Tentang
POKOK-POKOK
PEMERINTAHAN DAERAH
Presiden
Republik Indonesia,
Menimbang:
a. bahwa berhubung dengan perkembangan ketata-negaraan dalam
rangka kembali kepada Undang-undang Dasar 1945 sejak Dekrit Presiden Republik
Indonesia tanggal 5 Juli 1959, maka ketentuan-ketentuan perundangan tentang
Pokok-pokok Pemerintahan Daerah perlu diperbaharui sesuai dengan Manifesto
Politik Republik Indonesia sebagai Garis-garis Besar dari pada Haluan Negara
dan pedoman-pedoman pelaksanaannya;
b. bahwa pembaharuan itu, sesuai dengan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara No. II/MPRS/1960, haruslah berbentuk satu
Undang-undang tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah sesuai dengan
kegotongroyongan Demokrasi Terpimpin dalam rangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang mencakup segala pokok-pokok (unsur-unsur) yang progresif dari
Undang-undang No. 22 tahun 1948, Undang-undang No. 1 tahun 1957, Penetapan Presiden
No. 6 tahun 1959 (disempurnakan). Penetapan Presiden No. 2 tahun 1960 dan
Penetapan Presiden No. 5 tahun 1960 (disempurnakan) juncto Penetapan Presiden
No. 7 tahun 1965 serta untuk mewujudkan Daerah-daerah yang dapat berswadaya dan
berswasembada;
c. bahwa agar dapat dilaksanakan pembentukan Pemerintah Daerah
tingkat III selekas mungkin;
Memperhatikan
:
Usul
Panitia Negara yang dibentuk dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.
514 tahun 1961 dan No. 5 47 tahun 1961:
Mengingat
:
1. Pasal 1 ayat (1), pasal 5 ayat (1), pasal 18 dan pasal 20 ayat
(1) Undang-undang Dasar;
2. Ketetapan M.P.R.S. No. II/MPRS/1960, No. IV/MPRS/ 1963, No.
V/MPRS/1965. No. VI/MPRS/1965, No. VII/ MPRS 1965 dan No. VIII/MPRS/1965;
Mendengar
: Presidium Kabinet Republik Indonesia;
Dengan
persetujuan
Dewan
Perwakilan Rakyat Gotong Royong;
Memutuskan:
Pertama
mencabut:
1. Undang-undang No, 1 tahun 1957;
2. Penetapan Presiden No. 6 tahun 1959 (disempurnakan);
3. Penetapan Presiden No. 2 tahun 1960;
4. Penetapan Presiden No. 5 tahun 1960 (disempurnakan) juncto
Penetapan Presiden No. 7 tahun 1965;
Kedua
menetapkan: Undang-undang tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah.
BAB
I. KETENTUAN UMUM.
Pasal
1.
(1) Yang dimaksud dengan "Daerah" dalam Undang-undang
ini, ialah daerah besar dan daerah kecil tersebut dalam pasal 18 Undang-undang
Dasar yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
(2) Istilah-istilah "Propinsi", "Kabupaten" dan
"Kecamatan" sebagaimana halnya dengan istilah-istilah
"Kotaraya", "Kotamadya" dan "Kotapraja", adalah
istilah-istilah untuk nama jenis Daerah dan bukan merupakan penunjukan sesuatu
wilayah administratif.
(3) Yang dimaksud dengan "Kota" ialah kelompokan penduduk
yang bertempat tinggal bersama-sama dalam satu wilayah yang batasnya menurut
peraturan-peraturan yang telah ditentukan.
(4) Yang dimaksud dengan "Desa" atau daerah yang
setingkat dengan itu adalah kesatuan masyarakat hukum dengan kesatuan penguasa
yang berhak mengatur dan mengurus rumah-tangganya sendiri seperti dimaksud
dalam penjelasan pasal 18 Undang-undang Dasar.
(5) Jika dalam Undang-undang ini disebut "setingkat lebih
atas", maka yang dimaksudkan adalah: a.Daerah tingkat I bagi Daerah
tingkat II yang terletak dalam wilayah Daerah tingkat I itu; b.Daerah tingkat
II bagi Daerah tingkat III yang terletak dalam wilayah Daerah tingkat II itu.
(6) Dalam Undang-undang ini istilah keputusan dapat diartikan juga
peraturan.
BAB
II. PEMBAGIAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA DALAM DAERAH.
Pasal
2.
(1) Wilayah Negara Republik Indonesia terbagi habis dalam
Daerah-daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah-tangganya sendiri dan
tersusun dalam tiga tingkatan sebagai berikut:
- Propinsi dan/atau Kotapraja sebagai
Daerah tingkat I.
- Kabupaten dan/atau Kotamadya sebagai
Daerah tingkat II dan
- Kecamatan dan/atau Kotapraja sebagai
Daerah tingkat III.
(2) Ibu-kota Negara Republik Indonesia Jakarta dimaksud dalam
Undang-undang No. 10 tahun 1964, sebagai Kotapraja tersebut pada ayat (1) pasal
ini, baik bagi perubahan dan penyempurnaan batas-batas wilayahnya maupun
mengingat pertumbuhan dan perkembangannya dapat mempunyai dalam wilayahnya
Daerah-daerah tingkat lain ataupun pemerintahan dalam bentuk lain yang sedapat
mungkin akan disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini
yang pengaturannya ditetapkan dengan Undang-undang.
Pasal
3.
(1) Pembentukan Daerah termaksud dalam pasal 2 ayat (1), nama,
ibu-kota dan batasnya, serta tugas kewenangan pangkalnya dan anggaran
keuangannya yang pertama, diatur dengan Undang-undang.
(2) Penyempurnaan batas wilayah Daerah begitu pula pemindahan
ibu-kota, perubahan nama dan batas wilayah kemudian yang tidak mengakibatkan
pembubaran sesuatu Daerah, diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
4.
(1) Kota dengan memperhatikan faktor-faktor sosial ekonomis,
penduduk dan lain-lain, dapat dibentuk menjadi Kotaraya, Kotamadya atau
Kotapraja dimaksud dalam pasal 2.
(2) Sesuatu atau beberapa desa atau daerah yang setingkat dengan
desa, dengan mengingat kehidupan masyarakat dan kemajuan perkembangan sosial
ekonominya serta dengan memperhatikan peraturan-peraturan hukum adat dan
susunan asli yang masih hidup dan berlaku, dapat dibentuk menjadi Daerah
tingkat III.
BAB
III. BENTUK DAN SUSUNAN PEMERINTAHAN DAERAH
BAGIAN
I. Ketentuan Umum.
Pasal
5.
(1) Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan Dewan
Perwakilan Daerah.
(2) Kepala Daerah melaksanakan politik Pemerintah dan bertanggung
jawab kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri menurut hierarchi yang ada.
(3)
Pasal
6.
Dalam
menjalankan pemerintahan sehari-hari Kepala Daerah dibantu oleh Wakil Kepala
Daerah dan Badan Pemerintah Harian.
Pasal
7.
Pimpinan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terdiri dari seorang Ketua dan beberapa orang
Wakil Ketua sampai terjadi poros Nasakom.
Pasal
8.
Pimpinan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam menjalankan tugasnya mempertanggung-jawabkan
kepada Kepala Daerah.
Pasal
9.
(1) Ketua dan Wakil-wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
dipilih oleh dan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang disahkan bagi:
a.Daerah tingkat I oleh Menteri Dalam Negeri, b.Daerah-daerah lain oleh Kepala Daerah
yang setingkat lebih atas.
(2) Selama Ketua dan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
belum ada, rapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dipimpin oleh seorang anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang tertua usianya.
Pasal
10.
(1) Penyelenggaraan administrasi yang berhubungan dengan seluruh
tugas Pemerintah Daerah dilakukan oleh Sekretariat Daerah, yang disusun dan
pembiayaannya ditetapkan dengan Peraturan Daerah berdasarkan pedoman yang
diberikan oleh Pemerintah Pusat dan disahkan oleh Menteri Dalam Negeri.
(2) Sekretariat Daerah dikepalai oleh seorang Sekretaris Daerah
yang melakukan pekerjaannya langsung dibawah pimpinan Kepala Daerah.
BAGIAN
II Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
1.
Kepala Daerah.
Pasal
11.
Kepala
Daerah diangkat dan diberhentikan oleh:
a. Presiden bagi Daerah tingkat I,
b. Menteri Dalam Negeri dengan persetujuan Presiden bagi Daerah
tingkat II dan
c. Kepala Daerah tingkat I dengan persetujuan Menteri Dalam Negeri
bagi Daerah tingkat III yang ada dalam Daerah tingkat I.
Pasal
12.
(1) Kepala Daerah tingkat I diangkat oleh Presiden dari
sedikit-dikitnya dua dan sebanyak-banyaknya empat orang calon yang diajukan
oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan.
(2) Apabila dari pencalonan itu tidak ada calon yang memenuhi
syarat untuk diangkat menjadi Kepala Daerah, maka Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah yang bersangkutan diminta oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden
untuk mengajukan pencalonan yang kedua dengan disertai keterangand tentang
alasan-alasan yang menjadi dasar penolakan terhadap pencalonan pertama
(3) Apabila juga pada pencalonan yang kedua seperti di maksud ayat
(2) diatas tidak ada calon yang memenuhi syarat, maka Presiden mengangkat
seorang Kepala Daerah diluar pencalonan.
Pasal
13.
(1) Kepala Daerah tingkat II diangkat oleh Menteri Dalam Negeri
dengan persetujuan Presiden dari sedikit-dikitnya dua dan sebanyak-banyaknya
emapt orang calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang
bersangkutan.
(2) Apabila dari pencalonan itu tidak ada calon dyang memenuhi
syarat untuk diangkat menjadi Kepala Daerah oleh Menteri Dalam Negeri dengan
persetujuan Presiden, maka Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan
diminta oleh Menteri Dalam Negeri untuk mengajukan pencalonan yang kedua dengan
disertai keterangan tentang alasan-alasan yang menjadi dasar penolakan terhadap
pencalonan pertama.
(3) Apabila juga dalam pencalonan yang kedua seperti dimaksud dalam
ayat (2) diatas tidak,ada calon yang memenuhi syarat untuk diangkat menjadi
Kepala Daerah oleh Menteri Dalam Negeri dengan persetujuan Presiden, maka
Presiden mengangkat seorang Kepala Daerah diluar pencalonan.
Pasal
14.
(1) Kepala Daerah tingkat III diangkat oleh Kepala Daerah tingkat I
dengan persetujuan Menteri Dalam Negeri dari sedikit- dikitnya dua dan
sebanyak-banyaknya empat orang calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah yang bersangkutan
(2) Apabila dari pencalonan itu tidak ada calon yang memenuhi
syarat untuk diangkat menjadi Kepala Daerah oleh Kepala Daerah tingkat I dengan
persetujuan Menteri Dalam Negeri, maka Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang
bersangkutan diminta oleh Kepala Daerah tingkat I untuk mengajukan pencalonan
yang kedua dengan disertai keterangan tentang alasan-alasan yang menjadi dasar
penolakan terhadap pencalonan pertama.
(3) Apabila juga pada pencalonan yang kedua seperti dimaksud dalam
ayat (2) diatas tidak ada calon yang memenuhi syarat untuk diangkat menjadi
Kepala Daerah oleh Kepala Daerah tingkat I dengan persetujuan Menteri Dalam
Negeri, maka Menteri tersebut mengangkat seorang Kepala Daerah di luar
pencalonan.
Pasal
15.
Yang
dapat diangkat menjadi Kepala Daerah ialah warga negara Indonesia yang selain
memenuhi peraturan-peraturan kepegawaian tentang syarat-syarat untuk diangkat
menjadi pegawai Negeri:
1. berjiwa Proklamasi 17 Agustus 1945 dan tidak pernah memusuhi
Revolusi Indonesia;
2. menyetujui Undang-undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia,
Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpinpin dan Kepribadian Indonesia yang berarti
juga menyetujui dan turut serta aktip melaksanakan Manifesto Politik Republik
Indonesia tertanggal 17 Agustus 1959 dan semua pedoman-pedoman pelaksanaannya
3. tidak sedang dipecat dari hak memilih atau hak dipilih dengan
keputusan pengadilan yang tidak dapat dirubah lagi;
4.
A.bagi Daerah tingkat I :
a.1.mempunyai
kecakapan dan pengalaman pekerjaan yang diperlukan bagi pemerintahan;
a.2.berpengetahuan
yang sederajat dengan Sekolah Tinggi atau sekurang-kurangnya berpendidikan yang
dapat disamakan dengan Sekolah Lanjutan Tingakt Atas;
a.3.sekurang-kurangnya
berumur 35 tahun;
B.bagi
Daerah tingkat II :
b.1.mempunyai
kecakapan dan pengalaman pekerjaan yang diperlukan bagi pemerintahan;
b.2.berpengetahuan
yang sederajat dengan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas atau sekurang-kurangnya
berpendidikan yang dapat disamakan dengan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama;
b.3.sekurang-kurangnya
berumur 30 tahun;
C.bagi Daerah tingkat III:
c.1.mempunyai
kecakapan dan pengalaman pekerjaan yang diperlukan bagi pemerintahan;
c.2.berpengetahuan
yang sederajat dengan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama atau sekurang-kurangnya
berpendidikan Sekolah Dasar;
c.3.sekurang-kurangnya
berumur 30 tahun.
Pasal
16.
(1) Kepala Daerah dilarang:
- dengan sengaja melakukan
kegiatan-kegiatan atau tidak melakukan tindakan, yang hanya menguntungkan
dan/atau mendahulukan kepentingan partainya, sesuatu golongan atau sesuatu
partai, sehingga merugikan kepentingan Pemerintah dan Rakyat Daerah;
- langsung atau tidak langsung turut
serta dalam atau menjadi penanggung untuk sesuatu perusahaan yang
mempunyai dasar ikatan perjanjian dengan Negara atau dengan Daerah untuk
memperoleh laba atau keuntungan;
- langsung atau tidak langsung turut
serta dalam atau menjadi penanggung untuk sesuatu usaha menyelenggarakan
pekerjaan umum, pengangkutan atau berlaku sebagai rekanan guna kepentingan
Daerah;
- melakukan pekerjaan-pekerjaan lain
yang memberikan keuntungan baginya dalam hal-hal yang berhubungan langsung
dengan Daerah yang bersangkutan;
- menjadi adpokat, pkrol atau kuasa
dalam perkara dimuka pengadilan, dalam mana Daerah yang bersangkutan
tersangkut.
(2) Terhadap larangan-larangan dimaksud dalam ayat (1) huruf b, c
dan d, Presiden dapat memberikan pengecualian, apabila kepentingan Daerah
memerlukan.
Pasal
17.
(1) Kepala Daerah diangkat untuk masa jabatan 5 tahun atau untuk
masa yang sama dengan masa duduk Dewan Perwakilan Daerah yang bersangkutan
tetapi dapat diangkat kembali.
(2) Kepala Daerah tidak dapat diperhentikan karena sesuatu
keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, terkecuali apabila Penguasa yang
berhak mengangkat menghendakinya.
(3) Kepala Daerah berhenti karena meninggal dunia atau
diperhentikan oleh Penguasa yang berhak mengangkat;
- atas permintaan sendiri;
- karena berakhir masa jabatannya dan
telah diangkat Kepala Daerah yang baru;
- karena tidak memenuhi lagi sesuatu
syarat dimaksud dalam pasal 15;
- karena tidak memenuhi lagi ketentuan
larangan-larangan bagi Kepala Daerah dimaksud dalam pasal 16;
- karena sebab-sebab lain.
Pasal
18.
(1) Menteri Dalam Negeri menetapkan peraturan tentang pejabat yang
mewakili Kepala Daerah, apabila Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
berhalangan.
(2) Selama Pemerintah Daerah dari Daerah yang dibentuk berdasarkan
Undang-undang ini belum terbentuk dan tersusun menurut ketentuan-ketentuan
dalam pasal 5 dan selama kekuasaan pemerintahan dari Daerah termaksud belum
diselenggarakan menurut ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini, kekuasaan
dijalankan oleh Penguasa yang ditunjuk oleh Pemerintah.
Pasal
19.
Kepala
Daerah adalah pegawai Negara, yang nama jabatan dan gelarnya, kedudukan dan
penghasilannya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal
20.
(1) Sebelum memangku jabatannya, Kepala Daerah mengangkat sumpah
menurut cara agamanya atau mengucapkan janji menurut kepercayaannya dalam
sidang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan:
- bagi Daerah tingkat I dihadapan
Menteri Dalam Negeri atau pejabat yang ditunjuk olehnya;
- bagi Daerah lainnya dihadapan Kepala
Daerah setingat lebih atas atau pejabat yang ditunjuk oleh Kepala Daerah
yang bersangkutan.
(2) Susunan kata-kata sumpah atau janji yang dimaksud dalam ayat
(1) adalah sebagai berikut: "Saya bersumpah (berjanji), bahwa saya
untuk dipilih dan diangkat menjadi Kepala Daerah, langsung atau tidak langsung
dengan nama atau dalih apapun, tidak memberikan atau menjanjikan atau akan
memberikan sesuatu kepada siapapun juga.
Saya bersumpah (berjanji), bahwa saya untuk melakukan atau
tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima
langsung ataupun tidak langsung dari siapapun juga sesuatu janji atau
pemberian.
Saya bersumpah (berjanji), bahwa saya akan memenuhi kewajiban
saya sebagai Kepala Daerah dengan sebaik-baiknya dan sejujur-jujurnya, bahwa
saya senantiasa akan membantu memelihara Undang-undang Dasar 1945 dan segala
peraturan-perundangan yang berlaku bagi Republik Indonesia.
Saya bersumpah (berjanji), bahwa saya akan memegang rahasia
sesuatu yang menurut sifatnya atau menurut perintah harus saya rahasiakan.
Saya bersumpah (berjanji), bahwa saya dalam menjalankan jabatan
atau pekerjaan saya, senantiasa akan lebih mementingkan kepentingan Negara dan
Daerah daripada kepentingan saya sendiri, seseorang atau golongan, dan akan
menjunjung tinggi kehormatan Negara, Daerah, Pemerintah dan Pegawai Negara.
Saya bersumpah (berjanji), bawha saya akan berusaha sekuat
tenaga membantu memajukan kesejahteraan Rakyat Indonesia pada umumnya dan
memajukan kesejahteraan Rakyat di Daerah pada khususnya dan akan setia kepada
Negara, Bangsa dan Republik Indonesia".
2
Wakil Kepala Daerah.
Pasal
21.
(1) Wakil Kepala Daerah dimaksud dalam pasal 6 diangkat dari antara
sedikit-dikitnya dua dan sebanyak-banyaknya empat orang calon Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah oleh: a.Presiden bagi Daerah tingkat I; b.Menteri Dalam Negeri
dengan persetujuan Presiden bagi Daerah tingkat II dan c.Kepala Daerah tingkat
I dengan persetujuan Menteri Dalam Negeri bagi Daerah tingkat III yang ada
dalam Daerah tingkat I yang bersangkutan.
(2) Syarat-syarat untuk diangkat menjadi Kepala Daerah sebagai
dimaksud dalam pasal 15 berlaku juga untuk Wakil Kepala Daerah.
(3) Larangan bagi Kepala Daerah dimaksud dalam pasal 16 berlaku
pula bagi Wakil Kepala Daerah.
(4) Wakil Kepala Daerah adalah pegawai Negara yang gelar dan nama
jabatannya, kedudukan dan penghasilannya diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Pemerintah.
(5) Wakil Kepala Daerah diangkat untuk suatu masa jabatan yang sama
dengan masa jabatan Kepala Daerah atau untuk masa yang sama dengan masa duduk
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan, tetapi dapat diangkat
kembali.
(6) Wakil Kepala Daerah tidak dapat diberhentikan karena sesuatu
keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, terkecuali apabila Penguasa yang
berhak mengangkat menghendakinya.
(7) Wakil Kepala Daerah berhenti karena meninggal dunia atau
diberhentikan oleh Penguasa yang berhak mengangkat:
- atas permintaan sendiri;
- karena berakhir masa jabatannya;
- karena tidak memenuhi lagi sesuatu
syarat dimaksud dalam pasal 15 jo. ayat (2) pasal ini;
- karena tidak memenuhi lagi ketentuan
larangan-larangan dimaksud dalam pasal 16 jo. ayat (3) pasal ini;
- karena sebab-sebab lain.
(8) Sebelum memangku jabatannya, Wakil Kepala Daerah mengangkat
sumpah atau mengucapkan janji menurut agamanya didepan Menteri Dalam Negeri
atau pejabat yang ditunjuk olehnya
(9) Susunan kata-kata sumpah ata janji yang dimaksud dalam ayat (8)
adalah sama dengan susunan kata-kata sumpah atau janji dalam pasal 20 ayat (2)
dengan ketentuan, bahwa perkataan Kepala Daerah harus dibaca Wakil Kepala
Daerah.
BAGIAN
III : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
1.
Keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Pasal
22.
(1) Bagi tiap-tiap Daerah jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah ditetapkan dalam Undang-undang pembentukannya, dengan dasar perhitungan
jumlah penduduk yang harus mempunyai eorang wakil dalam Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, serta syarat-syarat minimum dan maksimum jumlah anggota bagi
masing-masing Daerah sebagai berikut:
- bagi Daerah tingkat I, tiap-tiap
200.000 orang penduduk mempunyai seorang wakil dengan minimum 40 maksimum
75;
- bagi Daerah tingkat II, tiap-tiap
10.000 orang penduduk mempunyai seorang wakil dengan minimum 25 dan
maksimum 40;
- bagi Daerah tingkat III, tiap-tiap
2.000 orang penduduk mempunyai seorang wakil dengan minimum 15 maksimum
25.
(2) Perubahan jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut
ketentuan tersebut dalam ayat (1) sub a, b, dan c ditetapkan oleh Menteri Dalam
Negeri.
(3) Keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah berlaku untuk masa
lima tahun.
(4) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang mengisi lowongan
keanggotaan antar waktu, duduk dalam Dewan Perwakilan Rakyat Daerah itu hanya
untuk sisa masa lima tahun tersebut.
(5) Pemilihan, pengangkatan dan penggantian anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah diatur dengan Undang-undang.
Pasal
23.
Yang
dapat menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ialah warga negara
Indonesia yang :
a. telah berumur 21 tahun;
b. bertempat tinggal pokok dalam wilayah Daerah yang bersangkutan
sedikit-dikitnya enam bulan yang terakhir, atau bagi anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah tingkat II dan III yang bukan Kotamadya atau Kotapraja dapat juga
bertempat tinggal pokok sedikitnya enam bulan yang terakhir dalam Kotamadya
atau Kotapraja yang dilingkari oleh Daerah Tingkat II atau Daerah tingkat III
yang bersangkutan.
c. cakap menulis dan membaca bahasa Indonesia dalam huruf latin
d. berjiwa Proklamasi 17 Agustus 1945 dan tidak pernah memusuhi
Revolusi Indonesia;
e. menyetujui Undang-undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia,
Demokrasi terpimpin, Ekonomi terpimpin dan Kepribadian Indonesia yang berarti
juga menyetujui dan turut serta aktif melaksanakan Manifesto Politik Republik
Indonesia tertanggal 17 Agustus 1959 dan semua pedoman-pedoman pelaksanaannya;
f.
tidak sedang dipecat dari hak memilih atau
hak dipilih dengan keputusan pengadilan yang tidak dapat dirubah lagi;
g. tidak menjadi anggota/bekas anggota sesuatu partai/organisasi
yang menurut peraturan perundangan yang berlaku dinyatakan dibubarkan/terlarang
oleh yang berwajib, kecuali mereka yang dengan perkataan dan perbuatan membuktikan
persetujuannya apa yang tersebut dalam sub c, menurut penilaian Menteri Dalam
Negeri dan disetujui Presiden.
Pasal
24.
Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak boleh merangkap menjadi:
a. Presiden dan Wakil Presiden;
b. Menteri;
c. Pimpinan dan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan;
d. Kepala Daerah, Wakil Kepala Daerah atau anggota Badan
Pemerintah Harian dari Daerah yang bersangkutan atau Daerah yang lain;
e. Ketua, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari Daerah
yang lain;
f.
Kepala Dinas Daerah, Sekretaris Daerah dan
Pegawai yang bertanggung jawab tentang keuangan pada Daerah yang bersangkutan.
Pasal
25.
(1) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak boleh:
- menjadi adpokat, pokrol atau kuasa
dalam perkara hukum, dalam mana Daerah yang bersangkutan itu tersangkut;
- ikut serta dalam penetapan atau
pengesahan dari perhitungan yang dibuat oleh sesuatu badan dalam mana ia
duduk sebagai anggota pengurusnya, kecuali apabila hal ini mengenai
perhitungan anggaran keuangan Daerah yang bersangkutan;
- langsung atau tidak langsung turut
serta dalam atau menjadi penanggung untuk sesuatu usaha menyelenggarakan
pekerjaan umum, pengangkutan atau berlaku sebagai rekanan guna kepentingan
Daerah;
- melakukan pekerjaan yang memberikan
keuntungan baginya dalam hal-hal yang berhubungan langsung dengan Daerah
yang bersangkutan.
(2) Terhadap larangan-larangan tersebut dalam ayat (1), Kepala
Daerah semufakat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat memberikan pengecualian,
apabila kepentingan Daerah memerlukannya.
(3) Anggota yang melanggar larangan tersebut dalam ayat (1),
setelah diberi kesempatan untuk mempertahankan diri dengan lisan atu tulisan,
semufakat Dewan Perwakilan Rakayt Daerah diperhentikan oleh Kepala Daerah dan
sebelum itu oleh Kepala Daerah tersebut dapat diperhentikan untuk sementara.
(4) Terhadap putusan pemberhentian dan pemberhentian sementara
tersebut dalam ayat (3), anggota yang bersangkutan dalam waktu satu bulan
sesudah menerima putusan itu, dapat meminta keputusan banding kepada Kepala
Daerah yang setingkat lebih atas dan bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah tingkat I kepada Menteri Dalam Negeri.
Pasal
26.
(1) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah berhenti karena
meninggal dunia, atau diberhentikan karena:
- Permintaan sendiri;
- tidak lagi memenuhi sesuatu syarat
seperti tersebut dalam pasal 23 dan 24;
- terkena larangan untuk mana berlaku
ketentuan dalam pasal 23 sub g;
- melanggar suatu peraturan yang khusus
ditetapkan bagi anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, kecuali
dalam hal yang dimaksud dalam pasal 25 ayat (2).
(2) Keputusan mengenai pemberhentian keanggotaan termaksud dalam
ayat (1), bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tingkat I diambil oleh
Menteri Dalam Negeri atas usul Kepala Daerah yang bersangkutan setelah
mendengar Badan Pemerintah Harian dan bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah lainnya oleh Kepala Daerah yang setingkat lebih atasnya atas usul Kepala
Daerah yang bersangkutan setelah mendengar Badan Pemerintah Harian.
(3) Atas keputusan yang diambil menurut ketentuan dalam ayat (2)
diatas, kecuali dalam hal dimaksud dalam ayat (1) sub a, anggota yang
bersagnkutan dalam waktu satu bulan sesudah menerima putusan itu, berhak untuk
meminta puutsan banding kepada Presiden mengenai putusan Menteri Dalam Negeri,
kepada Menteri mengenai keputusan Kepala Daerah tingkat I dan Kepala Daerah
setingkat lebih atas mengenai keputusan Kepala Daerah tingkat lainnya.
Pasal
27.
(1) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menerima uang sidang,
uang jalan dan uang penginapan menurut peraturan yang ditetapkan oleh
Pemerintah Daerah.
(2) Ketua dan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak
menerima uang sidang untuk rapat yang dipimpin atau dihadirinya, tetapi
kepadanya diberikan tunjangan jabatan dan disamping tunjangan jabatan dimaksud
kepada Ketua dan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah diberikan pula uang
kehormatan setiap bulannya, uang jalan dan penginapan, bila dipandang perlu
uang perjalanan pindah dari tempat kediamannya yang lama ketempat kedudukan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan dan sebaliknya, selanjutnya
uang penggantian biaya berobat untuk dirinya serta anggota keluarganya,
tunjangan kematian serta tunjangan penghargaan yang diberikan pada akhir masa
jabatan Ketua dan Wakil Ketua atau pada waktu mereka berhenti dengan hormat
dari jabatannya menurut peraturan yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah.
(3) Peraturan Daerah dimaksud dalam ayat (1) dan (2) diatas
ditetapkan dengan mengingat pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri
bagi Daerah tingkat I dan oleh Kepala Daerah setingkat lebih atas bagi
lain-lain Daerah.
Pasal
28.
(1) Sebelum memangku jabatannya, Ketua, Wakil Ketua dan anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengangkat sumpah menurut cara agamanya atau
mengucapkan janji menurut kepercayaan masing-masing dihadapan Menteri Dalam
Negeri bagi Daerah tingkat I atau pejabat yang dikuasakan, dan dihadapan Kepala
Daerah setingkat lebih atas bagi Daerah-daerah lain atau pejabat yang
dikuasakan.
(2) Pengangkatan sumpah (janji) dari anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah yang antar waktu mengisi lowongan keanggotaan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah sebagai dimaksud dalam pasal 22 ayat (4) dilakukan dihadapan
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
(3) Susunan kata-kata sumpah (janji) termaksud pada ayat (1) dan
(2) adalah sebagai berikut: "Saya bersumpah (berjanji), bahwa saya
untuk diangkat menjadi Ketua/Wakil Ketua/anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
langsung atau tidak langsung dengan nama atau dalih apapun, tidak memberikan
atau menjanjikan atau akan memberikan sesuatu kepada siapapjn juga.
Saya bersumpah (berjanji), bahwa saya untuk melakukan atau
tidak melakukan sesuatu sebagai Ketua/Wakil Ketua/Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah ..., tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung
dari siapapun juga suatu janji atau pemberian.
Saya bersumpah (berjanji), bahwa saya akan memenuhi kewajiban
saya sebagai Ketua/Wakil Ketua/Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan
sebaik-baiknya dan sejujur-jujurnya, dan bawha saya senantiasa akan membantu
memelihara Undang-undang Dasar 1945 dan segala peraturan yang lain yang berlaku
bagi Republik Indonesia.
Saya bersumpah (berjanji), bahwa saya bersedia turut serta
melaksanakan Manifesto Politik Republik Indonesia tertanggal 17 Agustus 1959.
Saya bersumpah (berjanji), bahwa saya akan berusaha dengan
sekuat tenaga memajukan kesejahteraan Rakyat Indonesia pada umumnya dan
memajukan kesejahteraan Rakyat Daerah ....pada khususnya dan akan setia kepada
Nusa, Bangsa dan Republik Indonesia".
(4) Pada waktu pengangkatan sumpah (janji), instansi yang
berwenang, pejabat yang dikuasakan atau Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
dimaksud dalam ayat (1) dan (2) berusaha supaya segala sesuatu dilaksanakan
dalam suasana khidmad.
2.
Sidang dan rapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Pasal
29.
(1) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bersidang atau berapat atas
panggilan Ketuanya. Atas permintaan sekurang-kurangnya seperlima dari jumlah
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, maka Ketua dan Wakil Ketua Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah tersebut wajib memanggil Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah tersebut untuk bersidang atau berapat dalam satu bulan sesudah
permintaan itu diterimanya
(2) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bersidang sekurang- kurangnya
sekali dalam tiga bulan.
(3) Semua yang hadir pada rapat tertutup berkewajiban untuk
merahasiakan segala hal yang dibicarakan dalam rapat itu.
(4) Kewajiban merahasiakan seperti tersebut dalam ayat (3)
berlangsung terus, baik bagi anggota-anggota maupun
pegawai-pegawai/pekerja-pekerja yang mengetahui hal-hal yang dibicarakan itu
dengan jalan lain atau dari surat-surat yang mengenai hal itu, sampai Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah membebaskan mereka dari kewajiban tersebut.
Pasal
30.
(1) Rapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terbuka untuk umum,
kecuali jika Pimpinan menimbang perlu untuk mengadakan rapat tertutup ataupun
sekurang-kurangnya seperlima anggota mengusulkan hal itu.
(2) Tentang hal yang dibicarakan dalam rapat tertutup dapat diambil
keputusan, kecuali tentang: a.anggaran belanja, perhitungan anggaran belanja;
b.penetapan, perubahan dan penghapusan pajak; c.mengadakan pinjaman uang;
d.Perusahaan Daerah; *3493 e.kedudukan harta-benda dan hak-hak Daerah;
melakukan pekerjaan-pekerjaan, penyerahan-penyerahan barang dan
pengangkutan-pengangkutan tanpa mengadakan penawaran umum; g.penghapusan
tagihan-tagihan sebagian atau seluruhnya; h.mengadakan persetujuan Penyelesaian
perkara perdata secara damai; i.penerimaan anggota-anggota baru; j.mengadakan
usaha-usaha yang dapat merugikan atau mengurangi kepentingan umum.
Pasal
32.
Ketua
Wakil Ketua dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerahj idak dapat dituntut
karena pembicaraannya didalam rapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau karena
tulisannya yang disampaikan kepada rapat Dewan Perwakilan Rakayt Daerah, kecuali
jika mereka dengan itu mengumjmkan apa yang dikatakan atau yang dikemukakan
dalam rapat tertutup.
BAGIAN
IV. Badan Pemerintah Harian.
Pasal
33.
(1) Dalam Undang-undang pembentukan Daerah yang bersangkutan
ditentukan jumlah anggota Badan Pemerintah Harian menurut kebutuhan: a.bagi
Daerah tingkat I dari sekurang-kurangnya 7 orang; b.bagi Daerah tingkat II dari
sekurang-kurangnya 5 orang dan c.bagi Daerah tingkat III sekurang-kurangnya 3
orang.
(2) Penambahan jumlah anggota Badan Pemerintah Harian menurut
ketentuan tersebut dalam ayat (1) sub a, b dan c ditetapkan oleh Menteri Dalam
Negeri atas usul Kepala DAerah dengan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah yang bersangkutan.
(3) Masa jabatan anggota-anggota Badan Pemerintah Harian adalah sama
dengan masa jabatan Kepala Daerah dimaksud dalam pasal 17 ayat (1).
(4) Jumlah anggota Badan Pemerintah Harian tersebut dalam ayat (1)
harus tetap terisi; setiap kali timbul lowongan harus diangkat seorang anggota
baru yang berhenti bersama-sama dengan anggota-anggota lain pada akhir masa
jabatan dimaksud dalam ayat (3).
Pasal
34.
Yang
dapat menjadi anggota Badan Pemerintah Harian ialah warganegara Indonesia yang:
1. sekurang-kurangnya berumur 30 tahun;
2. berjiwa Proklamasi 17 Agustus 1945 dan tidak pernah memusuhi
Revolusi Indonesia;
3. menyetujui Undang-undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia,
Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Indonesia yang berarti
juga menyetujui dan turut serta aktif melaksanakan Manifesto Politik Republik
Indonesia tertanggal 17 Agustus 1959 dan semua pedoman-pedoman pelaksanaannya;
4. tidak sedang dipecat dari hak memilih atau hak dipilih dengan
keputusan pengadilan yang tidak dapat dirubah lagi;
5. A. bagi Daerah tingkat 1 :
a.1.mempunyai
kecakapan dan pengalaman pekerjaan yang diperlukan bagi pemerintahan;
a.2.berpengetahuan
yang sederajat dengan Sekolah Tinggi atau sekurang-kurangnya berpendidikan yang
dapat disamakan dengan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas;
B.
bagi Daerah tingkat II:
b.1.mempunyai
kecakapan dan pengalaman pekerjaan yang diperlukan bagi pemerintahan;
b.2.berpengetahuan
yang sederajat dengan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas atau sekurang-kurangnya
berpendidikan yang dapat disamakan dengan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama;
C.
bagi Daerah tingkat III:
c.1.mempunyai
kecakapan dan pengalaman pekerjaan yang diperlukan bagi pemerintahan;
c.2.berpengetahuan
yang sederajat dengan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama atau sekurang-kurangnya
berpendidikan Sekolah Dasar;
6.tidak
mempunyai hubungan keluarga dengan Kepala Daerah sampai derajat ketiga, baik
menurut garis lurus maupun garis ke- samping termasuk menantu dan ipar.
Pasal
35.
(1) Anggota Badan Pemerintah Harian diangkat dan diberhentikan
oleh:
- Presiden bagi Daerah tingkat I;
- Menteri Dalam Negeri dengan
persetujuan Presiden bagi Daerah tingkat II dan
- Kepala Daerah tingkat I dengan
persetujuan Menteri Dalam Negeri bagi Daerah tingkat III yang ada dalam
Daerah tingkat I.
(2) Prosedur pengangkatan anggota Badan Pemerintah Harian dimaksud
dalam ayat (1) mengikuti ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi pengangkatan
Kepala Daerah yang setingkat dimaksud dalam pasal-pasal 12, 13 dan 14, kecuali
mengenai jumlah calon yang harus diajukan sebanyak dua kali jumlah anggota
Badan Pemerintah Harian yang diperlukan.
(3) Dengan tidak mengurangi ketentuan dalam pasal 36 sub a, seorang
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat dicalonkan sebagai anggota Badan
Pemerintah Harian.
(4) Anggota Badan Pemerintah Harian berhenti karena meninggal dunia
atau diberhentikan oleh Penguasa yang berhak mengangkat:
- atas permintaan sendiri;
- karena berakhir masa duduk Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan;
- karena tidak memenuhi lagi sesuatu
syarat dimaksud dalam pasal 34 dan d.karena menjalankan sesuatu rangkapan
jabatan yang dilarang menurut pasal 36.
Pasal
36.
Anggota
Badan Pemerintah Harian tidak boleh:
a. dengan sengaja melakukan kegiatan-kegiatan atau tidak melakukan
tindakan yang hanya menguntungkan dan/atau mendahulukan kepentingan partainya,
sesuatu golongan atau sesuatu partai, sehingga merugikan kepentingan Pemerintah
dan Rakyat Daerah;
b. merangkap menjadi Sekretaris Daerah dan Pegawai yang bertanggung
jawab tentang keuangan kepada Daerah yang bersangkutan;
c. merangkap menjadi adpokat, pokrol atau kuasa dalam perkara
hukum, dalam mana Daerah itu tersangkut;
d. ikut memberikan pertimbangan mengenai penetapan atau pengesahan
perhitungan sesuatu badan yang ada sangkut-pautnya dengan keuangan Daerah,
dalam mana ia duduk sebagai pengurus;
e. langsung maupun tidak langsung ikut serta dalam pacht dibawah
tangan mengenai sesuatu milik Daerah ataupun ikut serta dalam pembelian suatu
tuntutan yang membebani Daerah yang sedang dalam sengketa;
f.
merangkap menjadi arsitek atau melakukan
pekerjaan-pekerjaan yang berhubungan langsung dengan Daerah yang bersangkutan
dan mendatangkan keuntungan baginya;
g. merangkap jabatan-jabatan lain yang akan ditentukan oleh
Menteri Dalam Negeri.
Pasal
37.
(1) Sebelum memangku jabatannya, anggota Badan Pemerintah Harian
mengangkat sumpah menurut cara agamanya atau mengucapkan janji menurut
kepercayaannya dihadapan Kepala Daerah yang bersangkutan.
(2) Susunan kata-kata sumpah (janji) termaksud dalam ayat (1)
adalah sebagai berikut:
"Saya bersumpah (berjanji), bahwa saya untuk diangkat
menjadi anggota Badan Pemerintah Harian langsung atau tidak langsung, dengan
nama atau dalih apapun, tidak memberikan atau menjanjikan ataupun akan
memberikan sesuatu kepada siapapun juga.
Saya bersumpah (berjanji), bahwa saya untuk melakukan atau
tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini tidak sekali-kali akan menerima,
langsung ataupun tidak langsung dari siapapun juga-sesuatu janji atau
pemberian.
Saya
bersumpah (berjanji), bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya sebagai anggota
Badan Pemerintah Harian .... dengan sebaik-baiknya dan sejujur-jujurnya, bahwa
saya senantiasa akan setia kepada Undang-undang Dasar 1945 dan akan membantu
memelihara segala peraturan perundangan yang berlaku bagi Republik Indonesia.
Saya bersumpah (berjanji), bahwa saya akan memegang rahasia
sesuatu yang menurut sifatnya atau menurut perintah harus saya rahasiakan.
Saya bersumpah (berjanji), bahwa saya akan membantu Kepala
Daerah ... dalam pekerjaannya dan menjalankan pekerjaan yang ditugaskannya
kepada saya dengan penuh keikhlasan dan kejujuran dan akan setia kepada Negara,
Bangsa dan Republik Indonesia".
Pasal
38.
(1) Anggota Badan Pemerintah Harian menerima uang kehormatan, uang
jalan, uang penginapan, uang perjalanan pindah, uang pengganti biaya berobat
untuk dirinya serta anggota keluarganya, tunjangan kematian bila meninggal
dunia dan uang tanda penghargaan pada masa akhir jabatannya atau bilamana ia
berhenti dengan hormat dari jabatannya menurut peraturan yang ditetapkan oleh
Pememrintah Daerah.
(2) Peraturan Daerah tersebut pada ayat (1) ditetapkan dengan
memperhatikan petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh Menteri Dalam Negeri dan
sebelum berlaku harus disahkan terlebih dahulu oleh:
- Menteri Dalam Negeri bagi Daerah
tingkat I dan
- Kepala Daerah setingakt lebih atas
bagi lain-lain Daerah.
BAB
IV. KEKUASAAN, TUGAS DAN KEWAJIBAN PEMERINTAH DAERAH.
BAGIAN
I Ketentuan Umum.
Pasal
39.
(1) Pemerintah Daerah berhak dan berkewajiban mengatur dan mengurus
rumah-tangga Daerahnya.
(2) Dengan tidak mengurangi ketentuan dimaksud dalam ayat (1),
dalam Undang-undang pembentukan Daerah sebagai pangkal ditetapkan urusan-urusan
yang termasuk rumah-tangganya disertai alat perlengkapan dan pembiayaannya
serta sumber-sumber pendapatan yang pertama dari Daerah itu.
(3) Dengan Peraturan Pemerintah tiap-tiap waktu, atas usul dari
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan dan sepanjang mengenai Daerah
tingkat II dan III atas usul dari Kepala Daerah setingkat lebih atas,
urusan-urusan tersebut dalam ayat (2) dapat ditambah dengan urusan-urusan lain.
Pasal
40.
(1) Urusan-urusan Pemerintah Pusat, sebagian atau seluruhnya yang
menurut pertimbangan Pemerintah Pusat dapat dipisahkan dari tangan Pemerintah
Pusat untuk diatur dan diurus sendiri oleh Daerah, dengan Peraturan Pemerintah
dapat ditetapkan menjadi urusan rumah-tangga Daerah.
(2) Dalam Peraturan Pemerintah dimaksud dalam ayat (1) harus diatur
pula biaya-biaya belanja urusan serta alat perlengkapannya yang harus
diserahkan kepada Daerah serta ditunjuk sumber-sumber pendapatan yang pertama
bagi Daerah itu untuk dapat menutup biaya belanja urusan tersebut,
Pasal
41.
(1) Sesuatu Daerah dengan Peraturan Daerah dapat memisahkan
sebagian atau seluruh urusan-urusan tertentu dari urusan rumah-tangganya untuk
diatur dan diurus sendiri oleh Daerah tingkat bawahan yang ada dalam wilayah
Daerahnya.
(2) Peraturan tersebut dalam ayat (1) tidak dapat berlaku sebelum
disahkan oleh Menteri Dalam Negeri bagi Daerah tingkat I dan oleh Kepala Daerah
setingkat lebih atas bagi lain-lain Daerah.
(3) Bagi penyerahan dimaksud ini, berlaku pula ketentuan termaskud
dalam pasal 39 ayat (3) dan pasal 40 ayat (2).
Pasal
42.
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan seperti yang
dimaksud dalam pasal 39, 40 dan 41, peraturan perundangan Pusat atau Peraturan
Daerah setingkat lebih atas, sedapat mungkin mengatur agar urusan-urusan
Pemerintah Pusat atau urusan-urusan yang merupakan rumah-tangga Pemerintah
Daerah setingkat lebih atas, sebagian atau seluruhnya, dilaksanakan oleh
Pemerintah Daerah yang ditunjuk oleh dan dalam peraturan-peraturan yang
dimaksud.
(2) Apabila peraturan-peraturan dimaksud pada ayat (1)
menentukannnya, maka Pemerintah Daerah diwajibkan melaksanakan
peraturan-peraturan itu.
(3) Dalam peraturan-peraturan dimaksud pada ayat (1), harus diatur
pula biaya-biaya belanja pelaksanaan urusan serta alat perlengkapannya yang
harus diserahkan kepada Daerah serta ditunjuk sumber-sumber pendapatan bagi
Daerah untuk dapat menutup biaya belanja pelaksanaan urusan tersebut.
Pasal
43.
(1) Beberapa Daerah dapat bersama-sama mengatur dan mengurus
kepentingan bersama.
(2) Keputusan bersama mengenai hal yang dimaksud dalam ayat (1)
demikian juga tentang perubahan dan pecabutannya harus disahkan lebih dahulu
oleh Menteri Dalam Negeri bagi Daerah tingkat I dan oleh Kepala Daerah
setingkat lebih atas bagi lain- lain Daerah.
(3) Bila tidak terdapat kata sepakat tentang perubahan atau
pencabutan peraturan tersebut dalam ayat (1), maka Menteri Dalam Negeri atau
Kepala Daerah tersebut dalam ayat (2) yang memutuskan.
(4) Untuk memberikan pelayanan sebaik-baiknya bagi sesuatu bentuk
kerja sama antar Daerah, Menteri Dalam Negeri dapat mengadakan pengaturan
khusus untuk menampung keerluan itu.
BAGIAN
II. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
1.
Kepala Daerah.
Pasal
44.
(1) Kepala Daerah adalah a.alat Pemerintah Pusat; b.alat Pemerintah
Daerah.
(2) Sebagai alat Pemerintah Pusat Kepala Daerah: a.memegang
pimpinan kebijaksanaan politik didaerahnya, dengan mengindahkan
wewenang-wewenang yang ada pada. penjabat- pejabat yang bersangkutan
berdasarkan peraturan-peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b.meylenggarakan koordinasi antara jawatan-jawatan Pemerintah Pusat di Daerah
antara jawatan-jawatan tersebut dengan Pemerintah Daerah; c.melakukan
pengawasan atas jalannya Pemerintah Daerah; d.menjalankan tugas-tugas lain yang
diserahkan kepadanya oleh Pemerintah Pusat.
(3) Sebagai alat Pemerintah Daerah, Kepala Daerah memimpin
pelaksanaan kekuasaan eksekutif Pemerintah Daerah biak dibidang urusan
rumah-tangga Daerah maupun dibidang pembantuan.
Pasal
45.
(1) Dalam menjalankan tugas kewenangannya, baik yang terletak
dibidang urusan otonomi maupun dibidang tugas pembantuan dalam pemerintahan,
Kepala Daerah memberikan pertanggungan-jawab sekurang-kurangnya sekali setahun
kepada Dean Perwakilan Rakyat Daerah atau apabila diminta oleh Dewan tersebut
atau apabila dipandang perlu olehnya.
(2) Dalam menjalankan tugas kewnangannya dibidang Pemerintahan
Pusat Kepala Daerah tingkat I bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri
Dalam Negeri dan bagi Kepala Daerah tingkat II dan III kepada Kepala Daerah
setingkat lebih atas.
Pasal
46.
Kepala
Daerah mewakili Daerahnya didalam dan diluar pengadilan.
Dalam
hal-hal yang dipandan perlu, Kepala Daerah dapat menunjuk seorang kuasa untuk
mewakilinya.
2.
Wakil Kepala Daerah.
Pasal
47.
(1) Wakil Kepala Daerah adalah: a.alat Pemerintah Pusat; b.alat
Pemerintah Daerah.
(2) Wakil Kepala Daerah membantu Kepala Daerah dalam menjalankan
*3499 tugas kewenangannya sehari-hari menurut pedoman yang diberikan oleh
Menteri Dalam Negeri.
(3) Apabila dipandang perlu, Kepala Daerah dapat menyerahkan kepada
Wakil Kepala Daerah untuk atas namanya memberikan keterangan dihadapan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.
Pasal
48.
(1) Jika Kepala Daerah tidak dapat melakukan tugas kewenangannya
Wakil Kepala Daerah melakukan tugas kewenangan Kepala Daerah.
(2) Jika Kepala Daerah meninggal dunia atau diperhentikan, Wakil
Kepala Daerah diangkat sebagai penggantinya sampai akhir masa jabatannya,
kecuali apabila penguasa yang berhak mengangkat menentukan lain.
BAGIAN
III. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
1.
Peraturan Daerah.
Pasal
49.
Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah menetapkan Peraturan- peraturan Daerah untuk
kepentingan Daerah atau untuk melaksanakan peraturan-perundangan yang lebih
tinggi tingkatannya yang pelaksanaannya ditugaskan kepada Daerah.
Pasal
50.
(1) Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan
peraturan-perundangan yang lebih tinggi tingkatannya atau dengan kepentingan
umum.
(2) Peraturan Daerah tidak boleh mengandung ketentuan- ketentuan
yang mengatur soal-soal pokok yang telah diatur dalam peraturan perundangan
yang lebih tinggi tingkatannya.
(3) Peraturan Daerah tidak boleh mengatur hal-hal yang termasuk
urusan rumah tangga Daerah tingkat bawahan dalam wilayahnya. (4)
Ketentuan-ketentuan dalam sesuatu Peraturan Daerah dengan sendirinya tidak
berlaku lagi, bilamana hal-hal yang diatur dalam ketentuan-ketentuan dimaksud,
kemudian diatur oleh peraturan-perundangan yang lebih tinggi tingkatannya.
Pasal
51.
(1) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat menetapkan
peraturan-perundangan dengan ancaman pidana kurungan selama-lamanya enam bulan
atau dengan sebanyak-banyaknya Rp. 10.000,-(sepuluh ribu rupiah) terhadap
pelanggaran peraturan-peraturannya, dengan atau tidak merampas barang-barang
tertentu, kecuali jikalau dengan peraturan-perundangan yang lebih tinggi
tingkatannya ditentukan lain.
(2) Dalam hal pelanggaran ulangan peraturan pidana dimaksud dalam
ayat (1), dalam waktu tidak lebih dari satu tahun sejak dijatuhkan pidana dalam
pelanggaran pertama tidak dapat dirubah lagi maka dapat diancamkan pidana
sampai dua kali maksimum dari pidana yang termaksud dalam ayat (1).
(3) Perbuatan tindak pidana sebagai dimaksud dalam ayat (1) adalah
pelanggaran.
(4) Peraturan Daerah yang memuat peraturan pidana tidak dapat
berlaku sebelum disahkan oleh Menteri Dalam Negeri bagi peraturan Daerah
tingkat I dan oleh Kepala Daerah setingkat lebih atas bagi Peraturan Daerah
lainnya.
Pasal
52.
Dengan
Peralturan Daerah dapat ditunjuk pegawai-pegawai Daerah yang diberi tugas untuk
menyidik pelanggaran ketentuan- ketentuan dari Peraturanj Daerah yang dimaksud
dalam pasal 5 i.
Pasal
53.
Apabila
pelaksanaan keputusan-keputusan Daerah memerlukan bantuan alat kekuasaan, maka
dalam Peraturan Daerah dapat ditetapkan, bahwa segala biaya untuk bantuan itu
dapat dibebankan kepada pelanggar.
Pasal
54.
(1) Dengan Peraturan Pemerintah dapat diadakan ketentuan-ketentuan
tentang bentuk Peraturan Daerah.
(2) Peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan, yang ditetapkan
oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah harus ditanda tangani juga oleh Kepala
Daerah.
(3) Pengundangan Peraturan-peraturan Daerah untuk mendapatkan
kekuatan hukum dan mengikat, dilakukan menurut ketentuan dalam ayat (4) pasal
ini.
(4) Pengundangan Peraturan-peraturan Daerah tersebut ayat (3)
begitu pula pengundangan keputusan-keputusan lain yang dipandang perlu,
dilakukan oleh Sekretaris Daerah,dengan menempatkannya dalam Lembaran Daerah tingkat
I bagi Peraturan Daerah tingkat I yang bersangkutan itu dan bagi lain-lain
Daerah dalam wilayahnya. Jika tidak ada
Lembaran Daerah dimaksud, maka pengundangannya dilakukan menurut cara lain yang
ditentukan dengan Peraturan Pemerintah.
(5) Peraturan Daerah mulai berlaku pada hari yang ditentukan dalam
peraturan tersebut atau jika ketentuan ini tidak ada, Peraturan Daerah mulai
berlaku pada hari ke-30 sesudah hari pengundangan termaksud alam ayat (4).
(6) Peraturan Daerah yang tidak boleh belaku sebelum disahkan oleh
Penguasa yang berwajib mengesahkannya, tidak diundangkan sebelum pengesahan itu
diberikan ataupun jangka waktu tersebut dalam pasal 79 berakhir.
2.
Hak Petisi.
Pasal
55.
(1) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat membela kepentingan Daerah
dan penduduknya kepada Pemerintah dan Dewan, Perwakilan Rakyat dengan
sepengetahuan Kepala Daerah yang bersangkutan.
(2) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat membela kepentingan Daerah
dan penduduknya kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan/atau Kepala Daerah
yang lebih tinggi tingkatannya, dengan sepengetahuan Kepala Daerah yang
bersangkutan.
3.
Melalaikan tugas kewenangan.
Pasal
56.
(1) Jika Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ternyata melalaikan tugas
kewenangan dimaksud dalam pasal 39 ayat (1), sehingga merugikan Daerah itu atau
merugikan Negara, maka Pemerintah dengan Peraturan Pemerintah menentukan cara
bagaimana Daerah itu harus diurus.
(2) Jika hal seperti tersebut dalam ayat (1) terjadi maka sambil
menunggu ditetapkannya Peraturan Pemerintah termaksud dalam ayat (1), tugas
kewenangan Pemerintah Daerah untuk sementara waktu dijalankan oleh Kepala
Daerah yang bersangkutan atas petunjuk Menteri Dalam Negeri.
(3) Apabila berhubung dnegan sesuatu hal Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah tidak dapat menjalankan tugas kewenangannya, dengan petunjuk Menteri
Dalam Negeri Kepala Daerah menjalankan tugas kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah.
BAGIAN
IV. Badan Pemerintah Harian.
Pasal
57.
(1) Anggota-anggota Badan Pemerintah Harian menanda-tangani
persetujuan Kepala Daerah dalam urusan dibidang urusan otonomi dan dibidang
tugas pembantuan dalam pemerintahan.
(2) Anggota-anggota Badan Pemerintah Harian: a.memberikan
pertimbangan kepada Kepala Daerah, baik diminta maupun tidak; b.mendapat bidang
pekerjaan tertentu dari Kepala Daerah menurut pedoman yang diberikan oleh
Menteri Dalam Negeri dan terhadap itu mereka bertanggungjawab kepada Kepala
Daerah.
(3) Apabila dipandang perlu, Kepala Daerah dapat menugaskan kepada
seorang anggota Badan Pemerintah Harian untuk atas namanya memberikan
keterangan dan pertanggungan jawab bidang pekerjaannya dihadapan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.
BAB
V. SEKRETARIS DAN PEGAWAI DAERAH.
BAGIAN
I. Ketentuan Umum.
Pasal
58.
Semua
Pegawai Daerah, begitu pula pegawai Negeri/Pegawai Daerah lainnya yang
dipekerjakan/diperbantukan kepada Daerah, ada dibawah pimpinan Kepala Daerah.
Pasal
59.
Latihan
dan pendidikan pegawai yang bekerja dibawah pimpinan Kepala Daerah sebagai
tersebut pada pasal 58, diatur oleh Menteri Dalam Negeri atau bersama-sama
Menteri Dalam Negeri.
Pasal
60.
Menteri
Dalam Negeri mengatur lapangan kariere dari pegawai Daerah, dengan
memperhatikan kepentingan Daerah-daerah yang bersangkutan.
BAGIAN
II. Sekretaris Daerah.
Pasal
61.
(1) Sekretaris Daerah adalah pegawai Daerah yang bagi: a.Daerah
tingkat I dan Daerah tingkat II diangkat oleh Menteri Dalam Negeri atas usul
Kepala Daerah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan;
b.Daerah tingkat III diangkat oleh Kepala Daerah tingkat I atas usul Kepala
Daerah yang bersangkutan.
(2) Kedudukan dan kedudukan keuangan serta syarat-syarat untuk
jabatan Sekretaris Daerah ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai
dengan peraturan yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri.
Pasal
62.
(1) Sekretaris Daerah adalah Sekretaris Kepala Daerah dalam
kedudukannya dimaksud dalam pasal 44 ayat (1) dan Sekretaris Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah serta diberi tugas pula untuk membantu anggota Badan Pemerintah
Harian dalam segala hal untuk kelancaran jalannya pekerjaan yang ditugaskan
kepada mereka seperti dimaksud dalam pasal 57.
(2) Sekretaris Daerah melaksanakan persiapan dengan sebaik-baiknya
segala sesuatu yang akan dimusyawarahkan dan dimufakatkan serta diputus oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Pasal
63.
Bila
Sekretaris Daerah berhalangan menjalankan tugas, maka tugas Sekretaris Daerah
dijalankan oleh pejabat yang ditunjuk oleh Kepala Daerah.
Pasal
64.
Sekretaris
Daerah tidak boleh merangkap jabatan-jabatan lain dan terhadapnya berlaku
larangan-larangan dalam pasal 25 ayat (1)
BAGIAN
III. Pegawai Daerah.
Pasal
65.
(1) Peraturan tentang pengangkatan, pemberhentian, pemberhentian
sementara; gaji, pensiun, uang tunggu dan hal-hal lain sebagainya mengenai
kedudukan hukum pegawai Daerah, ditetapkan dalam Peraturan Daerah.
(2) Peraturan tersebut dalam ayat (1) tidak dapat berlaku sebelum
disahkan oleh Menteri Dalam Negeri bagi Daerah tingkat I dan oleh Kepala Daerah
setingkat lebih atas bagi lain-lain Daerah.
Pasal
66.
Dengan
mengingat ketentuan dalam pasal 65, maka pegawai Daerah, kecuali Sekretaris
Daerah, diangkat, diberhentikan untuk sementara oleh Kepala Daerah dan
diberhentikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Pasal
67.
(1) Cara dan syarat-syarat menetapkan pekerjaan pegawai Negeri yang
diperbantukan kepada Daerah diatur dalam Peraturan Pemerintah, sedangkan bagi
pegawai Daerah yang diperbantukan kepada Daerah lainnya dalam Peraturan Daerah
dari Daerah yang memperbantukan pegawainya itu.
(2) Pegawai Negeri atau pegawai Daerah yang diperbantukan kepada
Daerah digaji dari keuangan Daerah yang menerima pegawai itu, kecuali apabila
dalam Peraturan Pemerintah tersebut dalam ayat (1) ditetapkan lain.
Pasal
68.
(1) Atas permintaan Kepala Daerah, dengan keputusan Menteri yang
bersangkutan atau Penguasa yang ditunjuk olehnya, dapat dipekerjakan pegawai
dalam lingkungan Departemennya untuk melakukan urusan-urusan tertentu bagi kepentingan
Daerah yang bersangkutan.
(2) Dalam hal tersebut dalam ayat (1), syarat-syarat dan hubungan
kerja antara pegawai yang bersangkutan dengan alat-alat Pemerintah Daerah,
sepanjang diperlukan diatur dalam keputusan termaksud dalam ayat itu.
BAB
VI KEUANGAN DAERAH. BAGIAN I.
1.
Sumber-sumber keuangan Daerah.
Pasal
69.
(1) Sumber-sumber keuangan Daerah ialah: a.hasil perusahaan Daerah
dan sebagian hasil Perusahaan Negara; b.pajak-pajak Daerah; c.retribusi Daerah;
*3504 d.pajak Negara yang diserahkan kepada Daerah; e.bagian dari hasil pajak
Pemerintah Pusat; f.pinjaman; g.dan lain-lain hasil usaha yang sesuai dengan
kepribadian Nasional.
(2) Dengan Undang-undang kepada Daerah dapat : a.diserahkan pajak
Negara; b.diberikan sebagian atau seluruh penerimaan pajak Negara; c.diberikan
sebagian dari pendapatan bea dan cukai; d.diberikan sebagian dari hasil
Perusahaan Negara; e.diberikan ganjaran subsidi dan sumbangan.
2.
Pajak dan retribusi Daerah.
Pasal
70.
(1) Dengan Undang-undang dapat diadakan peraturan pokok tentang
pemungutan pajak dan retribusi Daerah.
(2) Pemerintah Daerah berhak untuk memungut pajak dan retribusi
Daerah menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah.
(3) Peraturan pajak dan retribusi Daerah tidak dapat berlaku
sebelum disahkan oleh Penguasa yang berwenang menurut cara yang ditetapkan
dalam Undang-undang serta dapat berlaku surut.
(4) Perwakilan atau pembebadan pajak Daerah tidak dilakukan kecuali
di dalam hal-hal dan menurut cara-cara yang diatur dalam peraturan pajak Daerah
yang bersangkutan.
3.
Perusahaan Daerah
Pasal
71.
(1) Pemerintah Daerah berhak mengusahakan kekayaan alam yang ada di
Daerahnya dan wajib mengadakan perusahaan-perusahaan Daerah yang pengolahannya
dilakukan atas azas-azas ekonomi perusahaan.
(2) Dalam Undang-undang dapat ditetapkan pokok-pokok peraturan tentang
Perusahaan Daerah.
4.
Pinjaman.
Pasal
72.
(1) Pemerintah Daerah dapat mengadakan pinjaman uang atau
menanggung pinjaman uang untuk kepentingan dan atas beban Daerah, dengan
ketentuan bahwa keputusan-keputusan yang bersangkutan itu harus mendapat pengesahan
dari; a.Menteri Dalam Negeri bagi Daerah tingkat I dan b.Kepala Daerah yang
setingkat lebih atas bagi lain-lain Daerah.
(2) Dalam keputusan untuk mengadakan pinjaman uang itu ditetapkan
pula sumber-sumber untuk pembayaran bunga dan angsuaran pinjaman uang dimaksud.
(3) Untuk hal-hal dimaksud dalam ayat (1) Menteri Dalam Negeri
dapat mengadakan peraturan-peraturan khusus.
5.
Lain-lain hasil usaha.
Pasal
73.
Pemerintah
Daerah tidak boleh mengadakan usaha-usaha lain seperti yang dimaksud dalma
pasal 69 sub g yang mengakbitkan beban bagi rakyat, kecuali dengan keputusan
Dean Perwakilan Rkayat Daerah, yang disahkan oleh Menteri Dalam Negeri atas
nama Pemerintah bagi Daerah tingkat I dan oleh Kepala Daerah setingkat lebih
atas bagi lain-lain Daerah.
Pasal
74.
(1) Barang-barang milik Daerah yang dipergunakan untuk melayani
kepentingan umum tidak dapat dijual, diserahkan hak-haknya kepada fihak lain,
dijalankan tanggungan atau digadaikan, kecuali bilamana telah diputuskan oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
(2) Penjualan, peryewaan atau pengepakan barang-barang dimaksud
dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dimuka umum, kecuali bilamana Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah menetapkan hahwa yang demikian itu dapat dlakukan di
bawah tangan.
(3) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah memutuskan tentang:
a.penghapusan tagihan Daerah, sebagian atau seluruhnya; b.mengadakan
persetujuan penyelesaian perkara perdata secara damai; c.tindakan-tindakan
hukum lain mengenai barang-barang milik Daerah atau hak-hak Daerah, kecuali
mengenai tindakan-tindakan hukum tertentu yang menurut keputusan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah cukup dilakukan oleh Kepala Daerah.
BAGIAN
II. Pengelolaan dan pertanggungan jawab keuangan Daerah.
Pasal
75.
(1) Pemerintah Daerah memegang semua kekuasaan mengenai pengelolaan
keuangan Daerah, yang dengan peraturan-peraturan Pusat tidak diletakkan dalam
tangan Penguasa lain.
(2) Pekerjaan-pekerjaan yang bersangkutan dengan penerimaan,
penyimpanan, pembayaran atau penyerahan uang, surat-surat bernilai uang dan
barang-barang untuk kepentingan Daerah, atas permintaan Daerah yang
bersangkutan melalui Menteri Dalam Negeri dapat ditugaskan:
- oleh Menteri Urusan Bank Sentral
kepada pegawai Kas Negara;
- oleh Kepala Daerah tingkat I kepada
pegawai kas Daerah tingkat I;
- kepada sesuatu bank yang ditunjuk
oleh Menteri Urusan Bank Sentral, bersama-sama Menteri Dalam Negeri.
(3) Bila dipandang perlu dengan Peraturan Pemerintah dapat diadakan
peraturan-peralturan tata-usaha pengelolaan tentang keuangan Daerah,
peraturan-peraturan pertanggungan jawab pegawai yang menjalankan
pekerjaan-pekerjaan dimaksud dalam ayat (2) dan peraturan tentang
pegawai-pegawai lain yang telah menimbulkan kerugian pada Daerah.
BAGIAN
III. Anggaran Keuangan Daerah.
Pasal
76.
(1) Pemerintah Daerah tiap-tiap tahun menetapkan anggaran keuangan
untuk Daerahnya.
(2) Anggaran keuangan dimaksud yang dibagi dalam Anggaranj Belanja
dan Anggaran Pendapatan Daerah, begitu pula mengenai tiap-tiap perubahannya
yang tidak dikuasakan sendiri oleh anggaran termaksud, tidak dapat dilaksanakan
sebelum disahkan oleh Menteri Dalam Negeri bagi Daerah tingkat I dan oleh Kepala
Daerah setingkat lebih atas bagi Daerah lainnya.
(3) Pemerintah Daerah mengusahakan sedapat-dapatnya menutup
anggaran belanja barang routine dengan penerimaan sendiri
(4) Pengesahan atau penolakan anggaran Daerah, dilakukan terhadap
anggaran termaksud dalam keseluruhannya. Penolakan harus memuat
alasan-alasannya.
Pasal
77.
Dengan
Peraturan Pemerintah ditetapkan ketentuan-ketentuan dan cara-cara menyusun:
a. Anggaran Belanja dan Anggaran Pendapatan Daerah;
b. perhitungan atas Angkgaran Belanja dan Anggaran Pendapatan
Daerah.
BAB
VII. PENGAWASAN TERHADAP DAERAH. BAGIAN I.
Pengesahan
dan jangka waktu pengesahan.
Pasal
78.
Dengan
Undang-undang atau Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan, bahwa sesuatu
keputusan Daerah mengenai pokok-pokok tertentu tidak berlaku sebelum disahkan
oleh:
a. Menteri Dalam Negeri untuk keputusan Daerah tingkat I;
b. Kepala Daerah tingkat I untuk keputusan Daerah tingkat II dan
c. Kepala Daerah tingkat II untuk keputusan Daerah tingkat III
Pasal
79.
(1) Bila untuk menjalankan sesuatu keputusan Daerah harus ditunggu
pengesahan lebih dahulu dari Menteri Dalam Negeri bagi Daerah tingkat I dan
bagi lain-lain Daerah dari Kepala Daerah setingkat lebih atas, maka keputusan
itu dapat dijalankan apabila Menteri atau Kepala Daerah yang bersangkutan dalam
tiga bulan terhitung mulai dari keputusan itu diterima untuk mendapat
pengesahan, tidak mengambil keuntungan.
(2) Waktu tiga bulan itu dapat diperpanjang selama-lamanya tiga
bulan lagi oleh Menteri Dalam Negeri atau Kepala Daerah tersebut yang
memberitahukannya kepada Daerah yang bersangkutan.
(3) Bila keputusan Daerah tersebut dalam ayat (1) tidak dapat
disahkan, maka Menteri Dalam Negeri atau Kepala Daerah memberitahukan hal itu
dengan keterangan-keterangan yang cukup kepada Daerah yang bersangkutan..
(4) Terhadap penolakan pengesahan tersebut dalam ayat (3) Daerah
yang bersangkutan dalam waktu satu bulan terhitung mulai saat pemberitahuan
yang dimaksud diterima, dapat mengajukan keberatan kepada instansi setingkat
lebih atas dari instansi yang menolak.
BAGIAN
II. Pembatalan dan pertangguhan.
Pasal
80.
Keputusan-keputusan
Pemerintah Daerah, jikalau bertentangan dengan kepentingan umum, Undang-undang,
Peraturan Pemerintah atau Peraturan Daerah yang lebih tinggi tingkatannya,
dipertangguhkan atau dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri bagi Daerah tingkat I
dan oleh Kepala Daerah setingkat lebih atas bagi lain-lain Daerah.
Pasal
81.
(1) Menteri Dalam Negeri mempertangguhkan atau membatalkan
keputusan-keputusan Daerah dari Daerah-daerah tingkat II dan III yang
bertentangan dengan peraturan-perundangan yang lebih tinggi tingkatannya atau
dengan kepentingan umum, apabila ternyata Kepala Daerah yang berwenang
menjalankan hak dimaksud dalam pasal 80 tidak melakukannya.
(2) Pembatalan seperti dimaksud dalam ayat (1) dilakukan setelah
mendengar Kepala Daerah setingkat lebih atas yang berwenang melakukan
pembatalan itu.
Pasal
82.
(1) Pembatalan berdasarkan pertentanagan dengan peraturan
perundangan yang lebih tinggi tingkatannya, menghendaki pula dibatalkannya
semua akibat dari keputusan yang dibatalkan itu, sepanjang akibat itu masih
dapat dibatalkan.
(2) Pembatalan berdasarkan pertentangan dengan kepentingan umum
hanya nembawa pembatalan akibat-akibat yang bertentangan dengan kepentingan
umum itu.
Pasal
83.
(1) Keputusan pertangguhan atau pembatalan termaksud dalam pasal 81
dan 82 dengan menyebutkan alasan-alasannya diberitahukan kepada Kepala Daerah
yang bersangkutan dalam tempo 15 (lima belas) hari sesudah tanggal putusan itu.
(2) Lamanya pertangguhan dimaksud dalam ayat (1) disebutkan dalam
surat keputusan yang bersangkutan dan tidak boleh melebihi enam bulan. Pada
saat pertangguhan itu keputusan yang bersangkutan berhenti berlaku.
(3) Apabila dalam tempo tersebut dalam ayat (2) berdasarkan
pertangguhan itu tidak ada putusan pembatalan, maka keputusan Daerah yang
bersangkutan mulai berlaku lagi.
BAGIAN
III Perselisihan mengenai pemerintahan antara Daerah.
Pasal
84.
(1) Perselisihan mengenai pemerintahan antara :
- Daerah-daerah tingkat I atau antara
Daerah tingkat I dengan Daerah tingkat lainnya, dan antara Daerah-daerah
yang tidak terletak dalam satu wilayah Daerah tingkat I, diputus oleh
Menteri Dalam Negeri.
- Daerah-daerah di bawah tingkat I yang
sama tingkatannya dan terletak dalam satu wilayah Daerah tingkat I,
diputus oleh Kepala Daerah tingkat I yang bersangkutan apabila mengenai
perselisihan antara Daerah-daerah tingkat II, atau oleh Kepala Daerah
tingkat II yang bersangkutan, apabila mengenai perselisihan antara Daerah
tingkat III yang terletak dalam satu wilayah Daerah tingkat II.
- Daerah dengan Daerah setingkat lebih
atas atau antara Daerah-daerah tingkat III yang terletak dalam wilayah
Daerah tingkat II yang berlainan tetapi terletak dalam satu wilayah Daerah
tingkat 1, diputus oleh Kepala Daerah tingkat I.
(2) Keputusan termaksud dalam ayat (1) diberitahukan kepada
Daerah-daerah yang bersangkutan.
BAGIAN
IV. Penyelidikan dan pemeriksaan oleh Pemerintah.
Pasal
85.
(1) Bagi kepentingan umum, Menteri Dalam Negeri atau pegawai
Pemerintah Pusat yang bertindak atas namanya, berhak mengadakan penyelidikan
dan pemeriksaan tentang segala sesuatu mengenai pekerjaan mengurus rumah-tangga
Daerah maupun mengenai tugas pembantuan oleh Pemerintahan Daerah.
(2) Ketentuan tersebut dalam ayat (1) berlaku juga bagi sesuatu
Daerah terhadap Daerah yang lebih rendah tingkatannya dalam wilayahnya.
Pasal
86.
(1) Untuk kepentingan pengawasan, maka Pemerintah Daerah wajib
memberikan keterangan-keterangan yang diminta oleh Pemerintah Daerah setingkat
lebih atas atau oleh Menteri Dalam Negeri.
(2) Apabila Pemerintah Daerah menolak memberikan keterangan yang
dimaksud pada ayat (1) pasal ini, Menteri Dalam Negeri mengambil tindakan yang
dianggap perlu.
BAGIAN
V. Pengumuman.
Pasal
87.
Tiap-tiap
keputusan mengenai pembatalan ataupun perselisihan mengenai Pemerintah antara
Daerah-daerah seperti termaksud dalam Bagian II dan III Bab ini, diumumkan
dalam Berita-Negara Republik Indonesia atau menurut cara termaksud dalam pasal
54 ayat (3).
Kepala
Daerah yang bersangkutan mengumjmkan pula keputusan tersebut Daerahnya.
BAB
VIII. Peraturan Peralihan.
Pasal
88.
(1) Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini maka:
- "Daerah tingkat I dan Daerah
Istimewa Yogyakarta" yang berhak mengatur dan mengurus
rumah-tangganya sendiri berdasarkan Undang-undang No. 1 tahun 1957 serta
Daerah Istimewa Aceh berdasarkan Keputusan Perdana Menteri Republik
Indonesia No. I/Missi/1959 adalah "Propinsi" termaksud pada
pasal 2 ayat (1) sub a Undang-undang ini.
- "Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta
Raya" yang menurut Undang-undang No. 10 tahun 1964 disebut Jakarta
adalah "Kotaraya" termaksud pada pasal 2 Undang-undang ini yang
berhak mengatur dan mengurus rumah-tangganya sendiri berdasarkan
Penpetapan Presiden No. 2 tahun 1961 dengan mengingat perubahan-perubahan
yang timbul karena berlakunya Undang-undang ini.
- "Daerah-daerah Kotapraja"
yang berhak mengatur dan mengurus rumah-tangganya sendiri berdasarkan
Undang-undang No. 1 tahun 1957 adalah "Kotamadya" termaksud pada
pasal 2 ayat (1) sub b Undang-undang ini.
- "Daerah Tingkat II" yang
berhak mengatur dan mengurus rumah-tangganya sendiri berdasarkan
Undang-undang No. 1 tahun 1957 adalah "Kabupaten" termaksud pada
pasal 2 ayat (1) sub b Undang-undang ini.
(2)
- Sifat istimewa sesuatu Daerah yang
berdasarkan atas ketentuan mengingat kedudukan dan hak-hak asal-usul dalam
pasal 18 Undang-undang Dasar yang masih diakui dan berlaku hingga sekarang
atau sebutan Daerah Istimewa atas alasan lain, berlaku terus hingga
dihapuskan;
- Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah, Daerah Istimewa Jogyakarta yang sekarang, pada saat mulai
berlakunya Undang-undang ini, adalah Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
Propinsi Daerah Istimewa Yogjakarta, yang tidak terikat pada jangka waktu
masa jabatan dimaksud pada pasal 17 ayat (1) dan pasal 21 ayat (5).
(3) Daerah-daerah Swapraja yang de facto dan/atau dejure sampai
pada saat berlakunya Undang-undang ini masih ada dan wilayahnya telah menjadi
wilayah atau bagian wilayah administratif dari sesuatu Daerah, dinyatakan
hapus. Akibat-akibat dan kesulitan yang timbul diatur oleh Menteri Dalam Negeri
atau Penguasa yang ditunjuk olehnya dan apabila dipandang perlu diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal
89.
(1) Segala peraturan pelaksanaan yang ditetapkan berdasarkan
peralturan-perundangan yang dimaksud dalam PERTAMA Undang-undang ini, yang
tidak bertentangan dengan isi dan maksud Undang-undang ini, tetap berlaku
selama belum dicabut atau diganti.
(2) Selama berdasarkan Undang-undang ini belum dapat ditetapkan
sesuatu peraturan-perundangan yang bersangkutan begitupun bilamana
peraturan-perundangan lama dimaksud dalam ayat (1) diatas belum pula
mengaturnya, maka segala sesuatu dijalankan menurut instruksi-instruksi dan
petunjuk-petunjuk yang ada atau yang dapat diadakan oleh Menteri Dalam Negeri.
(3) Selama kekuasaan pemerintahan di Daerah yang dibentuk berdasarkan
Undang-undang ini belum diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah menurut
Undang-undang ini, maka kekuasaan tersebut dijalankan oleh Pemerintah Daerah
yang ada pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini.
BAB
IX. PERATURAN PENUTUP.
Pasal
90.
(1) Undang-undang ini dapat disebut Undang-undang Tentang
Pokok-pokok Pemerintahan Daerah".
(2) Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan.
Agar
supaya setiap orang dapat mengetahuinya memerintahkan pengundangan
Undang-undang ini dengan penempatan dalam Lembaran-Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta. pada tanggal 1 September 1965.
Presiden Republik Indonesia.
SUKARNO.
Diundangkan
di Jakarta pada tanggal 1 September 1965.
Sekretaris
Negara,
MOHD
ICHSAN
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG
No. 18 TAHUN 1965
tentang
POKOK-POKOK PEMERINTAHAN DAERAH.
I.
UMUM.
Berhubung dengan perkembangan ketata-negaraan setelah Dekrit
Presiden Republik Indonesia tanggal 5 Juli 1959 yang menyatakan berlakunya
kembali Undang-undang Dasar, maka Undang-undang ini disusun untuk melaksanakan
pasal 18 Undang-undang Dasar dengan berpedoman kepada Manifesto Politik
Republik Indonesia sebagai Garis-garis Besar Haluan Negara yang dipidatokan
Presiden pada tanggal 17 Agustus 1959 dan telah diperkuat oleh Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. I/MPRS,/ 1960 bersama dengan
segala pedoman pelaksanaannya.
Sesuai dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara No. II/MPRS/1960 dan Keputusan Presiden No. 514 tahun 1961, maka
Undang-undang ini mencakup segala pokok-pokok (unsur-unsur) yang progresif dari
Undang-undang No. 22 tahun 1948, Undang-undang No. I tahun 1957, Penetapan
Presiden No. 6 tahun 1959 (disempurnakan), Penetapan Presiden No. 2 tahun 1960
dan Penetapan Presiden No. 5 tahun 1960 (disempurnakan) juncto Penetapan
Presiden No. 7 tahun 1965 dengan maksud dan tujuan berdasarkan gagasan
Demokrasi Terpimpin dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan berlakunya satu saja Undang-undang tentang Pokok-pokok
Pemerintahan Daerah ini, maka dapatlah diakhiri kesimpangsiuran dibidang hukum
yang menjadi landasan bagi pembentukan dan penyusunan Pemerintahan Daerah dan
dapat diakhiri pula segala kelemahan demokrasi liberal, sehingga akan
terwujudlah Pemerintahan Daerah yang memenuhi sifat-sifat dan syarat-syarat
yang dikehendaki oleh Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No.
II/MPRS/1960 yaitu stabil dan berkewibawaan mencerminkan kehendak rakyat,
revolusioner dan gotong royong, serta terjaminnya keutuhan Negara, Kesatuan Republik
Indonesia.
Sejiwa dengan Ketetapan M.P.R.S. dimaksud diatas, bertepatan
dengan saat mulai berlakunya Undang-undang tentang Pokok-pokok Pemerintahan
Daerah ini, maka dicabut.
1. Undang-undang No. I tahun 1957,
2. Penetapan Presiden No. 6 tahun 1959 (disempurnakan),
3. Penetapan Presiden No. 2 tahun 1960, dan
4. Penetapan Presiden No. 5 tahun 1960 (disempurnakan) juncto
Penetapan Presiden No. 7 tahun 1965.
Pelaksanaan Undang-undang ini harus berarti terwujud pula
pelaksanaan Pembentukan Daerah-daerah tingkat III sebagai Daerah-daerah
tingkatan terendah.
Undang-undang ini berkehendak membagi habis seluruh Negara
Republik Indonesia dalam tiga tingkatan Daerah yang berhak mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri (Otonomi).
Dengan terbaginya seluruh wilayah Negara Republik Indonesia
dalam Daerah-daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri
itu, tidak seharusnya ada lagi Daerah lain selainnya hanya wilayah
administratif saja. Daerah tingkat III akan menggantikan kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum, sesuai dengan pedoman pelaksanaan Ketetapan M.P.R.S. No.
II/MPRS/1960, termuat pada s 392 No. 1 angka 4, dengan atau tanpa melalui
Desapraja sebagai masa peralihan.
Dalam pada itu, untuk menampung masa peralihan, ditetapkan,
bahwa sejak saat mulai berlakunya Undang-undang ini, segala
peraturan-perundangan yang telah ditetapkan berdasar kan Undang-undang No. I
tahun 1957 dan Penetapan Presiden No. 6 tahun 1959 (disempurnakan), Penetapan
Presiden No. 2 tahun 1960 dan Penetapan Presiden No. 5 tahun 1960
(disempurnakan) juncto Penetapan Presiden No. 7 tahun 1965, sepanjang tidak
bertentangan dengan Undang-undang ini berlaku terus, hingga dirubah, dicabut
atau diganti dengan peraturan-peraturan baru berdasarkan Undang-undang ini.
Demikian pula ditetapkan, bahwa selama berdasarkan
Undang-undang ini, belum dapat ditetapkan sesuatu peraturan-perundangan yang
diperlukan, begitupun bilamana peraturan-perundangan lama dimaksud dimuka belum
pula mengaturnya, maka segala sesuatu dijalankan menurut instruksi-instruksi
dan petunjuk-petunjuk yang ada atau yang dapat diadakan oleh Menteri Dalam
Negeri.
Dalam rangka membagi habis seluruh wilayah Indonesia dalam
Daerah-daerah besar dan kecil, Undang-undang ini menentukan hanya ada tiga
tingkatan Daerah, yaitu tingkat I, tingkat II dan tingkat III yang semuanya
mempunyai bentuk-bentuk susunan pemerintahan berdasarkan Undang-undang ini.
Oleh karena tingkat III yang terendah itu nantinya akan harus menggantikan
semua kesatuan masyarakat hukum, maka sejak semula dalam pembentukan Daerah
tingkat III itu sudah harus diperhitungkan unsur-unsur keaslian yang terdapat
dibagian-bagian wilayah Indonesia baik dalam kehidupan kegotong-royongan dalam
pemerintahan maupun dalam bidang kebudayaan, sehingga dapat diperkembangkan
untuk menyempurnakan kepribadian nasional dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia sesuai dengan Manifesto Politik Republik Indonesia berlandaskan
Undang-undang Dasar, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi
Terpimpin dan Kepribadian Nasional.
Semua Daerah, yang dewasa ini telah terbentuk, mengembangkan
sejarahnya dengan haluan baru dan landasan hukum yang lebih kuat dan kokoh
untuk menunaikan tugas sejarahnya turut membangun suatu masyarakat yang adil
dan makmur memenuhi Amanat Penderitaan Rakyat.
Sesuai dengan lambang Negara Bhineka Tunggal Ika, maka dalam
rangka pembentukan Daerah-daerah yang mengandung bentuk-bentuk kekhususan yang
baik, unsur Negara Kesatuan yang kuat harus merata dan mendalam, karena itu
maka dalam Undang-undang perlu diadakan jaminan-jaminan esensialia, yaitu:
a. pemusatan pimpinan pada Kepala Daerah yang juga diharapkan
menjadi Sesepuh Daerah dibantu secara aktif oleh Wakil Kepala Daerah dan Badan
Pemerintah Harian;
b. adanya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang susunannya
mencerminkan kegotong-royongan nasional revolusioner dipimpin oleh Ketuanya
sendiri bersama-sama dengan Wakil-wakil Ketua yang berporoskan Nasakom, yang
menjalankan tugas kewajibannya menurut demokrasi terpimpin atas dasar hikmah
kebijaksanaan musyawarah mencapai kata mupakat dengan mempertanggung-jawabkan
tugas kewajibannya kepada Kepala Daerah;
c. menjunjung tinggi Kepribadian Bangsa Indonesia dengan
memusatkan pimpinan pada Sesepuh dimaksud diatas, yang memiliki kecakapan dan
kebijaksanaan untuk menjalankan pemerintahan, berbudi luhur dan berkewibawaan
serta berpengalaman yang cukup untuk kedudukannya sebagai tampuk pimpinan
Daerahnya;
d. pimpinan yang mendapat kepercayaan rakyat sebagai Kepala
Daerah, yang membimbing semua instansi-instansi dan lembaga-lembaga
pemerintahan yang bekerja di Daerahnya dengan kegiatan mereka dalam bidang
pemerintahan dan yang menghubungkan serta membimbing aktivitas itu dengan daya
kerja yang tumbuh atau dapat ditumbuhkan dalam masyarakat, yang mengayomi dan
menjalankan tugas kewajibannya memelihara kepentingan, keamanan serta
ketertiban umum dan memajukan kesejahteraan rakyat dengan menerima kepercayaan
dari Presiden;
e. pemerintahan yang stabil, berkewibawaan, mencerminkan kehendak
rakyat, revolusioner dan bergotong-royong, yang mendapat kepercayaan dan amanat
dari Pemerintah Pusat;
f.
pengawasan yang efektif dan effisien;
g. berlandasakan prinsip berdaulat dalam bidang politik, berdiri
diatas kaki sendiri dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.
II.
BENTUK SUSUNAN PEMERINTAH DAERAH.
Dalam sistematik Undang-undang ini, bentuk susunan Pemerintah
Daerah mengikuti sedapat mungkin bentuk dan susunan Pemerintah Pusat.
Di Pusat Pemerintahan Negara Republik Indonesia, Kepala Negara
hanya mengenal pertanggungan jawab secara pribadi yang ber-Panca Sila kepada
Majelis Permusyawaratan Rakyat. Mengingat akan sistim itu maka badan executif
Pemerintahan Daerah, yang dahulu menurut sistematik Undang-undang No. 1 tahun
1957 terdiri dari Dewan Pemerintah Daerah dengan Kepala Daerah sebagai Ketua
dan anggota, dan yang anggota-anggotanya bersama-sama harus memberikan
pertanggungan jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sesuai dengan
garis-garis besar Manipol-Usdek harus ditinggalkan dan kekuasaan pemerintahan
di Daerah diletakkan dalam tangan Kepala Daerah dan dibantu oleh Wakil Kepala
Daerah serta Badan Pemerintah Harian.
Untuk menjamin kelangsungan kesatuan Negara serta adanya
pimpinan nasional, maka perlu kedudukan Kepala Daerah itu diperkuat dan diberi
fungsi yang penting sekali, bukan saja menjadi pusat daya upaya kegiatan
Pemerintah Daerah yang bergerak dibidang urusan rumah tangga Daerah, tetapi
yang juga menjadi mata rantai yang kuat dalam organisasi Pemerintah Pusat. Maka
dari itu Kepala Daerah bukan saja merupakan pimpinan Pemerintah Daerah, tetapi
Kepala Daerah itu juga merupakan alat Pemerintah Pusat dan sebagai orang
kepercayaan Presiden.
Kalau Kepala Negara tidak dapat lagi dijatuhkan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat, maka sudah sewajarnya pula bahwa Kepala Daerah itu tidak
boleh lagi ditumbangkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah agar dengan jalan
demikian itu dapat diciptakan suatu kekuatan sentral di Daerah yang riil,
berkewibawaan dan tidak mudah goyah atas desakan-desakan golongan-golongan
masyarakat di Daerah dan tidak saja akan memberikan perlindungan atau
pengayoman kepada rakyat pada umumnya, tetapi juga kompeten untuk menjalankan
pemerintahan yang berguna bagi kepentingan bersama dari pada rakyat Daerah.
Dalam konstruksi ini unsur demokrasi tetap mempunyai peranan
yang penting sekali, tetapi bukan demokrasi liberal namun demokrasi terpimpin
yang tidak lagi didasarkan atas faham trias politika. Kepala Daerah
bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menjalankan tugas wewenang
pemerintahan dibidang legislatif tetapi dibidang pemerintahan eksekutif Kepala
Daerah itu dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari dibantu oleh Wakil Kepala
Daerah dan sebuah badan yang dinamakan Badan Pemerintah Harian dan ia
senantiasa mengadakan musyawarah dengan anggota-anggota badan tersebut.
Ditinjau dari keseluruhanhya, Kepala Daerah - seperti telah
diuraikan dimuka - bukan saja merupakan pimpinan Pemerintah Daerah yang berhak
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, tetapi juga merupakan alat
Pemerintah Pusat.
Dengan demikian, maka akan terdapat suatu keseimbangan yang
harmonis antara Pusat dan Daerah, dimana Daerah akan lebih mendekati Pusat dan
tidak dapat dilepaskan dari hubungan Pusat, sebaliknya pula Pusat tidak dapat
lepas dari Daerah.
Memelihara
keseimbangan yang harmonis itu adalah suatu kewajiban Kepala Daerah yang
menurut Manifesto Politik Republik Indonesia adalah seorang tetua yang tidak
"mendiktatori" tetapi "memimpin", "mengayomi".
Seperti dinyatakan diatas, sebagai salah satu jaminan
esensialia, Kepala Daerah wajib memiliki kecakapan dan kebijaksanaan untuk
menjalankan pemerintahan dalam arti kata yang luas, baik dalam bidang
administrasi Negara, maupun dalam bidang ekonomi dan sosial, yang tetap
sejurusan dengan garis kebijaksanaan umum Pemerintah Pusat.
Dalam pelaksanaan memimpin dan mengayomi itu, Kepala Daerah
melakukan kebijaksanaan pertama-tama dengan mentaati dan menjalankan
peraturan-peraturan yang berlaku sebagai kewajibannya menurut hukum, sebagai
"rechtsplicht" baginya, dalam pada itu merupakan
"rechtsplicht" baginya pula untuk memelihara keamanan dan ketertiban
umum (tata tentram) sebagai dasar untuk mencapai kesejahteraan masyarakat
(kerta raharja) dengan kebijaksanaan yang senantiasa harus sejurusan dengan
kebijaksanaan umum, Pemerintah Pusat dan dengan demikian mempertegak kewibawaan
Pemerintah. Setiap kali terasa ada divergensi ataupun pertentangan antara kedua
kewajiban menurut hukum itu, kebijaksanaan, merupakan unsur pokok yang menjadi
persoalan, seperti dalam hal Kepala Daerah menganggap ada kepentingan yang
lebih besar atau lebih luas yang perlu diperhitungkan atau untuk memenuhi
instruksi atasan, padahal dihadapi kenyataan, bahwa peraturan perundangan yang
berlaku tidak atau belum dapat memberikan fungsinya sebagai dasar untuk sesuatu
tindakan, lebih-lebih apabila kebijaksanaan yang menurut keyakinan Kepala
Daerah harus ditempuh, ada bertentangan dengan bunyinya sesuatu peraturan atau
ketentuan dan dalam hubungan itu tindakan atau keputusannya menggeser tempat
garis pemisah antara administrasi dan kepidanaan.
Maka dapatlah difahami, bahwa dalam menilai pelaksanaan tugas,
kewajiban dan kewenangan serta tanggung jawab seorang Kepala Daerah, unsur
kebijaksanaan perlu diakui dan diperhatikan sebagai unsur pokok. Keharusan yang
demikian itu wajib diinsyafi serta dipertimbangkan dan diperhitungkan oleh
masyarakat dan oleh instansi-instansi pemerintahan, terutama instansi-instansi
yang mempunyai wewenang menyidik, guna memelihara kewibawaan Pemerintah yang
berarti pula memelihara kewibawaan instansi-instansi itu sendiri.
Dengan demikian, maka tanggung jawab Kepala Daerah yang amat
besar dan luas itu, bisa mendapat penilaian yang wajar. Dari sebab tanggung
jawab dan kekuasaan yang diletakkan dalam tangan Kepala Daerah itu adalah besar
sekali, maka sudah selayaknya bilamana tanggung jawab ini perlu diimbangi pula
dengan syarat-syarat tertentu bagi pengangkatan seorang Kepala Daerah.
Oleh karena Kepala Daerah merupakan seorang oknum terpenting
dalam daerahnya, maka untuk jaminan-jaminan adanya kepercayaan rakyat Daerah
kepada diri seorang Kepala Daerah haruslah Kepala Daerah itu diangkat oleh
Pemerintah Pusat dari calon-calon, sedikit-dikitnya dua dan sebanyak-banyaknya
empat, yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan.
Perlu dijelaskan lagi disini, bahwa Badan Pemerintah Harian itu
merupakan pembantu Kepala Daerah, memberi nasehat kepada Kepala Daerah, diminta
atau tidak diminta. Dengan memperhatikan yang dimuat dalam penjelasan
Undang-undang Dasar, bahwa meskipun kedudukan Menteri Negara tergantung dari
pada Presiden, akan tetapi mereka bukan pegawai tinggi biasa oleh karena
Menteri-menterilah yang terutama menjalankan kekuasaan Pemerintah (pouvoir
executief) dalam praktek, dilihat dari hubungan tata-kerja, dalam fungsi Badan
Pemerintah Harian membantu Kepala Daerah itu ada segi-segi, yang dapat
dipandang sama seperti hubungan dan tata-kerja para Menteri dipucuk pimpinan
Pemerintah Pusat. Badan tersebut membantu sepenuhnya seluruh tugas yang
merupakan tugas wewenang Daerah dibidang perumah-tanggaan Daerah dan dibidang
tugas pembantuan dalam pemerintahan.
Dalam hubungan ini perlu diperhatikan, bahwa pimpinan
Pemerintahan Pusat, Presiden dibantu oleh Menteri-menteri.
Menteri itu menerima tugas pekerjaan tertentu dari Presiden dan
Presiden sendirilah yang bertanggung jawab kepada Majelis Permusyawaratan
Rakyat, tidak kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Dalam pada itu, bilamana Presiden menganggap perlu, maka
Presiden dapat menunjuk seorang Menteri untuk atas namanya memberikan
keterangan mengenai bidang tugas kewajibannya dihadapan Dewan Perwakilan
Rakyat.
Kedudukan dan hubungan tata kerja pejabat-pejabat di Pusat
dalam hal ini, adalah juga dimiliki oleh Kepala Daerah dan anggota-anggota
Badan Pemerintah Haian.
Kepala Daerah dalam menjalankan kebijaksanaan pemerintahan sehari-harinya
memberikan keterangan pertanggungan jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, tetapi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tersebut tidak berhak menjatuhkan
Kepala Daerah.
Anggota-anggota Badan Pemerintah Harian oleh Kepala Daerah
dengan tidak merusak pertalian hierachie yang ada antara Kepala Daerah dan
Sekretariat Daerah serta Kepala-kepala Dinas Daerah,diberi masing-masing bidang
pekerjaan tertentu dari keseluruhan pekerjaan yang termasuk urusan rumah tangga
Daerah serta urusan tugas pembantuan dan mereka masing-masing bertanggung jawab
hanya kepada Kepala Daerah.
Kepala Daerah dapat juga memberi tugas kepada anggota Badan
Pemerintah Harian untuk memberikan keterangan-keterangan tentang tugas
pekerjaan yang dibebankan kepadanya kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
sudah barang tentu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sudah barang tentu Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah itu tidak dapat pula menjatuhkan anggota Badan
Pemerintah Harian yang bersangkutan itu.
Mengingat berat dan luas tugas pekerjaan Kepala Daerah pada
umumnya, dengan mengingat pula perkembangan dan keadaan dalam Daerah serta
kegiatan-kegiatan dibidang pembangunan untuk mengejar ketinggalan dalam
kemajuan jaman sebagai akibat tiga abad penjajahan bangsa asing, disamping
telah ada Badan Pemerintah Harian yang membantu pekerjaan Kepala Daerah,
Pemerintah masih memandang perlu untuk mengangkat seorang Wakil Kepala Daerah.
Wakil Kepala Daerah ini tidak saja mewakili Kepala Daerah jika ia berhalangan,
tetapi pejabat tersebut harus membantu Kepala Daerah dengan menjalankan
bagian-bagian tugas wewenang Kepala Daerah itu yang ditentukan olehnya.
Dengan adanya Wakil Kepala Daerah itu tidak berarti, bahwa
pimpinan pemerintahan Daerah lalu berada dalam dua tangan. Yang mempunyai
kewenangan dan tanggung jawab penuh adalah tetap Kepala Daerah. Wakil Kepala
Daerah bukan saja pembantu Kepala Daerah dalam kedudukannya sebagai pimpinan
Pemerintah Daerah Otonom, tetapi juga dalam kedudukannya sebagai alat
Pemerintah Pusat.
Perlu mendapat perhatian, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
mempunyai ketuanya sendiri, sehingga Kepala Daerah tidak menjadi Ketua Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dan bahwa Wakil Kepala Daerah bukanlah Wakil Ketua
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dalam pada itu hubungan dan pertanggungan jawab
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kepada instansi atasan perlu melalui Kepala
Daerah.
Dengan berlakunya Undang-undang baru ini dapatlah diakhiri
keadaan yang kurang menyenangkan yang disebabkan, karena masih tetap
berlangsungnya akibat-akibat yang ditimbulkan dualisme dalam sistim
Undang-undang No. 1 tahun 1957. Dengan peraturan baru ini di Daerah ada satu
Sekretariat yaitu yang dinamakan Sekretariat Daerah, yang tidak saja meliputi
administrasi tugs wewenang Kepala Daerah sebagai pimpinan Pemerintah Daerah dan
alat Pemerintah Pusat tetapi juga meliputi administrasi Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah.
Sekretariat Daerah dikepalai oleh seorang Sekretaris Daerah
langsung dibawah pimpinan Kepala Daerah.
III.
URUSAN RUMAH TANGGA DAERAH DAN URUSAN TUGAS PEMBANTU (desentralisasi hak otonomi dan medebewind).
Tentang hak otonomi Daerah kiranya tidak perlu diragu-ragukan,
bahwa Pemerintah akan terus dan konsekwen menjalankan politik desentralisasi
yang kelak akan menuju kearah tercapainya desentralisasi teritorial yaitu
meletakkan tanggung jawab teritorial riil dan seluas-luasnya dalam tangan
Pemerintah Daerah, disamping menjalankan politik dekonsentrasi sebagai
komplemen yang vital.
Melanjutkan politik yang demikian ini berarti melanjutkan
segala usaha penyerahan c.q. pemberian hak-hak kepada Daerah da kepada alat
Pemerintah Pusat di Daerah. Akibatnya ialah, bahwa urusan-urusan yang kini
masih ada dalam kekuasaan atau termasuk kewenangan Pemerintah Pusat secara
berangsur-angsur harus dialihkan menjadi tugas dan kewenangan Daerah
(disentralisir). Sudah barang tentu tindakan-tindakan penyerahan tugas wewenang
kepada Daerah itu harus diimbangi dengan keuangan yang diperlukan.
Undang-undang No. 6 tahun 1959 tetap akan merupakan pedoman dan
dasar untuk menuju kearah realisasi politik desentralisasi.
Dengan demikian urusan-urusan yang kini termasuk tugas wewenang
Pemerintah Pusat semakin lama akan semakin banyak beralih menjadi tugas
wewenang Daerah.
Dalam pasal 39 ayat (1) telah ditentukan bahwa Pemerintah
Daerah berhak mengatur dan mengurus rumah tangga Daerahnya.
Kelihatannya memang nampak jelas, tegas dan terang apa tugas
wewenang Pemerintah Daerah itu, tidak lain yaitu mengatur dan mengurus rumah
tangga daerahnya. Akan tetapi bilamana dipikirkan betul-betul secara lebih
panjang dan lebih mendalam, ternyata bahwa ketentuan yang kelihatannya mudah
dimengerti itu mengandung banyak sekali kesukaran dan kesulitan.
Memang ketentuan ini tidak boleh dibaca lepas dari
hubungan-hubungan dengan ketentuan-ketentuan lain yang bersama-sama merupakan
suatu sistim yang dapat dikatakan baik sekali.
Pertanyaan-pertanyaan
yang timbul ialah :
a. apakah sebetulnya yang dimaksud dengan urusan rumah tangga
Daerah itu,
b. apakah isi urusan rumah tangga Daerah,
c. apakah Pemerintah Daerah bebas dalam mengatur dan mengurus
rumah tangga Daerahnya dan
d. bilamna atidak bebas, dimana letak batas-batasnya.
Kesulitan
dan kesukaran itu timbul oleh karena :
1. Daerah-daerah otonom itu bukanlah merupakan badan-badan
kesatuan pemerintahan yang kita warisi dari zaman yang lampau, tetapi adalah
badan-badan pemerintahan yang diciptakan dengan Undang-undang Nasional sesudah
berdirinya Negara Republik Indonesia dalam tahun 1945,
2. adanya Daerah-daerah yang bertingkatan kedudukannya sehingga
Daerah yang mempunyai tingkatan lebih rendah, wilayahnya merupakan bagian pula
dari pada Daerah yang lebih atas tingkatannya,
3. wilayah Daerah itu merupakan juga bagian wilayah Negara.
Walaupun tidak memberikan ketegasan yang pasti tentang arti
urusan rumah tangga namun sebagai pangkal bertolak perlu diadakan ketentuan
yang termaktub dalam pasal 39 ayat (1) itu, oleh karena dipelosok-pelosok
wilayah negara yang demikian luasnya itu memang terdapat banyak dan bermacam
jenis urusan-urusan yang mungkin terluput dari perhatian Pemerintah Pusat dan
karena itu mendapat perhatian dan pengurusan Daerah yang bersangkutan; pangkal
bertolak yang mengandung prinsip, bahwa hal-hal yang dapat diselesaikan
setempat dan tidak mempengaruhi keadaan umum atau kepentingan Nasional,
sebaiknyalah diurus dan diatur oleh Pemerintah setempat.
Tetapi oleh karena Daerah yang kecil itu, wilayahnya merupakan
bagian wilayah dari pada Daerah yang lebih besar dan pula merupakan juga bagian
wilayah Negara, dan jika diperhatikan pula, bahwa menurut Undang-undang ini ada
tiga jenis Daerah yang bertingkatan, maka diwilayah Daerah yang terkecil itu
sama-sama bekerja empat jenis pemerintahan dalam bidang yang sama, yaitu
sama-sama mengatur dan mengurus kepentingan rakyat dalam wilayah Daerah yang
terkecil itu.
Berhubung dengan itu maka untuk menghindarkan kesimpang-siuran
wewenang antara Daerah satu dengan Daerah lain yang lebih tinggi atau lebih
rendah tingkatannya, begitu pula antara Daerah dan Negara, perlu diadakan
ketentuan-ketentuan lain untuk memelihara dan menyalurkan hubungan yang baik
dan harmonis antara Daerah-daerah satu dengan yang lainnya dan antara Daerah
dan Negara, yaitu :
a. Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundangan yang lebih tinggi tingkatannya atau dengan kepentingan umum;
b. Peraturan Daerah tidak boleh mengandung ketentuan-ketentuan
yang mengatur soal-soal pokok yang telah diatur dalam peraturan perundangan
yang lebih tinggi tingkatannya,
c. Peraturan Daerah tidak boleh mengatur hal-hal yang termasuk
urusan rumah tangga Daerah bawahan dalam wilayahnya;
d. Ketentuan-ketentuan dalam sesuatu Peraturan Daerah dengan
sendirinya tidak berlaku, bilamana hal-hal yang diatur dalam
ketentuan-ketentuan dimaksud, kemudian diatur oleh peraturan perundangan yang
lebih tinggi tingaktannya; (a sampai dengan d lihat pasal 50);
e. dengan Undang-undang atau Peraturan Pemerintah dapat
ditetapkan, bahwa sesuatu keputusan Daerah mengenai pokok-pokok tertentu tidak
berlaku sebelum disahkan oleh Pemerintah atasan (pasal 78), dan
f.
keputusan-kpeutusan Pemerintah Daerah,
jikalau bertentangan dengan kepentingan umum, Undang-undang, Peraturan atau
Peraturan Daerah yang lebih tinggi tingkatannya dapat dipertangguhkan atau
dibatalkan oleh Pemerintah atasan (pasal 80).
Walaupun demikian masih pula belumlah diperoleh suatu gambaran
yang jelas apakah yang dimaksud dengan urusan rumah tangga Daerah itu dan
belumlah diketahui apakah isi rumah tangga Daerah.
Masalah ini memang dalam praktek telah menimbulkan pula banyak
kesukaran-kesukaran dan persoalan-persoalan juridis yang tidak mudah dapat
dicari cara penyelesaiannya yang memuaskan, khusus di Negara yang masih muda
usia seperti Republik Indonesia.
Untuk menggambarkan betapa sukarnya menentukan isi dan
batas-batas urusan rumah tangga Daerah, ada baiknya bilamana dalam penjelasan
Undang-undang yang sekarang ini dimuat kembali apa yang dijelaskan dalam
"Penjelasan Umum" Undang- undang No. I tahun 1957 dahulu mengenai
masalah yang bersangkutan ini dan yang berbunyi sebagai berikut:
"BAGIAN
UMUM".
Undang-undang tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah ini
bermaksud untuk mengatur sebaik-baiknya sosl-soal yang semata-mata terletak
dalam lapangan "otonomi" dan "medebewind" diseluruh wilayah
Negara Republik Indonesia, sesuai dengan maksud pasal 131 Undang-undang, Dasar
Sementara yang berarti juga akan merobah prinsip cara-cara pemerintahan bentuk
lama.
Pada umumnya soal-soal tersebut diatas tidak dapat dipisahkan
dari soal-soal pokok, yaitu bagaimanakah bentuk Negara yang dihadapi dan
bagaimanakah keadaan sesungguhnya dalam pelbagai masyarakat dalam Negara itu.
Kita telah menciptakan yang meliputi kepentingan seluruh wilayah Negara
Kesatuan itu dan seluruh bangsa yang merupakan bangsa kesatuan itu.
Pemusatan
yang dimaksud mempunyai dua segi:
1. segi tugas bagi Negara Kesatuan itu terhadap kepentingan-kepentingan
yang dipusatkan itu,
2. segi pengawasan terhadap penyelenggaraan
kepentingan-kepentingan rakyat setempat, yang walaupun sifatnya hanya setempat,
akan tetapi karena penjaringannya dengan lain-lain kepentingan umum, ditinjau
dari kesatuan Negara dan Bangsa.
Mengenai keadaan yang sesungguhnya dalam masyarakat, maka soal
itu dapat mengenai beberapa segi pula, umpamanya : susunan masyarakat,
ikatan-ikatan kemasyarakatan seperti ikatan kedaerahan, ikatan adat-istiadat,
ikatan kebudayaan umumnya, sifat dan tingkat perekonomian dalam masyarakat itu,
tingkat kecerdasannya dan yang tidak boleh pula dilupakan akhlak umum, yang
membedakan satu masyarakat dari masyarakat yang lain itu.
Juga lain-lain faktor dapat mempengaruhi hidupnya kemsyarakatan
itu, umpamanya: tempat geografinya, corak buminya yang menentukan
kemungkinan-kemungkinan saluran perhubungannya dan dalam perjalanan waktu
pelbagai perkembangan dalam lapangan tekhnik.
Ad.
1.
Dari
gambaran pikiran yang tersimpul pada keterangan umum itu, dapatlah kita
pahamkan, bahwa otonomi yang dapat diserahkan kepada sesuatu lingkungan
masyarakat yang tertentu itu terbatas kepada pengertian urusan Pusatkah atau
kepentingan Pusatkah soal yang dihadapi dan jika jawabannya tidak menurut
kebijaksanaan Pusat itu, maka soal itu adalah urusan Daerah semata-mata.
Tentu
dalam Negara Hukum seperti sifat Negara kita ini, yaitu dalam arti hukum
tertulis, jika mengenai pembagian kekuasaan itu, maka kebijaksanaan yang
dimaksud itu dalam pokok-pokoknya perlu disalurkan dalam peraturan-peraturan
perundangan, sehingga yang tidak dimaksudkan dalam peraturan-peraturan
perundangan, tersebut itulah yang menjadi lapangan kebijaksanaan benar.
Dalam
istilah hukum, yang dipakai dalam Undang-undang ini, urusan dan kepentingan
Pusat yang tidak diatur itu dengan secara tertulis, dinamakan kepentingan umum.
Jika
kita telah mengerti, apa yang dimaksud dengan urusan Pusat, yaitu segala apa
yang menurut peraturan ditugaskan sendiri oleh Pusat kepada dirinya dan apa
yang disebut kepentingan umum, sebagai tadi tersebut diatas, maka nyatalah
bahwa yang selebihnya itu termasuk kepada pengertian otonomi bagi kesatuan
masyarakat dalam Negara itu.
Teranglah
kepada kita, bahwa pembagian kekuasaan yang sedemikian itu bukan pembagian yang
isinya dapat diperincikan satu persatu.
Pada
azasnya memang tidak mungkin untuk menetapkan secara tegas tentang urusan
"rumah tangga daerah" itu, hal mana terutama disebabkan karena
faktor-faktor yang terletak dalam kehidupan masyarakat Daerah itu sendiri yang
merupakan suatu hasil dari pertumbuhan pelbagai anasir dalam masyarakat itu dan
yang dalam perkembangannya akan mencari jalan keluar sendiri.
Kehidupan
kemasyarakatan itu adalah penuh dengan dinamika, dan terbentanglah dimukanya
lapangan dan kemungkinan-kemungkinan yang sangat luas, disebabkan bertambahnya
dan berkembangnya perhubungan manusia yang satu dengan yang lain, dan demikian
pula kesatuan-kesatuan masyarakat yang satu dengan yang lain.
Dengan
berpegangan kepada pokok pikiran itu, maka pemecahan perihal dasar dan isi
otonomi itu hendaknya didasarkan kepada keadaan dan faktor-faktor yang riil,
yang nyata, sehingga dengan demikian dapatlah kiranya diwujudkan keinginan umum
dalam masyarakat itu.
Sistim
ketatanegaraan yang terbaik untuk melaksanakan tujuan tersebut ialah sistim
yang bersesuaian dengan keadaan dan susunan masyarakat yang sewajarnya itu.
Karena itu perincian yang tegas, baik tentang urusan rumah tangga Daerah,
maupun mengenai urusan-urusan yang termasuk tugas Pemerintah Pusat, tidak
mungkin dapat diadakan, karena perincian yang demikian itu tidak akan sesuai
dengan daya perkembangan kehidupan masyarakat, baik di Daerah maupun di Pusat.
Negara.
Urusan
yang tadinya termasuk lingkungan Daerah, karena perkembangan keadaan dapat
dirasakan tidak sesuai lagi apabila masih diurus oleh Daerah itu, disebabkan
urusan tersebut sudah mengenai kepentingan yang luar dari pada Daerah itu
sendiri.
Dalam
keadaan yang demikian itu urusan tersebut dapat beralih menjadi urusan dari
Daerah yang lebih atas tingkatannya atau menjadi urusan Pemerintah Pusat,
apabila hal tersebut dianggap mengenai kepentingan Nasional.
Demikian
pula sebaliknya, urusan yang tadinya dijalankan oleh Pemerintah Pusat atau
Daerah Tingkat 1, kemudian karena perkembangan keadaan dirasakan sudah
sepatutanya urusan itu dilakukan oleh Daerah, maka urusan tersebut dapat
diserahkan kepada dan beralih menjadi urusan Daerah atau urusan Daerah bawahan.
Jadi
pada hakekatnya yang menjadi persoalan ialah, bagaimanakah sebaik-baiknya
kepentingan umum itu dapat diurus dan dipelihara, sehingga dicapailah hasil
yang sebesar-besarnya.
Dalam
memecahkan persoalan tersebut, perlu kiranya kita mendasarkan diri pada keadaan
yang riil, pada kebutuhan dan kemampuan yang nyata, sehingga dapatlah tercapai
harmoni Daerah itu sendiri maupun dengan Pusat Negara ...... "
Demikianlah
penjelasan mengenai arti urusan, krumah tangga Daerah" yang didasarkan
atas prinsip hak-hak otonomi yang riil itu.
Tetapi
oleh karena di Indonesia ini Daerah-daerah otonom itu baru ada kemudian dari
pada Negara, maka walaupun Daerah-daerah diberi hak untuk mengatur dan mengurus
rumah tangganya sendiri, dapat dikatakan bahwa seluruh tugas kewenangan yang
ada sudah dalam tangan Pemerintah Pusat, sehingga Daerah-daerah yang dibentuk
kemudian itu dalam teori akan tidak mempunyai bidang lagi yang berarti untuk
menjalankan tugas kewenangannya.
Berhubung
dengan itu, maka hak-hak otonomi yang diberikan kepada Daerah itu harus
diimbangi dengan usaha-usaha pemisahan tugas wewenang yang dapat diatur dan
diurus oleh Daerah dari tangan Pemerintah Pusat untuk diserahkan kepada
Pemerintah Daerah.
Teranglah
kiranya, bahwa otonomi Daerah tidak dapat dilepaskan dari desentralisasi. Dalam
Undang-undang ini masalah desentralisasi telah diatur dalam pasal 40, yaitu
mengenai pemisahan dan penyerahan tugas wewenang Pusat kepada Daerah dan dalam
pasal 41 dari Daerah yang lebih tinggi kedudukannya kepada Daerah yang dibawahnya.
Kepada
Daerah bukan saja diberi hak-hak otonomi untuk mengurus dan mengatur
rumah-tangganya sendiri, tetapi kepada Daerah juga diberi tugas kewajiban untuk
melaksanakan peraturan-peraturan perundangan bukan saja yang ditetapkan oleh
Pemerintah Pusat, tetapi pula yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah yang lebih
tinggi tingkatannya (diberi hak medebewind.).
Hal
yang demikian ini diatur dalam pasal 42.
Untuk
memberi tuntutan kepada Daerah-daerah yang baru dibentuk, agar Daerah-daerah
itu sudah dapat mengetahui urusan-urusan apa yang termasuk rumah tangga
Daerahnya, maka dalam pasal 39 ayat (2) Undang-undang ini diadakan ketentuan
yang menyatakan, bahwa dengan tidak mengurangi ketentuan dimaksud dalam pasal
39 ayat (1), dalam Undang-undang pembentukannya sebagai pangkal harus
ditetapkan urusan-urusan apa yang termasuk rumah tangga Daerah, dengan disertai
alat perlengkapan, belanja dan pendapatan Daerah yang dibentuk itu.
Disamping
itu telah pula diadakan ketentuan yang menyatakan, bahwa tiap-tiap waktu dengan
Peraturan Pemerintah atau dengan Peraturan Daerah dari Daerah yang lebih tinggi
tingkatannya dan dengan memperhatikan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang
bersangkutan, urusan rumah tangga Daerah yang telah ditetapkan dalam
Undang-undang pembentukan itu dapat ditambah dengan urusan-urusan lain (pasal
39 ayat 3). Dalam hubungan ini maka untuk melancarkan dan menyempurnakan
penyerahan tugas-tugas baru kepada Daerah dapat dibentuk suatu Dewan Otonom
Daerah dan kepada Dewan itu dapat pula diserahi tugas untuk mengatur masalah
perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah.
Dalam
garis besarnya urusan rumah tangga Daerah yang diletakkan diatas landasan
sistim otonomi riil itu dan aktivita Daerah mengenai tugas pembantuan dalam
menjalankan peraturan-peraturan perundangan dari Pemerintah yang lebih atas,
dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Daerah mengatur dan mengurus rumah tangga Daerahnya,
b. status Daerah, yaitu Propinsi atau Kotaraya, Kabupaten atau
Kotamadya dan Kecamatan atau Kotapraja, begitu pula kedudukan Daerah-daerah
tersebut sebagai kesatuan pemerintahan ditengah-tengah masyarakat Daerahnya,
menentukan corak dan isi rumah tangga Daerahnya, luas dan batas-batas rumah
tangga Daerah itu selalu berobah sesuai dengan perkembangan masyarakat Daerah
yang bersangkutan,
c. bentuk dan corak urusan rumah tangga Daerah dipengaruhi oleh
berbagai anasir yang ada dalam Daerah yang bersangkutan,
d. sukar, bahkan tidak mungkin untuk menyusun suatu daftar
perincian secara limitatif tentang pelbagai jenis urusan-urusan yang termasuk
rumah tangga Daerah yang seragam berlaku bagi semua Daerah, malahan perincian
yang demikian itu akan tidak sesuai dengan dinamik kehidupan masyarakat Daerah
yang bersangkutan.
e. dalam kebebasan mengatur dan mengurus rumah tangganya Daerah
tidak dapat menjalankan kekuasaan diluar batas-batas wilayah Daerahnya,
f.
begitu pula tidak diperbolehkan mencampuri
urusan rumah tangga Daerah lain, yang secara positif anumeratif telah
ditentukan dalam :
- Undang-undang pembentukan sebagai
tugas kewenangan pangkai dan
- Urusan-urusan lain yang ditetapkan
dalam Peraturan Pemerintah atau Peraturan Daerah dari Daerah yang lebih
tinggi tingkatannya.
g. Daerah yang lebih tinggi tingkatannya tidak diperbolehkan
memasuki hal-hal yang termasuk urusan rumah tangga Daerah yang ada dibawahnya.
h. Akhirnya bilamana keputusan-keputusan Daerah
bertentangan-dengan kepentingan umum, Undang-undang, Peraturan Pemerintah atau
Peraturan Daerah yang lebih tinggi tingkatannya, maka keputusan Daerah yang
bersangkutan itu dapat dipertangguhkan atau dibatalkan oleh Pengusaha yang
berwenang.
Sudah
menjadi pengertian umum, bahwa pokok-pokok dasar dan tujuan setiap Daerah yang
berhak mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri ialah dapat membuktikan hak hidupnya,
menjalankan pemerintahan Daerah dengan keadaan keuangan yang sehat, yang
mengusahakan sedapat-dapatnya menutup anggaran belanja routine dengan
penerimaan sendiri dan untuk itu tidak menggantungkan diri kepada ganjaran,
subsidi atau sumbangan, serta selanjutnya yang merasa wajib dan karena itu
mengerahkan seluruh dana dan kekuatan agar berswadaya dan berswasembada dalam
segala bidang, sesuai dengan Amanat Politik Presiden/Pemimpin Besar
Revolusi/Mandataris M.P.R.S. yang berjudul "Berdikari".
Seterusnya,
mengenai keuangan dan perusahaan Daerah diberikan penjelasan umum lebih lanjut
dalam bagian yang berikut ini.
IV.
KEUANGAN DAERAH.
Daerah
seperti badan hukum lainnya untuk dapat hidup serta menyelenggarakan tugasnya
memerlukan uang.
Sudah
barang tentu untuk dapat melayani kepentingan umum dalam wilayahnya dengan
sebaik-baiknya, Daerah harus mengetahui dengan jelas dan tegas dari mana Daerah
itu dapat memperoleh keuangannya dan bagaimana harus berdaya-upaya menggali
sumber-sumber keuangan yang baru, bilamana hasil pendapatan dari sumber-sumber
keuangan yang telah ada tidak cukup lagi untuk menutup belanja yang
diperlukannya.
Sumber-sumber
keuangan Daerah dalam garis-garis besarnya dapat dibagi dalam golongan:
a. hasil perusahaan Daerah dan sebagian hasil perusahaan Negara;
b. pajak Daerah termasuk pajak Negara yang diserahkan kepada
Daerah dan retribusi Daerah;
c. penerimaan dari sebagian pendapatan pajak Negara, bea masuk,
bea keluar dan cukai serta penerimaan dari pada Pemerintah Pusat yang berupa
ganjaran, subsidi atau sumbangan;
d. Penerimaan Daerah sendiri, antara lain yang penting ialah
pajak, retribusi dan perusahaan Daerah. penduduk Daerah dan bersifat menaikkan
pendapatan Nasional;
e. lain-lain hasil usaha Daerah yang sesuai dengan kepribadian
Nasional.
Yang dimaksud dengan lain-lain hasil usaha Daerah ialah hasil
pencaharian dari Daerah, yang diperolehnya misalnya dari perjanjian jual-beli,
sewa-menyewa atau pacht hak dan milik Daerah. upah karena telah memberikan jasa-jasa
baik kepada dan atas permintaan pihak ketiga, upah pemeriksaan sesuatu yang
harus dilakukannya serta izin-izin yang diberikan olehnya.
Untuk mengurus rumah tangga Daerahnya dengan sebaik-baiknya,
maka Daerah untuk suatu masa tertentu harus mempunyai rencana yang teratur dan
tersusun dalam suatu anggaran keuangan, dalam mana harus ada keseimbangan
antara pengeluaran dan penerimaan Daerah.
Dari angka-angka dalam anggaran keuangan Daerah itu, rakyat
Daerah dapat mentafsirkan sampai dimana kemampuan dan kesanggupan Daerahnya
untuk mencapai kemajuan yang diidam-idamkan.
Dalam melaksanakan anggaran keuangan Daerah harus dijaga
betul-betul agar jangan sampai ada pengeluaran yang melewati batas-batas yang
telah ditentukan atau pemborosan yang merugikan kepentingan umum (rechtmating
dan doelmatigheid). Pegawai-pegawai Daerah yang bertanggung-jawab atas keuangan
Daerah dalam menjalankan pekerjaannya wajib memeriksa dengan teliti segala
tagihan-tagihan yang diajukan kepada Daerah, agar jangan terjadi pembayaran-pembayaran
yang tidak sah (onrechtmatig), begitu pula harus dijaga agar pendapatan Daerah
yang seharusnya dipungut, betul-betul ditagih dan masuk dalam kas Daerah.
Berhubung dengan itu maka dipandang perlu untuk mengadakan
ketentuan-ketentuan mengenai dan cara-cara menyusun.
a. anggaran belanja dan anggaran pendapatan Daerah;
b. perhitungan atas anggaran belanja dan anggaran pendapatan
Daerah; a dan b lihat pasal 77. Demikian pula ketentuan-ketentuan mengenai
c. pengaturan tata-usaha pengolahan keuangan Daerah;
d. pertanggungan jawab dari pegawai-pegawai yang menjalankan
pekerjaan yang bersangkutan dengan penerimaan, penyimpanan, pembayaran atau
penyerahan uang, surat-surat bernilai uang dan barang-barang untuk kepentingan
Daerah dan
e. penggantian kerugian oleh pegawai-pegawai yang telah
menimkerugian pada Daerah; c, d dan e
lihat pasal 75.
Sampai saat mulai berlakunya Undang-undang ini, berdasarkan
Undang-undang No.1 tahun 1957 belum diadakan peraturan-peraturan baru mengenai
hal-hal dimaksud a sampai dengan e diatas.
Oleh karena masalah keuangan Daerah ini adalah penting sekali
bagi Daerah, maka Pemerintah perlu mengadakan peraturan-peraturan mengenai
hal-hal dimaksud tadi dalam waktu yang singkat. Dalam pada itu, untuk mencapai
keseragaman yang sangat memudahkan pengawasan, maka cara menyusun anggaran
keuangan berdasarkan Staatsblad 1936 No. 432, yang disesuaikan dengan instruksi
tahunan Menteri Dalam Negeri, dapat diteruskan untuk sementara waktu menurut
ketentuan dalam pasak 89 ayat (2) sampai pada saat berlakunya Peraturan
Pemerintah dimaksud dalam pasal 77.
Dalam menyusun anggaran keuangan Daerah, sepanjang mengenai
pendapatan Daerah, harus diperhatikan pula peraturan perundangan tentang
perimbangan keuangan antara Negara dan Daerah yang kini berlaku yaitu :
a. Undang-undang No. 32 tahun 1956 tentang perimbangan keuangan
antara Negara dan Daerah (yang menurut Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara No. II/MPRS/1960 harus seegera diganti).
b. Peraturan Pemerintah No. 3 tahun 1957 tentang penyerahan pajak
Negara kepada Daerah,
c. Peraturan Pemerintah No. 4 tahun 1957 tentang pemberian
ganjaran, subsidi dan sumbangan kepada Daerah,
d. Peraturan Pemerintah tentang Penetapan Persenasi dari beberapa
penerimaan Negara untuk Daerah, yang tiap tahun dikeluarkan oleh Pemerintah.
Dengan
demikian maka dalam anggaran keuangan Daerah harus dicantumkan:
a. Penerimaan ganjaran, subsidi dan sumbangan Negara.
b. Penerimaan dari pajak-pajak Negara yang sudah dinyatakan
sebagai pajak Daerah,
c. Penerimaan sebagian pajak Negara, bea dan cukai,
d. Penerimaan Daerah sendiri antara lain yang penting ialah pajak,
retribusi dan perusahaan Daerah.
Selanjutnya perlu pula dicantumkan penerimaan melalui
pungutan-pungutan khusus yang dibenarkan Pemerintah. Perusahaan Daerah pada
dasarnya harus memberi bantuan didalam pembiayaan umum dari Daerah. Karena itu
pengelolaan perusahaan Daerah perlu didasarkan atas azas-azas ekonomi
perusahaan dan dalam Undang-undang dimaksud pasal 71 perlu ditetapkan
pokok-pokok peraturan tentang perusahaan Daerah yang memberi kemungkinan
penggalian dan penyusunan segala dana dan yang ada di Daerah.
Untuk dapat merealisir cita-cita yang akan membawa Daerah
kearah kemajuan yang cepat, Pemerintah Daerah tidak saja harus menyusun
anggaran belanja dan pendapatan Daerah secara terperinci dalam anggaran
keuangan Daerah yang seimbang yang menurut pasal 76 hanya berlaku untuk satu
tahun saja, akan tetapi anggaran keuangan Daerah dimaksud harus pula
dilaksanakan secara teliti dan sesempurna mungkin menurut peraturan-peraturan
perundangan serta instruksi-instruksi mengenai keuangan Daerah, sedangkan
administrasi keuangan Daerah harus pula dilakukan sedemikian dan harus ada
bukti pertanggungan jawab dengan mengadakan perhitungan pengeluaran dan
penerimaan Daerah serta pengawasan secara teratur, sehingga tidak mudah ada
uang atau milik Daerah menjadi hilang atau tidak dapat dipertanggung jawabkan.
Pemerintah Daerah harus mengusahakan agar sedapat-dapatnya
anggaran belanja barang routine ditutup dengan penerimaan Daerah sendiri.
Perhatian Pemerintah Daerah perlu dicurahkan pada pengintensipan pemungutan
penerimaan sendiri dan dimana perlu tarip-tarip lebih disesuaikan.
Kepala Daerah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah memegang semua kekuasaan mengenai pengelolaan keuangan Daerah yang
dengan peraturan perundangan Pusat tidak diletakkan dalam tangan Penguasa lain.
Pengelolaan keuangan Daerah yang tepat dan sehat serta seksama
sebagai dimaksud diatas, akan memberi gambaran dan pemandangan setiap waktu
tentang cara bagaimana Daerah melaksanakan kewajiban dan merupakan syarat utama
dalam melaksanakan kebijaksanaan Pemerintah Daerah, lagi pula akan menjadi
dasar bagi pertumbuhan dan perkembangan Daerah.
Dalam hubungan ini untuk menjaga jangan sampai batas-batas yang
sudah ditetapkan dalam anggaran dilampaui, maka harus ditetapkan siapa-siapa
yang akan bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan yang mengikat Daerah,
yaitu perbuatan yang menimbulkan tagihan-tagihan dan berakibat pengeluaran uang
dalam garis-garis yang sudah ditentukan menurut anggaran belanja, misalnya
pengangkatan pegawai Daerah, memberi pensiun, mengadakan perjanjian, diantaranya
perjanjian jual-beli, sewa-menyewa, pacht, menyelenggarakan sesuatu pekerjaan
umum dan sebagainya.
Wajib
diadakan suatu pengawasan keuangan Daerah yang effisien pula.
Yang perlu diatur dengan sebaik-baiknya ialah tugas kewajiban
pegawai yang menjalankan pekerjaan kas Daerah Dalam hal ini bilamana Daerah
tidak mempunyai pegawai Daerah sendiri, yang dapat menjalankan pekerjaan itu,
maka menurut pasal 75, pekerjaan itu atas permintaan Daerah. melalui Menteri
Dalam Negeri, dapat ditugaskan kepada:
a. pegawai kas Negara oleh Menteri Urusan Bank Sentral,
b. pegawai kas Daerah tingkat I oleh Kepala Daerah tingkat I.
c. sesuatu bank yang ditunjuk oleh Menteri Urusan Bank Sentral dan
Menteri Dalam Negeri bersama-sama.
Untuk memudahkan hal-hal itu, Pemerintah secepat-cepatnya
mengadakan Peraturan Pemerintah yang bersangkutan.
Dalam pada itu dan untuk selanjutnya, disamping instruksi
tahunan tentang penyusunan anggaran keuangan Daerah, Pemerintah Daerah harus
pula memperhatikan instruksi-instruksi lain mengenai keuangan Daerah, yang
telah ada akan ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri.
Ketentuan-ketentuan
dalam peraturan lama, yang termuat dalam Staatsblad:
a. tahun 1924 No. 78,
b. tahun 1924 No. 79,
c. tahun 1926 No. 365, yang sejak beberap aklai telah diubah dan
ditambah mengenai masalah pengelolaan dan pertanggungan jawab keuangan Daerah,
khususnya yang tercantum didalam berturut-turut Bab VI, Bab VII dan Bab IX
peraturan tersebut untuk sementara waktu masih dapat dipergunakan sebagai
pedoman bagi:
1.
Propinsi mengenai ad a,
2.Kabupaten
mengenai ad b dan 3.Kotapraja, baik Kotaraya, Kotamadya dan Kotapraja lainnya
mengenai ad c.
Pelaksanaan
dari pada ketentuan-ketentuan dimaksud lebih lanjut, diatur dalam Staatsblad
1936 No. 432, yaitu tentang:
a. penyusunan anggaran keuangan Daerah,
b. penyusunan perhitungan anggaran keuangan Daerah dan
c. pengelolaan dan tata-usaha keuangan Daerah.
Disamping itu sepanjang mengenai bidang penyelenggaraan
tata-usaha keuangan Daerah, berlaku pula ketentuan-ketentuan dimaksud dalam
surat keputusan Menteri Keuangan tertanggal 28 Pebruari 1953 No. 47545/PKN.
Pemegangan kas Daerah harus disesuaikan dengan
ketentuan-ketentuan dalam keputusan Menteri Keuangan tersebut dan dilakukan
oleh Kepala-kepala Kas Negara/Kas Negara Pembantu atau Pembantu Kas-kas Negara
didalam wilayah masing-masing Daerah yang bersangkutan.
Untuk melakukan pekerjaan keuangan Daerah yang berupa
menunaikan S.P.M.U yang diterbitkan oleh Kepala Daerah yang bersangkutan dan
yang memberatkan anggaran keuangan Daerah serta hal menerima, menyimpan dan
sebagainya dari pada pendapatan Daerah, dilakukan satu dan lain dengan
mengingat ketentuan-ketentuan termuat dalam instruksi tata-usaha dan organisasi
kantor-kantor Kas Negara dan petunjuk-petunjuk yang berlaku.
Sebagaimana dijelaskan tadi, administrasi keuangan Daerah akan
menjadi lebih sempurna lagi, bilamana di Daerah-daerah yang bersangkutan
sendiri diadakan suatu aparatur pengawasan keuangan Daerah, yang menjalankan
tugas memeriksa sewaktu-waktu situasi keuangan Daerah dalam keseluruhannya dan
yang bekerja effisien.
V. PENGAWASAN
Perubahan-perubahan yang telah diadakan dalam struktur
pemerintahan Daerah dan yang dimasukkan dalam sistimatik Undang-undang tentang
Pokok-pokok Pemerintahan Daerah yang baru ini,ialah ditujukan untuk menjamin
dapat diselenggarakannya satu Pimpinan Nasional dari Pusat sampai di
Daerah-daerah yang terbawah serta keutuhan kesatuan Republik Indonesia dalam
rangka Undang-undang Dasar Proklamasi 1945 dan Garis-garis Besar Haluan Negara
dimaksud dalam Manipol-USDEK.
Dalam pada itu seperti telah dinyatakan diatas sifat-sifat dan
syarat-syarat dari pada pemerintahan Daerah harus:
a. stabil dan berkewibawaan.
b. mencerminkan kehendak rakyat Daerah.
c. revolusioner,
d. gotong-royong,
e. berdiri diatas kaki sendiri (berswadaya untuk mencapai
swasembada) dan
f.
berkepribadian Nasional.
Untuk mencapai maksud dan tujun itu, maka layak dan pada
tempatnya, apabila Pemerintah Pusat mengadakan pengawasan atas Daerah-daerah.
Seharusnya maslah pengawasan itu, ditinjau dari segi ketata-negaraan dalam
rangka Negara Kesatuan, merupakan segi hubungan suplementer saja, sebab makin
baik jalannya Pemerintahan Daerah, makin sederhanalah stelsel pengawasan yang
diperlukan dan sebaliknya.
Terutama untuk menjaga kewibawaan Pemerintah Daerah serta untuk
menghindarkan terjadinya atau memeperkecil kemungkinan-kemungkinan akan
terjadinya penyalah-gunaan kekuasaan (detournement de pouvoir) kecerobohan atau
kelalaian dalam administrasi yang dapat merugikan masyarakat Daerah dan Negara,
maka disamping mengadakan pengawasan secara umum atas Daerah-daerah, perlu
diselenggarakan pengawasan preventif dalam wujud mengesahkan Peraturan Daerah
atau keputusan Daerah, serta pengawasan repressif terhadap tindakan-tindakan
yang diselenggarakan oleh Daerah atau terhadap keputusan Daerah yang sudah
mempunyai kekuatan hukum, juga bilamana keputusan Daerah itu secara formil
tidak memerlukan pengesahan terlebih dahulu dari Penguasa yang berwenang
mengesahkannya.
Menurut sistimatik Undang-undang baru ini terdapat tiga macam
pengawasan, yaitu :
a. pengawasan umum,
b. pengawasan preventif dan
c. pengawasan repressif.
PENGAWASAN
UMUM.
Pemerintahan Daerah sebagaimana dalam prakteknya dilaksanakan
selama masa yang lampau, pada umumnya jauh dari pada keadaan yang ideal,
sedangkan aparatur pengawasan yang diperlukan belumlah dapat disusun dengan
sempurna dan karena itu tidak dapat menyalurkan tugasnya demikian rupa sehingga
dapat berjalan effektif dan lancar. Kebijaksanaan politik untuk memberikan
otonomi seluas-luasnya dan riil kepada Daerah perlu diimbangi dengan sistim
pengawasan yang berdaya guna, betapapun hal ini nampaknya tidak dapat
dihubungkan dengan hak-hak otonomi Daerah itu.
Pengawasan umum ini diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat
dengan aparaturnya sendiri, yaitu oleh:
a. Menteri Dalam Negeri;
b. Penguasa yang ditunjuk oleh Menteri Dalam Negeri dan
c. Kepala Daerah dalam kedudukannya sebagai alat Pemerintah Pusat.
Untuk menjalankan pengawasan seperti yang dimaksud dalam pasal
44 ayat (2) sub c, pada Departemen Dalam Negeri diadakan satuan-satuan
organisasi dan pada Kepala-kepala Daerah dipekerjakan pegawai-pegawai Negeri
khusus untuk melaksanakan tugas tersebut yang melakukan pekerjaannya langsung
dibawah pimpinan Kepala Daerah yang bersangkutan.
Disamping mengadakan pengawasan umum terhadap jalannya
pemerintahan Daerah, khusus mengenai pengawasan dibidang keuangan Negara dan
Daerah, pada Departemen Dalam Negeri diadakan Pula satuan organisasi lain,
yaitu Inspeksi Keuangan, yang kecuali menjalankan pemeriksaan dan Inspeksi atas
Keuangan Departemen Dalam Negeri sendiri, jika mempunyai tugas untuk memeriksa
keuangan Daerah, baik keuangan Pusat yang dikuasai oleh atau dikuasakan kepada
Daerah maupun keuangan Pemerintah Daerah sendiri yang terletak dibidang otonomi
Daerah. Inspeksi Keuangan ini berada langsung dibawah pimpinan Menteri Dalam
Negeri dan mempunyai cabangnya pada tiap Daerah yang walaupun administratif
tidak lepas dari susunan organisasi Sekretariat Daerah tetapi taktis
operasionil bekerja langsung dibawah pimpinan dan perintah Kepala Daerah yang
bersangkutan Pula.
Dalam hubungan ini perlu dikemukakan, bahwa Menteri Dalam
Negeri atau pegawai Pemerintah Pusat yang bertindak atas namanya, untuk
kepentingan umum dapat mengadakan penyelidikan dan pemeriksaan tentang segala
sesuatu mengenai pekerjaan termasuk dalam bidang otonomi Daerah maupun bidang urusan
tugas pembantuan dengan kewajiban kepada Daerah-daerah yang bersangkutan untuk
memberikan segala keterangan-keterangan yang diperlukan (lihat pasal 86).
PENGAWASAN
PREVENTIF.
Dasar-dasar pokok pengawasan preventif ini diatur dalam
pasal-pasal 78 dan 79, BAB VII, Bagian I yang mengandung prinsip, bahwa sesuatu
peraturan atau keputusan Daerah mengenai pokok-pokok tertentu, tidak berlaku
sebelum disahkan oleh Pemerintah Pusat, yaitu Menteri Dalam Negeri.
Sebagian dari pada hak pengawasan preventif ini menurut pasal
78 telah diserahkan kepada Kepala Daerah terhadap Daerah-daerah tingkat bawahan
yang ada dalam wilayah Daerahnya.
Menurut sistimatik ini, maka sesuatu peraturan atau keputusan
yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah dan yang mengenai pokok-pokok tertentu
tidak berlaku sebelum disahkan oleh :
a. Menteri Dalam Negeri bagi keputusan-keputusan Daerah tingkat
II,
b. Kepala Daerah tingkat I bagi keputusan-keputusan Daerah tingkat
II,
c. Kepala Daerah tingkat II bagi keputusan-keputusan Daerah
tingkat III.
Peraturan atau keputusan apa yang memerlukan pengesahan
terlebih dahulu itu, hal ini akan diatur dengan Undang-undang lain atau dengan
Peraturan Pemerintah.
Namun demikian, apabila ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang
tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah yang baru-baru ini diteliti
betul-betul, maka ternyatalah bahwa dalam Undang-undang baru ini sudah banyak
ditentukan peraturan atau putusan yang mana, yang memerlukan pengesahan itu.
Peraturan atau keputusan yang memerlukan pengesahan terlebih
dahulu sebelumnya berlaku ialah antara lain :
a. pasal 27 ayat (3) mengenai penetapan uang sidang Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dan lain-lain.
b. pasal 31 ayat (2) mengenai tata-tertib rapat Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah.
c. pasal 38 ayat (2) mengenai honorarium dan lain-lain dari Badan
Pemerintah Harian,
d. pasal 41 mengenai penambahan urusan, rumah-tangga sesuatu
Daerah oleh Daerah yang lebih tinggi tingkatannya,
e. pasal 43 ayat (2) mengenai kerja sama antar Daerah,
f.
pasal 51 ayat (4) mengenai peraturan
pidana,
g. pasal 65 ayat (2) mengenai peraturan tentang, hal dan
kedudukannya pegawai Daerah,
h. pasal 70 ayat (3) mengenai pajak dan retribusi Daerah,
i.
pasal 72 ayat (1) mengenai pinjaman
Daerah, j.pasal 73 mengenai usaha-usaha Daerah yang membebani rakyat Daerah.
Oleh karena pengawasan preventif ini erat hubungannya dengan
pengawasan umum yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, yang di Daerah dilakukan
oleh Kepala Daerah sebagai alat Pemerintah Pusat, dalam hal ini Kepala Daerah,
maka peraturan-peraturan Daerah, begitu pula keputusan-keputusan lain yang
ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah juga ditanda-tangani oleh Kepala
Daerah yang bersangkutan.
Pengundangan peraturan-peraturan Daerah dari semua tingkatan
dalam Daerah tingkat I di Lembaran Daerah tingkat I yang bersangkutan itu dan
yang merupakan syarat tunggal sebagai dasar hukum untuk mengikat, begitu pula
keputusan-keputusan lain dari pada Daerah yang perlu diundangkan atau diumumkan
dalam Lembaran Daerah tingkat I, dilakukan oleh Sekretaris Daerah. (lihat ayat
(2) dan (3) pasal 54).
Perlu dikemukakan disini, bahwa tidak semua keputusan-keputusan
Daerah itu harus diundangkan dalam Lembaran Daerah tingkat I; yang harus
diundangkan atau diumumkan dalam Lembaran Daerah tingkat I itu ialah
keputusan-keputusan dan khususnya peraturan-peraturan Daerah yang tidak dapat
berlaku sebelum disahkan oleh penguasa yang berwenang, oleh karena
keputusan-keputusan yang demikian ini pada umumnya antara lain;
a. menetapkan norma-norma yang mengikat rakyat Daerah, norma-norma
yang mengandung perintah, larangan, keharusan untuk berbuat sesuatu atau tidak
berbuat sesuatu dan lain-lain ditujukan langsung kepada rakyat Daerah;
b. mengadakan sangsi atau ancaman hukuman berupa denda atau
kurungan atas pelanggaran ketentuan tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah
Daerah;
c. memberi beban kepada rakyat Daerah untuk memberikan sebagaian
dari harta benda milik rakyat dalam bentuk uang (pajak atau retribusi Daerah);
d. menentukan segala sesuatu yang perlu diketahui oleh umum,
karena menyangkut kepentingan rakyat Daerah, misalnya: mengadakan pinjaman, mengadakan
perusahaan Daerah, menetapkan anggaran keuangan Daerah atau merobah anggaran
keuangan Daerah, menyerahkan Daerah atau merobah anggaran keuangan Daerah,
menyerahkan sebagian urusan rumah-tangganya kepada Daerah-daerah yang ada dalam
wilayahnya, mengatur gaji pegawai, pengangkatan atau pemberhentian pegawai
Daerah, mengatur honorarium, uang sidang dan lain-lain untuk anggota-anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Badan Pemerintah Harian dan lain-lain.
Cara-cara menjalankan pengawasan preventif itu
dalam,garis-garis besarnya menurut pasal 78 adalah sebagai berikut :
a. pengesahan harus sudah diberikan dalam tempo tiga bulan
terhitung mulai hari keputusan yang bersangkutan diterima oleh Penguasa yang
berwenang menjalankan pengesahan. Penguasa yang berwenang menjalankan
pengesahan. Penguasa tersebut segera, sesudah menerima keputusan Daerah,
memberitahukan kepada Daerah yang bersangkutan hari dan tanggal keputusan telah
diterima olehnya;
b. apabila jangka waktu mengesahkan keputusan itu masih kurang
cukup, maka Penguasa dapat menunda pengesahannya dengan memberitahukan
penundaan itu kepada Daerah yang bersangkutan;
c. apabila dalam jangka waktu dimaksud, Penguasa tersebut tidak
mengambil ketetapan, maka-keputusan yang bersangkutan dapat dijalankan oleh
Daerah yang berkepentingan;
d. dalam hal terjadi penolakan pengesahan, maka Daerah yang
bersangkutan dapat minta putusan banding kepada instansi yang lebih tinggi dari
pada instansi yang menjalankan pengesahan.
PENGAWASAN
REPRESSIF.
Pengawasan repressif ialah mempertangguhkan dan/atau
membatalkan peraturan atau keputusan Daerah yang bertentangan dengan
kepentingan umum atau dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi
tingkatannya.
Dalam sistimatik otonomi. Pemerintah Daerah berhak, apabila tidak
secara positif dan tegas ditentukan dalam peraturan perundangan, bahwa
keputusan Daerah terlebih dahulu harus disahkan oleh instansi yang berwenang,
untuk mengambil keputusan-keputusan tentang segala hal mengenai urusan rumah
tangga Daerahnya, tanpa meminta penesahan terlebih dahulu dari instansi
atasannya.
Namun demikian, keputusan-keputusan Pemerintah Daerah ini, baik
Peraturan Daerah maupun keputusan lain, bila bertentangan dengan kepentingan
umum atau dengan peraturan-peraturan perundangan lain yang lebih tinggi
tingkatannya, dapat dipertangguhkan dan/atau dibatalkan.
Pertangguhan
atau pembatalan keputusan Daerah itu dilakukan oleh :
1. Menteri Dalam Negeri atau Penguasa yang ditunjuk olehnya bagi
keputusan-keputusan Daerah tingkat I dan
2. Kepala Daerah yang setingkat lebih atas bagi lain-lain Daerah.
Apabila Kepala Daerah yang setingkat lebih atas dimaksud tadi,
tidak menjalankan wewenangnya, misalnya Kepala Daerah Tingkat I tidak
menjalankan wewenangnya untuk mempertangguhkan atau membatalkan keputusan yang
telah ditetapkan oleh Pemerintah Daerah tingkat II, maka Menteri Dalam Negeri
atau Penguasa yang ditunjuk olehnya mempertangguhkan atau membatalkan keputusan
Pemerintah Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum atau dengan peraturan-peraturan
perundangan yang lebih tinggi tingkatannya itu.
Sistim pengawasan secara bertingkat ini, yang dapat dikoreksi
dengan pengawasan langsung oleh Pemerintah Pusat sendiri, jika pengawasan yang
diletakkan dalam tangan Kepala Daerah tingkat lebih atas tidak berjalan lancar,
dengan adanya struktur dan sistim pemerintahan Daerah yang menimbulkan
kesukaran dan kesulitan seperti dimasa-masa yang lampau, justru oleh karena
Kepala Daerah yang sekarang ini bukan saja merupakan alat Pemerintah Daerah
yang tidak saja memegang pimpinan kuasa eksekutif tetapi oleh karena juga
Kepala Daerah itu merupakan alat Pemerintah Pusat.
Kepala Daerah dalam kedudukannya yang demikian ini, sebagai
pemegang dan pelaksana kebijaksanaan politik Pemerintah Pusat dalam pengurusan
dan pengaturan kepentingan rakyat dalam Daerahnya serta dalam membina
urusan-urusan yang termasuk rumah tangga Daerahnya, banyak dapat mempengaruhi
keadaan dan apriori dapat menghindarkan keputusan-keputusan atau
tindakan-tindakan yang akan bertentangan dengan kepentingan umum atau dengan
peraturan-peraturan perundangan yang lebih tinggi tingkatannya dan yang oleh
karenanya dapat dipertangguhkan atau dibatalkan oleh Kepala Daerah tingkat
atasan atau oleh Menteri Dalam Negeri.
Menurut struktur Pemerintahan Daerah sekarang ini, pengawasan
repressif sebagaimana halnya dengan pengawasan preventif, tidak akan
menimbulkan banyak kesukaran dan kesulitan lagi seperti zaman dahulu.
Pengawasan repressif ini diatur dalam paal-pasal 80 sampai dengan pasal 83. BAB
VII, Bagian II. Pengawasan ini dilakukan secara bertingkat, yang bilamana
tehnis tidak dapat berjalan lancar, masih membuka pintu bagi Pemerintah Pusat
untuk bertindak korektif, haitu terhadap Daerah tingkat II dan III, dengan
jalan melakukan sendiri hak pengawasan itu secara langsung.
Pembatalan lazimnya didahului dengan keputusan pertangguhan,
akan tetapi dapat pula dilakukan secara langsung tidak usah melalui tingkat
pertanggungan terlebih dahulu Keputusan pembatalan dalam waktu 15 hari sesudah
tanggal keputusan pembatalan yang bersangkutan diberitahukan kepada Kepala
Daerah yang bersangkutan dengan menyebutkan alasan-alasannya.
Pertangguhan
dan pembatalan dilakukan atas dasar dua faktor yaitu :
a. pertentangan dengan peraturan-peraturan perundangan yang lebih
tinggi tingkatannya dan
b. pertentangan dengan kepentingan umum.
Pembatalan
karena pertentangan dengan kepentingan umum hanya membawa pembatalan
akibat-akibat yang bertentangan dengan kepentingan umum itu.
PENJELASAN
PASAL DEMI PASAL.
Pasal
1 dan 2.
Menurut
pasal 1 ayat (1) semua badan-badan pemerintahan yang mempunyai hak untuk
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan Undang-undang ini
disebut dengan istilah "Daerah'..
Daerah-daerah
ini adalah pula daerah-daerah besar dan kecil termaksud dalam pasal 18
Undang-undang Dasar. Istilah "Daerah" adalah istilah tehnis bagi
penyebutan sesuatu bagian teritoir yang berpemrintahan sendiri dalam rangka
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam
mengusahakan pembagian wilayah Indonesia dalam Daerah-daerah dimaksud serta
menetapkan jumlah banyaknya tingkatan telah diperhatikan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara yang menghendaki agar keputusan-keputusan
mengenai hal-hal ini dipakai pedoman dalam melaksanakan Garis-garis Besar Pola
Pembangunan Nasional Semesta Berencana, yaitu yang termaktub dalam lampiran B.
ad III sub Ib dari pada Ketetapan No. II/MPRS/1960 dan mengandung pokok-pokok
antara lain sebagai berikut :
1. Seluruh wilayah Indonesia dibagi habis dalam Daerah-daerah.
2. Daerah terdiri dari 3 tingkatan, tingkat I dan II sebagaimana
yang telah ada dan yang masih akan diadakan berdasarkan perundang-undangan yang
telah ada.
3. Tingkat III diadakan pada Daerah Kecamatan atau Daerah kesatuan
masyarakat hukum yang cukup besar, atau dari gabungan beberapa desa,
4. Daerah tingkat III pada akhirnya harus menggantikan
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum terendah. 5.Tidak setuju Pola yang hendak
menempatkan Daerah tingkat I didaerah Keresidenan dan Daerah tingkat II didaerah
Kecamatan.
Dengan memperhatikan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara dimaksud, maka menurut ketentuan dalam pasal 2 ayat (1) wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia terbagi dalam 3 jenis Daerah yang
bertingkatan, yaitu berturut-turut dari atas kebawah:
a. Daerah tingkat I,
b. Daerah tingkat II dan
c. Daerah tingkat III.
Daerah setingkat lebih atas bagi Daerah tingkat III adalah
Darah tingkat II dan bagi Daerah tingkat II adalah Daerah tingkat I (lihat
pasal I ayat 5).
Daerah tingkat I dinamakan "Propinsi" dan yang khusus
mempunyai wilayah yang seluruhnya atau sebagian besar merupakan tempat tinggal
bersama-sama kelompok penduduk dinamakan "Kotaraya".
Berdasarkan prinsip yang sama ini, maka Daerah tingkat II
dinamakan "Kabupaten" dan "Kotamadya" dan Daerah tingkat
III dinamakan "Kecamatan" dan "Kotapraja".
Berhubungn
dengan penjelasan diatas, bahwa "Daerah" adalah istilah teknis bagi
penyebutan sesuatu bagian teritoir dan nama "Propinsi",
"Kabupaten" dan sebagainya adalah menunjukkan jenis Daerah, maka
daerah yang bersifat "istimewa" yang didasarkan atas ketentuan dalam
pasal 18 Undang-undang Dasar atau yang ditetapkan oleh Pemerintah atas alasan
lain, disebut Daerah Istimewa.
Karena itu, maka sebutan Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan
sifat keistimewaannya yang bersumber pada pasal 18 Undang-undang Dasar dan
sebutan Daerah Istimewa Aceh dengan keistimewaannya yang terletak dalam suatu
kebijaksanaan khusus Pemerintah Pusat terhadap beberapa bidang urusan
pemerintahan, berdasarkan pasal 88 ayat.(2), berlaku terus hingga dihapuskan
atau diganti dengan peraturan-peraturan perundangan yang sah.
Adapun yang mengenai Jakarta, Pemerintah telah menetapkan
status "istimewa", bukan saja karena kedudukannya sebagai Ibukota
Negara, akan tetapi juga karena Jakarta merupakan kota pelabuhan yang penting
sekali, lagi pula karena merupakan suatu kota teladan dan kota internasional
yang mengingat luas dan jumlah penduduknya telah tumbuh kearah suatu kota
metropolitis. Untuk menaikkan kedudukannya sebagai tempat yang sering harus
menyelenggarakan bermacam kegiatan internasional, dan agar dapat memenuhi
syarat-syarat istimewa sebagai kota teladan dan kota modern, begitu pula untuk
menjunjung tinggi nama dan kehormatan Bangsa Indonesia, maka di Daerah ini
harus dilaksanakan pembangunan secara besar-besaran yang intensif sekali. Maka
karena itu, untuk mencapai effisiensi kerja yang cepat dan lancar menurut satu
garis komando langsung yang tegas, bagi Daerah ini masih berlaku Penetapan
Presiden No. 2 tahun 1961, yang memberikan dasar dari pada status istimewa bagi
Jakarta.
Pertumbuhan dan perkembangan Daerah Khusus Ibu-Kota Jakarta
adalah pesat sekali dan Kotaraya ini tentu akan menjadi kota metropolistis, yang
membawa pemekaran kepentingan-kepentingan khusus.
Dalam pertumbuhan dan perkembangannya itu, luas wilayah dan
jumlah penduduknya dengan kepentingan-kepentingan yang beraneka corak ragamnya,
memerlukan bentuk-bentuk pemerintahan yang beradaya guna.
Karena itu, maka dalam wilayah Ibu-Kota Negara akan tumbuh
Daerah-daerah tingkat lain dan diperlukan bentuk-bentuk pemerintahan khas untuk
tetap mencapai effisiensi dalam penyelenggaraan rakyat; walaupun demikian akan
senantiasa diusahakan agar sedapat-dapatnya ada persesuaian keistimewaan
seperti yang dimaksudkan diatas yang menentukan adanya Daerah Khusus Ibu-Kota
Jakarta dengan status khusus begitu pula keistimewaan-keistimewaan yang menjadi
dasar dari pada Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Propinsi Daerah
Istimewa Aceh masing-masing sebagai Daerah tingkat I, maka Daerah-daerah
tingkat I yang lain, adalah "Propinsi" menurut Undang-undang ini,
misalnya: Daerah tingkat I Kalimantan Barat disebut Propinsi: Kalimantan Barat,
Daerah tingkat I Jawa Barat menjadi Propinsi Jawa Barat tingkat I Maluku
menjadi Propinsi Maluku dan seterusnya.
Kecuali keistimewaan yang ada pada ketiga Daerah dimaksud
diatas yaitu Daerah Khusus Ibu-Kota Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta dan
Daerah Istimewa Aceh, status atau sifat istimewa bagi Daerah-daerah lain tidak
akan diadakan lagi pada saatnya diharapkan bahwa status atau sifat istimewa
bagi Yogyakarta dan Aceh akan hapus.
Begitu pula semua Daerah tingkat II selain Kotapraja adalah
Kabupaten, misalnya Daerah tingkat II Agam dinamakan sekarang "Kabupaten
Agam" dan seterusnya, dan semua Kotapraja dinamakan Kotamadya, misalnya
Kotapraja Blitar, Bandung, Palembang, Pontianak Pare-Pare, Ambon sekarang
dinamakan Kotamadya Blitar Bandung, Palembang, Pontianak, Pare-Pare dan
Ambon".
Perlu ditegaskan disini, bahwa melihat perkembangan sekarang,
seluruh wilayah Negara kini telah habis terbagi dalam 25 Daerah tingkat I,
yaitu 25 Propinsi (sudah termasuk Kotaraya Jakarta, dan Propinsi Irian Barat)
sedang tiap-tiap Propinsi telah terbagi habis pula dalam Kabupaten dan
Kotamadya.
Pembagian dalam Daerah-daerah ini sudah brang tentu masih juga
belum dapat dikatakan sempurna dan memuaskan dan dikelak kemudian hari masih
akan mengalami perubahan-perubahan lagi, tetapi Daerah-daerah yang ada sekarang
ini terutama yang baru saja dibentuk seharusnya terlebih dahulu diberi
kesempatan dan cukup waktu untuk menyempurnakan alat-alat perlengkapan,
organisasi pemerintahan dan peningkatan kemampuan kerjanya, sehingga dengan
demikian dengan sudah adanya pemerintahan yang stabil dan effisien,
langkah-langkah selanjutnya untuk membentuk Daerah-daerah yang baru, dapat
dilaksanakan dengan mudah dan teratur.
Daerah
tingkat III sampai sekarang masih belum pernah diadakan.
Menurut Undang-undang ini dalam pasal 4 ayat (2), sesuatu atau
gabungan desa atau Daerah yang setingkat dengan desa atau kecamatan, dengan
mengingat keadaan kehidupan masyarakat dan kemajuan perkembangan sosial
ekonominya serta dengan memperhatikan peraturan-peraturan hukum adat yang masih
berlaku, dawpat dibentuk sebagai Daerah tingkat III dengan nama Kecamatan atau
Kotapraja.
Dalam pengertian kesatuan masyarakat hukum termasuk juga
kesatuan masyarakat hukum adat yaitu kesatuan masyarakat hukum yang setingkat
dengan desa yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sebagai
pembawaan sejarah pertumbuhannya, dimana ikatan kesatuan atau adat kebiasaannya
demikian kuat dan mendalam atau berakar.
Nama "Propinsi", "Kabupaten" atau
"Kecamatan" dalam istilah tehnis menurut Undang-undang ini bukan lagi
merupakan nama penunjukan sesuatu wilayah kerja seorang pejabat lingkungan
Departemen Dalam Negeri, tetapi adalah jenis Daerah, yaitu suatu kesatuan
pemerintahan teritorial yang berotonomi (lihat pasal 1 ayat 2) yang mempunyai
tingkatan tertentu.
Begitu pula nama ,Kotapraja" bukan lagi merupakan sesuatu
Daerah tingkat II, tetapi Kotapraja menurut Undang-undang ini adalah,termasuk
Daerah tingkat III.
Diakui, bahwa istilah-istilah itu dalam permulaan masa
berlakunya Undang-undang ini akan menimbulkan rasa kurang puas dan salah faham,
namun seperti halnya dengan nama Propinsi atau Kabupaten yang semula hanya
dikenal di Jawa-Madura saja, kemudian dapat diterima pula di Daerah-daerah
lain, maka diharapkan nama Kecamatan sebagai nama sesuatu jenis Daerah akan
dapat pula kiranya diterima, lebih-lebih kalau diingat, bahwa memang sukar
sekali untuk mencarikan nama baru yang cocok, begitu pula kiranya dengan nama
Kotaraya dan Kotamadya.
Ketentuan-ketentuan dalam ayat (3) dan (5) sudah jelas dan
tidak memerlukan penjelasan lebih lanjut.
Pasal
3.
Undang-undang
pembentukan sesuatu Daerah harus memuat pengaturan esensialia, yang isinya
dapat menunjukkan hak hidup bagi Daerah itu, yang terdiri atas setidak-tidaknya
nama ibukota dan batas Daerah serta kewenangan pangkalnya dan anggaran
keuangannya yang pertama.
Dalam
perkembangan selanjutnya, mungkin perlu diadakan penyempurnaan batas wilayah
Daerah; demikian pula ibukota mungkin perlu dipindah atau nama daerah perlu diubah
dengan nama yang lebih aseli atau lebih sesuai dengan sejarahnya, maka dalam
ayat (2) pasal ini ditetapkan bahwa perubahan-perubahan atau penyempurnaan yang
tidak mengakibatkan pembubaran sesuatu Daerah, diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal
4.
Mengenai
pembentukan Daerah tingkat III, seperti yang dimaksud pada ayat (2) pasal ini,
telah diuraikan seperlunya dalam Penjelasan Umum. Ayat (2) pasal ini tidaklah
harus ditafsirkan, bahwa Daerah tingkat III baru akan dibentuk, apabila
kehidupan masyarakat dan perkembangan sosial ekonomi suatu atau beberapa desa
atau Daerah yang setingkat dengan desa sudah mencapai tingkat taraf tertentu,
sehingga sebelum taraf itu dicapai tidak akan dibentuk Daerah tingkat II,
melainkan maksudnya ialah hal-hal itu diperhatikan untuk menentukan, apakah
suatu atau atau beberapa desa dan Daerah yang setingkat dengan desa dibentuk
menjadi Daerah tingkat III.
Pasal
5 sampai dengan pasal 10
Konstruksi
Pemerintah Daerah menurut Undang-undang ini, yakni terdiri dari Kepala Daerah
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah telah dijelaskan dalam Penjelasan Umum
mengenai fungsi, tugas, kewajiban dan kewenangannya masing-masing serta
hubungan timbal-balik antara keduanya. Kepala Daerah karena jabatannya adalah
menjadi kepercayaan Presiden/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara yang memegang kekuasaan menurut Undang-undang dan melaksanakan
kebijaksanaan Presiden/Perdana Menteri/Pemimpin Besar Revolusi dalam Daerahnya,
karena itu Kepala Daerah bertanggung-jawab kepada Presiden melalui Menteri
Dalam Negeri menurut hierarchie yang ada (pasal 5 ayat 2). Disamping itu Kepala
Daerah adalah pula kepercayaan Rakyat Daerahnya yang diwakili dalam Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, yang komposisinya mencerminkan kegotong-royongan
nasional revolusioner.
Meskipun
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah itu memilih dan mempunyai sendiri Ketua dan
Wakil-wakil Ketuanya yang harus menjamin poros Nasakom (pasal 7 dan pasal 9
ayat 1), tetapi Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mempertanggung-jawabkan
tugasnya kepada Kepala Daerah yang menjadi penanggung-jawab umum Daerah (pasal
8).
Sebagai
penanggung-jawab umum Daerah yang bertanggung-jawab kepada Presiden (lihat juga
pasal 45 ayat 2), maka dalam menjalankan seluruh tugas-kewenangannya itu Kepala
Daerah tidak diwenangkan menjalankan politik lain dari pada politik Negara dan
karena itu Kepala Daerah adalah pula pegawai Negara (Pasal 19).
Mengingat
demikian luas dan berat tugas dan kewajiban Kepala Daerah, maka didalam Kepala
Daerah menjalankan tugas kewajiban pelaksanaan Pemerintah sehari-hari perlu
dibantu oleh Wakil Kepala Daerah dan para anggota Badan Pemerintah Harian.
Adanya bantuan Wakil Kepala Daerah dan anggota-anggota Badan Pemerintah Harian
ini tidak merubah tanggung-jawab atas pemerintahan Daerah yang etap ada
ditangan Kepala Daerah. Wakil Kepala Daerah dan anggota Badan Pemerintah Harian
bertanggung-jawab kepada Kepala Daerah atas tugas pekerjaan yang ditugaskan
kepadanya dalam rangka membantu Kepala Daerah dalam menjalankan tugas pekerjaan
pelaksanaan pemerintahan sehari-hari.
Pasal
11 sampai dengan pasal 14.
Menurut
Undang-undang ini, Kepala Daerah seperti telah diuraikan dalam Penjelasan Umum,
idiil dan strukturil diberi kedudukan khas dalam susunan ketatanegaraan. Ia
bukan saja merupakan alat Pemerintah Daerah, tetapi juga alat Pemerintah Pusat
dan dalam demokrasi terpimpin Kepala Daerah itu tidak saja memegang pimpinan
dan mengayomi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, tetapi pula ia adalah pelaksana
semua keputusan-keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tersebut dan dalam
menjalankan pemerintahan sehari-hari, ia dibantu oleh Badan Pemerintah Harian.
Sebagai
alat yang mempunyai tugas untuk merealisasikan dasar dan tujuan revolusi, iapun
tidak dapat ditumbangkan oleh Dewan Perwakilan revolusi, iapun tidak dapat
ditumbangkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, walaupun hal yang demikian
ini tidak menguraikan kewajiban Kepala Daerah untuk memberikan
keterangan-keterangan tentang pertanggungan jawab mengenai kebijaksanaan
pemerintahan Daerah yang dijalankan oleh Kepala Daerah.
Untuk
mencapai maksud dan tujuan dimaksud diatas, serta menjamin terdapatnya
pemerintahan Daerah yang stabil dan berkewibawaan, sudah barang tentu tidak
setiap orang dapat menduduki jabatan Kepala Daerah yang amat penting dan berat
itu dan karenanya harus ditentukan cara bagaimana orang dapat menjadi Kepala
Daerah dengan syarat-syarat yang tidak ringan pula.
Cara-cara
untuk dapat menduduki jatah Kepala Daerah, diatur dalam pasal-pasal 11, 12, 13
dan 14, yaitu bagi Kepala Daerah tingkat I diangkat oleh Presiden atas
pencalonan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan melalui Menteri
Dalam Negeri, dan bagi Daerah-daerah lain diangkat oleh Penguasa yang ditunjuk
oleh Pemerintah Pusat atas pencalonan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang
bersangkutan melalui Kepala Daerah setingkat lebih atas.
Apabila
dari pencalonan pertama tidak ada calon yang memenuhi syarat-syarat untuk
diangkat menjadi Kepala Daerah, maka Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang
bersangkutan dengan penjelasan penolakan oleh Penguasa yang berwenang diberi
keleluasaan untuk mengajukan calon-calon kedua kalinya.
Adalah
tidak wajar bila dalam pencalonan yang kedua ini Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
mengajukan calon-calon yang telah diajukan dalam pencalonan yang pertama, oleh
karena penolakan calon-calon pertama mengandung pengertian bahwa semua
calon-calon pertama itu tidak memenuhi syarat-syarat untuk diangkat menjadi
Kepala Daerah oleh Penguasa yang berwenang. Penguasa yang berwenang
seharusnyalah memberikan keterangan seperlunya yang menjadi dasar penolakan
pengangkatan dari setiap calon yang diajukan.
Berhubung
dengan itu maka sudah pada tempatnya bilamana dalam pencalonan yang kedua
kalinya tidak diajukan nama calon-calon yang sudah disebut dalam pencalonan
pertama, dengan memperhatikan alasan-alasan penolakan pada pencalonan pertama.
Apabila
juga pada pencalonan yang kedua ini tidak ada calon yang memenuhi syarat, maka
Penguasa yang berwenang mengangkat seorang Kepala Daerah diluar pencalonan
(lihat pasal-pasal 13 dan 14 ayat 3).
Pasal
15
Pasal
ini menetapkan syarat-syarat pengangkatan Kepala Daerah.
Yang
dimaksudkan dengan syarat "tidak pernah memusuhi Revolusi Indonesia"
ialah orang-orang yang tidak pernah secara langsung ikut atau membantu
musuh-musuh Negara Republik Indonesia.
Perumusan
tentang syarat-syarat pendidikan, kecakapan dan pengalaman pekerjaan yang
diperlukan dalam pemerintahan (pemerintahan umum, pemerintahan Daerah atau
dalam Jawatan-jawatan atau Dinas-dinas Daerah) yang terdapat dalam
syarat-syarat tersebut dalam pasal 15 ini, disamping berupa himpunan
syarat-syarat negatif yang sekurang-kurangnya harus dimiliki oleh calon Kepala
Daerah, mengandung pula syarat-syarat positif khusus mengenai hal pendidikan,
pengalaman dan umur, agar dengan demikian ini akan terdapat keseimbangan antara
akseptabilitas politis dan kecakapan tehnis bagi seorang Kepala Daerah itu.
Untuk
menjaga jangan sampai terjadi penerobosan terhadap syarat-syarat yang telah
ditentukan ini, maka calon yang dimajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
harus memiliki bukti-bukti yang sah tentang kebenaran keterangan-keterangan
yang mereka berikan menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi pengangkatan
pegawai Negeri.
Berhubung
dengan pentingnya kedudukan Kepala Daerah sebagai pemusatan pimpinan, baik
mengenai bidang Pemerintahan Daerah, Kepala Daerah seperti telah diuraikan
dimuka, diangkat oleh Pemerintah Pusat dan diberi kedudukan sebagai pegawai
Negara.
Syarat-syarat
mengenai pendidikan, kecakapan dan pengalaman harus dipentingkan pula, karena
seorang Kepala Daerah hanya dapat menunaikan tugasnya dengan baik, jika ia
betul-betul mempunyai syarat-syarat tertentu itu.
Kepada
Daerah adalah seorang kepercayaan Presiden/Mandataris/Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara yang harus melaksanakan di Daerahnya kebijaksanaan
Presiden/Perdana, Menteri/Pimpinan Besar Revolusi, harus melaksanakan politik
Pemerintah.
Untuk
pelaksanaan itu ia bertanggung jawab kepada Presiden.
Karenanya
Kepala Daerah harus selalu mengutamakan kepentingan Negara dan kepentingan
umum.
Kepala
Daerah harus selalu bertindak seobyektif-obyektifnya dan dalam
tindakan-tindakannya tidak akan mengutamakan atau menguntungkan salah satu
organisasi/golongan/partai politik, tetapi benar-benar mengutamakan kepentingan
umum dan kesejahteraan Rakyat dari Daerahnya.
Pasal
16.
Larangan-larangan
yang disebut dalam pasal ini adalah bersifat mutlak, sehingga hanya Presiden
yang berwenang memberikan pengecualian, apabila kepentingan Daerah memerlukan
(lihat juga penjelasan pasal II sampai dengan pasal 14).
Pasal
17.
Masa
jabatan Kepala Daerah adalah selama lima (5) tahun yakni sesuai dengan
masa-duduk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, selama masa jabatan dimaksud Kepala
Daerah menjalankan tugas dan kewajiban serta wewenangnya. Dalam hal masa
jabatannya berakhir dan ia berhenti sebagai Kepala Daerah baginya tetap terbuka
kemungkinan untuk dapat diangkat kembali untuk suatu masa jabatan yang sama
lamanya juga, dengan melalui prosedur yang telah ditentukan dalam Undang-undang
ini.
Pasal
18.
Wakil
Kepala Daerah adalah seorang pembantu Kepala Daerah baik dalam kedudukannya
sebagai Pimpinan Pemerintah Daerah, tetapi juga dalam kedudukannya sebagai alat
Pemerintah Pusat.
Dengan
sendirinya Wakil Kepala Daerah sebagai pembantu Kepala Daerah menjalankan juga
tugas-tugas dan bagian-bagian wewenang Kepala Daerah yang ditentukan baginya.
Wakil Kepala Daerah tidak saja mewakili Kepala Daerah jika Kepala Daerah
berhalangan, tetapi juga didalam hal Kepala Daerah diberhentikan oleh Penguasa
yang berwenang mengangkat atau bila Kepala Daerah meninggal dunia, Wakil Kepala
Daerah akan mewakili dan menjalankan tugas kewajiban dan kewenangan Kepala
Daerah untuk sisa masa jabatan Kepala Daerah yang ia wakili.
Dalam-hal
bagi Daerah yang bersangkutan telah diangkat seorang Kepala Daerah yang baru,
tugas perwakilan yang dimaksud berakhir. Bagi Daerah-daerah yang baru dibentuk,
perlu didudukkan seorang Penguasa yang menjalankan tugas kewenangan Pemerintah
Daerah dengan tugas khusus menyiapkan penyusunan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Gotong-Royong. Selanjutnya lihat Penjelasan Umum dan pasal 48.
Pasal
19.
Untuk
sementara waktu masih berlaku Peraturan Presiden No. 17 tahun 1961 mengenai
nama, jabatan, gelar, penghasilan dan keuntungan lain Kepala Daerah.
Pasal
20.
Cukup
jelas.
Pasal
21
Berbeda
dengan ketentuan mengenai Kepala Daerah dalam pasal 17 ayat (3) sub b, maka
Wakil Kepala Daerah diberhentikan karena berakhir masa jabatannya, tanpa
menunggu terlebih dahulu diangkatnya seorang Wakil Kepala Daerah baru.
Selanjutnya
isi pasal ini cukup jelas,lihat juga mengenai syarat pengangkatan Kepala Daerah
pada Penjelasan pasal II sampai dengan pasal 15.
Pasal
22.
Jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ditetapkan dalam
Undang-undang pembentukannya atas dasar perhitungan jumlah tertentu
penduduknya, harus diberi seorang Wakil dalam Dewan (ayat 1).
Oleh karena kepadatan penduduk tidak merata diseluruh wilayah
Negara, maka perlu diadakan syarat-syarat minimum dan maksimum, jumlah anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuatu Daerah,a gar dengan demikian itu Daerah
yang sangat sedikit sekali penduduknya, mempunyai Wakil-wakil sangat sedikit
sekali penduduknya, mempunyai Wakil-wakil dalam Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
yang cukup representatif untuk menjamin terpeliharanya kepentingan-kepentingan
umum seluruh wilayah Daerah yang bersangkutan secara baik.
Bagi Daerah yang banyak sekali penduduknya, dapat dicegah
terbentuknya suatu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang amat besar jumlah
anggotanya sehingga menjadi "log", yang tidak menguntungkan Daerah,
tetapi malahan akan dapat menghambat kelancaran jalannya pemerintahan Daerah.
Agar jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah itu
senantiasa dapat disesuaikan dengan perkembangan masyarakat Daerah yang
bersangkutan, maka jumlah anggota Undang-undang pembentukan setiap waktu dapat
dirubah oleh Menteri Dalam Negeri.
Masa duduk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ditetapkan, tidak
lagi empat tahun seperti yang ditentukan dalam Undang-undang No. 1 tahun 1957
dahulu, akan tetapi dijadikan lima tahun, dengan ketentuan bahwa anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah yang mengisi lowongan keanggotaan antar-waktu, duduk
dalam Dewan Perwakilan Rakyat Daerah itu hanya untuk sisa masa lima tahun
dimaksud. *3540 Berhubung dengan diadakannya ketentuan yang dimaksud dalam
pasal 89 ayat (3), maka Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gotong-Royong yang ada,
masih dapat terus menjalankan tugas kewajibannya sampai terbentuk Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah baru yang dibentuk berdasarkan ketentuan dalam pasal
22 ayat (5).
Biarpun demikian tidak tertutup kemungkinan untuk tindakan-tindakan
perubahan komposisi keanggotaan dan peremajaan agar Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Gotong-Royong dapat mencerminkan perkembangan perimbangan yang terjadi
di Daerah, secara lebih mendekati kenyataan (obyektif)
Pasal
23.
Syarat-syarat yang diadakan bagi keanggotaan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah. adalah perlu untuk menjaga, agar para anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah itu minimal mempunyai cukup kesadaran, kecakapan dan penetahuan
untuk dapat menjalankan tugas kewajiban mereka dengan sebaik-baiknya.
Umur 21 tahun harus sudah tercapai pada waktu yang bersangkutan
ditetapkan sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Syarat-syarat
itu berlaku baik bagi anggota laki-laki maupun perempuan.
Kotamadya
dan Kotapraja dalam hakekatnya merupakan tempat tinggal bersama kelompok
penduduk dan pada umumnya merupakan juga faktor penarik yang tidak kecil
artinya bagi pemusatan tempat-tempat tinggal tetap kaum intelek dan para cerdik
pandai.
Dari
sebab anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah wakil rakyat yang
bertempat dinggal dalam wilayah Daerah yang bersangkutan, maka penduduk sesuatu
Kotamadya sudah barang tentu tidak akan dapat menjadi anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah dari Daerah tingkat II yang berbatasan, karena Kotamadya yang
sama tingkatannya dengan Darah tingkat II berdiri sejajar, sehingga wilayah
Kotamadya itu bukan merupakan bagian wilayah dari pada Daerah tingkat II yang
melingkarinya. Hal yang demikian ini sedikit banyak akan dapat menimbulkan
kerugian kepada Daerah tingkat II yang bersangkutan, bilamana tidak diadakan
pengaturan secara khusus.
Mengingat bahwa Kotamadya dapat pula merupakan tempat kedudukan
sesuatu Daerah tingkat II, sedang kebanyakan penduduk yang telah maju dalam
pendidikan dan pengetahuan, lebih suka bertempat tinggal dalam Kotamadya yang
dilingkarinya, maka dengan ketentuan dalam pasal 23 sub b itu telah dibuka
kemungkinan, penduduk Kotamadya itu dapat dipilih menjadi anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah tingkat II yang melingkari Kotamadya yang bersangkutan
itu.
Kata
"dilingkari" tidak perlu ditafsirkan demikian, bahwa Kota-madya itu
harus sepenuhnya berada ditengah-tengah garis batas wilayah Daerah tingkat II
yang bersangkutan itu.
Kotamadya yang sebagian berbatasan misalnya dengan laut
(seperti Surabaya Semarang) atau dengan Daerah/Daerah-daerah tingkat II
lainnya, adalah termasuk dalam arti istilah "dilingkari" oleh
Daerah/Daerah-daerah tingkat II itu.
Jadi penduduk Kotamadya yang sebagian berbatasan dengan Daerah
atau beberapa Daerah tingkat II dalam hal ini dapat dicalonkan sebagai anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari lebih dua Daerah, misalnya penduduk
Kotamadya Binjai yang berbatasan dengan Daerah tingkat II Langkat dan Daerah
tingkat II Deli Serdang, dapat dicalonkan sebagai anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah dari ketiga Daerah tersebut, tetapi calon itu diperbolehkan
menjadi anggota hanya dari satu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah saja.
Uraian
diatas berlaku pula bagi Kotaparaja dan Daerah tingkat III yang melingkarinya.
Menurut
sub g seorang anggota partai terlarang, sesuai dengan ketentuan pasal 9
Penetapan Presiden No. 7 tahun 1959 tentang "Syarat-syarat dan
penyederhanaan kepartaian" jis pasal 9 Peraturan Presiden No. 13 tahun
1960 dan Peraturan Presiden No. 25 tahun 1960, sebagai akibat
pembubaran/pelarangan sesuatu partai, tidak dapat dicalonkan sebagai anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, kecuali mereka yang dengan perkataan dan
perbuatan membuktikan menyetujui Undang-undang Dasar 1945, Sosialisme
Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Indonesia
yang berarti pula menyetujui dan bersedia turut aktif melaksanakan Manifesto
Politik Republik Indonesia tertanggal 17 Agustus 1959, segala sesuatu menurut
penilaian Menteri Dalam Negeri dan disetujui oleh Presiden.
Pasal
24.
Larangan
rangkapan keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan pegawai yang
bertanggung-jawab tentang keuangan daerah dari daerah yang bersangkutan
meliputi semua pejabat dari Daerah, yang bersangkutan dengan keuangan Daerah,
termasuk Kepala Biro/kepala Bagian dan pegawai yang bertugas di Biro/Keuangan
dari Daerah yang bersangkutan dan yang bertugas serta bertanggung jawab dalam
bidang keuangan Daerah.
Pasal
25.
Ketentuan-ketentuan
dalam pasal ini dimaksudkan untuk mencegah anggota-anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah melakukan sesuatu baik secara langsung ataupun tidak langsung
yang mendatangkan keuntungan baginya akan tetapi merugikan kepentingan Daerah
yang bersangkutan dan yang dapat menurunkan derajat atau kehormatan
anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat dimata rakyat yang mereka wakili.
Bilamana
larangan itu tidak bertentangan dengan kepentingan Daerah, maka menurut ayat
(2), Kepala Daerah setelah mendengar Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan
mendapat mufakatnya, dapat memberikan pengecualian apabila kepentingan Daerah
memerlukannya.
Untuk
menghindarkan tindakan sewenang-wenang, maka kecuali kesempatan yang harus
diberikan kepada yang bersangkutan untuk memperatahankan diri, anggota yang
bersangkutan dapat minta putusan banding kepada Kepala Daerah setingkat lebih
atas atau bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari Daerah tingkat I
*3542 kepada Menteri Dalam Negeri terhadap putusan pemberhentian atau pemberhentian
sementara dalam waktu satu bulan sesudah anggota yang bersangkutan itu menerima
putusan tersebut.
Pasal
26. Cukup jelas.
Pasal
27.
Pemerintah
Daerah mempunyai wewenang untuk menetapkan Peraturan-peraturan Daerah yang
mengandung ketentuan-ketentuan tentang:
1. uang sidang, uang jalan dan uang penginapan bagi para
anggota-anggotanya;
2. tunjangan jabatan bagi Ketua dan Wakil Ketua Dewan;
3. uang kehormatan untuk setiap bulannya, uang jalan dan
penginapan, uang perjalanan pindah dari tempat kediaman semula ketempat
kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau sebaliknya, uang penggantian
biaya berobat, tunjangan kematian, tunjangan penghargaan pada akhir masa
jabatan atau setelah berhenti dari jabatan dengan hormat bagi Ketua dan Wakil
Ketua. dengan ketentuan, bahwa Peraturan-peraturan Daerah itu ditetapkan dengan
mengingat pedoman yang diadakan oleh Menteri Dalam Negeri bagi Daerah tingkat I
dan oleh Kepala Daerah tingkat I bagi Daerah-daerah tingkat II dan III.
Peraturan-peraturan
Daerah dimaksud untuk berlaku masih memerlukan pengesahan oleh instansi atasan.
Mengenai
hal-hal dimaksud diatas, bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Gotong-Royong, yang berdasarkan ketentuan dalam pasal 89 ayat (3) masih dapat
terus menjalankan tugas kewajibannya sesudah berlakunya Undang-undang ini,
berlaku terus pula segala peraturan-peraturan yang bersangkutan yang mengatur
hal-hal dimaksud (pasal 89 ayat 1), kecuali bilamana peraturan-peraturan itu
bertentangan dengan Undang-undang ini.
Pasal
28.
Ketentuan
ini hanya berlaku bagi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang dibentuk menurut
pasal 22 ayat (5) Undang-undang ini dan tidak bagi anggota-anggota antar waktu
yang mengisi lowongan keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gotong-Royong
yang masih ada.
Pasal
29.
Perkataan
sidang atau rapat dalam ketentuan ini mengandung arti sama dengan perakataan
"zitting" atau "vergadering" dalam bahasa asing. Suatu
sidang dapat ditentukan untuk suatu waktu, dalam pada mana dapat diadakan rapat
secara berturut-turut. Penetapan waktu dan penyelenggaraan dari rapat atau
sidang ini adalah termasuk tugas kewajiban Ketua Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah.
Kewajiban
untuk merahasiakan segala sesuatu yang dibicarakan dalam rapat tertutup tidak saja
mengenai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah akan tetapi berlaku juga para
pegawai/pekerja yang ada dalam ruangan dimana diadakan rapat atau sidang
tertutup semua yang hadir dan mengetahui hal-hal yang dibicarakan dalam rapat
tertutup itu, begitu pula mereka yang dapat mengetahuinya dengan jalan lain,
umpamanya pegawai yang karena tugas kewajibannya menerima laporan dari lain
pegawai yang mengunjungi rapat.
Apabila
dengan mempergunakan dasar dimaksud dalam ayat (3), tidak bisa dicapai kata
mufakat, maka keputusan itu diserahkan kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, yang mengambil keputusan dengan memperhatikan semua pendapat yang ada
dan apabila dengan menempuh cara demikian tidak dicapai hasil pula, keputusan
dapat diserahkan kepada Kepala Derah.
Pasal
30.
Pada
umumnya rapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terbuka bagi umum; sifat terbuka
itu adalah adalah sesuai dengan cita-cita demokrasi, dimana umum juga dapat
mengikuti dengan saksama segala apa yang dibicarakan dalam rapat-rapat Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah secara langsung.
Dengan
demikian maka umum dapat mengadakan kritik-kritik dan pembahasan-pembahasan
atas pembicaraan dan putusan yang diambil dalam rapat Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah itu melalui surat-surat kabar, radio dan lain-lain.
Dalam
keadaan yang khusus, misalnya kalau kepentingan umum memerlukannya, maka rapat
memutuskan untuk mengadakan rapat tertutup, kecuali mengenai hal-hal tertentu
yang tersebut dalam ayat (2).
Pasal
31. Cukup jelas.
Pasal
32.
Maksud
peraturan ini adalah agar supaya anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
dapat mengeluarkan pendapatnya dengan bebas, dengan tidak perlu takut akan
dituntut karena hal-hal yang dengan lisan atau tertulis telah dikemukakan dalam
rapat, Meskipun demikian anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah harus mempunyai
sopan-santun sendiri dan senantiasa harus mengingat tata cara berbicara dalam
rapat sesuai peraturan tata tertib yang berlaku.
Pasal
33.
Pada
dasarnya, jumlah anggota Badan Pemerintah Harian ditentukan menurut kebutuhan
Pemerintah Daerah yang bersangkutan. Penetapan minuman jumlah anggota badan
Pemerintah Harian bagi Daerah tingkat I sebanyak 7 orang, Daerah tingkat II
sebanyak 5 orang dan Daerah tingkat III sebanyak 3 orang dipandang sesuai,
namun penambahan jumlah itu sewaktu-waktu berdasarkan perkembangan Daerah harus
dimungkinkan.
Dengan
memberikan kewenangan penambahan jumlah anggota Badan Pemerintah Harian itu
kepada Menteri Dalam Negeri diharapkan proses akan dapat cepat diselesaikan,
yakni setelah dinilai sebaik-baiknya pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah yang bersangkutan. Jumlah anggota Badan Pemerintah Harian menurut
ketentuan ini harus terus diisi selengkapnya. Manakala timbul lowongan, dalam
waktu sesingkatnya lowongan tersebut harus segera diisi.
Pasal
34 sampai dengan pasal 38 Cukup jelas. (Lihat juga penjelasan umum).
Pasal
39 sampai dengan pasal 41. Cukup jelas. (Lihat juga penjelasan umum).
Pasal
42.
Mengingat,
bahwa pelaksanaan urusan-urusan Pemerintah Pusat atau Pemerintah daerah
setingkat lebih atas dapat dilakukan di Daerah dengan sebaik-baiknya apabila
Pemerintah Daerah yang bersangkutan diturut-sertakan, maka kecuali pemberian
otonomi yang luas dan riil kepada Daerah seperti yang diatur dengan
ketentuan-ketentuan tersebut dalam pasal 39, 40 dan 41, adalah selayaknya,
apabila dipergunakan sebanyak mungkin tugas pembantuan (medebewind) yang
dilaksanakan oleh Daerah. Berhubung dengan itu, dalam pasal ini ditentukan agar
peraturan-peraturan perundangan Pusat atau peraturan Daerah setingkat lebih
atas, sedapat mungkin menyerahkan pelaksanaan urusan-urusan Pemerintah Pusat
atau urusan rumah tangga. Daerah setingkat lebih atas, sebagian atau
seluruhnya, sebagai tugas pembantuan kepada Daerah yang ditunjuk oleh dan dalam
peraturan-peraturan itu. Peraturan-peraturan itu wajib menyerahkan biaya-biaya
belanja serta alat perlengkapannya kepada dan menentukan sumber-sumber
pendapatan bagi Daerah yang ditunjuk itu guna pelaksanaan tugas pembantuan yang
dimaksud. Pemerintah Daerah yang ditunjuk wajib melaksanakan tugas pembantuan
itu.
Pasal
43.
Mengenai pasal 43 dijelaskan, bahwa pasal ini mengatur
dasar-dasar pokok kerja sama antara Daerah-daerah untuk mencapai daya kerja
yang lebih kuat mengenai soal-soal yang termasuk urusan rumah tangga Daerah.
Dengan bertumbuh dan berkembangnya Daerah-daerah, maka akan
meluas pula bidang-bidang dimana terdapat kepentingan bersama.
Keputusan-keputusan Musyawarah Antar Kotapraja seluruh Indonesia dengan
Departemen Dalam Negeri yang ke II di Makasar tanggal 31 Maret sampai dengan 4
April 1964, dapat menunjukkan, betapa luasnya bidang-bidang yang dimaksud.
Untuk bersama-sama mengatur dan mengurus kepentingan bersama itu, Daerah-daerah
dapat mengadakan kerja sama.
Pasal 43 ayat (1), (2) dan (3) memberikan beberapa ketentuan
kerja sama resmi ini, sedangkan ayat (4) menentukan bahwa Menteri Dalam Negeri
dapat mengadakan pengaturan khusus untuk memberikan pelayanan sebaik-baiknya bagi
sesuatu bentuk kerja sama Antara Daerah.
Kerja sama ini tidak terbatas saja kepada Daerah-daerah yang
sama tingkatnya, akan tetapi dapat dilakukan juga antara Daerah-daerah yang
tidak sama tingkatnya yang berkehendak untuk mencapai suatu tujuan yang, sama
untuk kepentingan penduduk didalam masing-masing wilayahnya. Keputusan bersama
untuk mengatur kerja sama itu tidak dapat dilaksanakan bilamana tidak disahkan
oleh instansi atasan dan sudah barang tentu rencana- rencana untuk mengadakan
kerja sama dengan lain-lain Daerah itu harus dimusyawarahkan dalam sidang Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan.
Dalam keadaan yang memaksa, Kepala Daerah diperbolehkan juga
untuk mengambil inisiatif untuk mengadakan kerja sama tetapi dengan ketentuan,
bahwa keputusan yang demikian itu kemudian harus pula dimusyawarahkan dalam
sidang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan, karena kerja sama itu
pada umumnya membawa akibat-akibat finansiil yang tidak dapat lepas dari campur
tangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Selain dari pada itu jika untuk melaksanakan kerja sama perlu
dibentuk sebuah badan atau panitia, maka dalam peraturan kerja sama itu harus
pula diatur tentang pertanggungan jawab badan atau panitia itu.
Apabila kerja sama itu terjadi antara Daerah tingkat I dengan
Daerah-daerah tingkat lain maka pengesahan terhadap keputusan kerja sama itu
dilakukan oleh instansi yang lebih tinggi dari Daerah yang tertinggi tingkatnya
i.c. oleh Menteri Dalam Negeri.
Bila
kemudian tidak terdapat kata sepakat tentang perubahan atau pencabutan
peraturan tentang kerja sama, maka Menteri Dalam Negeri atau Kepala Daerah yang
dimaksud dalam ayat (2) yang memutuskannya.
Pasal
44 sampai dengan pasal 46.
Kepala
Daerah yang bertanggung jaab atas maju mundurnya Daerah serta penduduknya, dan
untuk itu memegang kesatuan komando dan kesatuan kebijaksanaan pemerintahan di
Daerah menjalankan hak dan wewenang sebagai
a.alat
Pemerintah Pusat,
b.alat
Pemerintah Daerah,
Sebagai
alat Pemerintah Pusat, Kepala Daerah :
a. memegang Pimpinan dalam melakukan kebijaksanaan untuk
melaksanakan politik Pemerintah Pusat mengenai ketertiban dan keamanan umum,
guna mencapai situasi tata-tentram di Daerahnya agar dapat ditingkatkan
kekertaraharjaan.
b. menyelenggarakan koordinasi antar jawatan-jawatan Pemerintah
Pusat di Daerah dan antara jawatan-jawatan tersebut dengan Pemerintah Daerah,
dan jawatan-jawatannya,
c. melakukan pengawasan atas jalannya pemerintahan daerah, dan
d. menjalankan tugas-tugas lain yang diserahkan kepadanya oleh
Pemerintah Pusat. Wewenang Kepala Daerah
memegang pimpinan dalam menentukan kebijaksanaan pelaksanaan politik Pemerintah
Pusat mengenai ketertiban dan keamanan umum dilaksanakan sesuai dengan jiwa
kegotong-royongan yang tercermin dalam keputusan Presiden No. 71 tahun 1964,
dengan mengindahkan wewenang dan dengan bermusyawarah dengan alat-alat Negara
yang bertugas dan berwenang dalam bidang-bidang tersebut didaerahnya;
sebaliknya dengan kewajiban bagi alat-alat Negara yang dimaksud untuk
mengindahkan wewenang dan kewibawaan Kepala Daerah.
Sudah sewajarnyalah bahwa alat-alat Negara yang bertanggung
jawab dalam pelaksanaan kebijksanaan itu, setelah melaksanakan kebijaksanaan
tersebut melaporkan hasil pelaksanaannya kepada Kepala Daerah sebagai pemegang
pimpinan kebijaksanaan umum didaerahnya.
Sebagai alat Pemerintah Daerah, Kepala Daerah memimpin
pelaksanaan kekuasaan eksekutif Pemerintah Daerah, baik dibidang urusan rumah
tangga Daerah maupun dibidang pembantuan, dalam hal mana ia memberikan
pertanggungan jawab sekurang-kurangnya sekali setahun kepada Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah, bila diminta oleh Dewan tersebut atau bilamana dipandang perlu
oleh Kepala Daerah.
Dalam menjalankan tugas kewenangan ini, Kepala Daerah tidak
dapat diberhentikan karena sesuatu keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(lihat pasal 17).
Dalam melaksanakan tugas kewenangan dan kewajiban saeperti yang
dirumuskan dalam pasal 44 ini, nampaklah perwujudan fungsi Kepala Daerah. Dalam
memimpin dan mengayomi sebagai pejabat kepercayaan Presiden/Perdana
Menteri/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara/Pemimpin Besar Revolusi
di Daerahnya, maka unsur kebijaksanaan pada semua tindakan dan keputusan Kepala
Daerah, serta tindakan dan kebijaksanaan dengan maksud untuk mempertinggi dan
memperlengkap ketahanan serta kesiapsiagaan Revolusi Indonesia sesuai TAVIP
dengan mengubah gerak pelaksanaan yang masih bersifat routine konvensional dan
tindakan kebijaksanaan untuk pelaksanaan pedoman- pedoman pelaksanaan Manipol,
merupakan unsur pokok.
Jelaslah juga disini bahwa yang dimaksud dengan kebijaksanaan
politik polisionil dalam pasal 44 sekali-kali bukanlah politik polisionil
beleid yang ada ditangan seorang Gubernur/Resident dari jaman Hindia Belanda,
yang semata-mata ditujukan untuk menumpas kegiatan politik bangsa Indonesia
yang ingin melepaskan belenggu penjajahan.
Kebijaksanaan politik polisionil yang ada pada seorang Kepala
Daerah dalam alam Sosialisme Indonesia yang berdasarkan Panca Sila dengan
demokrasi terpimpin sebagai alatnya dimaksudkan untuk memupuk, mempersatukan
dan mengembangkan kegiatan politik Bangsa Indonesia yang progressif
revolusioner untuk mencapai tujuan revolusi, dan kebijaksanaan politik
polisionil dalam arti menghambat, menumpas atau membinasakan hanya ditujukan
terhadap kegiatan politik antek-antek nekolom dan kaum kontra revolusioner.
Peristilahan kita belum cukup kaya untuk mengganti istilah
"politik polisionil" yang sebenarnya sudah lapuk itu dengan suatu
istilah baru yang khas dan berkepriabdian Indonesia seperti yang dimaksudkan
diatas, sehingga dalam pasal 44 ini istilah tersebut masih dipakai.
Pasal
45 ayat (2) menetapkan, bahwa seorang Kepala Daerah bertanggung jawab kepada
Presiden melalui Menteri Dalam Negeri.
Hal
Perwakilan yang termaktub dalam pasal 46 perlu diadakan, agar tegas siapa yang
akan mewakili Daerah untuk bertindak jika daerah menjadi penggugat atau
tergugat dalam perkara perdata atau perkara pidana. Bukan perwakilan didalam
pengadilan saja, tetapi juga diluar pengadilan Kepala Daerah yang bersangkutan
itu akan mewakili Daerahnya. Dalam soal perwakilan ini, Kepala Daerah dapat menunjuk
orang kuasanya untuk mewakili Kepala Daerah.
Pasal
47 dan pasal 48. Cukup jelas.
Pasal
49 sampai dengan pasal 56. (Lihat penjelasan umum).
Didalam
hal sesuatu materi/persoalan telah diatur dengan Peraturan Daerah dan ternyata
kemudian bahwa materi /persoalan dimaksud diatur oleh peraturan-perundangan
yang lebih tinggi tingkatannya, maka Peraturan Daerah dimaksud karena hukum
dengan sendirinya tidak berlaku lagi dengan segala sesuatunya harus disesuaikan
dengan ketentuan didalam peraturan-perundangan tersebut yang lebih tinggi
tingkatannya.
Dalam
hal dipandang perlu maka dengan Peraturan Pemerintah dapat diatur tentang
ketentuan-ketentuan dan bentuk dari Peraturan Daerah, agar dapat terpenuhi
cara-cara melaksanakan peraturan-perundangan yang lebih tinggi tingkatannya
yang harus dilaksanakan oleh Daerah.
Peraturan-peraturan
dan keputusan-keputusan yang ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
ditanda-tangani oleh Kepala Daerah (pasal 54 ayat 2). Dalam pada itu
pengundangan adalah syarat tunggal untuk mendapatkan kekuatan hukum dan
mengikat (pasal 54 ayat 3).
Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah sebagai Wakil Rakyat Daerah dapat membela kepentingan
Daerah dan penduduknya kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan/atau Kepala
Daerah yang lebih tinggi tingkatannya dan kepada Pemerintah dan Dewan
Perwakilan Rakyat dengan sepengetahuan Kepala Daerah yang bersangkutan (pasal
55) agar dengan demikian ada saluran, sehingga kepentingan Daerah dan
penduduknya, bila perlu , dengan sepengetahuan Kepala Daerah yang bersangkutan,
dapat dibela sampai pada pemerintahan tingkat Pusat.
Pasal
57.
Anggota-anggota
Badan Pemerintah Harian dimaksudkan supaya dapat membantu sepenuhnya Kepala
Daerah dalam urusan dibidang rumah tangga dan dibidang tugas pembantuan dalam
pemerintahan. Maka adalah merupakan kewajiban Kepala Daerah untuk
membagi-bagikan pekerjaan dalam bidang-bidang tersebut diatas, sehingga
ada tanggung jawab luas bagi setiap
anggota Badan Pemerintah Harian.
Pasal
58 sampai dengan pasal 60.
Menurut
pasal 58, yang bekerja pada pemerintahan Daerah ialah :
a. pegawai Negara;
b. pegawai Negeri;
c. pegawai Daerah;
d. pegawai Negeri yang dipekerjakan pada Daerah;
e. pegawai Negeri yang diperbantukan kepada Daerah;
f.
pegawai Daerah lain yang dipekerjakan pada
Daerah dan
g. pegawai Daerah lain yang diperbantukan kepada Daerah.
Penjelasan Pemerintah yang diberikan kepada Dewan Perwakilan
Rakyat Gotong-Royong pada tanggal 5 Juni 1961 mengenai pasal 1 ayat (1)
Undang-undang No. 18 tahun 1961 menunjukkan betapa eratnya hubungan mengenai
status hukum antara pegawai Negeri dan pegawai Daerah; maka pokok-pokok
ketentuan mengenai status hukum pegawai Negeri yang ditetapkan dalam
Undang-undang No. 18 tersebut diatas berlaku pula bagi seluruh pegawai Daerah.
Dalam rangka hubungan yang demikian, untuk dapat lebih menjamin adanya
pengertian mental, pendidikan, pengetahuan dan kemampuan yang merata pada
setiap pegawai, maka ditetapkan ketentuan yang termuat pada pasal 59 dan 60.
Sepanjang Undang-undang No. 18 tahun 1961 belum mengatur
tentang latihan dan pendidikan pegawai Daerah, maka Menteri Dalam Negeri
didalam mengatur lapangan kariere pegawai dalam mengadakan latihan dan
pendidikan pegawai mengikut-sertakan pegawai Daerah. Dengan demikian terbuka
kemungkinan bagi kariere pegawai Daerah yang bersangkutan.
Pasal
61 sampai dengan pasal 63.
Untuk mencapai daya guna yang sebesar-besarnya dalam
pelaksanaan Pemerintah yang dikomandokan dari satu sumber pimpinan di Daerah,
dalam pada mana menurut sistimatik Undang-undang ini Kepala Daerah itu telah
diberikan kedudukan khas dalam rangkaian susunan ketatanegaraan yang tidak
mudah dapat tergoyahkan, maka dalam administrasi pemerintahan Daerah Sekretaris
Daerah itu dijadikan poros yang utama pula dalam perputaran roda pemerintahan
Daerah. Menurut pasal 10 penyelenggaraan administrasi yang berhubungan dengan
seluruh tugas Pemerintah Daerah dilakukan oleh Sekretariat Daerah yang
dikepalai oleh seorang Sekretaris Daerah. Sekretaris Daerah itu
bertanggung-jawab kepada dan melakukan pekerjaannya langung dibawah pimpinan
Kepala Daerah.
Oleh karena Sekretaris Daerah itu menurut pasal 62 bukan saja
merupakan Sekretaris dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan dari Kepala Daerah
dalam kedudukannya sebagai alat Pemerintah Daerah, tetapi juga adalah
Sekretaris dari Kepala Daerah dalam kedudukannya sebagai alat Pemerintah Pusat,
maka Sekertariat Daerah itu mencakup sekaligus dua Kantor Administrasi
Pemerintah Pusat dan kantor Adminitrasi Pemerintah Daerah, sehingga dengan
demikian hapus pula dualisme dalam administrasi pemerintahan di Daerah seperti
hapusnya dualisme dalam pimpinan pemerintahan Daerah. Untuk menjaga agar dalam
administrasi Pemerintahan Daerah ada kontinuitas dalam pimpinannya yang setiap
kali tidak akan turut berubah manakala ada pergeseran atau penggantian Kepala
Daerah dan/atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, maka menurut ketentuan dalam
pasal 61 telah ditentukan, bahwa Sekertaris Daerah itu diberi status pegawai
Daerah.
Syarat-syarat dan hak pengangkatannya ditentukan dan
dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat c.q. Menteri Dalam Negeri. Dalam hal
Sekretaris Daerah berhalangan menjalankan tugasnya, maka tugas Sekretaris
Daerah dilakukan oleh pejabat yang tunjuk oleh Kepala Daerah yang bersangkutan.
Pasal
64. Sudah cukup jelas.
Pasal
65 dan pasal 66.
Mengenai
ketentuan pasal 65 ayat (1) dikemukakan, bahwa berhubung dengan berlakunya Undang-undang
No. 18 tahun 1961 tersebut diatas, Daerah dalam menetapkan peraturan-peraturan
Daerah tentang hal kepegawaian Daerah harus mengikuti ketentuan-ketentuan pokok
yang ditetapkan dalam Undang-undang tersebut serta menyesuaikan
peraturan-peraturan Daerahnya dengan peraturan-peraturan pelaksanaan mengenai
hal pegawai Negeri yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat (prinsip konkordansi).
Pasal
67 sampai dengan pasal 72.
Sudah
cukup jelas. Untuk selanjutnya (Lihat penjelasan umum).
Pasal
73.
Keputusan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk mengadakan usaha-usaha yang mengakibatkan
tambahan beban Rakyat perlu mendapatkan pengesahan terlebih dahulu. Didalam
Menteri Dalam Negeri mengesahkan keputusan-keputusan semacam itu selalu akan
mendengarkan saran dan pendapat dari Menteri Iuran Negara dan/atau Menteri yang
lain, sepanjang apa yang akan diatur didalam keputusan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah tersebut menyangkut sesuatu bidang tertentu yang termasuk dalam tugas
bidang Menteri yang bersangkutan.
Pasal
74 dan pasal 75. Sudah cukup jelas. Untuk selanjutnya
(Lihat penjelasan umum).
Pasal
76.
Dalam
jangka panjang memang diharapkan agar Daerah itu dapat ber-swasembada dan
ber-swadaya menutup kebutuhan rumah tangganya sendiri, akan tetapi sekarang ini
Daerah baru dalam taraf memupuk kemampuan untuk dapat membiayai belanja
routine.
Pasal
86.
Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang, sekarang pada saat
mulai berlakunya Undang-undang ini menjadi Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah Istimewa Yogyakarta. Baginya tidak terikat jangka masa jabatan dimaksud
pasal 17 ayat (1) dan pasal 21 ayat (5), dengan pengertian bahwa bagi
pengangkatan Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah kemudian, berlaku ketentuan
proseduril menurut pasal 11 dan 12
Pasal
87 sampai dengan pasal 90. Tidak memerlukan penjelasan.
Mengetahui
: Sekretaris Negara,
MOHD.
ICHSAN.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar