Calon yang menerima sumbangan dana
Kampanye dan tidak melaporkan kepada KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota
dan/atau tidak menyetorkan ke kas negara, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 48 (empat puluh delapan) bulan dan
denda sebanyak 3 (tiga) kali dari jumlah sumbangan yang diterima.
Pasal
188
Setiap
pejabat negara, pejabat Aparatur Sipil Negara, dan Kepala Desa atau sebutan
lain/Lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau
paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp.600.000,00 (enam
ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp.6.000.000,00 (enam juta rupiah).
Pasal
189
Calon
Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota yang dengan sengaja melibatkan
pejabat badan usaha milik negara, pejabat badan usaha milik daerah, Aparatur
Sipil Negara, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, anggota Tentara
Nasional Indonesia, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah serta perangkat
Desa atau sebutan lain/perangkat Kelurahan sebagaimana dimaksud Pasal 70 ayat
(1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling
lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp.600.000,00 (enam ratus
ribu rupiah) atau paling banyak Rp.6.000.000,00 (enam juta rupiah).
Pasal
190
Pejabat
yang melanggar ketentuan Pasal 71 ayat (2) atau Pasal 162 ayat (3), dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam)
bulan dan/atau denda paling sedikit Rp.600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau
paling banyak Rp.6.000.000,00 (enam juta rupiah).
Pasal
191
(1)
Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota yang dengan sengaja
mengundurkan diri setelah penetapan Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon
Walikota sampai dengan pelaksanaan pemungutan suara putaran pertama, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan dan paling lama
60 (enam puluh) bulan dan denda paling sedikit Rp.25.000.000.000,00 (dua puluh
lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp.50.000.000.000,00 (lima puluh miliar
rupiah).
(2)
Pimpinan Partai Politik atau gabungan pimpinan Partai Politik yang dengan
sengaja menarik calonnya dan/atau calon yang telah ditetapkan oleh KPU Provinsi
dan KPU Kabupaten/Kota sampai dengan pelaksanaan pemungutan suara putaran pertama,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan dan
paling lama 60 (enam puluh) bulan dan denda paling sedikit Rp.25.000.000.000,00
(dua puluh lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp.50.000.000.000,00 (lima
puluh miliar rupiah).
Pasal
192
(1)
Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota yang dengan sengaja
mengundurkan diri setelah pemungutan suara putaran pertama sampai dengan
pelaksanaan pemungutan suara putaran kedua, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua)
bulan dan denda paling sedikit Rp.50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah)
dan paling banyak Rp.100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
(2)
Pimpinan Partai Politik atau gabungan pimpinan Partai Politik yang dengan
sengaja menarik calonnya dan/atau calon yang telah ditetapkan oleh KPU Provinsi
dan KPU Kabupaten/Kota sampai dengan pelaksanaan pemungutan suara putaran
kedua, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan
dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp.50.000.000.000,00
(lima puluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp.100.000.000.000,00 (seratus
miliar rupiah).
Pasal
193
(1)
Dalam hal KPU Provinsi dan KPU
Kabupaten/Kota tidak menetapkan pemungutan suara ulang di TPS sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 112 tanpa alasan yang dibenarkan berdasarkan Undang-Undang
ini, anggota KPU Provinsi dan anggota KPU Kabupaten/Kota dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat)
bulan dan denda paling sedikit Rp.6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling
banyak Rp.24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
(2)
Ketua dan anggota KPPS yang dengan
sengaja tidak membuat dan/atau menandatangani berita acara perolehan suara
Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh
enam) bulan dan denda paling sedikit Rp.6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan
paling banyak Rp.12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
(3)
Ketua dan anggota KPPS yang dengan
sengaja tidak melaksanakan ketetapan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota untuk
melaksanakan pemungutan suara ulang di TPS, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda
paling sedikit Rp.3.000.000,00 (tiga juta rupiah) dan paling banyak Rp.12.000.000,00
(dua belas juta rupiah).
(4)
Setiap KPPS yang dengan sengaja tidak
memberikan salinan 1(satu) eksemplar berita acara pemungutan dan penghitungan
suara dan/atau sertifikat hasil penghitungan suara pada saksi calon Gubernur,
Bupati dan Walikota, PPL, PPS dan PPK melalui PPS sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 98 ayat (12) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan
dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp.3.000.000,00
(tiga juta rupiah) dan paling banyak Rp.12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
(5)
Setiap KPPS yang tidak menjaga,
mengamankan keutuhan kotak suara, dan menyerahkan kotak suara tersegel yang
berisi surat suara, berita acara pemungutan suara, dan sertifikat hasil
penghitungan suara kepada PPK pada hari yang sama sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 20 huruf q, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan
dan paling lama 18 (delapan belas) bulan dan denda paling sedikit Rp.6.000.000,00
(enam juta rupiah) dan paling banyak Rp.18.000.000,00 (delapan belas juta
rupiah).
(6)
Setiap PPS yang tidak mengumumkan hasil
penghitungan suara dari seluruh TPS di wilayah kerjanya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 99, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan
dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan denda paling sedikit Rp.3.000.000,00
(tiga juta rupiah) dan paling banyak Rp.12.000.000,00 (dua belas juta rupiah)
Pasal
194
Panwas
Kecamatan yang tidak mengawasi penyerahan kotak suara tersegel kepada KPU
Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf b,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 24
(dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp.6.000.000,00 (enam juta
rupiah) dan paling banyak Rp.24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
Pasal
195
Setiap
orang yang dengan sengaja merusak, mengganggu, atau mendistorsi sistem informasi
penghitungan suara hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 60 (enam puluh) bulan dan paling lama 120
(seratus dua puluh) bulan dan denda paling sedikit Rp.2.500.000.000,00 (dua
miliar lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah).
Pasal
196
Ketua
dan anggota KPPS yang dengan sengaja tidak membuat dan/atau menandatangani
berita acara perolehan suara Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling
lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp.6.000.000,00 (enam
juta rupiah) dan paling banyak Rp.12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
Pasal
197
(1)
Dalam hal KPU Provinsi dan KPU
Kabupaten/Kota tidak menetapkan perolehan hasil Pemilihan sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang ini, anggota KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan dan paling lama
60 (enam puluh) bulan dan denda paling sedikit Rp.240.000.000,00 (dua ratus
empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.600.000.000,00 (enam ratus juta
rupiah).
(2)
Setiap orang atau lembaga yang
mengumumkan hasil penghitungan cepat pada hari/tanggal pemungutan suara,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 18
(delapan belas) bulan dan denda paling sedikit Rp.6.000.000,00 (enam juta
rupiah) dan paling banyak Rp.18.000.000,00 (delapan belas juta rupiah).
Pasal
198
Ketua
dan anggota KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota yang tidak melaksanakan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 150 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua
belas) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling
sedikit Rp.12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp.24.000.000,00
(dua puluh empat juta rupiah).
BAB
XXV
KETENTUAN
LAIN-LAIN
Pasal 199
Ketentuan
dalam Undang-Undang ini berlaku juga bagi penyelenggaraan Pemilihan di Provinsi
Aceh, Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta, Provinsi Papua, dan Provinsi Papua Barat, sepanjang tidak diatur
lain dalam Undang-Undang tersendiri.
BAB
XXVI
KETENTUAN
PERALIHAN
Pasal 200
(1)
Pendanaan kegiatan Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota yang dilaksanakan pada tahun 2015 dibebankan pada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah.
(2)
Bagi daerah yang sedang melaksanakan
tahapan Pemilihan, tahapan Pemilihan yang sedang berjalan menyesuaikan dengan
ketentuan dalam Undang-Undang ini.
Pasal
201
(1)
Pemungutan suara serentak dalam Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2015
dilaksanakan di hari dan bulan yang sama pada tahun 2015.
(2)
Pemungutan suara serentak dalam Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2016,
tahun 2017 dan tahun 2018 dilaksanakan di hari dan bulan yang sama pada tahun
2018, dengan masa jabatan Gubernur, Bupati, dan Walikota sampai dengan tahun
2020.
(3)
Dalam hal Pemilihan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) tidak dapat diselenggarakan karena tidak terdapat calon yang
mendaftar maka diangkat penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat
Walikota sampai terpilihnya Gubernur, Bupati, dan Walikota pada tahun 2020.
(4)
Pemungutan suara serentak dalam Pemilihan
yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2019 dilaksanakan di hari dan bulan
yang sama pada tahun 2020.
(5)
Pemungutan suara serentak dalam Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia dilaksanakan pada hari dan bulan yang sama pada tahun 2020.
(6)
Untuk mengisi kekosongan jabatan
Gubernur, Bupati, dan Walikota yang berakhir masa jabatan tahun 2016 dan tahun
2017 diangkat penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Walikota sampai
dengan terpilihnya Gubernur, Bupati, dan Walikota yang definitif pada tahun
2018.
(7)
Untuk mengisi kekosongan jabatan
Gubernur, Bupati, dan Walikota yang berakhir masa jabatan tahun 2019, diangkat
penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Walikota sampai dengan
terpilihnya Gubernur, Bupati, dan Walikota yang definitif pada tahun 2020.
Pasal
202
(1)
Gubernur, Bupati, dan Walikota yang
dilantik pada tahun 2018 dengan masa jabatan sampai dengan tahun 2020 maka masa
jabatan tersebut tidak dihitung satu periode.
(2)
Gubernur, Bupati, dan Walikota yang
dilantik pada tahun 2018 dengan masa jabatan sampai dengan tahun 2020 diberikan
hak pensiun sebagai mantan Gubernur, Bupati, dan Walikota satu periode.
(3)
Daerah yang Gubernur, Bupati, dan
Walikota berakhir masa jabatannya tahun 2016, tahun 2017 dan tahun 2018, karena
sesuatu hal yang mengakibatkan tidak terselesaikannya tahapan pemilihan pada
Desember tahun 2018 maka untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur, Bupati, dan
Walikota diangkat penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Walikota
sampai dengan tahun 2020.
(4)
Gubernur, Bupati, dan Walikota yang
berakhir masa jabatannya pada tahun 2018 dan masa jabatannya kurang dari 5
(lima) tahun dikarenakan pelaksanaan Pemilihan serentak maka diberikan
kompensasi uang sebesar gaji pokok dikalikan jumlah bulan yang tersisa serta
mendapatkan hak pensiun untuk satu periode.
Pasal
203
(1)
Dalam hal terjadi kekosongan Gubernur,
Bupati, dan Walikota yang diangkat berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah, Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil
Walikota menggantikan Gubernur, Bupati, dan Walikota sampai dengan berakhir
masa jabatannya.
(2)
Dalam hal terjadi kekosongan Wakil
Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota yang diangkat berdasarkan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, mekanisme
pengisiannya dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang ini.
Pasal
204
Pada
saat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai berlaku, semua
peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari
peraturan perundang-undangan mengenai penyelenggaraan pemilihan kepala daerah
dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan
dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini.
BAB
XXVII
KETENTUAN
PENUTUP
Pasal 205
Pada
saat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai berlaku,
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 243, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun Nomor 5586) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal
206
Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah
Pengganti
Undang-Undang
ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada
tanggal 2 Oktober 2014
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di
Jakarta
pada tanggal 2 Oktober 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 2014 NOMOR 245
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN
PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN
2014
TENTANG
PEMILIHAN
GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA
I. UMUM
Untuk
menjamin Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dilaksanakan secara
demokratis sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maka kedaulatan rakyat serta demokrasi
dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat wajib dihormati sebagai syarat utama
pelaksanaan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Kedaulatan rakyat dan
demokrasi tersebut perlu ditegaskan dengan pelaksanaan Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota secara langsung oleh rakyat, dengan melakukan beberapa
perbaikan mendasar atas berbagai permasalahan pemilihan langsung yang selama
ini telah dilaksanakan.
Namun,
pembentukan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota yang mengatur mekanisme pemilihan kepala daerah secara
tidak langsung melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah telah mendapatkan
penolakan yang luas oleh rakyat dan proses pengambilan keputusannya tidak
mencerminkan prinsip demokrasi. Selain berdasarkan alasan tersebut di atas, terdapat
pertimbangan mengenai kegentingan yang memaksa sesuai dengan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 yang di dalamnya memuat tentang persyaratan
perlunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang apabila:
1.
adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak
untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
2.
Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut
belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau ada Undang-Undang tetapi tidak
memadai;
3.
kekosongan hukum tersebut tidak dapat
diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan
memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu
kepastian untuk diselesaikan.
Atas
dasar tersebut, maka perlu menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Dalam Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini diatur mengenai KPU Provinsi dan KPU
Kabupaten/Kota sebagai lembaga penyelenggara Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota. KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dalam menjalankan tugasnya
melakukan seluruh tahapan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
Agar
tercipta kualitas Gubernur, Bupati, dan Walikota yang memiliki kompetensi,
integritas, dan kapabilitas serta memenuhi unsur akseptabilitas maka selain
memenuhi persyaratan formal administratif juga dilakukan Uji Publik oleh
akademisi, tokoh masyarakat, dan Komisioner KPU Provinsi dan/atau KPU
Kabupaten/Kota.
Guna
menjamin transparansi dan efisiensi penyelenggaraan Pemilihan Gubernur, Bupati,
dan Walikota maka lembaga penegak hukum wajib mengawasi pelaksanaan seluruh
tahapan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
Pendanaan
penyelenggaraan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota bersumber dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan dapat didukung Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah. Adapun pelaksanaan Kampanye difasilitasi oleh KPU Provinsi
dan KPU Kabupaten/Kota dengan menggunakan paradigma efisiensi, efektifitas, dan
proporsionalitas. Dalam rangka menegakkan supremasi hukum dalam konteks
kesatuan hukum nasional, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini
mengatur penyelesaian baik penyelesaian untuk perselisihan hasil Pemilihan
Gubernur maupun perselisihan hasil Pemilihan Bupati dan Walikota di tingkat
Pengadilan Tinggi dan dapat mengajukan permohonan keberatan ke Mahkamah Agung
yang putusannya bersifat final dan mengikat serta tidak dapat dilakukan upaya
hukum lain.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal
1
Cukup
jelas.
Pasal
2
Cukup
jelas.
Pasal
3
Cukup
jelas.
Pasal
4
Cukup
jelas.
Pasal
5
Cukup
jelas.
Pasal
6
Cukup
jelas.
Pasal
7
Huruf
a
Cukup
jelas.
Huruf
b
Cukup
jelas.
Huruf
c
Cukup
jelas.
Huruf
d
Cukup
jelas.
Huruf
e
Cukup
jelas.
Huruf
f
Cukup
jelas.
Huruf
g
Cukup
jelas.
Huruf
h
Cukup
jelas.
Huruf
i Yang dimaksud dengan “melakukan
perbuatan tercela” antara lain, judi, mabuk, pemakai/pengedar narkoba, dan
berzina serta perbuatan yang melanggar kesusilaan lainnya.
Huruf j
Cukup
jelas.
Huruf
k
Cukup
jelas.
Huruf
l
Cukup
jelas.
Huruf
m
Cukup
jelas.
Huruf
n
Cukup
jelas.
Huruf
o
Cukup
jelas.
Huruf
p
Cukup
jelas.
Huruf
q Yang dimaksud dengan “tidak memiliki
konflik kepentingan” adalah antara lain, tidak memiliki ikatan perkawinan
atau garis keturunan 1 (satu) tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping
dengan petahana kecuali telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan.
Huruf r
Cukup
jelas.
Huruf
s
Cukup
jelas.
Huruf
t
Cukup
jelas.
Huruf
u
Cukup
jelas.
Pasal
8
Cukup
jelas.
Pasal
9
Cukup
jelas.
Pasal
10
Cukup
jelas.
Pasal
11
Cukup
jelas.
Pasal
12
Cukup
jelas.
Pasal
13
Cukup
jelas.
Pasal
14
Cukup
jelas.
Pasal
15
Cukup
jelas.
Pasal
16
Cukup
jelas.
Pasal
17
Cukup
jelas.
Pasal
18
Cukup
jelas.
Pasal
19
Cukup
jelas.
Pasal
20
Cukup
jelas.
Pasal
21
Cukup
jelas.
Pasal
22
Cukup
jelas.
Pasal
23
Cukup
jelas.
Pasal
24
Cukup
jelas.
Pasal
25
Cukup
jelas.
Pasal
26
Cukup
jelas.
Pasal
27
Cukup
jelas.
Pasal
28
Cukup
jelas.
Pasal
29
Cukup
jelas.
Pasal
30
Cukup
jelas.
Pasal
31
Cukup
jelas.
Pasal
32
Cukup
jelas.
Pasal
33
Cukup
jelas.
Pasal
34
Cukup
jelas.
Pasal
35
Cukup
jelas.
Pasal
36
Cukup
jelas.
Pasal
37
Cukup
jelas.
Pasal
38
Cukup
jelas.
Pasal
39
Cukup
jelas.
Pasal
40
Cukup
jelas.
Pasal
41
Cukup
jelas.
Pasal
42
Cukup
jelas.
Pasal
43
Cukup
jelas.
Pasal
44
Cukup
jelas.
Pasal
45
Cukup
jelas.
Pasal
46
Cukup
jelas.
Pasal
47
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Yang
dimaksud dengan “orang” termasuk
Calon Gubernur, Calon Bupati, atau Calon Walikota.
Ayat
(5)
Cukup
jelas.
Pasal
48
Cukup
jelas.
Pasal
49
Cukup
jelas.
Pasal
50
Cukup
jelas.
Pasal
51
Cukup
jelas.
Pasal
52
Cukup
jelas.
Pasal
53
Cukup
jelas.
Pasal
54
Cukup
jelas.
Pasal
55
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Penetapan
calon oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota yang memperoleh suara terbanyak
di bawah calon yang memperoleh suara terbanyak kedua dilakukan dengan memperhatikan
urutan perolehan suara terbanyak.
Pasal
56
Cukup
jelas.
Pasal
57
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Yang
dimaksud dengan “surat keterangan
penduduk”, antara lain, paspor atau Surat Izin Mengemudi (SIM).
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Pasal
58
Cukup
jelas.
Pasal
59
Cukup
jelas.
Pasal
60
Cukup
jelas.
Pasal
61
Cukup
jelas.
Pasal
62
Cukup
jelas.
Pasal
63
Cukup
jelas.
Pasal
64
Cukup
jelas.
Pasal
65
Cukup
jelas.
Pasal
66
Cukup
jelas.
Pasal
67
Cukup
jelas.
Pasal
68
Cukup
jelas.
Pasal
69
Huruf
a
Cukup
jelas.
Huruf
b
Cukup
jelas.
Huruf
c
Ketentuan
dalam huruf ini dikenal dengan istilah Kampanye hitam atau black campaign.
Huruf
d
Cukup
jelas.
Huruf
e
Cukup
jelas.
Huruf
f
Cukup
jelas.
Huruf
g
Cukup
jelas.
Huruf
h
Cukup
jelas.
Huruf
i
Cukup
jelas.
Huruf
j
Cukup
jelas.
Huruf
k
Cukup
jelas.
Pasal
70
Cukup
jelas.
Pasal
71
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Pengisian
jabatan hanya dapat dilakukan untuk mengisi kekosongan jabatan.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Pasal
72
Cukup
jelas.
Pasal
73
Cukup
jelas.
Pasal
74
Cukup
jelas.
Pasal
75
Cukup
jelas.
Pasal
76
Cukup
jelas.
Pasal
77
Cukup
jelas.
Pasal
78
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Yang
dimaksud dengan “perlengkapan lainnya”
meliputi sampul kertas, tanda pengenal KPPS, tanda pengenal petugas keamanan
TPS, tanda pengenal saksi, karet pengikat surat suara, lem/perekat, kantong
plastik, ballpoint, gembok, spidol, formulir untuk berita acara dan sertifikat,
stiker nomor kotak suara, tali pengikat alat pemberi tanda pilihan, dan alat
bantu tuna netra.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Ayat
(5)
Cukup
jelas.
Ayat
(6)
Cukup
jelas.
Ayat
(7)
Cukup
jelas.
Ayat
(8)
Cukup
jelas.
Pasal
79
Cukup
jelas.
Pasal
80
Cukup
jelas.
Pasal
81
Cukup
jelas.
Pasal
82
Cukup
jelas.
Pasal
83
Cukup
jelas.
Pasal
84
Cukup
jelas.
Pasal
85
Cukup
jelas.
Pasal
86
Cukup
jelas.
Pasal
87
Cukup
jelas.
Pasal
88
Cukup
jelas.
Pasal
89
Cukup
jelas.
Pasal
90
Cukup
jelas.
Pasal
91
Cukup
jelas.
Pasal
92
Cukup
jelas.
Pasal
93
Cukup
jelas.
Pasal
94
Cukup
jelas.
Pasal
95
Cukup
jelas.
Pasal
96
Cukup
jelas.
Pasal
97
Cukup
jelas.
Pasal
98
Cukup
jelas.
Pasal
99
Cukup
jelas.
Pasal
100
Cukup
jelas.
Pasal
101
Cukup
jelas.
Pasal
102
Cukup
jelas.
Pasal
103
Cukup
jelas.
Pasal
104
Cukup
jelas.
Pasal
105
Cukup
jelas.
Pasal
106
Cukup
jelas.
Pasal
107
Cukup
jelas.
Pasal
108
Cukup
jelas.
Pasal
109
Cukup
jelas.
Pasal
110
Cukup
jelas.
Pasal
111
Cukup
jelas.
Pasal
112
Cukup
jelas.
Pasal
113
Cukup
jelas.
Pasal
114
Cukup
jelas.
Pasal
115
Cukup
jelas.
Pasal
116
Cukup
jelas.
Pasal
117
Cukup
jelas.
Pasal
118
Cukup
jelas.
Pasal
119
Cukup
jelas.
Pasal
120
Cukup
jelas.
Pasal
121
Cukup
jelas.
Pasal
122
Cukup
jelas.
Pasal
123
Cukup
jelas.
Pasal
124
Cukup
jelas.
Pasal
125
Cukup
jelas.
Pasal
126
Cukup
jelas.
Pasal
127
Cukup
jelas.
Pasal
128
Cukup
jelas.
Pasal
129
Cukup
jelas.
Pasal
130
Cukup
jelas.
Pasal
131
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Sosialisasi
Pemilihan dan pendidikan politik bagi pemilih dilakukan dalam bentuk seminar,
lokakarya, pelatihan, simulasi, dan bentuk kegiatan lainnya.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Pasal
132
Cukup
jelas.
Pasal
133
Cukup
jelas.
Pasal
134
Cukup
jelas.
Pasal
135
Cukup
jelas.
Pasal
136
Cukup
jelas.
Pasal
137
Cukup
jelas.
Pasal
138
Cukup
jelas.
Pasal
139
Cukup
jelas.
Pasal
140
Cukup
jelas.
Pasal
141
Cukup
jelas.
Pasal
142
Huruf
a
Cukup
jelas.
Huruf
b
Yang
dimaksud dengan “sengketa antara Peserta
Pemilihan dengan penyelenggara Pemilihan” antara lain, sengketa yang
diakibatkan keluarnya Keputusan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota.
Pasal
143
Cukup
jelas.
Pasal
144
Cukup
jelas.
Pasal
145
Cukup
jelas.
Pasal
146
Cukup
jelas.
Pasal
147
Cukup
jelas.
Pasal
148
Cukup
jelas.
Pasal
149
Cukup
jelas.
Pasal
150
Cukup
jelas.
Pasal
151
Cukup
jelas.
Pasal
152
Cukup
jelas.
Pasal
153
Cukup
jelas.
Pasal
154
Cukup
jelas.
Pasal
155
Cukup
jelas.
Pasal
156
Cukup
jelas.
Pasal
157
Cukup
jelas.
Pasal
158
Cukup
jelas.
Pasal
159
Cukup
jelas.
Pasal
160
Cukup
jelas.
Pasal
161
Cukup
jelas.
Pasal
162
Cukup
jelas.
Pasal
163
Ayat
(1)
Serah
terima jabatan Gubernur dilakukan di ibu kota provinsi.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Pasal
164
Ayat
(1)
Serah
terima jabatan Bupati/Walikota dilakukan di ibu kota Kabupaten/Kota.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Pasal
165
Cukup
jelas.
Pasal
166
Pendanaan
untuk seluruh kegiatan Pemilihan dibebankan pada APBN, kecuali kegiatan
kampanye yang berupa pertemuan terbatas dan pertemuan tatap muka dan dialog.
Dukungan dana melalui APBD antara lain berupa kegiatan sosialisasi, pengamanan,
distribusi logistik dan lain-lain.
Pasal
167
Cukup
jelas.
Pasal
168
Cukup
jelas.
Pasal
169
Cukup
jelas.
Pasal
170
Cukup
jelas.
Pasal
171
Huruf
a
Cukup
jelas.
Huruf
b
Cukup
jelas.
Huruf
c
Cukup
jelas.
Huruf
d
Cukup
jelas.
Huruf
e
Cukup
jelas.
Huruf
f
Cukup
jelas.
Huruf
g
Cukup
jelas.
Huruf
h
Cukup
jelas.
Huruf
i
Cukup
jelas.
Huruf
j
Cukup
jelas.
Huruf
k
Cukup
jelas.
Huruf
l
Cukup
jelas.
Huruf
m
Cukup
jelas.
Huruf
n
Yang
dimaksud dengan “tidak memiliki konflik
kepentingan” adalah tidak memiliki ikatan perkawinan atau garis keturunan 1
(satu) tingkat lurus ke atas, ke bawah dan ke samping dengan Gubernur, Bupati
dan Walikota.
Huruf
o
Cukup
jelas.
Huruf
p
Cukup
jelas.
Huruf
q
Cukup
jelas.
Pasal
172
Cukup
jelas.
Pasal
173
Cukup
jelas.
Pasal
174
Cukup
jelas.
Pasal
175
Cukup
jelas.
Pasal
176
Cukup
jelas.
Pasal
177
Cukup
jelas.
Pasal
178
Cukup
jelas.
Pasal
179
Cukup
jelas.
Pasal
180
Cukup
jelas.
Pasal
181
Cukup
jelas.
Pasal
182
Cukup
jelas.
Pasal
183
Cukup
jelas.
Pasal
184
Cukup
jelas.
Pasal
185
Cukup
jelas.
Pasal
186
Cukup
jelas.
Pasal
187
Cukup
jelas.
Pasal
188
Cukup
jelas.
Pasal
189
Cukup
jelas.
Pasal
190
Cukup
jelas.
Pasal
191
Cukup
jelas.
Pasal
192
Cukup
jelas.
Pasal
193
Cukup
jelas.
Pasal
194
Cukup
jelas.
Pasal
195
Cukup
jelas.
Pasal
196
Cukup
jelas.
Pasal
197
Cukup
jelas.
Pasal
198
Cukup
jelas.
Pasal
199
Cukup
jelas.
Pasal
200
Cukup
jelas.
Pasal
201
Cukup
jelas.
Pasal
202
Cukup
jelas.
Pasal
203
Cukup
jelas.
Pasal
204
Cukup
jelas.
Pasal
205
Cukup
jelas.
Pasal
206
Cukup
jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 5588
Tidak ada komentar:
Posting Komentar