UNDANG-UNDANG
NOMOR 1 TAHUN 1957[1]
TENTANG
POKOK POKOK PEMERINTAHAN DAERAH
Presiden
Republik Indonesia,
Menimbang:
a. bahwa berhubung dengan perkembangan ketata-negaraan maka
Undang-undang tentang Pokok Pemerintahan Daerah yang berhak mengurus rumah
tangganya sendiri, perlu diperbaharui sesuai dengan Negara Kesatuan;
b. bahwa pembaharuan itu perlu dilakukan dalam suatu Undang-undang
yang berlaku untuk seluruh Indonesia;
Mengingat
: Pasal-pasal 89, 131 jo. 132 Undang-Undang
Dasar Sementara;
dengan
persetujuan
Dewan
Perwakilan Rakyat;
MEMUTUSKAN:
I.
Mencabut:
- Undang-undang Republik Indonesia No.
22 tahun 1948
- Undang-undang Negara Indonesia Timur
No. 44 tahun 1950;
- Peraturan-perundangan lainnya
mengenai Pemerintahan Daerah yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri.
II. Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG POKOK-POKOK PEMERINTAHAN
DAERAH.
BAB
I : KETENTUAN UMUM
Pasal
1
(1) Yang dimaksud dengan Daerah dalam Undang-undang ini ialah
daerah yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri, yang disebut juga
"Daerah Swatantra" dan "Daerah Istimewa".
(2) Jika dalam Undang-undang ini disebut "setingkat lebih
atas" maka yang dimaksudkan ialah:
- Daerah tingkat ke I (termasuk Daerah
Istimewa tingkat I) bagi Daerah tingkat ke II (termasuk Daerah Istimewa
tingkat II), yang terletak dalam wilayah Daerah tingkat I itu;
- Daerah tingkat ke II (termasuk Daerah
Istimewa tingkat II) bagi Daerah tingkat ke III (termasuk Daerah Istimewa
tingkat III) yang terletak dalam wilayah Daerah tingkat II itu.
(3) Jika dalam Undang-undang ini di belakang perkataan "Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah" atau "Dewan Pemerintah Daerah" disebut
suatu "tingkat", maka dengan "tingkat" itu dimaksudkan
tingkat dari Daerah yang disebut dalam hubungan itu.
(4) Jika dalam Undang-undang ini di belakang perkataan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah atau Dewan Pemerintah Daerah tidak disebut sesuatu
penjelasan, maka yang dimaksud ialah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan
Pemerintah dari Daerah Swatantra dan Daerah Istimewa.
(5) Dalam Undang-undang ini dengan istilah keputusan dapat
diartikan juga peraturan.
BAB
II : PEMBAGIAN WILAYAH REPUBLIK INDONESIA
DALAM
DAERAH SWATANTRA
Pasal
2
(1) Wilayah Republik Indonesia dibagi dalam daerah besar dan kecil,
yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri, dan yang merupakan
sebanyak-banyaknya 3 (tiga) tingkat yang derajatnya dari atas ke bawah adalah
sebagai berikut:
a. Daerah tingkat ke I, termasuk Kotapraja Jakarta Raya,
b. Daerah tingkat ke II, termasuk Kotapraja, dan
c. Daerah tingkat ke III.
(2) Daerah Swapraja menurut pentingnya dan perkembangan masyarakat
dewasa ini, dapat ditetapkan sebagai Daerah Istimewa tingkat ke I,II atau III
atau Daerah Swatantra tingkat ke I, II atau III, yang berhak mengurus rumah
tangganya sendiri.
Pasal 3
Pembentukan
Daerah Swatantra, demikian pula Daerah Istimewa termaksud dalam Pasal 2, ayat
(2), termasuk perubahan wilayahnya kemudian, diatur dengan Undang-undang.
Pasal
4
(1) Yang dapat dibentuk sebagai Kotapraja adalah daerah yang
merupakan kelompok kediaman penduduk, dengan berpedoman kepada syarat penduduk
sejumlah sekurang-kurangnya 50.000 jiwa.
(2) Dalam Kotapraja, kecuali Kotapraja Jakarta Raya, tidak dibentuk
daerah Swatantra tingkat lebih rendah.
Bab
III : BENTUK DAN SUSUNAN PEMERINTAH DAERAH
BAGIAN
I KETENTUAN UMUM
Pasal
5
Pemerintah
Daerah terdiri daripada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintah
Daerah.
Pasal
6
(1) Kepala Daerah karena jabatannya adalah Ketua serta anggota
Dewan Pemerintah Daerah.
(2) Ketua dan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dipilih
oleh dan dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
(3) Wakil Ketua Dewan Pemerintah Daerah dipilih oleh dan dari,
anggota Dewan Pemerintah Daerah.
(4) Selama Ketua dan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
belum ada rapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dipimpin oleh seorang anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang tertua usianya.
BAGIAN
II : DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
Pasal
7
(1) Bagi tiap-tiap Daerah jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah ditetapkan dalam Undang-undang pembentukannya, dengan dasar perhitungan
jumlah penduduk yang harus mempunyai seorang anggota bagi masing-masing Daerah
sebagai berikut:
- bagi Daerah-daerah tingkat I
tiap-tiap 200,000 orang penduduk mempunyai seorang wakil dengan minimum 30
dan maksimum 75;
- bagi Daerah-daerah tingkat II
tiap-tiap 10.000 orang penduduk mempunyai seorang wakil dengan minimum 15
orang dan maksimum 35;
- bagi Daerah-daerah tingkat III
tiap-tiap 2000 orang penduduk mempunyai seorang wakil dengan minimum 10
dan maksimum 20.
(2) Perubahan jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut
ketentuan-ketentuan tersebut tersebut dalam ayat (1) sub a, b dan c ditetapkan
oleh Menteri Dalam Negeri.
(3) Keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah berlaku untuk masa
empat tahun.
(4) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang mengisi lowongan
keanggotaan antar atau, duduk dalam Dewan Perwakilan Rakyat Daerah itu hanya
untuk sisa masa empat tahun tersebut.
(5) Menyimpang daripada ketentuan tersebut dalam ayat 3,
anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang pertama meletakkan
keanggotaannya itu bersama-sama pada waktu yang ditentukan dalam Undang-undang
Pembentukan.
(6) Pemilihan dan penggantian anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah diatur dengan Undang-undang.
Pasal
8
Yang
dapat menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ialah warganegara Indonesia
yang:
a. telah berumur dua puluh tahun;
b. bertempat tinggal pokok di dalam wilayah yang bersangkutan
sedikitnya enam bulan yang terakhir;
c. cakap menulis dan membaca bahasa Indonesia dalam huruf Latin;
d. tidak kehilangan hak menguasai atau mengurus harta bendanya
karena keputusan pengadilan yang tidak dapat berobah lagi;
e. tidak dipecat dari hak memilih atau hak dipilih dengan
keputusan pengadilan yang tidak dapat dirobah lagi;
f.
tidak terganggu ingatannya.
Pasal
9
Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah boleh merangkap menjadi:
a. Presiden dan Wakil Presiden;
b. Perdana Menteri dan Menteri;
c. Ketua dan Anggota Dewan Pengawas Keuangan;
d. Anggota Dewan Pemerintah Daerah dan Ketua Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah yang tingkatnya lebih atas atau lebih rendah;
e. Kepala Dinas Daerah, Sekretaris Daerah dan pegawai yang
bertanggung-jawab tentang keuangan kepada Daerah yang bersangkutan.
Pasal
10
(1) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak boleh:
- menjadi adpokat, pokrol atau kuasa
dalam perkara hukum, dalam mana Daerah itu tersangkut;
- ikut serta dalam pemungutan suara
mengenai penetapan atau pengusahaan dari perhitungan yang dibuat oleh
suatu badan dalam mana ia duduk sebagai anggota pengurusannya, kecuali
apabila hal ini mengenai perhitungan anggaran keruangan Daerah yang
bersangkutan;
- langsung atau tidak langsung turut
serta dalam ataupun menjadi penanggung untuk sesuatu usaha
menyelenggarakan pekerjaan umum, pengangkutan atau berlaku sebagai rekanan
(leverancier), guna kepentingan daerah;
- melakukan pekerjaan-pekerjaan lain
yang mendatangkan keuntungan baginya atau merugikan bagi Daerah dalam
hal-hal yang berhubungan langsung dengan Daerah yang bersangkutan,
(2) Terhadap larangan-larangan tersebut dalam ayat (1) Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dapat memberikan pengecualian apabila kepentingan
Daerah memerlukannya.
(3) Anggota yang melanggar caranya tersebut dalam ayat (1) setelah
diberi kesempatan untuk mempertahankan diri dengan lisan atau tulisan, dapat
diberhentikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan sebelum itu dapat
diberhentikan sementara oleh Dewan Pemerintah Daerah yang bersangkutan.
(4) Terhadap putusan pemberhentian dan pemberhentian sementara
tersebut dalam ayat (3), anggota yang bersangkutan dalam waktu satu bulan
sesudah menerima putusan itu, dapat minta ketentuan Dewan Pemerintah Daerah
yang setingkat lebih atas, atau bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
tingkat ke I, dari Presiden.
Pasal
11
(1) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah berhenti karena anggota
itu meninggal dunia, atau dapat diberhentikan, karena anggota itu:
- memajukan permintaan berhenti sebagai
anggota;
- tidak mempunyai lagi sesuatu syarat
seperti tersebut dalam Pasal 8 dan 9;
- melanggar suatu peraturan yang khusus
ditetapkan bagi anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, kecuali
yang termaksud dalam Pasal 10.
(2) Keputusan mengenai pengurangan keanggotaan termaksud dalam ayat
(1) bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tingkat ke I diambil oleh
Menteri Dalam Negeri di atas usul Dewan Pemerintah Daerah dari Daerah yang
bersangkutan dan bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di bawahnya oleh
Dewan Pemerintah Daerah setingkat lebih atas, atas usul Dewan Pemerintah Daerah
yang bersangkutan.
(3) Atas keputusan Dewan Pemerintah Daerah termaksud dalam ayat (2)
kecuali mengenai hal tersebut dalam ayat (1) sub a, anggota yang bersangkutan
dalam waktu satu bulan sesudah menerima putusan itu berhak meminta putusan
dalam bandingan kepada Presiden mengenai keputusan Dewan Pemerintah Daerah
tingkat ke I dan kepada Dewan Pemerintah Daerah tingkat ke I mengenai keputusan
Dewan Pemerintah Daerah tingkat ke II.
Pasal
12
(1) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menerima uang sidang,
uang jalan dan uang penginapan menurut peraturan yang ditetapkan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.
(2) Dengan tidak mengurangi ketentuan dalam ayat (1) kepada Ketua/Wakil
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat diberikan uang kehormatan menurut
peraturan yang ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
(3) Peraturan tersebut dalam ayat (1) dan (2) harus disahkan lebih
dahulu oleh Menteri Dalam Negeri bagi Daerah tingkat ke I, dan oleh Dewan
Pemerintah Daerah dari Daerah yang setingkat lebih atas bagi lain-lain Daerah.
(4) Dalam Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan peraturan umum
mengenai hal tersebut dalam ayat (1) dan (20)
Pasal
13
(1) Sebelum memangku jabatannya anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah mengangkat sumpah (janji) di dalam rapat pertama Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, dihadapan Menteri Dalam Negeri atau seorang yang ditunjuk olehnya yang
memimpin rapat itu, menurut cara agamanya.
(2) Pengangkatan sumpah (janji) dari anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah, yang antara waktu mengisi lowongan keanggotaan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah sebagai dimaksud dalam pasal 7 ayat (4), dilakukan dihadapan
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
(3) Susunan kata-kata sumpah atau janji yang dimaksud dalam ayat
(1) dan (2) adalah sebagai berikut: "Saya bersumpah (menerangkan) bahwa
saya untuk dipilih menjadi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, langsung
atau tidak langsung, dengan nama atau dalih apapun, tiada memberikan atau
menjanjikan ataupun akan memberikan sesuatu kepada siapapun juga. Saya
bersumpah (berjanji) bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu
dalam jabatan ini, tiada sekali-kali akan menerima, langsung ataupun tak langsung,
dari siapapun juga sesuatu janji atau pemberian. Saya bersumpah (berjanji),
bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah ... dengan sebaik-baiknya dan sejujur-jujurnya, bahwa saya akan membantu
memelihara segala peraturan yang berlaku bagi Republik Indonesia dan akan
berusaha dengan sekuat tenaga memajukan kesejahteraan Daerah ... Saya bersumpah
(berjanji) bahwa saya akan setia kepada Negara Republik Indonesia dan
senantiasa menjunjung tinggi kehormatan Negara dan Daerah".
(4) Pada waktu pengangkatan sumpah atau janji semua orang yang
hadir pada rapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah harus berdiri; Menteri Dalam
Negeri atau orang yang ditunjuk olehnya dalam hal termaksud dalam ayat (1) atau
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam hal termaksud dalam ayat (2)
berusaha supaya segala sesuatu dilakukan dalam suasana hikmat.
BAGIAN
III : SIDANG DAN RAPAT DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
Pasal
14
(1) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bersidang atau berapat atas
panggilan Ketuanya. Atas permintaan sekurang-kurangnya seperlima dari jumlah
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau atas permintaan Dewan Pemerintah
Daerah, maka Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah wajib memanggil Dewan itu
untuk bersidang atau berapat dalam satu bulan sesudah permintaan itu
diterimanya,
(2) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bersidang sekurang-kurangnya
sekali dalam tiga bulan.
(3) Semua yang hadir pada rapat tertutup berkewajiban merahasiakan
segala hal yang dibicarakan dalam rapat itu.
(4) Kewajiban merahasiakan seperti tersebut dalam ayat (3)
berlangsung terus, baik bagi anggota-anggota maupun
pegawai-pegawai/pekerja-pekerja yang mengetahui hal-hal yang dibicarakan itu
dengan jalan lain atau dari surat-surat yang mengenai hal itu sampai Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah membebaskan mereka dari kewajiban tersebut.
Pasal
15
(1) Rapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terbuka untuk umum,
kecuali jika Ketua menimbang perlu ditutup ataupun sekurang-kurangnya lima
anggota menuntut hal itu.
(2) Sesudah pintu ditutup rapat memutuskan apakah permusyawaratan
dilakukan dengan pintu tertutup.
(3) Tentang hal yang dibicarakan dalam rapat tertutup, dapat
diambil keputusan dengan pintu tertutup, kecuali tentang.
- anggaran belanja, perhitungan
anggaran belanja dan perobahan anggaran-belanja.
- penetapan, perobahan dan penghapusan
pajak.
- mengadakan pinjaman uang.
- kedudukan harta benda dan hak-hak
Daerah
- melaksanakan pekerjaan-pekerjaan,
penyerahan-penyerahan barang dan pengangkutan tanpa mengadakan penawaran
umum.
- penghapusan tagihan-tagihan sebagian
atau seluruhnya.
- mengadakan persetujuan penyelesaian
perkara perdata secara damai (dading)
- penerimaan anggota baru.
- mengadakan usaha-usaha yang dapat
merugikan atau mengurangi kepentingan umum.
- penjualan barang-barang dan hak-hak
ataupun pembebanannya, penyewaannya, pengepahannya peminjamannya untuk
dipakai, baik untuk selutuhnya maupun untuk sebahagiannya.
Pasal
16
Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah membuat peraturan tata-tertib, yang tidak dapat
berlaku sebelum disahkan oleh Menteri Dalam Negeri bagi Daerah Swatantra
Tingkat I dan oleh Dewan Pemerintah Daerah setingkat lebih atas bagi lain-lain
Daerah.
Pasal
17
(1) Rapat baru sah dan dapat mengambil sesuatu putusan, jikalau
jumlah anggota yang hadir lebih dari separoh jumlah anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah sebagai yang ditetapkan dalam peraturan pembentukannya. Quorum
itu dianggap selalu ada selama rapat itu, kecuali jika pada waktu diadakan
pemungutan suara ternyata sebaliknya.
(2) Sesuatu putusan rapat adalah sah, jika diambil dengan suara
terbanyak oleh anggota yang hadir pada saat pemungutan suara itu.
(3) Bila dalam pemungutan suara jumlah suara ternyata sama, maka
pemungutan suara yang kedua kalinya diadakan dalam rapat pertama berikutnya.
Bila jumlah suara masih juga sama maka usul yang bersangkutan dinyatakan tidak
diterima.
(4) Pemungutan suara yang mengenai diri orang harus dilakukan
dengan tertulis di atas kertas dengan tidak dibubuhi tanda tangan. Bila jumlah
suara ternyata sama, maka diadakan pemungutan suara yang kedua kalinya. Bila
jumlah suara ternyata msih sama, maka diadakan undian dan undian itulah yang
memutuskan.
Pasal
18
Ketua,
Wakil Ketua dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak dapat dituntut
karena pembicaraannya di dalam rapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau karena
tulisannya yang sampai kepada rapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, kecuali
jika mereka dengan itu mengumumkan apa yang di katakan atau yang dikemukakan
dalam rapat tertutup dengan syarat supaya dirahasiakan.
BAGIAN
IV : DEWAN PEMERINTAH DAERAH
Pasal
19
(1) Anggota-anggota Dewan Pemerintah Daerah dipilih oleh dan dari
anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atas dasar perwakilan
berimbang.
(2) Ketua dan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak
boleh mejadi anggota Dewan Pemerintah Daerah.
(3) Jumlah anggota Dewan Pemerintah Daerah ditetapkan dalam
peraturan pembentukan.
(4) Dalam Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan peraturan umum
mengenai cara menyelenggarakan dasar perwakilan berimbang termaksud dalam ayat
(1).
Pasal
20
(1) Anggota Dewan Pemerintah Daerah dipilih untuk suatu masa
pemilihan Dewan Perwakilan rakyat Daerah, kecuali jika ia berhenti, baik atas
kemauan sendiri atau karena meninggal dunia, maupun karena sesuatu keputusan
berdasarkan ketentuan-ketentuan Pasal 10 dan 11 ataupun karena sesuatu
keputusan lain dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan.
(2) Jika berhubung dengan apa yang tersebut dalam ayat (1) timbul
lowongan keanggotaan Dewan Pemerintah Daerah, maka anggota baru yang dipilih untuk
mengisi lowongan itu duduk dalam Dewan Pemerintah Daerah hanya untuk sisa masa
tersebut dalam ayat (1).
(3) Barang siapa berhenti sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah ia dengan sendirinya berhenti sebagai anggota Dewan Pemerintah Daerah.
Pasal
21
(1) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah membuat pedoman untuk Dewan
Pemerintah Daerah guna mengatur cara menjalankan kekuasaan dan kewajibannya.
(2) Pedoman tersebut dalam ayat (1) tidak dapat berlaku sebelum
disahkan oleh Menteri Dalam Negeri bagi Daerah tingkat ke I dan oleh Dewan
Pemerintahan Daerah setingkat lebih atas dari Daerah yang bersangkutan bagi
lain-lain Daerah.
(3) Dewan Pemerintah Daerah menetapkan peraturan tata-tertib untuk
rapat-rapatnya, yang baru dapat berlaku setelah disahkan oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah.
Pasal
22
(1) Anggota Dewan Pemerintah Daerah menerima uang kehormatan, uang
jalan dan uang penginapan menurut peraturan yang ditetapkan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.
(2) Peraturan tersebut dalam ayat (1) tidak dapat berlaku sebelum
disahkan oleh Menteri Dalam Negeri bagi Daerah tingkat ke I dan oleh Dewan
Pemerintah Daerah setingkat lebih atas dari Daerah yang bersangkutan bagi
lain-lain Daerah.
(3) Dalam Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan peraturan umum hal
tersebut dalam ayat (1).
BAGIAN
V : KEPALA DAERAH
Pasal
23
(1) Kepala Daerah dipilih menurut aturan yang ditetapkan dengan
Undang-undang.
(2) Cara pengangkatan dan pemberhentian Kepala Daerah ditetapkan
dengan Undang-undang.
Pasal
24
(1) Sebelum Undang-undang tersebut dalam Pasal 23 ayat (1) ada,
untuk sementara waktu Kepala Daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, dengan memperhatikan syarat-syarat kecakapan dan pengetahuan yang
diperlukan bagi jabatan tersebut menurut ketentuan-ketentuan tersebut dalam
ayat (2) sampai dengan 7.
(2) Hasil pemilihan Kepala Daerah dimaksud dalam ayat (1)
memerlukan pengesahan lebih dahulu dari.
a.Presidan apabila mengenai Kepala Daerah dari tingkat ke I.
b.Menteri Dalam Negeri atau penguasa yang ditunjuk olehnya
apabila mengenai Kepala Daerah dari tingkat ke II dan ke III.
(3) Kepala Daerah dipilih untuk satu masa pemilihan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah atau bagi mereka yang dipilih antar waktu guna mengisi
lowongan Kepala Daerah, untuk sisa masa pemilihan tersebut.
(4) Dengan Peraturan Pemerintah ditetapkan peraturan umum mengenai
syarat-syarat kecakapan dan pengetahuan seperti tersebut dalam ayat (1) dan
cara pemilihan serta pengesahan Kepala Daerah.
(5) Kepala Daerah berhenti dari jabatannya, karena.
a. meninggal dunia,
b. masa pemilihan seperti dimaksud dalam ayat (3) berakhir.
c. permintaan sendiri;
d. keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang memperhentikannya
sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
(6) Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan seperti dimaksud
dalam ayat (5) di atas, Kepala Daerah juga berhenti dari jabatannya karena
keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang:
a. memperhentikannya sebagai Kepala Daerah.
b. memperhentikan Dewan Pemerintah Daerah.
(7) Pemberhentian Kepala Daerah termaksud dalam ayat (5) sub e dan
d dan ayat (6) memerlukan pengesahan dari penguasa yang berwajib seperti di
maksud dalam ayat (2).
Pasal
25
(1) Kepala Daerah Istimewa diangkat dari calon yang diajukan oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah
itu dijaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih menguasai daerahnya,
dengan memperhatikan syarat-syarat kecakapan, kejujuran, kesetiaan serta adat
istiadat dalam daerah itu, dan diangkat dan diberhentikan oleh:
- Presiden bagi Daerah Istimewa tingkat
I.
- Menteri Dalam Negeri atau penguasa
yang ditunjuk olehnya bagi Daerah Istimewa tingkat II dan III.
(2) Untuk Daerah Istimewa dapat diangkat dari calon yang diajukan
oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah seorang Wakil Kepala Daerah Istimewa yang
diangkat dan diberhentikan oleh penguasa yang mengangkat/memberhentikan Kepala
Daerah Istimewa, dengan memperhatikan syarat-syarat tersebut dalam ayat (1).
(3) Kepala dan Wakil Kepala Daerah Istimewa karena jabatannya
adalah berturut-turut menjadi Ketua serta anggota dan Wakil Ketua serta anggota
dari Dewan Pemerintah Daerah.
Pasal
26
(1) Apabila Kepala Daerah berhalangan atau berhenti dari jabatannya,
maka ia diwakili oleh Wakil Ketua Dewan Pemerintah Daerah.
(2) Apabila dalam hal yang dimaksud dalam ayat (1) Wakil Ketua
Dewan Pemerintah Daerah juga berhalangan atau berhenti dari jabatannya, maka ia
diwakili oleh anggota yang tertua suianya dari Dewan Pemerintah Daerah itu.
(3) Apabila Dewan Pemerintah Daerah itu berhenti karena suatu
keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah seperti dimaksud dalam Pasal 20 ayat
(1), maka untuk sementara waktu tugas Dewan Pemerintah Daerah itu dijalankan
oleh Ketua/Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Pasal
27
(1) Apabila Kepala Daerah Istimewa berhalangan atau berhenti dari
jabatannya, maka ia diwakili oleh Wakil Kepala Daerah Istimewa.
(2) Apabila Wakil Kepala Daerah Istimewa termaksud dalam ayat (1)
itu berhalangan atau berhenti dari jabatannya, maka ia diwakili oleh seorang
anggota Dewan Pemerintah Daerah yang dipilih oleh dan dari anggota Dewan
Pemerintah Daerah.
(3) Apabila dalam Daerah Istimewa tidak diangkat Wakil Kepala
Daerah Istimewa termaksud dalam Pasal 25 ayat (2), maka kepala Daerah Istimewa,
apabila ia berhalangan atau berhenti dari jabatannya, diwakili oleh Wakil ketua
Dewan Pemerintah Daerah yang dipilih oleh dan dari anggota-anggota Dewan
Pemerintah Daerah.
(4) Apabila Dewan Pemerintah Daerah itu berhenti, karena suatu
keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah seperti dimaksud dalam Pasal 20 ayat
1, maka untuk sementara waktu tugas Dewan Pemerintah Daerah dijalankan oleh Kepala
Daerah Istimewa.
Pasal
28
(1) Kepala Daerah menerima gaji, uang jalan dan uang penginapan
serta segala penghasilan lainnya yang sah yang bersangkutan dengan jabatannya,
menurut peraturan yang ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dalam
peraturan tersebut dapat diatur hal-hal mengenai kedudukan hukum dari Kepala
Daerah.
(2) Peraturan tersebut dalam ayat (1) tidak dapat berlaku sebelum
disahkan oleh Menteri Dalam Negeri bagi Daerah tingkat ke I dan oleh Dewan
Pemerintah Daerah setingkat lebih atas dari Daerah yang bersangkutan bagi
lain-lain Daerah.
(3) Dalam Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan peraturan umum
mengenai hal-hal tersebut dalam ayat (1).
Pasal
29
Kepala
dan Wakil Kepala Daerah Istimewa menerima gaji, uang jalan dan uang penginapan
serta segala penghasilan lainnya yang sah yang bersangkutan dengan jabatannya,
menurut peraturan yang ditetapakan oleh Pemerintah. Dalam peraturan tersebut
dapat diatur hal-hal lain mengenai kedudukan hukum dari Kepala dan Wakil Kepala
Daerah Istimewa.
Pasal
30
(1) Sebelum memangku jabatannya Kepala Daerah mengangkat sumpah
(janji) di hadapan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam suatu sidan
menurut cara agamanya dan disaksikan oleh Wakil Pemerintah Pusat.
(2) Kepala dan Wakil Kepala Daerah Istimewa, sebelum memangku
jabatannya mengangkat sumpah (janji) dalam suatu sidang Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah di hadapan pejabat yang ditunjuk oleh Pemerintah Pusat.
(3) Susunan kata-kata sumpah atau janji yang dimaksud dalam ayat
(1) adalah sebagai berikut: "Saya bersumpah (menerangkan), bahwa saya
untuk dipilih menjadi Kepala Daerah, langsung atau tak langsung, dengan nama
atau dalih apapun, tiada memberikan atau menjanjikan ataupun akan memberikan
sesuatau kepada siapapun juga. Saya bersumpah (berjanji) bahwa saya, untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tiada sekali-kali
akan menerima langsung ataupun tak langsung dari siapapun juga sesuatu janji
atau pemberian. Saya bersumpah (berjanji), bahwa saya akan memenuhi kewajiban
saya sebagai Kepala Daerah ... dengan sebaik-baiknya dan sejujur-jujurnya,
bahwa saya akan membantu memelihara segala peraturan yang berlaku bagi Republik
Indonesia dan akan berusaha dengan sekuat tenaga memajukan kesejahteraan
Daerah... "Saya bersumpah (berjanji) bahwa saya akan setia kepada Negara
Republik Indonesia dan akan senantiasa menjunjung tinggi kehormatan Negara dan
Daerah".
(4) Susunan kata-kata sumpah atau janji yang dimaksud dalam ayat
(2) adalah sebagai berikut: "Saya bersumpah (berjanji), bahwa saya akan
memenuhi kewajiban saya sebagai Kepala Daerah Istimewa ... dengan
sebaik-baiknya dan sejujur-jujurnya, bahwa saya akan membantu memelihara segala
peraturan yang berlaku bagi Republik Indonesia dan akan berusaha dengan sekuat
tenaga memajukan kesejahteraan Daerah ... Saya bersumpah (berjanji) bahwa saya
akan setia kepada Negara Republik Indonesia dan akan senantiasa menjunjung
tinggi kehormatan Negara dan Daerah".
BAB
IV : KEKUASAAN, TUGAS DAN KEWAJIBAN PEMERINTAH DAERAH
BAGIAN
I : DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
I
Ketentuan umum
Pasal
31
(1) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengatur dan mengurus segala urusan
rumah tangga Daerahnya kecuali urusan yang oleh undang-undang ini diserahkan
kepada penguasa lain.
(2) Dengan tidak mengurangi ketentuan termaksud dalam ayat (1) di
atas, dalam peraturan pembentukan ditetapkan urusan-urusan tertentu yang diatur
dan diurus oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sejak saat pembentukannya itu.
(3) Dengan peraturan Pemerintah tiap-tiap waktu, dengan
memperhatikan kesanggupan dan kemampuan dari masing-masing Daerah, atas usul
dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan dan sepanjang mengenai
daerah tingkat II dan III setelah minta pertimbangan dari Dewan Pemerintah
Daerah dari daerah setingkat di atasnya, urusan-urusan tersebut dalam ayat (2)
ditambah dengan urusan-urusan lain.
(4) Dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam undang-undang
ini Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan Peraturan Daerah dapat menyerahkan
untuk diatur dan diurus urusan-urusan rumah tangga Daerahnya kepada Daerah
tingkat bawahannya, peraturan itu untuk dapat berlaku harus disahkan lebih
dahulu oleh Menteri Dalam Negeri bagi Daerah tingkat ke I dan oleh Dewan
Pemerintah Daerah setingkat lebih atas bagi Daerah-daerah lainnya.
Pasal
32
Dalam
peraturan pembentukan atau berdasarkan atas atau dengan peraturan undang-undang
lainnya kepada Pemerintah Daerah dapat ditugaskan pembantuan dalam hal
menjalankan peraturan-peraturan perundangan tersebut.
Pasal
33
Dengan
Peraturan Daerah dapat ditugaskan kepada Pemerintah Daerah dari daerah tingkat
bawahan untuk memberi pembantuan dalam hal menjalankan peraturan daerah.
Pasal
34
Jika
dalam peraturan perundangan tersebut dalam Pasal 32 dan 33 tidak dinyatakan,
bahwa tugas pembantuan yang dimaksud itu diserahkan kepada Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah, maka tugas itu dijalankan oleh Dewan Pemerintah Daerah.
Pasal
35
Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dapat membela kepentingan Daerah dan penduduknya ke
hadapan Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
dapat membela kepentingan Daerah dan penduduknya ke hadapan Dewan Pemerintah
Daerah dan/ atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Indonesia.
2
Peraturan Daerah
Pasal
36
(1)
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk
kepentingan Daerah atau untuk kepentingan pekerjaan tersebut dalam Bab IV § I
dapat membuat peraturan-peraturan, yang disebut "Peraturan Daerah"
dengan ditambah nama Daerah. Peraturan Daerah harus ditandatangani oleh Ketua
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
(2)
Dalam Peraturan Pemerintah dapat diadakan
ketentuan-ketentuan tentang bentuk Peraturan Daerah.
Pasal
37
(1) Pengundangan Peraturan Daerah yang merupakan syarat tunggal
untuk kekuatan mengikat, dilakukan oleh Kepala Daerah dengan menempatkannya
dalam.
a. Lembaran Daerah tingkat ke I bagi Peraturan Daerah tingkat ke I
tersebut dan Daerah-daerah tingkat bawahannya.
b. Lembaran Kotapraja Jakarta Raya bagi Peraturan Daerah Kotapraja
tersebut. Jika tidak ada lembaran-lembaran tersebut dalam sub a dan b maka
pengundangan Peraturan Daerah itu dilakukan menurut cara lain yang ditentukan
dalam Peraturan Pemerintah.
(2) Peraturan Daerah mulai berlaku pada hari yang ditentukan dalam
peraturan tersebut atau jika ketentuan ini tidak ada peraturan Daerah mulai
berlaku pada hari ke 30 sesudah hari pengundangannya termaksud dalam ayat (1)
(3) Peraturan Daerah yang tidak boleh berlaku sebelum disahkan oleh
penguasa yang berkewajiban, tidak diundangkan sebelum pengesahan itu diberikan
ataupun jangka waktu tersebut dalam Pasal 63 berakhir.
Pasal
38
(1) Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan
peraturan-perundangan yang lebih tinggi tingkatnya atau dengan kepentingan
umum.
(2) Peraturan Daerah tidak boleh mengatur pokok-pokok dan hal-hal
yang telah diatur dalam peraturan-perundangan yang lebih tinggi tingkatnya.
(3) Sesuatu Peraturan Daerah dengan sendirinya tidak berlaku lagi
jika pokok-pokok yang diaturnya kemudian, diatur dalam peraturan perundangan
yang lebih tinggi tingkatannya.
(4) Jika dalam suatu peraturan-perundangan yang lebih tinggi
tingkatnya itu hanya diatur hal-hal yang telah diatur dalam sesuatu Peraturan
Daerah, maka Peraturan Daerah ini hanya tidak berlaku lagi sekedar mengenai
hal-hal itu.
Pasal
39
(1) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat menetapkan hukuman
kurungan selama-lamanya enam bulan atau denda sebanyak-banyaknya, Rp. 5000,-
(lima ribu rupiah) terhadap pelanggaran peraturan-peraturannya, dengan atau
tidak dengan merampas barang-barang tertentu, kecuali jikalau dengan
undang-undang atau Peraturan Pemerintah ditentukan lain.
(2) Dalam hal pelanggaran ulangan (recidive) perbuatan pidana dimaksud
dalam ayat (1) dalam waktu tidak lebih dari satu tahun sejak penghukum
pelanggaran pertama tidak dapat diubah lagi, maka dapat diancamkan
hukuman-hukuman sampai dua kali maksimum dari hukuman yang termaksud dalam ayat
(1).
(3) Perbuatan pidana sebagai dimaksud dalam ayat 1 adalah
pelanggaran.
(4) Peraturan Daerah yang memuat peraturan pidana tidak dapat
berlaku sebelum disahkan oleh Menteri Dalam Negeri bagi Peraturan Daerah
tingkat ke I dan oleh Dewan Pemerintah Daerah setingkat lebih atas bagi
Peraturan Daerah lainnya.
Pasal
40
Dengan
Peraturan Daerah yang ditunjuk pegawai-pegawai Daerah yang diberi tugas untuk
mengusut pelanggaran ketentuan-ketentuan dari Peraturan Daerah yang dimaksud
dalam Pasal 39.
Pasal
41
Dimana
pelaksanaaan Keputusan Daerah memerlukan bantuan alat kekuasaan maka dalam
Peraturan Daerah dapat ditetapkan, bahwa segala biaya untuk bantuan itu dapat
dibebankan kepada pelanggar.
3.
Kerja sama antara Pemerintah-pemerintah Daerah
Pasal
42
(1) Pemerintah Daerah dari beberapa Daerah dapat bersama-sama
mengatur dan mengurus kepentingan bersama.
(2) Keputusan bersama mengenai hal yang dimaksud dalam ayat (1),
demikian juga tentang perubahan dan pencabutannya, harus disahkan lebih dahulu
oleh Menteri Dalam Negeri bagi Daerah tingkat ke I dan oleh Dewan Pemerintah
Daerah setingkat lebih atas bagi lain-lain Daerah.
(3) Bila tidak terdapat kata sepakat tentang perubahan atau
pencabutan peraturan tersebut dalam ayat (1), maka Menteri Dalam Negeri atau
Dewan Pemerintah Daerah tersebut dalam ayat (2) yang memutuskan.
4
Panitia-panitia
Pasal
43
Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dapat membentuk Panitia-panitia yang terdiri dari
anggota-anggotanya, untuk menjalankan pekerjaan guna melancarkan tugasnya.
BAGIAN
II : DEWAN PEMERINTAH DAERAH
Pasal
44
(1) Dewan Pemerintah Daerah menjalankan keputusan-keputusan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.
(2) Pimpinan sehari-hari Pemerintahan Daerah dijalankan oleh Dewan
Pemerintah Daerah.
Pasal
45
Dalam
Peraturan Daerah Dewan Pemerintah Daerah dapat diserahi tugas untuk menetapkan
peraturan-peraturan penyelenggaraaan dari Peraturan Daerah itu.
Pasal
46
Keputusan
Dewan Pemerintah Daerah ditandatangani oleh Ketua Dewan Pemerintah Daerah.
Pasal
47
Dewan
Pemerintah Daerah menyiapkan dengan sebaik-baiknya segala sesuatu yang harus
dipertimbangkan dan diputus oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sepanjang
persiapan itu oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak ditugaskan kepada badan
lain.
Pasal
48
Dalam
menjalankan tugasnya tentang hal-hal yang tersebut dalam Pasal 44 ataupun Pasal
45, anggota-anggota Dewan Pemerintah Daerah bersama-sama bertanggung jawab
kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan wajib memberi keterangan-keterangan
yang diminta oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Pasal
49
Dewan
Pemerintah Daerah mewakili Daerahnya di dalam dan di luar pengadilan. Dalam
hal-hal yang dipandang perlu Dewan Pemerintah Daerah dapat menunjuk seorang
kuasa untuk menggantinya.
BAGIAN
III : MELALAIKAN ATAU TIDAK MENJALANKAN TUGAS KEWAJIBAN
Pasal
50
(1) Jika Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ternyata melalaikan
mengurus rumah tangganya, sehingga merugikan Daerah itu atau merugikan Negara,
maka Pemerintah dengan Peraturan Pemerintah menentukan cara bagaimana Daerah
itu harus diurus menyimpang dari Pasal 31.
(2) Jika Pemerintah Daerah ternyata tidak menjalankan hal-hal yang
termaksud dalam Pasal 32, maka oleh Pemerintah dengan Peraturan Pemerintah
ditunjuk alat-alat Pemerintah, yang harus menjalankan hal-hal itu atas biaya
Daerah yang bersangkutan.
(3) Jika hal seperti tersebut dalam ayat 2 terjadi terhadap
penyelenggaraan tugas termaksud dalam Pasal 33, maka penunjukan dilakukan
dengan Peraturan Daerah oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang memberikan
tugas itu.
(4) Jika hal seperti tersebut dalam ayat (1) terjadi, maka sambil
menunggu ditetapkannya Peraturan Pemerintah termaksud dalam ayat (1) hak,
tugas, dan kewajiban Pemerintah Daerah untuk sementara itu dijalankan oleh
Kepala Daerah yang bersangkutan.
BAB
V : SEKRETARIS DAN PEGAWAI DAERAH
BAGIAN
I : KETENTUAN UMUM
Pasal
51
Semua pegawai
Daerah, begitu pula pegawai Negara dan pegawai sesuatu Daerah lainnya yang
diperbantukan kepada Daerah, berada di bawah pimpinan Dewan Pemerintah Daerah.
Bagian
II Sekretaris Daerah
Pasal
52
(1) Sekretaris Daerah adalah pegawai Daerah yang diangkat dan
diperhentikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atas usul Dewan Pemerintah
Daerah dengan mengingat syarat-syarat tersebut dalam Pasal 53 ayat (1).
(2) Sekretaris Daerah adalah Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah dan Dewan Pemerintah Daerah.
(3) Apabila Sekretaris Daerah berhalangan atau berhenti dari
jabatannya, Dewan Pemerintah Daerah menunjuk seorang pegawai lain dari Daerah
itu untuk mewakilinya.
BAGIAN
III : PEGAWAI DAERAH
Pasal
53
(1) Pengetahuan tentang pengangkatan, pemberhentian, pemberhentian
sementara, gaji, pensiun, uang tunggu dan hal-hal sebagainya mengenai kedudukan
hukum pegawai Daerah ditetapkan dalam Peraturan Daerah, sedapat- dapatnya
disesuaikan dengan peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh Pemerintah terhadap
pegawai Negara.
(2) Peraturan Daerah tersebut dalam ayat (1) tidak dapat berlaku
sebelum disahkan oleh Menteri Dalam Negeri bagi Daerah tingkat ke I dan oleh
Dewan Pemerintah Daerah setingkat lebih atas bagi Daerah lain-lainnya.
Pasal
54
(1) Cara dan syarat-syarat menetapkan pekerjaan pegawai Negara yang
diperbantukan kepada Daerah diatur dalam Peraturan Pemerintah, sedangkan bagi
pegawai Daerah yang diperbantukan kepada Daerah lainnya dalam Peraturan Daerah
dari Daerah yang memperbantukan pegawainya itu.
(2) Pegawai Negara atau pegawai Daerah yang diperbantukan kepada
Daerah digaji dari keuangan Daerah yang, menerima pegawai itu, kecuali apabila
dalam Peraturan Pemerintah tersebut dalam Ayat (1) ditetapkan lain.
(3) Iuran pensiun pegawai serta jandanya dan iuran untuk tunjangan
anak-anaknya bagi pegawai Negara atau bagi pegawai Daerah yang diperbantukan,
dipungut dari gajinya dan dimasukkan dalam kas Negara atau kas Daerah yang
bersangkutan.
Pasal
55
(1) Atas permintaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dengan
keputusan Menteri atau penguasa yang ditunjuk olehnya, dapat dipekerjakan
pegawai dalam lingkungan Kementeriannya untuk melakukan urusan-urusan tertentu
bagi kepentingan Daerah yang bersangkutan.
(2) Dalam hal tersebut, dalam ayat (1), syarat-syarat dan hubungan
kerja antara pegawai yang bersangkutan dengan alat-alat pemerintahan Daerah,
sepanjang diperlukan diatur dalam keputusan termaksud dalam ayat itu.
BAB
VI : KEUANGAN DAERAH
BAGIAN
I : KETENTUAN UMUM
Pasal
56
(1) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah berhak mengadakan pajak Daerah.
dan retribusi Daerah.
(2) Dalam undang-undang ditetapkan peraturan umum tentang pajak
Daerah dan retribusi Daerah.
(3) Peraturan daerah yang mengadakan, merobah dan meniadakan pajak
Daerah dan retribusi Daerah, tidak dapat berlaku sebelum disahkan oleh penguasa
dan menurut cara yang ditetapkan dalam undang-undang seperti dimaksud dalam
ayat (2).
Pasal
57
Dengan
Undang-undang kepada Daerah dapat diserahkan pajak Negara.
Pasal
58
(1) Kepada Daerah dapat diberikan.
a. penerimaan-penerimaan pajak Negara untuk sebagian atau
seluruhnya. dan
b. ganjaran, subsidi dan sumbangan.
(2) Pemberian penghasilan termaksud dalam ayat (1) di atas diatur
dalam Undang-undang.
Pasal
59
(1) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah berhak mengadakan perusahaan
Daerah.
(2) Dalam Peraturan Pemerintah ditetapkan peraturan umum tentang
mengadakan perusahaan Daerah.
BAGIAN
II : PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH
Pasal
60
(1)
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah memegang
semua kekuasaan mengenai pengelolaan umum keuangan Daerah, yang tidak dengan
peraturan Undang-undang diserahkan kepada penguasa lain.
(2)
Dalam Peraturan Pemerintah ditetapkan
hal-hal mengenai.
a. mengadakan pinjaman uang atau menjadi penanggung dalam
peminjaman uang untuk kepentingan Daerah.
b. penjualan barang-barang dan hak-hak ataupun pembebanannya,
penyewaannya, pengepahannya atau peminjamannya untuk dipakai, baik untuk
seluruhnya maupun untuk sebahagiannya.
c. melaksanakan pekerjaan-pekerjaan, penyerahan-penyerahan barang
dan pengangkutan-pengangkutan, tanpa mengadakan penawaran umum.
d. penghapusan tagihan-tagihan sebagian atau seluruhnya.
e. mengadakan persetujuan penyelesaian perkara perdata secara
damai, dan lain-lain hal yang berhubungan dengan pengeluaran keuangan Daerah.
BAGIAN
III : ANGGARAN KEUANGAN DAERAH
Pasal
61
(1) Untuk pertama kalinya anggaran keuangan Daerah ditetapkan bagi
Daerah tingkat ke I dan ke II dengan Undang-undang, bagi Daerah tingkat ke III
dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Untuk selanjutnya anggaran keuangan Daerah ditetapkan oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
(3) Anggaran keuangan Daerah yang dimaksud dalam ayat (2), tidak
dapat berlaku sebelum disahkan oleh Menteri Dalam Negeri bagi Daerah tingkat ke
I dan oleh Dewan Pemerintah Daerah setingkat lebih atas bagi Daerah lainnya.
(4) Tiap-tiap perubahan dalam anggaran keuangan Daerah seperti
dimaksud dalam ayat (1) dan (2), kecuali yang dikuasakan dalam anggaran
keuangan tersebut, tidak dapat berlaku sebelum disahkan oleh Menteri Dalam
Negeri bagi Baerah tingkat ke I dan oleh Dewan Pemerintah Daerah setingkat
lebih atas bagi daerah lainnya.
BAB
VII : PENGAWASAN TERHADAP DAERAH
BAGIAN
I : PENGESAHAN DAN JANGKA WAKTU PENGESAHAN
Pasal
62
Dengan
Undang-undang atau Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan, bahwa sesuatu
keputusan Daerah mengeneai pokok-pokok tertentu tidak berlaku sebelum disahkan
oleh :
a. Menteri Dalam Negeri untuk keputusan Daerah tingkat ke I;
b. Dewan Pemerintah Daerah tingkat ke I untuk keputusan Daerah
tingkat ke II;
c. Dewan Pemerintah Daerah tingkat ke II untuk keputusan Daerah
tingkat ke III.
Pasal
63
(1) Bila untuk menjalankan sesuatu keputusan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah menurut undang-undang ini, harus ditunggu pengesahan lebih dahulu
dari Menteri Dalam Negeri bagi Daerah tingkat ke I bagi lain-lain Daerah dari Dewan
Pemerintah Daerah setingkat lebih atas, maka keputusan itu dapat dijalankan
apabila Menteri Dalam Negeri atau Dewan Pemerintah Daerah tersebut, dalam tiga
bulan terhitung mulai hari keputusan itu dikirimkan untuk mendapat pengesahan,
tidak mengambil ketetapan.
(2) Waktu tiga bulan itu dapat diperpanjang selama-lamanya tiga
bulan lagi oleh Menteri Dalam Negeri atau Dewan Pemerintah Daerah tersebut dan
hal itu diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan.
(3) Bila keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam ayat (1)
tidak dapat disahkan, maka Menteri Dalam Negeri atau Dewan Pemerintah Daerah
tersebut memberitahukan hal itu dengan keterangan cukup kepada Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah yang bersangkutan.
(4) Terhadap hal tersebut dalam ayat (3) Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah yang bersangkutan dalam waktu satu bulan terhitung mulai saat
pemberitahuan tentang penolakan pengesahan tersebut dapat memajukan kebeberatan
kepada Dewan Pemerintah Daerah setingkat lebih atas dari Dewan Pemerintah
Daerah yang menolak. Bila penolakan pengesahan itu terjadi oleh Dewan
Pemerintah Daerah tingkat ke I, maka keberatan itu diajukan kepada Menteri
Dalam Negeri dan bila penolakan itu terjadi oleh Menteri Dalam Negeri, maka
keberatan itu diajukan kepada Presiden.
BAGIAN
II : PEMBATASAN DAN PERTANGUHAN
I
UMUM
Pasal
64
Keputusan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau Dewan Pemerintah Daerah, jikalau
bertentangan dengan kepentingan umum, undang-undang, Peraturan Pemerintah atau
Peraturan Daerah yang lebih tinggi tingkatnya, dipertangguhkan atau dibatalkan
bagi Daerah Swatantra Tingkat ke I oleh Menteri Dalam Negeri atau penguasa lain
yang ditunjuknya dan bagi lain-lain daerah Dewan Pemerintah.Daerah setingkat
lebih atas.
Pasal
65
(1) Menteri Dalam Negeri atau penguasa lain yang ditunjuknya
mempertangguhkan atau membatalkan keputusan-keputusan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah dan Dewan Pemerintah Daerah dari Daerah-daerah Swatantra Tingkat ke I
dan III bertentangan dengan Peraturan Perundangan yang lebih tinggi tingkatnya
atau dengan kepentingan umum, apabila ternyata, Dewan Pemerintah Daerah yang
berhak melakukan wewenang itu menurut Pasal 64, tidak melakukannya.
(2) Pembatalan seperti dimaksud dalam ayat (1) dilakukan setelah
mendengar Dewan Pemerintah Daerah setingkat lebih atas, yang berwewenag
melakukan pembatalan itu.
Pasal
66
(1) Pembatalan berdasarkan pertentangan dengan
peraturan-perundangan yang lebih tinggi tingkatnya, menghendaki pula
dibatalkannya semula akibat dari pada keputusan yang dibatalkan itu, sepanjang
akibat itu masih dapat dibatalkan.
(2) Pembatalan berdasarkan pertentangan dengan kepentingan umum
hanya membawa pembatalan akibat-akibat yang bertentangan dengan kepentingan
itu.
Pasal
67
(1) Putusan pertangguhan atau pembatalan termaksud dalam Pasal 64
dan 65 dengan menyebutkan alasan-alasannya dalam tempo lima belas hari sesudah
tanggal putusan itu, diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau
Dewan Pemerintah Daerah yang bersangkutan.
(2) Lamanya tempo pertangguhan disebutkan dalam surat ketetapan dan
tidak boleh melebihi enam bulan. Pada saat Pertangguhan itu keputusan yang
bersangkutan berhenti berlakunya.
(3) Apabila dalam tempo tersebut dalam ayat (2) berdasarkan
pertangguhan itu tidak ada putusan pembatalan, maka keputusan Daerah yang
bersangkutan berlaku.
Pasal
68
Untuk
kepentingan pengawasan maka Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintah
Daerah wajib memberikan keterangan yang diminta oleh Pemerintah Daerah
setingkat de atasnya atau oleh Menteri Dalam Negeri atau penguasa-penguasa lain
yang ditunjuknya.
II
PENGAWASAN OLEH PEMERINTAH
Pasal
69
Pemerintah
mengawasi jalannya pemerintahan daerah. Cara pengawasan ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah.
BAGIAN
III : PERSELISIHAN MENGENAI PEMERINTAHAN DAERAH
Pasal
70
(1) Perselisihan mengenai pemerintah antara :
- Daerah-daerah dari tingkat ke I atau
antara Daerah tingkat Ke I dengan Daerah tingkat lainnya, dan antara
Daerah-daerah yang terletak dalam satu wilayah Daerah ke I diputuskan oleh
Menteri Dalam Negeri.
- Daerah-daerah di bawah Daerah tingkat
ke I yang sama tingkatnya dan terletak dalam satu wilayah Daerah tingkat
ke I, diputus oleh Dewan Pemerintah Daerah tingkat ke I itu, apabila
mengenai perselisihan antara Daerah-daerah tingkat ke II, atau oleh Dewan
Pemerintah Daerah tingkat ke II yang bersangkutan apabila mengenai
perselisihan antara Daerah-daerah tingkat ke III.
- Daerah dengan Daerah yang lebih atas,
yang terletak dalam satu wilayah Daerah tingkat ke I diputus oleh
Pemerintah Daerah tingkat ke I itu.
(2) Putusan termaksud dalam ayat (1) diberitahukan kepada
Daerah-daerah yang bersangkutan.
BAGIAN
IV : PENYELIDIKAN DAN PEMERIKSAAN OLEH PEMERINTAH
Pasal
71
(1) Bagi kepentingan umum Menteri Dalam Negeri atau pegawai
Pemerintah Pusat yang atas namanya, berhak mengadakan penyelidikan dan pemeriksaan
tentang segala sesuatu mengenai pekerjaan mengurus rumah tangga Daerah maupun
mengenai tugas pembantuan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan
Pemerintah Daerah.
(2) Ketentuan tersebut dalam ayat (1) berlaku juga bagi Daerah
tingkat lebih atas terhadap Daerah yang lebih rendah dalam lingkugannya.
BAGIAN
V : PENGUMUMAN
Pasal
72
Tiap-tiap
keputusan-mengenai pembatalan ataupun perselisihan mengenai pemerintah Daerah
termaksud dalam Bagian 2 dan 3 Bab ini diumumkan dalam Berita Negara Republik
Indonesia atau menurut cara termaksud dalam Pasal 37 ayat (1). Dewan Pemerintah
Daerah yang bersangkutan mengumumkan pula keputusan tersebut dalam Daerahnya.
BAB
VIII : PERATURAN PERALIHAN
Pasal
73
(1) Propinsi, Daerah Istimewa setingkat Propinsi dan
Kabupaten/Daerah Istimewa setingkat Kabupaten yang berhak mengurus rumah
tangganya sendiri berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia NO. 22 tahun
1948, tidak perlu dibentuk lagi sebagai Daerah Swatantra menurut ketentuan
dalam Pasal 3 "Undang-undang tentang Pokok Pemerintah Daerah 1956"
akan tetapi Daerah-daerah tersebut, sejak mulai berlakunya undang-undang ini
berturut-turut menjadi Daerah tingkat ke I/Daerah Istimewa tingkat ke I dan
Daerah tingkat ke II/Daerah Istimewa tingkat ke II termaksud dalam pasal
Undang-undang ini.
(2) Semua Kota besar dan Kota kecil yang berhak mengurus rumah
tangganya sendiri berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun
1948, tidak perlu dibentuk lagi sebagai Kota Praja menurut ketentuan dalam
Pasal 2 "Undang-undang tentang Pokok Pemerintahan Daerah 1956" akan
tetapi Daerah-daerah tersebut, sejak mulai berlakunya Undang-undang ini,
menjadi kotapraja Jakarta Raya termaksud dalam Pasal 2 Undang-undang ini.
(3) Kotapraja Jakarta Raya yang berhak mengurus rumah tangganya
sendiri berdasarkan Undang-undang No. 1 tahun 1956 tidak perlu dibentuk lagi
sebagai Kotapraja menurut ketentuan dalam Pasal 3 "Undang-undang tentang
Pokok Pemerintahan Daerah 1956", akan tetapi Daerah tersebut, sejak mulai
berlakunya undang-undang ini, menjadi Kotapraja Jakarta Raya termaksud dalam
Pasal 2 Undang-undang ini.
(4) Daerah-daerah yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri
berdasarkan Undang-undang Negara Indonesia Timur Nomor 44 tahun 1950 dan
lain-lain Peraturan-perundangan berjalan terus menurut ketentuan-ketentuan
dalam peraturan-perundangan tersebut hingga Daerah itu dibentuk, diubah atau
dihapuskan berdasarkan Undang-undang ini.
Pasal
74
(1) Selama Pemerintah Daerah dari Daerah-daerah Swatantra termaksud
dalam Pasal 73 ayat (1) (2) dan (3), yang pada saat mulai berlakunya undang-
undang ini, belum terbentuk dan tersusun menurut ketentuan-ketentuan dalam
Pasal 5 dan 6, pemerintahan Daerah diselesanggarakan oleh Pemerintah Daerah
yang ada pada saat mulai berlakunya undang-undang ini, termasuk juga Kepala
Daerahnya.
(2) Dalam waktu selambat-lambatnya dua tahun terhitung mulai hari
berlakunya undang-undang ini, pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah baru
menurut ketentuan dimaksud dalam Pasal 7 ayat (6) harus sudah selesai.
(3) Dalam waktu selambat-lambatnya tiga bulan sesudah pembentukan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah baru termaksud dalam ayat (2), harus sudah
diadakan pemilihan dari:
- Kepala Daerah,
- Ketua dan Wakil Ketua Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah,
- Anggota-anggota Dewan Pemerintah
Daerah, sebagai yang dimaksud dalam undang-undang ini.
(4) Apabila berhubung dengan keadaan dalam masing-masing Daerah,
Pemilihan Kepala Daerah belum dapat dilaksanakan menurut cara termaksud dalam
Pasal 24 ayat (1), maka belum menyimpang dari ketentuan tersebut. Kepala Daerah
diangkat sebagai berikut :
- dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah belum terbentuk dalam waktu yang ditetapkan dalam Pasal 74 ayat (2)
oleh:
1. Presiden bagi Kepala Daerah tingkat ke I,
2. Menteri Dalam Negeri atau penguasa yang ditunjuk olehnya bagi
Kepala Daerah tingkat ke II dan III;
- dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah sudah terbentuk, akan tetapi pemilihan Kepala Daerah itu tidak
dapat terlaksana dalam waktu yang ditetapkan dalam Pasal Pasal 74 ayat
(3), oleh Presiden bagi Kepala Daerah tingkat ke I, dan oleh Menteri Dalam
Negeri atau penguasa yang ditunjuk olehnya bagi Kepala Daerah tingkat ke
II dan III, pengangkatan mana sedapat-dapatnya diambil dari calon-calon
sedikit-dikitnya dua dan sebanyak-banyaknya empat orang, yang dimaksudkan
oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan.
(5) Akibat-akibat lainnya dari peralihan karena ketentuan dalam
Pasal 73 sepanjang diperlukan akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal
75
(1) Sejak saat mulai berlakunya undang-undang ini, maka segala
peraturan-perundangan yang mengatur hal-hal yang menurut undang-undang ini
harus diatur dalam suatu peratutan-perundangan terus berlaku, hingga diubah
ditambah atau dicabut berdasarkan undang-undang ini.
(2) Selama Peraturan Pemerintah tentang pengelolaan keuangan Daerah
termaksud dalam Pasal 60 ayat (2) belum ditetapkan, segala sesuatu dijalankan
menurut aturan-aturan dan petunjuk-petunjuk yang berlaku.
(3) Dengan tidak mengurangi ketentuan dalam Pasal 74 ayat (1) maka
selama kekuasaan pemerintahan di Daerah dibentuk berdasarkan Undang-undang ini,
belum diselenggarakan menurut ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini,
kekuasaan dijalankan oleh penguasa-penguasa yang ditunjuk oleh Pemerintah.
BAB
IX : PERATURAN PENUTUP
Pasal
76
(1)
Undang-undang ini dapat disebut
"Undang-undang tentang pokok-pokok pemerintahan 1956".
(2)
Undang-undang ini mulai berlaku pada hari
diundangkan.
Agar
supaya setiap orang dapat mengetahuinya memerintahkan pengundangan
Undang-undang ini dengan penempatan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta,
pada tanggal 17 Januari 1957.
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
SUKARNO
Diundangkan
pada tanggal 18 Januari 1957.
MENTERI
KEHAKIMAN, a.i
ttd
SUNARJO
MENTERI
DALAM NEGERI,
ttd
SUNARJO
Memori
Penjelasan Mengenai
Usul
Undang-Undang tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah
Hal-hal
utama yang diatur dalam rancangan yang baru sekarang ini ialah empat macam
persoalan besar, yaitu:
1. Bagaimanakah seharusnya isi otonomi itu;
2. Berapakah selayaknya jumlah tingkat-tingkat yang dapat dibentuk
dalam sistim otonomi itu;
3. Bagaimanakah seharusnya kedudukan Kepala Daerah berhadapan
dengan otonomi itu;
4. Bagaimanakah dan apakah isi pengawasan yang tak boleh tidak
harus dilakukan terhadap Daerah-daerah Otonomi oleh penguasa Pusat.
UMUM.
Undang-undang
tentang pokok-pokok pemerintahan daerah ini bermaksud untuk mengatur
sebaik-baiknya soal-soal yang semata-mata terletak dalam lapangan otonomi dan
"medebewind" di seluruh, wilayah Negara Republik Indonesia, sesuai
dengan maksud pasal 131 Undang-Undang Dasar Sementara yang berarti juga akan
merobah prinsip cara-cara pemerintahan bentuk lama, Pada umumnya soal-soal
tersebut di atas tidak dapat dilepaskan dari soal-soal pokok yakni bagaimanakah
bentuk Negara yang dihadapi dan bagaimanakah keadaan-keadaan sesungguhnya dalam
pelbagai masyarakat dalam Negara itu. Kita telah menciptakan Negara Kesatuan,
yang sifatnya ialah memusatkan segala urusan yang meliputi kepentingan seluruh
wilayah Negara Kesatuan itu dan seluruh bangsa yang merupakan bangsa kesatuan
itu. Pemusatan yang dimaksud mempunyai dua segi:
1. segi tugas bagi Negara Kesatuan itu terhadap
kepentingan-kepentingan yang dipusatkan itu;
2. segi pengawasan terhadap penyelenggaraan kepentingan-kepentingan
rakyat setempat, yang walaupun sifatnya hanya setempat akan tetapi karena
penjaringannya dengan lain-lain kepentingan di sekitarnya merupakan sedikit
banyaknya juga kepentingan umum, ditinjau dati kesatuan Negara dan Bangsa.
Mengenai keadaan yang sesungguhnya dalam masyarakat maka soal itu dapat
mengenai beberapa segi pula, umpamanya susunan masyarakat, ikatan-ikatan
kemasyarakatan seperti ikatan kedarahan, ikatan adat-istiadat, ikatan
kebudayaan umumnya, sifat dan tingkat perekonomian dalam masyarakat itu,
tingkat kecerdasannya dan yang tidak boleh pula dilupakan akhlak umum, yang
membedakan satu masyarakat dari masyarakat yang lain itu. Juga lain-lain faktor
dapat mempengaruhi hidupnya kemasyarakatan itu, umpamanya: tempat geografinya,
corak buminya yang akan menentukan kemungkinan-kemungkinan saluran
perhubungannya dan dalam perjalanan waktu pelbagai perkembangan dalam lapangan
tehnik.
Ad.
1. Dari gambaran pikiran yang tersimpul pada
keterangan umum itu, dapatlah kita pahamkan, bahwa otonomi yang dapat
diserahkan kepada sesuatu lingkungan masyarakat yang tertentu itu terbatas
kepada pengertian, urusan Pusatkah atau kepentingan Pusatkah soal yang dihadapi
dan jika jawabannya tidak menurut kebijaksanaan Pusat itu maka soal itu adalah urusan
Daerah semata-mata. Tentu dalam negara-hukum seperti sifatnya negara kita ini,
yaitu dalam arti terutama hukum tertulis, jika mengenai pembahagian kekuasaan
itu, maka kebijaksanaan yang dimaksud itu dalam pokok-pokoknya perlu disalurkan
dalam peraturan-peraturan perundangan, sehingga yang tidak dimasukkan dalam
peraturan-peraturan perundangan tersebut itulah yang menjadi lapangan
kebijaksanaan benar. Dalam istilah hukum, yang dipakai dalam rancangan
Undang-undang ini, urusan dan kepentingan Pusat yang tidak diatur itu dengan
secara tertulis, dinamakan kepentingan umum.
Jika kita telah mengerti apa yang dimaksud dengan urusan Pusat,
yaitu segala apa yang menurut peraturan ditugaskan sendiri oleh Pusat kepada
dirinya yang disebut kepentingan umum, sebagai tadi tersebut di atas maka
nyatalah bahwa yang selebihnya itu termasuk kepada pengertian otonomi bagi
kesatuan-kesatuan masyarakat dalam negara itu. Tetanglah kepada kita, bahwa
pembahagian kekuasaan yang sedemikian itu bukan pembahagian yang isinya dapat
diperincikan satu persatu. Pada azasnya memang tidak mungkin untuk menetapkan
secara tegas tentang urusan "rumah tangga Daerah" itu, hal mana
terutama disebabkan karena faktor-faktor yang terletak dalam kehidupan
masyarakat daerah itu sendiri, yang merupakan suatu hasil dari pertumbuhan
pelbagai anasir dalam masyarakat itu dan yang dalam perkembangannya akan
mencari jalan keluar sendiri.
Kehidupan kemasyarakatan itu adalah penuh dengan dinamika, dan
terbentanglah di mukanya lapangan dan kemungkinan-kemungkinan yang sangat luas,
disebabkan bertambahnya dan berkembangnya perhubungan manusia yang satu dengan
yang lain, dan dengan pula kesatuan-kesatuan masyarakat yang satu dengan yang
lain. Dengan berpegangan kepada pokok pikiran itu, maka pemecahan perihal dasar
dan isi otonomi itu hendaknya didasarkan kepada keadaan dan faktor-faktor yang
riil, yang nyata, sehingga dengan demikian dapatlah kiranya diwujudkan
keinginan umum dalam masyarakat itu. Sistim ketata-negaraan yang terbaik untuk
melaksanakan tujuan tersebut ialah sistim yang bersesuaian dengan keadaan dan
susunan masyarakat yang sewajarnya itu. Karena itu perincian yang tegas, baik
tentang urusan rumah-tangga Daerah maupun mengenai urusan-urusan yang termasuk
tugas Pemerintah Pusat, kiranya tidak mungkin dapat diadakan, karena perincian
yang demikian itu tidak akan sesuai dengan gaya perkembangan kehidupan
masyarakat, baik di Daerah maupun di pusat Negara.
Urusan-urusan yang tadinya termasuk lingkungan Daerah, karena
perkembangan keadaan dapat dirasakan tidak sesuai lagi apabila masih diurus
oleh Daerah itu, disebabkan urusan tersebut sudah mengenai kepentingan yang
luas daripada Daerah itu sendiri. Dalam keadaan yang demikian itu urusan
tersebut dapat beralih menjadi urusan dari Daerah yang lebih atas tingkatnya
atau menjadi urusan Pemerintah Pusat, apabila hal tersebut dianggap mengenai
kepentingan nasional. Demikian pula sebaliknya, urusan yang tadinya dijalankan
oleh Pemerintah Pusat atau Daerah tingkat I, kemudian karena perkembangan
keadaan dirasakan sudah sepatutnya urusan itu dilakukan oleh Daerah maka urusan
tersebut dapat diserahkan kepada dan beralih menjadi urusan Daerah atau urusan
Daerah bawahan. Jadi pada hakekatnya yang menjadi persoalan ialah, bagaimanakah
sebaik-baiknya kepentingan umum itu dapat diurus dan dipelihara, sehingga
dicapailah hasil yang sebesar-besarnya.
Dalam memecahkan persoalan tersebut, perlu kiranya kita
mendasarkan diri pada keadaan yang riil, pada kebutuhan dan kemampuan yang
nyata, sehingga dapatlah tercapai harmoni antara tugas dengan kemampuan dan
kekuatan, baik dalam Daerah itu sen-diri, maupun dengan pusat Negara. Buah
pikiran yang dibentangkan di atas itu digambarkan dalam pasal 31 dan 38,
pasal-pasal mana cukup menjamin adanya kesempatan bagi daerah-daerah untuk
menunaikan dengan sepenuhnya tugas itu, menurut bakat dan kesanggupannya agar
dapat berkembang secara luas. Sistim ini dapatlah disebut sistim otonomi yang
riil.
Di sinilah terletak perbedaan besar dengan sistim yang dianut
sampai sekarang ini, sebagai yang dimaksudkan dengan Undang-undang Republik
Indonesia No.22 tahun 1948 dan Staatsblad Indonesia Timur No.44 tahun 1950.
Sebagai tuntunan pertama dalam pembentukan daerah swatantra, maka pada
tiap-tiap Undang-undang Pembentukan Daerah- daerah itu akan ditetapkan
urusan-urusan tertentu, yang segera dapat diatur dan diurus oleh Daerah sejak
saat pembentukan itu. Urusan-urusan yang tercantum dalam Undang-undang
Pembentukan itu hanya merupakan suatu pangkal permulaan saja, agar supaya
Daerah-daerah itu dapat segera menjalankan tugasnya itu, dengan tidak
mengurangi kemungkinan yang luas bagi perkembangan tugas otonomi Daerah itu.
Di samping itu, kepada tiap-tiap Undang-undang Pembentukan
daerah otonom akan diserahkan pula suatu penetapan anggaran belanja yang
pertama bagi Daerah-daerah itu, di mana akan dapat dilihatnya urusan-urusan
mana pada saat pembentukan itu dapat dijalankan oleh Daerah yang bersangkutan,
dengan ditetapkan pula sumber keuangannya dan alat-alat perlengkapannya (pasal
61 ayat 1). Urusan-urusan pusat diselenggarakan oleh aparatur-aparatur dari
tiap-tiap Kementerian. Ada kemungkinan banyak urusan-urusan itu menurut
sifatnya dan sesuai dengan kemampuan dan kesanggupan Daerah lambat laun dapat
diserahkan kepada Daerah. Untuk melancarkan itu akan dibentuk suatu Dewan
Otonomi dan Desentralisasi, yang diketuai oleh Perdana Menteri atau salah
seorang Wakil Perdana Menteri, sedang Menteri Dalam Negeri duduk sebagai Wakil
Ketua dan lain-lain anggota, yang antaranya terdiri dari anggota-anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, yang ditunjuk oleh Seksi Dalam Negeri Dewan Perwakilan Rakyat
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Ad.
2. Hal-hal yang disinggung ini tidak dapat
kita lepaskan dari pengertian setempat mengenai kesatuan-kesatuan masyarakat
yang paling bawah, yang kita namakan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum.
Kesatuan-kesatuan masyarakat hukum ini bentuknya bermacam-macam di seluruh
Indonesia ini. Di Jawa namanya Desa dan Desa itu adalah satu macam kesatuan
masyarakat hukum yang tidak lagi terbagi dalam kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum bawahan dan tidak pula Desa itu merupakan bahagian dari lain kesatuan
masyarakat hukum menurut adat, sehingga desa itu berdiri tunggal, mempunyai
daerah sendiri, rakyat sendiri, penguasa sendiri dan mungkin pula harta benda
sendiri, sedangkan hukum-adat yang berlaku di dalamnya adalah sesungguhnya
"homogeen".
Lain coraknya umpamanya di Tapanuli, di mana kesatuan
masyarakat hukum-adat itu mempunyai bentuk yang bertingkat, umpamanya Kuria
sebagai kesatuan masyarakat hukum-adat yang tertinggi dan merupakan satu
daerah, mempunyai di dalamnya sejumlah kesatuan-kesatuan masyarakat hukum-adat
bawahannya, yang dinamakannya Huta, yang masing-masing mempunyai sekumpulan
rakyat sendiri, satu penguasa sendiri dan mungkin pula mempunyai daerah sendiri
sebagai bahagian dalam daerah kuria itu, sehingga adapula huta-huta yang tidak
mempunyai lingkungan daerah itu dalam daerah kurianya sendiri. Meskipun
demikian juga dalam setiap kesatuan kuria itu berlaku hukum adat yang
"homogeen". Contoh yang lain ialah Minangkabau, dimana didapati
kesatuan masyarakat hukum tertinggi yakni Nagari, yang masing-masing mempunyai
daerah sendiri sedangkan dalam daerah itu dijumpai sejumlah suku-asal, yang
masing-masing suku merupakan pula satu kesatuan masyarakat hukum-adat yang
terbawah. Juga kesatuan masyarakat hukumnya yang bernama Suku itu mungkin
mempunyai daerah sendiri atau tidak dalam lingkungan nagari itu.
Syarat belakangan ini, mempunyai daerah sendiri adalah syarat
mutlak dalam sistim otonomi, yang memberikan kekuasaan kepada sekumpulan rakyat
yang berdiam dalam suatu lingkungan yang nyata. Dengan demikian nyatalah bahwa
bagi tempat-tempat yang serupa ini sulit kita untuk menciptakan satu kesatuan
otonomi dalam pengertian tingkat yang ketiga (III), sehingga kemungkinannya
atau hanya memberikan otonomi itu secara tindakan baru kepada kabupaten di
bawah Propinsi, atau menciptakan dengan cara bikin-bikinan wilayah
administratief dalam kabupaten itu untuk kemudian dijadikan kesatuan yang
berotonomi. Dalam prinsipnya sangatlah tidak bijaksana mengadakan kesatuan
otonomi secara bikin-bikinan saja dengan tidak berdasarkan kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum yang ada.
Prinsip yang kedua ialah bahwa sesuatu daerah yang akan kita
berikan otonomi itu hendaklah sebanyak mungkin merupakan suatu masyarakat yang
sungguh mempunyai faktor-faktor pengikut kesatuannya. Sebab itulah maka
hendaknya di mana menurut keadaan masyarakat belum dapat diadakan tiga (3)
tingkat, untuk sementara waktu dibentuk 2 tingkat dahulu. Berhubung dengan
hal-hal adanya atau tidak adanya kesatuan-kesatuan masyarakat hukum-adat
sebagai dasar bekerja untuk menyusun tingkat otonomi itu, hendaklah pula kita
insyafi bahwa urusan otonomi tidak "congruent" dengan urusan hukum-adat,
sehingga manakala sesuatu kesatuan masyarakat hukum-adat dijadikan menjadi satu
daerah otonomi atau dimasukkan ke dalam suatu daerah otonomi, maka hal itu
tidaklah berarti, bahwa tugas-tugas kepala-kepala adat dengan sendirinya telah
terhapus. Yang mungkin terhapus hanya segi-segi hukum-adat yang bercorak
ketata-negaraan, manakala hanya satu kesatuan masyarakat hukum-adat itu
dijadikan daerah otonomi, sekedar corak yang dimaksud bersepadanan dengan
kekuasaan ketata-negaraan yang tersimpul dalam pengertian otonomi itu.
Kesanggupan melihat perbedaan itu, yaitu perbedaan antara otonomi dan kekuasaan
adat adalah suatu syarat penting untuk menjalin hidupnya otonomi itu secara
yang memuaskan, keseluruhan rakyat yang mau tak mau masih terkungkung dalam
sistim hukum-adat itu.
Ad.
3. Pada pokoknya seorang Kepala Daerah itu
haruslah seorang yang dekat kepada dan dikenal oleh masyarakat Daerah yang
bersangkutan itu, dan karena itu Kepala Daerah haruslah seorang yang mendapat
kepercayaan dari rakyat tersebut dan diserahi kekuasaan atas kepercayaan rakyat
itu. Berhubung dengan itu, maka jalan satu-satunya untuk memenuhi maksud
tersebut ialah bahwa Kepala Daerah itu haruslah dipilih langsung oleh rakyat
dari Daerah yang bersangkutan. Dasar pikiran ini tercantum dalam pasal 23 ayat
1 yang selanjutnya dalam ayat 2 ditentukan bahwa cara pengangkatan dan
pemberhentian Kepala Daerah ditetapkan dengan Undang-undang.
Akan tetapi meskipun pada azasnya seorang Kepala Daerah itu
harus dipilih secara demikian, namun sementara waktu dipandang perlu
memperhatikan pula keadaan yang nyata dan perkembangan masyarakat dewasa ini
didaerah-daerah, kenyataan mana kiranya belum sampai kepada suatu taraf, yang
dapat menjamin berlangsungnya pemilihan dengan diperolehnya hasil-hasil dari pemilihan
itu yang sebaik-baiknya. Berhubung dengan itu maka untuk masa peralihan itu
yang diharapkan akan berlangsung tidak lebih lama dari 4 tahun perlu diadakan
ketentuan-ketentuan yang lebih praktis mengenai pemilihan Kepala Daerah itu.
Berdasarkan pendapat ini, maka dalam pasal 24 ditetapkan bahwa untuk sementara
waktu Kepala Daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan
memperhatikan syarat-syarat kecakapan dan pengetahuan yang diperlukan bagi
jabatan tersebut, syarat-syarat mana dapat diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Meskipun pada umumnya Kepala Daerah dipilih terutama dari
anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang cakap, namun Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dapat pula memilih seorang calon dari luar yang
dianggapnya memenuhi syarat-syarat. Hasil pemilihan Kepala Daerah ini perlu
mendapatkan pengesahan terlebih dahulu dari instansi Pemerintah yang berwajib,
sehingga dalam figur Kepala Daerah ini bertemulah titik demokrasi dari bawah
dan dari atas dalam susunan pemerintahan Negara. Dengan pengesahan dari
Pemerintah Pusat ini dapat pula dicegah timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan
dalam soal pemilihan Kepala Daerah. Mengenai cara pengesahan Kepala Daerah,
begitu pula cara pemilihan dapat ditetapkan peraturan-peraturan umum dengan Peraturan
Pemerintah. Pengesahan tersebut tidaklah akan dilakukan secara otomatis, akan
tetapi akan diberikan setelah ditinjau apakah segala syarat yang diperlukan
bagi penetapan Kepala Daerah telah dipenuhi.
Dalam hal pengesahan tadi tidak dapat diberikan, Pemerintah
akan menjelaskan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan
sebab-sebab mengapa pengesahan tidak dapat diberikan, dengan disertai ketentuan
untuk mengadakan pemilihan baru. Dengan pengesahan oleh Pemerintah Pusat maka
kedudukan Kepala Daerah sebagai organ Pemerintah Daerah itu merupakan satu
organisasi yang stabil, karena berdasarkan kepercayaan DPRD terhadapnya yang
tentu tidak mudah mengeluarkan suara-suara untuk menumbangkannya. Mengenai masa
jabatan dari Kepala Daerah itu seyogyanya disesuaikan dengan masa pemilihan
DPRD. yang bersangkutan, sehingga Kepala Daerah itu berdiri dan jatuh
bersama-sama dengan DPRD.-nya itu. Dalam hal seorang anggota DPRD. dipilih
menjadi Kepala Daaerah, maka segala ketentuan yang berlaku bagi anggota DPRD.
itu juga berlaku baginya (Pasal 24 ayat 5 sub d).
Berhubung dengan itu, maka apabila ia melakukan
perbuatan-perbuatan yang dilarang untuk tiap-tiap anggota DPRD., maka iapun
dapat diberhentikan oleh DPRD. dari keanggotaan DPRD. sebagai dimaksud dalam
pasal 10 dan 11 Undang-undang tersebut, yang akan berakibatkan pula berakhirnya
kedudukannya sebagai Kepala Daerah. Sebagai Ketua merangkap Anggota DPD., ia
menjalankan tugas dan kewajibannya itu bersama-sama dengan anggota-anggota DPR.
lainnya, dan bertanggungjawab secara collegiaal terhadap DPRD. tentang
penyelenggaraan tugasnya. Berhubung dengan itu, apabila DPD. ditumbangkan oleh
DPRD maka Kepala Daerah yang telah dipilih oleh DPRD. itu turut serta pula
jatuh, dan kembali kepada kedudukannya semula. Dengan kedudukan Kepala Daerah
seperti diuraikan di atas, ia tidak mungkin lagi dapat dirasakan sebagai suatu
"dwarskijker.. atau sebagai "boneka", melainkan sekarang
tegaslah kedudukannya itu sebagai alat Daerah, yang tugas dan kewajibannya itu
sesuai dengan tanggungjawab yang sewajarnya. Berhubung dengan pokok-pokok
pikiran seperti diuraikan di atas, maka perlu kiranya dijelaskan pula secara
pokok-pokok akibat-akibatnya dari pikiran itu yang berhubungan dengan:
a. Tugas Kepala Daerah,
b. Wakil kepala Daerah,
c. Gaji dan segala emolumenten dari Kepala Daerah,
d. Kepala Daerah Istimewa.
Ad.
a. Sebagaimana telah dimaklumi, maka
Undang-undang Republik *1359 Indonesia No.22 tahun 1948 itu pada dasarnya
menghendaki suatu Pemerintahan Daerah yang bersifat collegiaal dan tidak
menghendaki adanya "dualisme" dalam penyelenggaraan pemerintahan
Daerah. Artinya ialah bahwa penyelenggaraan pemerintahan Daerah itu haruslah
sepenuhnya dijalankan oleh Pemerintah Daerah sebagai badan pemerintahan yaitu DPRD.
dan DPD. Kepala Daerah tidak merupakan suatu organ yang berdiri sendiri
terlepas dari pada DPRD. dan DPD. dan tidak diperkenankan menjalankan
pemerintahan sendiri. Akan tetapi maksud untuk melenyapkan "dualisme"
itu ternyata tidak dipegang teguh, baik oleh pembuat Undang-undang sendiri
maupun dalam pelaksanaannya (praktek), sehingga dalam Undang-undang Republik
Indonesia No.22 tahun 1948 sendiri terdapat ketentuan-ketentuan yang
sesungguhnya bertentangan dengan maksud tersebut dan pada dasarnya masih
mempertahankan sifat "dualisme" itu.
Hal ini terbukti dari ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam
pasal 28 ayat 6 (yaitu Peraturan Daerah dipandang mulai berlaku sesudah
ditanda-tangani oleh Kepala Daerah) dan pasal 36 (yaitu Kepala Daerah dapat
menahan dijalankannya keputusan dari DPRD. dan DPD.) dari Undang-undang
Republik Indonesia No.22 tahun 1948 itu. Dengan adanya ketentuan-ketentuan ini,
maka Kepala Daerah merupakan suatu organ yang bertindak sendiri, terlepas dari
DPD. maupun DPRD. Meskipun dalam Memori penjelasan Undang-undang tersebut
diterangkan, bahwa dalam hal tersebut Kepala Daerah itu bertindak sebagai
pengawas, dan karena itu menjalankan tugas Pemerintah Pusat, namun tidaklah
dapat dipungkiri, bahwa ketentuan tersebut menimbulkan kembali sifat "dualisme"
dalam Pemerintah Daerah itu.
Berhubung dengan itu, agar supaya sifat "dualisme"
ini dapat secara konsekuen dihapuskan, maka kepada Kepala Daerah hanya
diserahkan melaksanakan tugas-tugas yang termasuk Urusan Daerah Otonom saja,
dengan tidak menghilangkan pokok pikiran bahwa Pemerintah Daerah itu hanya
terdiri dari DPRD. dan DPD. Tugas pengawasan yang sesungguhnya termasuk hak
placet Pemerintah Pusat, tidak lagi dijalankan oleh Kepala Daerah. Berhubung
dengan itu, maka adalah satu keuntungan apabila Kepala Daerah diserahi tugas
Ketua DPD. Dengan demikian maka Kepala Daerah itu adalah "Zuiver"
alat.Daerah yang dalam penyelenggaraan pemerintahan Daerah itu selalu bertindak
collegiaal, yaitu bersama-sama dengan anggota DPR. lainnya.
Ad.
b. Apabila Kepala Daerah itu berhalangan
maka ia diwakili oleh Wakil Ketua DPD. yang dipilih oleh dan dari anggota DPD.
itu. Hal ini adalah berlainan dengan keadaan sampai sekarang, yang karena
Kepala Daerah disamping pekerjaan dalam lapangan otonomi juga mengerjakan tugas
dalam lapangan Pemerintah pusat memerlukan dua pejabat untuk mewakili Kepala
Daerah apabila ia berhalangan, yaitu: 1. mewakili dalam lapangan otonomi dan 2.
seorang lain yang mewakili dalam lapangan Pemerintah Pusat.
Ad.
c. Dari semua uraian tersebut di atas
jelaslah, bahwa Kepala Daerah adalah alat dari Daerah yang bersangkutan.
Berhubung dengan itu, maka berlainan daripada waktu yang telah lampau, maka
penghasilan dan segala "emolumenten" yang melekat kepada jabatan
Kepala Daerah tersebut akan ditetapkan oleh Daerah itu sendiri dengan peraturan
daerah. Pengawasan preventief atas peraturan daerah yang mengatur hal tersebut
di atas masih diperlukan, agar supaya dapat mencegah timbulnya discriminatie
yang tidak sehat antara Daerah-daerah.
Ad.
d. Berlainan dengan Kepala Daerah biasa,
maka Kepala Daerah Istimewa itu tidak dipilih oleh dan dari anggota-anggota
DPRD. melainkan diangkat oleh Pemerintah Pusat dari keturunan keluarga yang
berkuasa di Daerah itu di zaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih menguasai
Daerahnya, dengan memperhatikan syarat-syarat kecakapan, kejujuran, kesetiaan
serta adat-istiadat dalam daerah itu. Ketentuan ini pada pokoknya sama bunyinya
dengan apa yang ditentukan dalam Undang-undang Republik Indonesia No.22 tahun
1948. Jadi keistimewaannya dari suatu Daerah Istimewa masih tetap terletak
dalam kedudukan Kepala Daerahnya.
Berhubung dengan itu, maka mengenai perwakilan Kepala Daerah,
serta penghasilan dan segala "emolumenten" yang melakat kepada
jabatan Kepala Daerah itu agak berbeda pula dari pada apa yang telah diuraikan
mengenai hal tersebut bagi Kepala Daerah biasa. Seperti telah tercantum dalam
Rancangan Undang-undang tersebut maka dalam suatu Daerah Istimewa dapat pula
diangkat seorang Wakil Kepala Daerah Istimewa. Hal ini misalnya dapat terjadi,
apabila Daerah Istimewa itu terbentuk sebagai gabungan dari beberapa bekas
Swapraja-Swapraja, seperti misalnya Daerah Istimewa Yogyakarta. Sesuai dengan
sistim yang telah diuraikan di atas, maka Kepala dan Wakil Kepala Daerah Istimewa
adalah Ketua dan Wakil Ketua serta anggota dari DPD.
Berhubung dengan itu, maka apabila diangkat Wakil Kepala Daerah
Istimewa tersebut, maka dengan sendirinya ialah yang mewakili Kepala Daerah
Istimewa. Sedangkan apabila Wakil Kepala Daerah Istimewa ini juga berhalangan,
maka Kepala Daerah Istimewa diwakili oleh seorang anggota DPD. yang dipilih
oleh dan dari anggota DPD. Apabila dalam Daerah Istimewa itu tidak diangkat
Wakil Kepala Daerah Istimewa, maka perwakilan Kepala Daerah Istimewa diatur
seperti perwakilan Kepala Daerah biasa. Selain daripada itu, karena Kepala
Daerah Istimewa ini diangkat oleh penguasa Pemerintah Pusat yang berwajib,
maka:
a. ia tidak dapat ditumbangkan oleh DPRD., sedangkan
b. mengenai gaji dan segala "emolumenten" yang melekat
kepada jabatan Kepala Daerah itu, tidak ditetapkan oleh Daerah itu sendiri,
melainkan oleh Pemerintah Pusat.
Ad
4. Mengenai pengawasan Pusat terhadap urusan
Daerah-daerah, maka pengawasan itu berpusat kepada penjagaan:
1. supaya DPRD. dan DPD. itu melakukan tugasnya secara
sebaik-baiknya sehingga urusan Daerah tidak terbengkalai atau kurang
terpelihara.
2. supaya keputusan-keputusan atau tindakan-tindakan yang diambil
oleh alat-alat otonomi Daerah terutama di sini keputusan-keputusan yang diambil
oleh DPRD. atau tindakan-tindakan yang diambil oleh DPD. sebagai alat
penyelenggara, tidak bertentangan dengan kepentingan umum atau bertentangan
dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi mengenai sesuatu pokok atau
sesuatu hal urusan umum. Hak pengawasan itu merupakan bahagian yang tak dapat
dipisahkan dari kekuasaan eksekutip seluruhnya, oleh karena pada instansi
terakhir Pemerintahlah yang harus bertanggungjawab atas seluruh penyelenggaraan
pemerintahan dalam negeri dan luar negeri itu kepada DPR. (Parlemen). Berhubung
dengan itu maka hak pengawasan ini haruslah diatur sedemikian rupa, sehingga
sedikit-dikitnya dapatlah terjamin penyelenggaraan seluruh pemerintahan itu
i.c. mengenai pemerintahan daerah dan dengan demikian penyelenggaraan dari
kepentingan umum itu. Dengan dibentuknya daerah-daerah otonom, sebagai
rangkaian pelaksanaan dari politik desentralisasi pemerintahan negara, maka
juga sebahagian dari hak pengawasan ini disarankan kepada daerah-daerah otonom
setingkat lebih atas, yaitu hak pengawasan represif dan preventif terhadap
beberapa jenis keputusan-keputusan tertentu dari pemerintah Daerah bawahannya,
sebagaimana ditentukan dalam Rancangan Undang-undang tersebut. Jadi pengawasan
preventif ini hanya diharuskan bagi beberapa keputusan tertentu saja, dalam
mana tersangkut kepentingan-kepentingan besar atau kemungkinan timbulnya
kegelisahan-kegelisahan dan gangguan-gangguan dalam penyelenggaraan kepentingan
umum itu oleh pemerintah daerah sehingga dengan demikian kemungkinan datangnya
kerugian atas kepentingan-kepentingan itu, dapat dicegah sebelumnya.
PENJELASAN
PASAL DEMI PASAL
Pasal
1
1. Istilah "Daerah" dalam Undang-undang ini dipakai
sebagai satu istilah tehnis, untuk menyebut dengan satu perkataan apa yang
dimaksud oleh Undang-Undang Dasar Sementara (Pasal 131 ayat 1) dengan anak
kalimat "daerah besar dan kecil yang berhak mengurus rumah-tangganya
sendiri (autonoom)." Dalam Undang-undang ini diberikan dasar hukum kepada
istilah baru "Daerah Swatantra" yang berarti "daerah
otonoom", istilah mana sudah dipakai dalam surat-menyurat resmi. Berhubung
perkataan "Daerah" itu dalam undang-undang ini dipakai sebagai satu
istilah tehnis yang mempunyai isi yang tertentu, maka perkataan
"daerah" Indonesia seyogyanya disebut "wilayah" Indonesia.
2. Untuk keperluan pengawasan atau eksaminasi maka perlu ditunjuk
instansi atasan yang melakukan pekerjaan itu. Oleh karena itu apabila dalam
Undang-undang ini dijumpai perkataan "setingkat lebih atas", maka
perkataan ini harus ditafsirkan Daerah tingkat I (termasuk Daerah Istimewa
tingkat I) bagi Daerah tingkat II (termasuk Daerah Istimewa tingkat II), yang
terletak dalam wilayah Daerah tingkat ke I itu. Demikian pula Daerah tingkat II
(termasuk Daerah Istimewa tingkat ke II bagi Daerah-daerah tingkat III
(termasuk Daerah Istimewa tingkat ke III) yang terletak dalam Daerah tingkat II
itu.
3. Ketentuan pasal 1 ayat 3 bermaksud untuk menghindari timbulnya
suatu tafsiran yang tidak dikehendaki oleh pembuat undang-undang. Jadi apabila
dalam Undang-undang ini kita jumpai misalnya perkataan "Dewan Pemerintah
Daerah tingkat ke-I" (pasal 64, 65 dan lain-lain), maka yang dimaksudkan
ialah Dewan Pemerintah Daerah dari Daerah tingkat ke-I, jadi baik Daerah
tingkat I (termasuk Kotapradja Jakarta Raya) sebagai dimaksud dalam pasal 2
ayat 1 maupun Daerah Istimewa tingkat I sebagai dimaksud dalam pasal 2 ayat 2.
4. Yang dimaksud dengan "keputusan" dari Pemerintah
Daerah ialah semua perwujudan kehendak Pemerintah Daerah (Daerah Perwakilan
Rakyat Daerah atau Dewan Pemerintah Daerah) untuk bertindak terhadap sesuatu
hal mengenai urusan rumah-tangganya. Perwujudan kehendak itu, terutama dari
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, biasanya berbentuk "peraturan" atau
"mosi" dan peraturan yang dibentuk menurut syarat-syarat tertentu
(misalnya mengenai pengundangannya) disebut
"peraturan-peraturan-daerah".
Pasal
2
Pembagian
dalam tingkat-tingkat daerah otonoom lihat Penjelasan Umum.
Di
samping itu perlu di sini dijelaskan bahwa antara Kotapraja tidak diadakan
perbedaan tingkat, kecuali mengenai ibukota Negara, yang mempunyai kedudukan
dan riwayat sendiri. Ketentuan dalam ayat 2 pasal ini, menentukan bahwa daerah
Swapraja itu dengan undang-undang pembentukan dapat dijadikan Daerah Istimewa
atau Daerah Swatantra biasa. Hal itu berarti, bahwa daerah Swapraja menjadi
Daerah yang diberi otonomi menurut undang-undang dan pada azasnya telah
memenuhi kehendak pasal 132 Undang-undang Dasar Sementara. Mengenai Daerah
Istimewa, setiap kali suatu daerah Swapraja itu dibentuk menjadi Daerah
Istimewa, maka pada azasnya kita telah memberikan status baru kepada daerah
Swapraja tersebut, yang bentuk susunan pemerintahannya menurut pasal 132 ayat 1
Undang-undang Dasar Sementara harus disesuaikan dengan dasar-dasar yang
dimaksud dalam pasal 131 Undang-undang Dasar Sementara. Kepada daerah Swapraja
itu mestilah diberikan pemerintahan berotonomi menurut undang-undang, sehingga
tidak dibolehkan suatu daerah Swapraja terbebas dari pemerintahan otonomi yang
bersifat demokratis menurut undang-undang itu, dimana kepada rakyat diserahkan
hampir semua kekuasaan Swapraja itu, sehingga tinggal lagi urusan-urusan adat
yang dapat dipertahankan dalam tangan Kepala Swapraja dan orang-orang besarnya
selama rakyatnya bertakluk kepada hukum-adatnya. Tiap-tiap kali daerah Swapraja
dibentuk menjadi Daerah Istimewa atau Daerah Swatantra biasa, maka hal itu berarti
hapusnya daerah Swapraja yang bersangkutan, sehingga akibat-akibat dari
penghapusan itu haruslah pula diatur tersendiri, jadi diantaranya mengenai
Kepala-kepala/pembesar-pembesar dan pegawai-pegawai lainnya dari
Swapraja-Swapraja, yang sedapat-dapatnya dimasukkan pula ke dalam formasi
pegawai Daerah Istimewa/Swatantra itu sesuai dengan syarat-syarat kecakapannya
dan lain-lain.
Pasal
3
Sesuai
dengan ketentuan dalam pasal 131 Undang-undang Dasar Sementara maka dalam pasal
ini ditetapkan, bahwa pembentukan suatu Daerah Swatantra/Istimewa dilakukan
dengan undang-undang. Pembentukan akan dilakukan setelah diadakan peninjauan
dari pelbagai sudut antara lain dari sudut keuangan yang harus meyakinkan hak
hidupnya, dan setelah minta pertimbangan atau atas usul dari Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah dari Daerah setingkat lebih atas, sepanjang mengenai Daerah
tingkat II dan III. Mengenai perubahan wilayah dari suatu Daerah Swatantra, hal
ini dengan sendirinya tidak akan dilakukan tanpa persetujuan dari Dewan-dewan
Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan. Juga batas-batas wilayah dan
penunjukkan ibukota daerah Swatantra masing-masing baik diatur dalam
undang-undang pembentukan. Agar supaya perobahan (termasuk perluasan dan
pengurangan) batas-batas wilayah Daerah-daerah Swatantra/Istimewa itu
senantiasa diadakan dengan berhati-hati serta memperhatikan kehendak rakyat
wilayah-wilayah yang bersangkutan, maka dalam pasal ini ditetapkan bahwa
perubahan itu harus dilakukan dengan undang-undang.
Pasal
4
Penetapan
jumlah penduduk 50.000 jiwa sebagai syarat bagi pembentukan Kotapraja, diadakan
mengingat perimbangan jumlah penduduk yang telah dipakai dalam undang-undang
pembentukan Kabupaten-kabupaten pada waktu yang lampau. Berhubung dengan
pertimbangan tersebut, maka mengenai kota-kota di luar Jawa yang menurut
perkembangan sekarang, penduduknya kurang padat kalau dibandingkan dengan Jawa,
akan tetapi kepentingannya ketata-negaraan tidaklah kurang, misalnya mengenai
ibu-ibu kota karesidenan dahulu maka dibuka kemungkinan untuk menurunkan syarat
minimum penduduk itu dalam hal dipandang perlu oleh pembuat undang-undang
jumlah 50.000 hanya merupakan pedoman saja). Selain daripada itu dalam
Kotapraja tidak dibentuk daerah Swatantra tingkat lebih rendah, karena
pembentukan daerah otonoom di dalam suatu Kotapraja akan mengakibatkan
berkurangnya sumber-sumber penghasilan Kotapraja yang bersangkutan. Oleh karena
juga daerah-daerah otonoom bawahan yang berada dalam Kotapraja itu harus
mempunyai sumber-sumber penghasilannya sendiri agar nanti dapat berdiri sendiri
juga dalam soal keuangannya, yang tentunya harus mengambilnya dari bagian
sumber-sumber penghasilan Kotapraja yang bersangkutan itu. Berhubung dengan itu
pembentukan daerah-daerah otonoom di dalam Kotapraja mungkin dapat merugikan
Kotapraja itu sendiri dan karena itu seyogyanya tidak dibentuk saja
daerah-daerah otonoom tingkat bawahan. Kekecualian diadakan bagi Kota-praja
Jakarta Raya, yang mempunyai riwayat tersendiri dalam pembentukannya dan
perkembangannya. Pun pula melihat luas daerahnya yang meliputi wilayah
stadsgemente Batavia dahulu ditambah dengan kecamatan-kecamatan sekelilingnya
(termasuk kecamatan Pulau Seribu) dan perkembangannya yang sangat cepat dalam
segala segi penghidupan masyarakatnya, memang bagi Jakarta Raya diperlukan
pengaturan dan perhatian yang istimewa pula dalam penyelenggaraan
pemerintahannya. Di samping itu sumber-sumber penghasilannya ternyata cukup
luas dan besar, malah masih diperlukan intensiteit yang lebih besar dari dalam
menggali sumber-sumber keuangannya itu, sehingga karena itu pembentukan daerah
otonoom tingkat lebih rendah di daerah Kotapraja Jakarta Raya akan dapat
melancarkan jalannya pemerintahan di Daerah itu. Seperti diterangkan mengenai
sumber-sumber penghasilannya daerah-daerah otonom itu tadi juga berhubung
dengan banyaknya obyek-obyek tidak akan seberapa memberatkan Kotapraja sendiri.
Pasal
5
Dalam
pasal 5 ditentukan bahwa Pemerintah Daerah terdiri dari pada Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintah Daerah. Dengan ketentuan ini, maka kedua
badan ini merupakan alat-perlengkapan Daerah, yang menurut Undang-undang ini
berkewajiban mengurus segala urusan rumah tangga sendiri dan dapat pula
diserahi tugas untuk memberikan bantuan dalam menjalankan peraturan-peraturan
oleh instansi-instansi yang lebih tinggi. Dalam pasal ini tidak disebut Kepala
Daerah sebagai alat perlengkapan Daerah. Tentang kedudukan Kepala Daerah dan
kekuasaannya dalam pemerintahan Daerah, lihat Penjelasan Umum.
Pasal
6
Cukup
jelas (lihat lebih lanjut dalam Penjelasan Umum).
Pasal
7
Jumlah
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ditetapkan dalam undang Pembentukannya.
Jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ini ditetapkan atas dasar
perhitungan jumlah penduduk, yang harus mempunyai seorang wakil dalam Dewan,
serta syarat-syarat minimum dan maximum jumlah anggota bagi masing-masing
Daerah seperti tersebut dalam ayat 1 sub a, b dan c. Syarat minimum ini
diadakan, agar supaya Daerah yang tidak banyak penduduknya masih mempunyai
jumlah perwakilan yang cukup dalam DPRD-DPRD-nya, sedang syarat-syarat maximum
diadakan jangan sampai jumlah anggota DPRD itu terlalu besar (log), yang dapat
menghambat DPRD-DPRD tersebut dalam menjalankan tugasnya. Agar supaya jumlah
anggota DPRD. ini senantiasa dapat disesuaikan dengan perkembangan masyarakat
di daerah-daerah itu masing-masing, maka telah seyogyanya dalam ayat 2 diadakan
ketentuan, bahwa perubahan jumlah anggota DPRD ditetapkan oleh Menteri Dalam
Negeri. Keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah berlaku untuk masa empat
tahun, Dalam ayat (4) ditentukan, bahwa anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
yang dipilih pada saat sesudah waktu pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah selesai, memegang keanggotaannya itu tidak untuk empat tahun, akan
tetapi sampai berakhirnya waktu pemilihan. Selain dari itu dalam ayat (5)
ditentukan, bahwa para anggota DPRD yang pertama meletakan jabatannya
bersama-sama pada waktu yang ditentukan dalam Undang-undang Pembentukan dengan
ketentuan ini maka Daerah-daerah yang telah dibentuk itu dapat mempunyai waktu
pemilihan yang berakhir pada saat yang sama, meskipun pembentukan Daerah-daerah
itu tidak dilangsungkan pada suatu ketika.
Pasal
8
Untuk
dapat dipilih menjadi anggota DPRD (passief kiesrecht) syarat-syarat tersebut
dalam pasal ini diperlukan, agar supaya anggota itu mempunyai sifat dan
pengetahuan minimum untuk dapat menjalankan kewajibannya dengan baik. Umur dua
puluh satu tahun sebagai ditentukan dalam sub a dianggap cukup bagi seseorang
untuk mempunyai pemandangan luas dan pendapat tertentu tentang pelbagai soal,
sehingga dapat diharap menjalankan kewajibannya sebagai anggota DPRD dengan
baik. Umur dua puluh satu tahun itu harus sudah tercapai pada waktu yang
bersangkutan dipilih menjadi anggota DPRD. Wanita pun tidak dikecualikan untuk
dapat dipilih sebagai anggota. Dalam waktu enam bulan yang ditetapkan pada sub
b anggota harus benar bertempat tinggal di daerah yang bersangkutan, agar
dengan demikian dapat dianggap mengetahui keadaan dari Daerah di mana ia
menjadi wakil rakyatnya. Berhubungan dengan ini dalam sub. b., dipakai istilah
"bertempat tinggal pokok."
Pasal
9
Dalam
pasal 9 sub b ditentukan bahwa anggota DPRD. tidak boleh merangkap menjadi
Perdana Menteri dan Menteri. Sesuai dengan kebiasaan politik (convention) dalam
negara kita, maka yang dimaksudkan dengan Perdana Menteri itu juga Wakil
Perdana Menteri dan dengan menteri juga Menteri Muda (vide Undang-undang Dasar
Sementara 1950). Selain daripada itu dengan ketentuan yang termaktub dalam
pasal 9 ini, dapat ditarik kesimpulan, bahwa semua pegawai Daerah, kecuali yang
dimaksudkan dalam sub. c dapat menjadi anggota DPRD. Dengan demikian diperbesar
kemungkinan pemilih dapat memilih orang-orang yang cakap menjadi anggota DPRD.
Yang *1365 dimaksudkan dengan dinas pada sub b ialah bagian khusus dari
pekerjaan Daerah misalnya: dinas pertanian, dinas pekerjaan-umum, dinas
pendidikan dan sebagainya. Dengan dinas tidak dimaksudkan bagian dari Kantor
Sekretaris atau bagian dari kantor lainnya.
Pasal
10
Pasal
ini bermaksud untuk mencegah jangan sampai anggota-anggota DPRD. itu melakukan
usaha-usaha, baik secara langsung maupun tidak langsung yang mendatangkan
keuntungan baginya atau merugikan bagi daerah yang bersangkutan, seperti
misalnya: menjadi adpokat, pokrol atau kuasa dalam perkara hukum dalam mana
Daerah itu tersangkut dan lain-lain, sebab usaha-usaha tersebut dapat
menurunkan kedudukan kehormatan sebagai anggota DPRD di mata rakyat, yang
dengan sendirinya dapat berakibat mengurangkan kepercayaan rakyat kepada DPRD.
yang bersangkutan. Akan tetapi, kalau kepentingan Daerah memerlukannya, maka
DPRD dapat memberikan pengecualiannya, misalnya: dalam suatu Daerah tidak ada
lagi seorang adpokat atau pemborong bangunan kecuali seseorang yang kebetulan
menjadi anggota DPRD. itu, maka dalam hal ini, tidak ada jalan lain bagi DPRD.
yang bersangkutan daripada menyesuaikan diri dengan keadaan tersebut, dan
menyimpang dari ketentuan termaksud dalam pasal 10 ayat 1. Anggota yang
melanggar larangan tersebut dalam ayat 1 dapat diperhentikan oleh DPRD. dan
sebelum itu dapat diperhentikan sementara oleh DPD. yang bersangkutan akan
tetapi setelah kepada yang bersangkutan itu diberi kesempatan untuk mempertahankan
diri dengan lisan atau tulisan. Untuk mencegah tindakan sewenang-wenang dari
DPRD. maka kecuali kesempatan yang harus diberikan kepada yang bersangkutan
untuk mempertahankan diri, anggota yang bersangkutan dapat minta pula ketentuan
DPD. yang setingkat lebih atas atau bagi anggota DPRD. tingkat ke-I yang
setingkat lebih atas atau bagi anggota DPRD. tingkat ke-I dari Presiden
terhadap putusan pemberhentian dan pemberhentian sementara itu, dalam waktu
satu bulan sesudah menerima putusan tersebut.
Pasal
11.
Dalam
undang-undang ini dirasa perlu untuk mengadakan ketentuan tentang gugurnya atau
dapat digugurkannya anggota-anggota DPRD. yang sama sekali tidak diatur dalam
Undang-undang No.22/1948 RI. dan Undang-undang No.44/1950 NIT. sehingga kerap
kali menimbulkan kesulitan-kesulitan dalam praktek. Keanggotaan DPRD. itu gugur
kalau anggota tersebut meninggal dunia. Lowongan yang dengan demikian ini
timbul dalam DPRD. harus diisi menurut cara-cara yang tersebut dalam pasal 7
ayat 4. Gugurnya keanggotaan karena meninggal dunia ini tidak perlu menunggu
keputusan-keputusan penguasa yang tersebut dalam ayat 2. Keanggotaan DPRD.
dapat digugurkan karena anggota tersebut tidak lagi memenuhi sesuatu syarat
seperti tersebut dalam pasal 8 dan 9, misalnya orang telah dipilih menjadi
anggota DPRD itu kemudian sakit ingatan atau dipecat dari hak memilih atau hak
dipilih dengan keputusan pengadilan yang tidak dapat dirobah lagi atau
lain-lainnya seperti tersebut dalam pasal 8 atau kemudian menjadi Menteri dan
lain-lainnya seperti tersebut dalam pasal 9. Demikian pula kalau anggota DPRD.
itu melanggar suatu peraturan yang khusus ditetapkan bagi anggota-anggota DPRD.
(yang dimaksudkan dengan peraturan di sini ialah peraturan-perundangan yaitu
Undang-undang, Undang-undang Darurat atau Peraturan Pemerintah) atau memajukan
permintaan untuk berhenti sebagai anggota. Penguguran ini harus dilakukan
dengan keputusan Menteri Dalam Negeri bagi anggota DPRD. tingkat ke-I atas usul
DPD. dari Daerah yang bersangkutan dan dengan keputusan DPD. setingkat lebih
atas bagi anggota-anggota DPRD. tingkat ke-I atas usul DPD. dari Daerah yang
bersangkutan dan dengan keputusan DPD. setingkat lebih atas bagi
anggota-anggota DPRD. lainnya atas usul DPD. yang bersangkutan. Dalam ayat 3
disediakan kemungkinan kepada anggota-anggota DPRD. yang bersangkutan untuk
meminta putusan dalam banding kepada Penguasa yang setingkat lebih tinggi
daripada Penguasa yang memutus.
Pasal
12
Dalam
pasal ini ditentukan, bahwa peraturan mengenai uang sidang, uang jalan dan uang
penginapan bagi anggota-anggota DPRD. ditetapkan oleh DPRD. yang bersangkutan.
Kemudian dalam pasal ini juga diberikan dasarnya untuk memberikan uang
kehormatan kepada Ketua dan Wakil Ketua DPRD. bila kemudian misalnya ternyata
bahwa mereka itu harus bekerja sehari-hari dan menyumbangkan tenaganya dengan
penuh, akan tetapi untuk menjaga keadilan dan perimbangan dengan kekuatan
keuangan Daerah, maka peraturan-peraturan tersebut di atas memerlukan
pengesahan terlebih dahulu dari instansi yang lebih atas. Peraturan tersebut
bagi Daerah tingkat II dan III harus disahkan terlebih dahulu oleh DPD.
setingkat lebih atas dan oleh Menteri Dalam Negeri bagi Daerah tingkat I. Untuk
menjaga jangan sampai peraturan tersebut sangat berbeda antara Daerah yang satu
dengan lainnya, maka Pemerintah dengan peraturan Pemerintah dapat memberikan
aturan-aturan umum mengenai hal tersebut (uniformitet).
Pasal
13
Menurut
pasal ini, maka anggota DPRD. sebelum menjalankan hak dan kewajibannya itu
harus bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh di dalam
rapat pertama DPRD. di hadapan Menteri Dalam Negeri atau seorang yang ditunjuk
olehnya yang memimpin rapat itu, bahwa ia akan memenuhi kewajibannya itu dengan
jujur. Oleh karena para anggota DPRD. itu baru boleh memangku jabatannya,
apabila mereka itu sudah bersumpah (menyatakan janji) maka dengan sendirinya
perlu ditetapkan siapa yang akan memimpin rapat pertama DPRD. itu jadi untuk
menerima penyumpahan janji tersebut. Berhubung dengan itu, maka dalam ayat 1
itu ditetapkan, bahwa yang memimpin rapat itu ialah Menteri Dalam Negeri atau
seorang yang ditunjuk olehnya. Baru mengenai pengangkatan sumpah janji dari
anggota DPRD. yang antar waktu mengisi lowongan keanggotaan DPRD. seperti
dimaksud dalam ayat 2, dapat dilangsungkan di hadapan Ketua DPRD. itu sendiri,
oleh karena dalam keadaan yang demikian itu para anggota DPRD. sudah memangku
jabatannya. Berlainan dengan ketentuan dalam undang-undang RI. No.22/1948, maka
anggota-anggota DPD. menurut undang-undang ini tidak perlu mengadakan sumpah
atau janji sebelum menjalankan tugasnya itu, karena anggota-anggota DPD. itu
dipilih oleh dan dari anggota-anggota DPRD. Jadi anggota DPD. itu adalah
anggota DPRD. yang sebelum menjalankan hak dan kewajibannya, sebagai anggota
DPRD. yang sebelum menjalankan hak dan kewajibannya, sebagai anggota DPRD.
telah bersumpah atau berjanji. Karena itu tidak perlu kiranya anggota-anggota
DPD. ini bersumpah atau berjanji sampai dua kali. Tentang susunan kata sumpah
atas janji dicantumkan pula dalam pasal ini, sehingga tidak perlu lagi menunggu
penetapannya dalam peraturan Pemerintah seperti pada Undang-undang RI.
No.22/1948.
Pasal
14
Perkataan
"Sidang dan Rapat" dalam pasal ini mengandung arti yang sama seperti
perkataan-perkataan dalam bahasa asing "Zitting en Vergadering".
Suatu sidang dapat ditentukan untuk suatu waktu, di mana diadakan rapat-rapat.
Penetapan waktu dan penyelenggaraan dari rapat dan sidang ini adalah termasuk
kewajiban Ketua DPRD., meskipun tidak tegas dinyatakan dalam pasal ini. Sidang
dan rapat DPRD. ini dapat juga diadakan atas permintaan Dewan Pemerintah
Daerah, kalau badan ini berpendapat bahwa sidang dan rapat itu perlu diadakan
untuk kepentingan Daerah yang bersangkutan. Kewajiban untuk merahasiakan segala
sesuatu yang dibicarakan dalam rapat tertutup tidak saja mengenai anggota DPRD.
akan tetapi juga mengenai para pegawai/pekerja-pekerja dan semua yang hadir
pada rapat tertutup itu ditambah pula dengan mereka yang mengetahui hal-hal
yang dibicarakan dalam rapat itu dengan jalan lain, umpamanya pegawai yang
mengetahuinya, karena kedudukannya menerima laporan dari lain pegawai yang
mengunjungi rapat.
Pasal
15
Pada
umumnya rapat DPRD. itu terbuka bagi umum. Sifat terbuka ini adalah sesuai
dengan cita-cita demokrasi, di mana rakyat umum juga dapat mengikuti dengan
seksama segala pembicaraan dalam rapat-rapat itu dan apa yang diperdebatkan
oleh para wakilnya itu. Dengan demikian maka umum dapat mengadakan kritik dan
pemandangan-pemandangan atas pembicaraan-pembicaraan dan putusan-putusan yang
diambil dalam rapat itu dengan melalui pers, radio dan lain-lain. Dalam keadaan
yang khusus, misalnya kalau kepentingan umum memerlukannya, maka rapat dapat
memutuskan untuk mengadakan rapat tertutup. Dalam memutuskan ini harus
diindahkan ketentuan-ketentuan dalam pasal 17 ayat 1, 2 dan 3. Ayat 3
menentukan beberapa hal yang tidak dapat diambil putusan dalam rapat tertutup.
Jadi mengenai hal-hal yang tersebut dalam ayat ini harus dibicarakan dalam
rapat terbuka, karena pembicaraan-pembicaraan mengenai hal-hal tersebut perlu
sekali dapat diikuti oleh umum. Hal-hal yang tidak dapat dibicarakan atau
diambil putusan dalam rapat tertutup adalah umumnya mengenai keuangan dan
harta-benda Daerah, tentang penerimaan anggota baru dan segala usaha yang dapat
merugikan atau mengurangi kepentingan umum. Ayat ini mengharuskan supaya umum
mempunyai pengetahuan seluas-luasnya mengenai hal-hal tersebut dengan mengikuti
pembicaraan dalam rapat terbuka.
Pasal
16
Cukup
jelas.
Pasal
17
Dalam
ayat 1 ditetapkan bahwa quorum yang harus dicapai untuk dapat mengadakan rapat
yang sah dan dapat mengambil sesuatu putusan adalah lebih dari separoh jumlah
anggota DPRD., yang ditetapkan dalam undang-undang pembentukan termaksud dalam
pasal 7 ayat 1. Berlainan dengan Undang-undang RI. No.22/1948 di sini dengan
tegas dinyatakan, bahwa yang dimaksudkan dengan jumlah anggota DPRD. ialah
jumlah yang ditentukan dalam undang-undang pembentukan bagi Daerah yang
bersangkutan, jadi bukan jumlah anggota yang benar-benar duduk sebagai anggota
DPRD. Umpamanya menurut undang-undang pembentukan (bagi Propinsi *1368
misalnya) DPRD. mempunyai 75 anggota, akan tetapi waktu akan diadakan rapat ada
lowongan untuk dua kursi (anggota), maka jumlah untuk menetapkan quorum bukanlah
75-2, melainkan tetap seperti yang ditetapkan dalam undang-undang pembentukan
yaitu 75. Jadi dalam hal ini quorum itu adalah lebih dari separoh jumlah
anggota (75)-37« = 38. Untuk mengetahui tercapainya atau tidak quorum itu
haruslah diperiksa daftar anggota yang hadir pada suatu rapat (presentielijst).
Quorum ini dianggap selalu ada selama rapat itu, kecuali jika pada waktu
diadakan pemungutan suara ternyata quorum itu tidak ada lagi, misalnya karena
beberapa anggota yang mula-mula hadir kemudian meninggalkan rapat itu. Di dalam
praktek keadaan ini kerap kali menimbulkan kesulitan, karena timbulnya
persoalan apakah kalau kemudian pada waktu diadakan pemungutan suara ternyata
quorum itu tidak ada lagi, rapat itu masih sah mengingat ketentuan dalam ayat
1. Memang meskipun rapat itu mula-mula sah, karena memenuhi quorum yang telah
ditentukan dalam ayat 1, akan tetapi kalau kemudian pada waktu pemungutan suara
quorum itu tidak ada lagi maka rapat itu tak dapat mengadakan keputusan yang
sah. Ketentuan ini bermaksud agar supaya anggota-anggota DPRD. itu berusaha
untuk menghadiri rapat, yang sudah diadakan itu demi kepentingan Daerah yang
mereka wakili. Kalau quorum tidak tercapai maka harus diadakan rapat lagi pada
waktu lain, sehingga terdapat quorum itu. Aturan bahwa dengan rapat yang kedua,
meskipun tidak tercapai quorum, rapat dianggap sah, tidak ada. Ini untuk
menjaga agar supaya jangan sampai pembicaraan dan putusan dapat diadakan dalam
rapat yang tidak dihadiri oleh kebanyakan dari jumlah anggota DPRD. Dengan
demikian dasar-dasar demokrasi tetap dapat terpelihara. Bila quorum itu terus
menerus tidak dapat tercapai, sehingga DPRD. tidak dapat mengadakan rapat-rapat
dan keputusan yang perlu dalam mengurus rumah tangga Daerah, sehingga merugikan
Daerah atau Negara, maka Pemerintah dengan peraturan Pemerintah menentukan cara
bagaimana Daerah itu harus diurus menurut ketentuan dalam pasal 50. Ayat 2
menegaskan lagi ketentuan dalam ayat 1, yaitu bahwa putusan rapat itu hanya sah
jika diambil dengan suara terbanyak dari anggota yang hadir pada saat
pemungutan suara itu, yang berarti bahwa pada saat itu quorum yang telah
ditetapkan, harus ada. Ayat 3, mengatur pemungutan suara mengenai perkara,
umpamanya mengenai rancangan peraturan daerah, sedang ayat 4 mengatur
pemungutan suara mengenai orang. Tentang cara pemungutan suara, undian dan
sebagainya dapat diatur seterusnya dengan jelas dalam peraturan tata-tertib
DPRD.
Pasal
18
Maksud
aturan ini ialah agar supaya anggota DPRD. dapat mengeluarkan pendapatnya dengan
bebas. Anggota tidak perlu takut akan dituntut, karena apa yang dengan lisan
atau tertulis dikemukakan dalam rapat. Meskipun demikian, anggota harus
mempunyai sopan santun sendiri dan di dalam aturan tata-tertib dapat
ditetapkan, bahwa segala sesuatu harus diajukan dengan sopan dan tertib.
Ketentuan ini hanya mengenai mengeluarkan pendapat dan keterangan dengan bebas
pada waktu diadakan rapat dan diucapkan atau diajukan didalam rapat DPRD. itu.
Ketentuan ini tidak berlaku terhadap rapat-rapat DPD.
Pasal
19
Dalam
ayat 1 ditetapkan bahwa anggota-anggota DPD. dipilih oleh dan dari
anggota-anggota DPRD. atas dasar perwakilan berimbang. Ketentuan ini bermaksud
untuk menghindarkan kemungkinan diborongnya semua kursi dalam DPD. itu oleh
partai yang mempunyai wakil.terbanyak dalam DPRD. Dasar perwakilan berimbang
ini memberikan jaminan kepada partai Kecil atau golongan kecil untuk juga
mempunyai wakilnya dalam DPD. itu. Dengan dasar ini, maka yang menentukan
perwakilan ialah besarnya kiesquotient, misalnya: Jumlah anggota DPRD. adalah
50, sedang jumlah anggota DPD. menurut Undang-undang Pembentukan dari Daerah
yang bersangkutan adalah 5, maka kiesquotientnya adalah 50:5 = 10. Dengan
demikian, inilah partai yang besar dan yang umpamanya mempunyai 25 anggota sebagai
wakilnya dalam DPRD., hanya akan mendapat 2 kursi dalam DPD. itu, sedangkan 3
kursi lainnya disediakan untuk partai-partai atau golongan-golongan lainnya.
Sekedar untuk memberikan tuntunan dalam cara menyelenggarakan dasar perwakilan
berimbang ini, maka Pemerintah dengan Peraturan Pemerintah dapat memberikan
aturan-umum tentang hal ini (ayat 4). Ayat 2 menentukan bahwa Ketua dan Wakil
Ketua DPRD. tidak boleh duduk sebagai anggota DPD. Dengan demikian dapat
dihindarkan keganjilan mengenai tanggung jawabnya sebagai anggota DPD. kepada
DPRD. lagi pula dapat menghindarkan kesulitan dalam penyelenggaraan tugas kedua
badan itu masing-masing. Jumlah anggota DPD. ditetapkan dalam Undang-undang
Pembentukan, karena masing-masing Daerah itu mempunyai jumlah penduduk dan
anggota DPRD. yang berlainan. Pemilihan anggota-anggota DPD. ini seharusnya
dilaksanakan oleh DPRD. segera sesudah DPRD. terbentuk, supaya dengan demikian
urusan rumah-tangga daerah itu dapat segera mulai diselenggarakan.
Pasal
20
Dalam
Undang-undang ini tidak diadakan anggota-anggota pengganti yang khusus bagi
anggota-anggota DPD. yang karena sesuatu hal (misalnya sakit, dan lain-lainnya)
tidak dapat menjalankan tugasnya. Bilamana seorang anggota DPD. karena sesuatu
hal, misalnya sakit, tidak dapat menjalankan tugasnya, maka tugas ini sementara
dijalankan oleh anggota DPD. lainnya yang ada berdasar penunjukan rapat DPD.
Kalau anggota itu terus-menerus sakit, sehingga sama sekali tidak dapat
menjalankan tugasnya, maka satu-satunya jalan untuk mengganti anggota itu
sebelum waktunya berakhir seperti yang ditetapkan dalam ayat 1, ialah supaya
anggota itu memajukan permohonan untuk berhenti menjadi anggota DPD. Anggota
yang insaf akan kedudukannya, sebagai wakil rakyat, yang diserahi tugas
menjalankan putusan-putusan DPRD. dan memimpin sehari-hari pemerintahan Daerah,
akan merasa betapa besar kerugian yang akan diderita Daerahnya dan dengan
demikian juga Negara, bila tugas-tugas itu terbengkalai dan tidak dapat
dilaksanakannya. Oleh karena itu, untuk menghindarkan hal ini, kiranya tidak
akan ada keberatan apa-apa untuk memajukan permohonan berhenti itu, dan
menyediakan tempatnya bagi orang lain, yang akan dipilih oleh DPRD. Seyogyanya,
jika hal ini terjadi maka diberikanlah peringatan seperlunya oleh Ketua/Wakil
Ketua DPD. kepada anggota-anggota yang bersangkutan. Tindakan ini adalah sesuai
dengan sumpah/janji anggota tersebut seperti termaksud dalam pasal 13, yaitu
bahwa senantiasa akan mengutamakan kepentingan negara umumnya dan Daerah
khususnya, daripada kepentingan diri sendiri. Ayat 2 menetapkan, bahwa jika
timbul lowongan keanggotaan DPD. maka anggota baru yang dipilih untuk mengisi
lowongan itu duduk dalam DPD. untuk kekurangan dari waktu tersebut dalam ayat
1. Dengan ketentuan ini, maka anggota-anggota DPD. itu selalu meletakkan
jabatannya pada waktu yang bersamaan, dan hal ini adalah sesuai dengan
pertanggung jawab kolektip dari anggota-anggota DPD. Selanjutnya periksa
Penjelasan Umum, mengenai persoalan tersebut diatas.
Pasal
21
Pedoman
untuk Dewan Pemerintah Daerah yang mengatur cara menjalankan kekuasaan dan
kewajiban perlu diadakan oleh DPRD., agar supaya DPD. dapat menjalankan
pekerjaannya dengan sebaik-baiknya. Karena pedoman tersebut mengenai soal yang
dapat berakibat besar untuk berjalannya peraturan-peraturan daerah, maka guna
menjaga ketepatannya diperlukan pengesahan dari instansi atasan. Seperti
biasanya terjadi dalam praktek Dewan Pemerintah Daerah menetapkan peraturan
tata-tertib untuk rapat-rapatnya, yang baharu dapat berlaku setelah disahkan
oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Pasal
22
Dalam
pasal 44 ayat 2 ditetapkan, bahwa pimpinan sehari-hari pemerintahan Daerah
diserahkan kepada Dewan Pemerintah Daerah. Berhubung dengan ini dapatlah
dikira-kirakan, bahwa tenaga anggota-anggota DPD. itu akan dibutuhkan
sepenuhnya bagi kepentingan pemerintahan Daerah itu, sehingga tidak mungkin
dirangkap dengan jabatan lain. Mengingat hal tersebut di atas, maka dalam pasal
ini ayat 1 ditetapkan, bahwa kepada anggota DPD. tersebut diberikan uang kehormatan
menurut peraturan-peraturan yang dibuat oleh DPRD. Uang kehormatan ini
dimaksudkan sebagai uang pengganti kerugian yang terbatas. Artinya bahwa,
sesuai dengan kedudukan kehormatan sebagai anggota-anggota DPD., kepada
anggota-anggota DPD. diberikan sekedar uang pengganti kerugian, yang besarnya
ditetapkan dengan mengingat kekuatan keuangan Daerah yang bersangkutan dan
Negara. Tidaklah uang kerugian ini dimaksudkan sebagai pengganti kerugian
seluruh penghasilan yang mungkin diperoleh seorang anggota DPD. itu di luar
lapangan pekerjaan sebagai anggota. Seorang anggota DPRD yang telah dipilih dan
juga menerima pilihan itu sebagai anggota DPD., sudah selayaknya menerima pula
segala konsekuensinya, yaitu di sini yang berhubungan dengan uang kehormatan yang
telah ditetapkan oleh DPRD. yang bersangkutan itu. Kepala Daerah, yang menjadi
Ketua dan anggota DPD. karena jabatannya, tidak menerima uang kehormatan
dimaksud itu. (Lihatlah selanjutnya pasal 28). Untuk mencegah penetapan uang
kehormatan yang melebihi batas dan sangat berbeda dengan lain-lain Daerah, maka
penetapan DPRD. mengenai hal ini harus disahkan terlebih dahulu oleh instansi
yang lebih atas.
Pasal
23, 24 dan 25
Yang
dimaksud dengan penguasa ialah pegawai Pemerintah Pusat atau Dewan Pemerintah
Daerah tingkat ke-I dan II, yang bertindak atas nama Menteri Dalam Negeri.
Selanjutnya sudah cukup dijelaskan dalam Penjelasan Umum. *1371
Pasal
26 Mengenai perwakilan Kepala Daerah sudah
cukup dijelaskan dalam Penjelasan Umum.
Pasal
27 Mengenai perwakilan Kepala Daerah Istimewa
sudah cukup dijelaskan dalam penjelasan Umum.
Pasal
28 Mengenai gaji dan segala
"emolumenten" yang melekat kepada jabatan Kepala Daerah sudah cukup
dijelaskan dalam Penjelasan Umum.
Pasal
29 Mengenai gaji dan segala
"emolumenten" yang melekat kepada jabatan Kepala Daerah Istimewa
sudah cukup dijelaskan dalam penjelasan Umum.
Pasal
30
Juga
Kepala Daerah yang telah dipilih berdasarkan pasal 23 atau pasal 24, sebelum
memangku jabatannya, harus mengangkat sumpah (janji). Pengangkatan sumpah janji
tersebut harus dilakukan di hadapan Ketua DPRD. dalam suatu sidang DPRD.
tersebut, sebagai suatu badan di mana terhimpun wakil-wakil dari rakyat Daerah
yang bersangkutan, sedangkan penyaksian oleh wakil Pemerintah Pusat menunjukkan
adanya suatu titik pertemuan dalam kepentingan, yaitu sebagai penanggung jawab
terakhir kepada DPR. Demikian pula sebaliknya pengangkatan sumpah janji dari
Kepala dan Wakil Kepala Daerah Istimewa, yang telah diangkat oleh instansi-instansi
Pemerrintah Pusat berdasarkan pasal 25 harus disaksikan oleh DPRD. yang
bersangkutan, penyaksian mana juga menunjukkan adanya suatu titik pertemuan
dalam kepentingan, yaitu kepentingan dari Daerah yang bersangkutan. Oleh karena
cara pengangkatan dari Kepala Daerah dan dari Kepala Daerah Istimewa itu adalah
berbeda, maka isi sumpah janji itu pun sedikit berlainan, satu dan lain
disesuaikan dengan cara pengangkatannya tersebut.
Pasal
31
Ayat
1 dari pasal 31 menyatakan, bahwa urusan rumah tangga Daerah diatur oleh
Pemerintah Daerah, sehingga segala urusan yang tidak atau belum diatur oleh
Pemerintah Pusat atau Daerah tingkat atasan dapat diatur oleh Daerah.
Sebaliknya apabila sesuatu urusan berdasarkan kepentingan umum diatur oleh
Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah tingkat atasan, maka Peraturan Daerah
yang mengatur urusan itu dengan sendirinya berhenti berlaku.
Ayat
2 menetapkan adanya urusan tertentu sebagai kekuasaan pangkal daripada
Pemerintah Daerah. Di mana keadaan sekarang menyatakan, bahwa urusan yang ada
di tangan Pemerintah Pusat dapat dijadikan urusan Daerah, maka ayat 3
memberikan dasar, agar sebanyak mungkin dari urusan-urusan yang diatur oleh
Pemerintah Pusat itu dialihkan menjadi urusan Daerah. Dalam pelaksanaannya akan
dibentuk suatu Dewan Otonomi dan Desentralisasi yang dimaksud dalam penjelasan
Umum. Selanjutnya mengenai pasal 31 ini lihatlah uraian dalam penjelasan Umum.
Pasal
32
Pasal
ini memberikan kemungkinan kepada Pemerintah Pusat untuk minta bantuan kepada
Pemerintah Daerah dalam hal menjalankan peraturan-peraturan perundangan
(pengesahan sesuatu urusan dalam "hak medebewind"). Berdasarkan pasal
132 ayat 3 Undang-undang Dasar Sementara, maka dengan undang-undang dapat
diserahkan penyelenggaraan tugas-tugas kepada Daerah yang tidak termasuk dalam
urusan rumah-tangganya. Akan tetapi, sesuai dengan maksud pasal 99
Undang-undang Dasar Sementara, maka dalam pasal ini ditetapkan bahwa penyerahan
sesuatu dalam hak medebewind itu dapat dilakukan dalam undang-undang pembentukan
atau berdasarkan atas atau dengan peraturan undang-undang lainnya, yang berarti
bahwa penyerahan sesuatu dalam hak medebewind itu, dapat juga dilakukan dengan
Peraturan Pemerintah. Selain daripada itu menurut ketentuan ini, maka hak
medebewind itu hanya dapat diserahkan kepada Pemerintah Daerah, yaitu DPRD.
atau DPD., jadi tidak kepada Kepala Daerah.
Pasal
33
Selainnya
Pemerintah Pusat, juga sesuatu Daerah dapat menyerahkan kewajibannya kepada
Daerah dibawahnya untuk dijalankan (medebewind). Perlu di sini diperhatikan,
bahwa sesuatu Daerah hanya dapat minta bantuan dari Daerah tingkat bawahannya
dalam menjalankan peraturan daerah itu khusus mengenai hal-hal yang terletak
dalam dataran otonomi Daerah itu. Apa yang diserahkan "in-medebewind"
oleh Pemerintah Pusat kepada Daerah itu, tidak dapat oleh Daerah itu diserahkan
lagi kepada Daerah tingkat bawahannya seperti termaksud oleh pasal ini kecuali
kalau kebebasan ini memang diberikan oleh undang-undang peraturan Pemerintah
termaksud dalam pasal 32.
Pasal
34
Ketentuan
dalam pasal ini bermaksud untuk menghilangkan keraguraguan tentang siapa yang
diserahi hak medebewind menurut pasal 32 dan 33 itu. Apabila dalam
undang-undang, peraturan Pemerintah atau peraturan daerah hak medebewind itu
diserahkan kepada Pemerintah atau peraturan daerah hak medebewind itu
diserahkan kepada Pemerintah Daerah, maka ini berarti bahwa yang diserahi
menjalankan tugas itu ialah Dewan Pemerintah Daerah, lain halnya kalau dalam
peraturan perundangan itu dengan tegas dinyatakan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah.
Pasal
35
Dalam
pasal ini ditetapkan bahwa.Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat membela
kepentingan-kepentingan Daerah dan penduduknya ke hadapan instansi-instansi
lebih atas (hak petisi). Hal ini dapat dijalankan dengan tertulis, lisan atau
mosi.
Pasal
36
Dalam
ayat 1 ditentukan, bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk kepentingan
Daerah atau untuk kepentingan pekerjaan tersebut dalam Bab IV $ 1 dapat membuat
peraturan-peraturan yang disebut "peraturan-daerah" dengan ditambah
nama Daerah, misalnya "Peraturan Daerah Propinsi Jawa Barat".
Peraturan-peraturan daerah ini harus ditandatangani oleh Ketua Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah. Agar supaya diperoleh "uniformiteit" dalam bentuk
peraturan daerah, maka Pemerintah dengan peraturan Pemerintah dapat menetapkan
ketentuan-ketentuan tentang hal tersebut.
Pasal
37
Dalam
ayat 1 ditetapkan, bahwa peraturan daerah itu baru mempunyai kekuatan mengikat
kalau peraturan tersebut sudah diundangkan oleh Kepala Daerah dalam
lembaran-lembaran termaksud dalam sub a dan b, dan jikalau tidak ada
lembaran-lembaran itu, maka pengundangan dilakukan menurut cara lain yang
ditentukan dalam Peraturan Pemerintah. Ketentuan dalam ayat 2 bermaksud untuk
melenyapkan keragu-raguan mengenai berlakunya peraturan daerah itu. Demikian
pula mengenai peraturan-peraturan daerah, yang harus disahkan terlebih dahulu
oleh instansi lebih atas untuk dapat berlaku, hanya diundangkan kalau sudah
diperoleh pengesahan itu atau jangka waktu tersebut dalam pasal 63 berakhir
(yaitu jikalau dalam 3 bulan terhitung mulai hari keputusan itu dikirimkan
untuk mendapat pengesahan, ketetapan itu tidak diambil).
Pasal
38
Ketentuan
dalam ayat 1 ini bermaksud, bahwa dalam menyelenggarakan hal otonomi yang
bersifat luas itu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah harus selalu mengingat apakah
sesuatu pokok atau hal yang akan diaturnya dalam peraturan-daerah itu, tidak
sudah diatur lebih dahulu dalam peraturan-peraturan daerah itu, tidak sudah
diatur lebih dahulu dalam peraturan-perundangan yang lebih tinggi tingkatnya.
Sebab dalam sistim pemerintahan negara kesatuan, di mana daerah-otonom
merupakan suatu bagian yang "integrerend'" daripada Negara, maka
harus dijaga jangan sampai terjadi pertentangan dalam perundang-undangan antara
Daerah otonom dengan Pemerintah Pusat atau dengan Daerah yang lebih tinggi
tingkatnya ataupun dalam sesuatu peraturan daerah diatur sesuatunya yang
bertentangan dengan kepentingan umum. Yang dimaksudkan dengan istilah
"peraturan perundangan" disini, ialah apa yang dimaksud dengan
"wetteljke regeling" yakni yang terdiri dari:
a. peraturan undang-undang yakni undang-undang, undang-undang
darurat dan peraturan Pemerintah.
b. peraturan daerah. Dalam ayat 2 ditetapkan bahwa peraturan
daerah tidak boleh mengatur pokok-pokok dan hal-hal yang telah diatur dalam
peraturan-perundangan yang lebih tinggi tingkatnya. Ketentuan ini adalah sesuai
dengan maksud dari sistem rumah tangga daerah yang riil (lihat penjelasan
Umum), di mana Daerah berhak mengurus segala sesuatu yang dianggapnya termasuk
urusan rumah-tangga daerahnya, kecuali kalau peraturan-perundangan yang lebih
tinggi tingkatnya itu menyediakannya pengurusan tersebut bagi instansi sendiri
atau bagi tingkat Daerah lain atau mengaturnya sendiri pokok-pokok/hal-hal yang
sama itu. Dalam pasal ini dibedakan dengan tegas antara pokok-pokok (dalam
bahasa asingnya "onderwerpen") dan hal-hal (dalam bahasa asingnya
"punten", oleh karena membawa akibat yang sangat berlainan seperti
termaksud dalam ayat 3 dan 4 yaitu:
- kalau sesuatu peraturan daerah
mengatur pokok-pokok yang kemudian diaturnya dalam peraturan-perundangan
yang lebih tinggi tingkatnya, maka peraturan-daerah tersebut dengan
sendirinya (van Rechtswege) tidak berlaku lagi.
- kalau peraturan-perundangan yang
lebih tinggi tingkatnya itu memuat beberapa hal yang sama (hal-hal itu
merupakan bagian dari suatu pokok), sebagai yang telah diatur dalam
peraturan-daerah, maka peraturan-daerah itu terus berlaku, kecuali
mengenai hal-hal yang diatur kemudian dalam peraturan-perundangan yang
lebih tinggi tingkatnya itu.
Pasal
39
Pasal
ini memberikan kekuasaan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk menetapkan
hukuman terhadap pelanggaran peraturan-peraturannya; hukuman selama-lamanya
enam bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 5.000,- dapat ditetapkan oleh
masing-masing Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari tiga tingkat Daerah. Agar
supaya hal ini dapat dijalankan dengan penuh kebijaksanaan, maka peraturan yang
memuat peraturan-pidana untuk dapat berlaku harus disahkan terlebih dahulu oleh
Menteri Dalam Negeri bagi peraturan daerah tingkat ke-I dan oleh Dewan
Pemerintah Daerah setingkat lebih atas bagi peraturan daerah lainnya. Dalam
ayat 2 diatur tentang pelanggar-ulangan (recidive) dari perbuatan pidana
tersebut dalam ayat 1 yang sama sekali tidak diatur dalam Undang-undang
Republik Indonesia No.22 tahun 1948. Dalam hal recidive tersebut di atas, yang
dilakukan dalam waktu tidak lebih dari satu tahun sejak penghukuman pelanggaran
pertama tidak dapat diubah lagi, maka hukuman-hukuman itu dapat diancamkan
sampai dua kali maximum dari hukuman yang termaksud dalam ayat 1. Maksud
ketentuan ini ialah agar supaya yang berkewajiban sungguh-sungguh mentaati
peraturan tersebut.
Pasal
40 Pasal ini memberikan kemungkinan kepada
Daerah untuk menunjuk pegawai-pegawai daerah yang diberi tugas kepolisian,
yaitu untuk mengusut pelanggaran ketentuan-ketentuan dalam peraturan daerah.
Pasal
41
Dalam
pasal ini ditetapkan, bahwa kalau pelaksanaan keputusan daerah itu memerlukan
bantuan alat kekuasaan, maka dalam peraturan daerah dapat ditetapkan, bahwa
segala biaya untuk bantuan itu dapat dibebankan kepada pelanggar. Ketentuan ini
yang tidak terdapat dalam Undang-undang Republik Indonesia No.22 tahun 1948
bermaksud, agar supaya yang berwajib sungguh-sungguh mentaati segala keputusan
Daerah itu, dan bila terpaksa pelaksanaan keputusan itu harus mendapat bantuan
alat-kekuasaan, maka segala biaya untuk bantuan itu dapat dibebankan kepada
pelanggar. Dengan "sanctie" ini, maka kiranya dapat dijamin
pelaksanaan keputusan Daerah itu sebagaimana mestinya.
Pasal
42
Dalam
menjalankan kekuasaan dan kewajibannya, Daerah-daerah dapat bekerja
bersama-sama; kerja sama ini tidak perlu hanya antara Daerah-daerah yang
setingkat saja,. melainkan dapat juga antara Daerah-daerah yang tidak sama
tingkatnya. Kerja-sama ini dapat dijalankan jika kepentingan dari Daerah-daerah
yang bersangkutan itu memerlukannya (incidenteel). Kepentingan-kepentingan ini
mengenai seluruh lapangan Pemerintahan Daerah. Keputusan daerah untuk mengatur
kerja sama ini lebih dahulu harus disahkan oleh instansi atasan. Pada umumnya
kerja sama antara Daerah-daerah itu diputuskan oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah masing-masing sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam Daerah-daerah
itu. Akan tetapi dalam keadaan memaksa maka juga Dewan Pemerintah Daerah dapat
mengambil inisiatif untuk mengadakan kerja sama itu, dengan catatan bahwa
keputusan yang demikian ini kemudian harus disahkan oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah-daerah yang bersangkutan, karena kerja sama ini pada umumnya,
membawa akibat-akibat finansieel yang harus ditanggung oleh Daerah
masing-masing. Selain daripada itu jika untuk melaksanakan kerja sama ini
dibentuk sebuah badan atau panitia, maka dalam peraturan kerja sama itu harus
pula diatur tentang pertanggungan-jawab dari badan atau panitia ini. Apabila
kerja sama itu terjadi antara Daerah tingkat I dan Daerah tingkat II atau
Daerah-daerah lainnya yang tidak sama tingkatnya, maka pengesahan dilakukan
oleh instansi yang lebih tinggi dari Daerah yang tertinggi diantara
Daerah-daerah yang mengadakan kerja sama itu, jadi di sini oleh Menteri Dalam
Negeri. Demikian pula, kalau kemudian tidak terdapat kata sepakat tentang
perubahannya atau pencabutannya peraturan tentang kerja sama itu, maka Menteri
Dalam Negeri atau Dewan Pemerintah Daerah yang tersebut dalam ayat 2 yang
memutus.
Pasal
43
Ketentuan
mengenai panitia-panitia ini tidak terdapat dalam Undang-undang Republik
Indonesia No.22 tahun 1948. Oleh karena itu dalam undang-undang baru ini dirasa
perlu untuk mengadakan kemungkinan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
membentuk panitia-panitia yang diperlukan untuk menjalankan pekerjaan-pekerjaan
tertentu dengan maksud agar supaya tugas Daerah itu dapat berjalan lancar
misalnya membentuk panitia untuk mempersiapkan dan mempermudahkan pemecahan
persoalan dan lain-lain.
Pasal
44
Kekuasaan
dan kewajiban Dewan Pemerintah Daerah adalah terutama termasuk kekuasaan
eksekutip. Oleh karena itu, kewajiban pertama dari Dewan Pemerintah Daerah itu
ialah menjalankan putusan-putusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Di samping
hal tersebut di atas, maka pimpinan sehari-hari dari pemerintahan Daerah diserahkan
pula kepada Dewan Pemerintah Daerah (ayat 2). Apa yang termasuk pimpinan
sehari-hari dalam pasal ini tidak dijelaskan; akan tetapi meskipun demikian
pimpinan sehari-hari ini harus diperbedakan dari pimpinan-umum dari Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, yang memegang kekuasaan yang tertinggi di Daerah itu.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang memegang pimpinan umum, seyogyanya tidak
memegang pemerintahan sehari-hari karena badan ini terlalu "log" dan
dengan demikian tidak layak untuk memimpin Pemerintahan sehari-hari. Karena itu
pimpinan sehari-hari ini diserahkan kepada Dewan Pemerintah Daerah, yang dalam
menjalankannya ini harus bertanggung-jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah.
Pasal
45
Disamping
kewajiban-kewajiban tersebut dalam pasal 44 Dewan Pemerintah Daerah dapat juga
diserahi tugas untuk menetapkan peraturan-peraturan penyelenggaraan dari
peraturan-daerah. Dengan ketentuan ini maka Dewan Pemerintah Daerah dapat
diberi kekuasaan legislatip, meskipun hanya terbatas pada pembuatan peraturan penyelenggaraan
dari peraturan daerah saja. Maksud dari ketentuan ini ialah agar supaya
penyelenggaraan pemerintah daerah dapat lebih cepat dan efisien diadakan dan
tidak perlu segala sesuatu itu diatur oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Pasal
46
Ketentuan
ini diadakan sesuai dengan tanggung jawab anggota-anggota DPD. dalam
menjalankan tugasnya secara kolektip kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(pasal 48).
Pasal
47
Pasal
ini menetapkan, bahwa Dewan Pemerintah Daerah juga berkewajiban untuk
menyiapkan segala sesuatu yang harus dipertimbangkan dan diputuskan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, kecuali kalau persiapan ini oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah ditugaskan kepada badan lain (vide pasal 43). Ketentuan semacam
ini tidak terdapat pada Undang-undang Republik Indonesia No.22 tahun 1948,
karena itu dalam undang-undang ini dimuatnya untuk lebih menjelaskan lagi
tugas-tugas Dewan Pemerintah Daerah itu.
Pasal
48
Pasal
ini menetapkan tanggung-jawab Dewan Pemerintah Daerah terhadap Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah dalam menjalankan tugasnya itu. Lebih konsekuen daripada
Undang-undang Republik Indonesia No.22 tahun 1948, maka di sini diatur
pertanggungan-jawab Dewan Pemerintah Daerah secara kolektif kepada Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah. Dewan Pemerintah Daerah dapat mengadakan pembagian pekerjaan
antara anggota-anggota dan terhadap pekerjaan ini masing-masing bertanggung
jawab kepada Dewan Pemerintah Daerah (sebagai college). Jadi
pertanggungan-jawab dari anggota-anggota Dewan Pemerintah Daerah mengenai tugas
kewajiban yang ditetapkan menjadi tugas anggota-anggota itu masing-masing di
dalam Dewan Pemerintah Daerah. Akan tetapi kepada Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, maka seluruh Dewan Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab secara
kolektif yaitu: Kalau Dewan Pemerintah Daerah tidak menyetujui salah suatu
tindakan anggotanya, maka Dewan Pemerintah Daerah dapat menyerahkan tugas
anggota tersebut kepada anggota Dewan Pemerintah Daerah yang lain atau merobah
pembagian pekerjaan antara anggota-anggota Dewan Pemerintah Daerah yang telah
ditetapkan itu. Terhadap tindakan anggota tersebut, Dewan Pemerintah Daerahlah
yang bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Hal ini dapat
mengakibatkan timbulnya mosi tidak percaya atau mosi tidak setuju (afkeuring)
dari DPRD. yang bersangkutan terhadap kebijaksanaan DPD. yang dapat menyebabkan
tumbangnya DPD. tersebut. Oleh karena itu, adanya tanggung jawab kolektif ini,
mengharuskan anggota-anggota DPD. itu bekerja rapat dan saling membantu satu
sama lain.
Pasal
49
Perwakilan
ini perlu ditegaskan di sini agar supaya dalam perkara perdata atau pidana
terang badan mana yang harus bertindak atas nama Daerah, jika Daerah menjadi
penggugat atau yang digugat. Akan tetapi tidak hanya perwakilan di dalam
pengadilan saja, melainkan juga di luar pengadilan ditegaskan di sini. Karena
Dewan Pemerintah Daerah ini merupakan sebuah "college", maka kerap
kali tidak mungkin untuk seluruh "college" itu yang mewakili Daerah. Berhubung
dengan ini, maka dalam pasal ini ditentukan, bahwa Dewan Pemerintah Daerah
dapat menunjuk seorang kuasa untuk menggantinya misalnya: seorang anggota Dewan
Pemerintah Daerah/Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau Kepala Daerah sendiri.
Pasal
50
Dalam
hal Pemerintah Daerah melalaikan mengurus rumah tangga Daerah seperti tersebut
dalam ayat 1, maka Pemerintah dapat menentukan cara bagaimana Daerah itu harus
diurus menyimpang dari pasal 31. Pemerintah misalnya dapat menyerahkan tugas
DPRD. itu kepada DPD. jika tindakan lain tidak berhasil, maka sebagai tindakan
terakhir Pemerintah dapat membekukan DPRD. untuk suatu masa tertentu atau
membubarkan DPRD. Apabila Pemerintah terpaksa membubarkan DPRD., maka
Pemerintah berwajib dalam waktu 1 bulan sesudah pembubaran itu mulai dengan
mengadakan pemilihan DPRD. baru, agar supaya "vacuum" demokrasi di
Daerah dapat segera diatasi. Ayat 2 mengatur dalam hal Pemerintah Daerah
melalaikan tugasnya medebewins sedangkan ayat 3 memberikan
"voorziening" dalam hal DPRD. itu tidak menjalankan tugas yang
diserahkan kepadanya oleh DPRD. yang lebih tinggi tingkatnya. Ayat 4
menentukan, bahwa selama Peraturan Pemerintah dimaksud dalam ayat 1 belum
menentukan cara bagaimana Daerah itu harus diurus, maka Kepala Daerah diserahi
tugas menjalankan hak, tugas dan kewajiban Pemerintah Daerah.
Pasal
51
Untuk
menghilangkan segala keragu-raguan dalam praktek mengenai kedudukan pegawai
yang diperbantukan maka diadakan ketentuan umum dalam pasal ini. Pada
prinsipnya semua pegawai daerah begitu pula pegawai Negara yang diperbantukan
kepada Daerah berada di bawah pimpinan Dewan Pemerintah Daerah dan bukan di
bawah Kepala Daerah, kecuali dengan sendirinya dalam hal dimaksud dalam pasal
50 ayat 4.
Pasal
52
Sekretaris
Daerah menurut pasal ini adalah seorang pegawai Daerah, yang
diangkat/diberhentikan oleh DPRD. atas usul DPD. dengan mengingat syarat-syarat
tersebut dalam pasal 53 ayat 1. Karena pekerjaan dan kedudukan-kedudukan
Sekretaris Daerah ini sangat penting, maka pengangkatan dan pemberhentiannya
dilaksanakan oleh DPRD. Akan tetapi karena dalam prakteknya sulit bagi DPRD.
untuk mengetahui pegawai Daerah yang mana yang kiranya cakap untuk diangkat
menjadi Sekretaris Daerah, maka ditetapkan bahwa pengangkatan itu dilakukan
atas usul DPD., yang lebih mengetahui tentang keadaan dan kecakapan pegawai
Daerah, karena semua pegawai Daerah berada di bawah pimpinan DPD. selain
daripada itu, agar supaya Sekretaris Daerah yang diangkat itu sungguh-sungguh
orang yang cakap dan memang patut menduduki tempat itu, maka harus pula
diperhatikan syarat-syarat yang tersebut dalam pasal 53 ayat 1, dimana
diantaranya ditetapkan bahwa penuturan tentang pengangkatan pegawai
sedapat-dapatnya diseganikan dengan peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh
Pemerintah Pusat terhadap pegawai Negara. Jadi baik DPD. yang mengusulkan calon
Sekretaris Daerah itu, maupun DPRD. yang mengangkatnya harus memperhatikan
sedapat-dapatnya syarat-syarat yang ditetapkan oleh Negara bagi pegawainya yang
berkedudukan sama. Dengan jalan demikian kiranya dapat dihindari pengangkatan
seorang Sekretaris hanya atas dasar dan kepentingan politik saja. Seperti di
atas telah dikatakan, maka Sekretaris Daerah itu tidak merangkap Sekretaris
Kepala Daerah seperti termaksud dalam Undang-undang Republik Indonesia No.22/1948
dan Undang-undang NIT. No.44/1950, melainkan Sekertaris Daerah itu adalah
-Sekertaris DPRD. dan DPD. Yang dimaksudkan dengan ayat 3 ialah, jika
berhalangan itu terjadi untuk waktu yang pendek; jika halangan itu menjadi
lama, umpamanya lebih dari 3 bulan karena sakit, maka DPD. untuk keberesan
pekerjaan seharusnya mengajukan gantinya Sekretaris itu kepada DPRD.
Pasal
53
1) Peraturan tentang pegawai Daerah harus ditetapkan dalam
peraturan daerah oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah oleh karena ini menjadi
kekuasaan dan kewajibannya. Maka Daerah dapat mengadakan peraturan tentang hal
itu yang berbeda dengan peraturan yang berlaku bagi pegawai Negara, tetapi
sedapat mungkin Daerah diharuskan dalam pasal ini menyesuaikan peraturan dengan
peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh Pemerintah bagi pegawai Negara.
2) Peraturan-daerah itu untuk dapat berlaku harus disahkan dulu
oleh Menteri Dalam Negeri bagi Daerah tingkat ke-I dan bagi Daerah tingkat
ke-II dan ke-III oleh Dewan Pemerintah Daerah setingkat lebih atas.Pengesahan
itu diperlukan untuk menjaga jangan sampai imbangan tentang gaji dan lain-lain
terganggu.
Pasal
54
1) Karena pegawai-pegawai yang mempunyai keahlian sementara waktu
ini tidak akan mencukupi keperluan pemerintahan Daerah, maka masih diperlukan
cara memperbantukan pegawai Negara kepada Daerah, agar supaya Pemerintah dapat
membagi-bagi tenaga dengan rasionil kepada Daerah-daerah. Ketentuan dalam ayat
1 pasal ini diadakan untuk lebih menegaskan lagi kedudukan pegawai Negara dan
pegawai Daerah yang diperbantukan.
2) dan 3) untuk menegaskan instansi manakah yang harus memikul
akibat keuangan dari perbantuan pegawai itu, maka diadakan ketentuan yang
termuat dalam ayat 2 pasal ini. Pada pokoknya ditentukan, bahwa instansi yang
memakai tenaga itu, membayar gajinya. Uang iuran pensiun dan sebagainya
dimasukkan dalam kas instansi yang memperbantukan tenaga tersebut.
Pasal
55
Ketentuan
ini diadakan untuk memberi kemungkinan kepada Pemerintah Daerah meminta
pertolongan kepada pegawai-pegawai Negara dalam menyelenggarakan urusan-urusan
tertentu dari Daerah itu, karena misalnya tidak ada tenaga pada Daerah itu
untuk menyelenggarakan urusan tersebut, atau dalam hal sesuatu Daerah tidak
atau belum mempunyai pegawai yang ahli untuk mengorganisir dinas baru dari
Daerah itu berhubung dengan penyerahan baru dari sesuatu urusan Pemerintah
Pusat kepada Daerah tersebut. Pegawai yang dimaksud dalam ayat ini tidak
merupakan pegawai Negara yang diperbantukan kepada Daerah, tetapi tetap
berkedudukan sebagai pegawai Negara dan termasuk formasi pegawai dari
Kementerian, atau Jawatannya semula. Di dalam prakteknya, adanya ketentuan
tentang syarat-syarat dan hubungan kerja antara pegawai Negara yang
dipekerjakan untuk kepentingan Daerah, dengan alat-alat pemerintahan Daerah itu
akan lebih menegaskan kedudukan hukum dari pegawai Negara itu selama tenaganya
dibutuhkan guna kepentingan Daerah yang bersangkutan.
Pasal
56
1) Mengikuti ketentuan dalam UUDS. pasal 117 yang tidak
memperkenankan pemungutan pajak dan cukai untuk kegunaan kas Negara, kecuali
dengan Undang-undang atau atas kuasa Undang-undang, maka hak untuk mengadakan
pajak daerah dan retribusi daerah dengan Undang-undang ini diletakkan dalam
tangan DPRD. (Pasal 56 ayat 1). Yang dimaksud dengan pajak daerah ialah
pungutan daerah berdasarkan peraturan yang ditetapkannya guna pembiayaan
pengeluaran-pengeluaran daerah sebagai badan publik, sedang lapangan pajak
daerah adalah lapangan pajak yang belum dipergunakan atau diusahakan Negara.
Retribusi daerah ialah pungutan daerah sebagai pembayaran pemakaian atau karena
memperoleh jasa pekerjaan, usaha atau milik daerah bagi yang berkepentingan
atau karena jasa yang diberikan oleh daerah baik langsung maupun tidak
langsung.
2) Ketentuan bahwa peraturan umum tentang pajak daerah dan
retribusi daerah ditetapkan dalam Undang-undang (Pasal 56 ayat 2) dimaksudkan
agar daerah mendapat pegangan yang umum, sehingga akan dapat dijauhkan
pembebanan rakyat yang melebihi batas. Di dalam menentukan besarnya jumlah
pajak atau retribusi harus mendapat perhatian beberapa faktor-faktor antara
lain tarip-tarip yang berlaku dilain-lain daerah sekitarnya, kekuatan keuangan
serta kemampuan penduduk, tarip-tarip yang progresif dan sebagainya, sehingga
pajak daerah dan retribusi daerah yang diadakan itu terasa adil dan layak oleh
penduduk dan merupakan sumber pendapatan yang berarti bagi daerah.
3) Oleh karena pajak daerah dan retribusi daerah itu bagi daerah
merupakan pendapatan yang tidak kecil artinya dan kepada penduduk memberikan
beban, dan dengan demikian mempunyai arti yang penting bagi semua fihak, maka
ditentukan bahwa untuk berlakunya sesuatu peraturan tentang pajak daerah dan
retribusi daerah diperlukan pengesahan lebih dahulu oleh penguasa dan menurut
cara-cara yang ditetapkan dalam Undang-undang (pasal 56 ayat 3).
Pasal
57
Seperti
dijelaskan dalam penjelasan pasal 56 lapangan pajak daerah adalah lapangan pajak
yang belum dipergunakan atau diusahakan oleh Negara. Dalam pada itu di antara
pajak-pajak yang telah diusahakan oleh Negara terdapat beberapa macam pajak
yang sedikit banyak mempunyai sifat kedaerahan dan pengurusannya lebih tepat
jika diselenggarakan oleh daerah, seperti pajak verponding, pajak rumah tangga,
pajak potong dan sebagainya. Kesanggupan keuangan daerah sebesar-besarnya dan
seluas-luasnya untuk pembiayaan urusan rumah tangganya memerlukan penyerahan
pajak-pajak yang dimaksud di atas kepada daerah. Dengan penyerahan ini dapat
diharapkan bahwa daerah akan lebih mencurahkan perhatian serta tenaganya untuk
mendapatkan hasil yang sebesar-besarnya untuk kepentingan daerah-daerah
sendiri.
Pasal
58
1) Selain daripada penyerahan pajak Negara kepada daerah (pasal
57) dapat pula diserahkan sebagian atau seluruh penerimaan dari sesuatu pajak
Negara, agar dapat terjamin kebutuhan akan keuangan (ayat 1 sub a) begitu pula
jika perlu dapat diberikan ganjaran, subsidi dan sumbangan (ayat 1 sub b).
Ganjaran adalah:
- jumlah uang yang diserahkan kepada
daerah berhubung dengan kewajiban menyelenggarakan tugas Negara.
- jumlah uang yang diserahkan kepada
daerah berhubung tugas Negara telah menjadi urusan rumah tangga daerah.
Dasar daripada pemberian ganjaran ini ialah bahwa:
a. daerah memerlukan waktu yang tidak singkat untuk dapat
menyesuaikan keadaan keuangannya guna menanggung bertambahnya pengeluaran untuk
tugas yang diserahkan kepada daerah.
b. pada hakekatnya Negara tidak dapat melepaskan diri sama sekali
dari pertanggungan-jawab atas penyelenggaraan otonomi daerah, karena dalam
tugas dimaksud selalu terdapat unsur-unsur kepentingan umum yang pada pokoknya
menjadi tugas Negara. Subsidi ialah bantuan yang diberikan kepada daerah untuk
penyelenggaraan usaha-usaha daerah yang biayanya melampaui kekuatan keuangan
daerah. Sumbangan ialah bantuan yang diberikan kepada daerah untuk menutup
kekurangan anggaran keuangan daerah, oleh karena keadaan luar biasa yang
mengakibatkan bahwa daerah mengalami kesulitan keuangan.
2) Pemberian penghasilan tersebut kepada daerah akan diatur dalam
Undang-undang Perimbangan Keuangan.
Pasal
59
Didalam
mengatur dan mengurus rumah tangga daerah DPRD. dengan sendirinya memperhatikan
pula penyelenggaraan usaha-usaha untuk meninggikan kemakmuran dan kesejahteraan
penduduknya. Dalam hendak mewujudkan tujuan ini kepada daerah diberi hak untuk
mengadakan perusahaan daerah. Mengingat akan ketentuan dalam pasal 37 dan 38
UUDS. maka perusahaan-perusahaan (utiliteitsbedrijven) yang diadakan sebagai
badan publik dan tidak diajukan untuk semata-mata akan mencari keuntungan yang
sebesar-besarnya dengan melepaskan fungsi sosial daripada perusahaan itu
terhadap penduduk daerah. Adanya sesuatu perusahaan dari daerah tidak boleh
merusak keseimbangan keuangan umum daerah, sehingga pokok untuk mendirikan
perusahaan daerah harus didapat dari mengadakan pinjaman. Peraturan umum
tentang mengadakan perusahaan daerah diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Pemerintah.
Pasal
60
1) Pengelolaan keuangan daerah yang tepat dan sehat serta seksama,
akan memberi gambaran dan pemandangan setiap waktu tentang cara bagaimana
daerah melaksanakan kewajibannya dan merupakan syarat utama dalam melaksanakan
kebijaksanaan pemerintahan daerah, lagi pula akan menjadi dasar bagi
pertumbuhan dan perkembangan urusan daerah. Untuk keperluan-keperluan dimaksud
DPRD. memegang kekuasaan penuh untuk mengadakan peraturan-peraturan daerah yang
antara lain memuat ketentuan tentang:
- penyusunan anggaran keuangan daerah.
- menyampaikan rencana anggaran
keuangan daerah yang sudah ditetapkannya kepada penguasa yang berhak
mengesahkannya.
- menyelenggarakan keuangan daerah yang
telah mendapat pengesahan.
- pemeriksaan perhitungan dan
pertanggungan-jawab keuangan daerah.
- perhitungan anggaran keuangan daerah.
2) Keuangan daerah tidak dapat terlepas dari keuangan Negara dan
pada hakekatnya merupakan bagian dari keuangan umum. Persamaan dan keseragaman
dalam cara penyelenggaraan keuangan daerah diperlukan agar dapat diperoleh
gambaran tentang dan mempermudah pengawasan terhadap pengurusan dan
perkembangan rumah tangga daerah, berhubung dengan mana dalam Peraturan
Pemerintah dapat ditetapkan peraturan-peraturan umum mengenai penyelenggaraan
keuangan daerah.
Pasal
61
1) Di dalam membentuk daerah dikehendaki adanya anggaran keuangan
daerah pertama yang menjadi dasar permulaan bagi daerah untuk menyelenggarakan
tugas kewajibannya. Penetapan anggaran keuangan daerah pertama dalam
Undang-undang untuk daerah tingkat I dan II berdasarkan kenyataan bahwa
tugas-tugas yang diserahkan pada daerah tersebut meliputi tugas berbagai-bagai
Kementerian, yang memerlukan peninjauan yang seksama dengan mengadakan
perobahan anggaran keuangan Negara, sepanjang diperlukan. Anggaran keuangan
daerah pertama memuat antara lain rencana biaya dari:
- keperluan-keperluan berhubung dengan
pembentukan daerah.
- urusan-urusan rumah tangga sendiri
menurut keadaan pada waktu pembentukan daerah yang bersangkutan.
- urusan-urusan pemerintah yang
diserahkan dan ditugaskan kepada daerah sesuai dengan yang dimuat dalam
anggaran Negara.
2) Dengan memakai anggaran keuangan daerah pertama sebagai pangkal
permulaan untuk selanjutnya anggaran keuangan daerah ditetapkan oleh DPRD.
3) Dasar otonomi yang seluas-luasnya menghendaki kesanggupan
keuangan daerah sebesar-besarnya dan dengan sendirinya dasar ini tidak terlepas
dan harus mengikuti keadaan keuangan Negara seluruhnya. Kesanggupan keuangan
daerah sebesar-besarnya tidak dapat diserahkan kepada daerah untuk
mewujudkannya menurut kehendaknya sendiri-sendiri, oleh karena sebagai
dinyatakan di atas, keuangan daerah tidak dapat dipisahkan dari keuangan Negara
seluruhnya dalam menyelenggarakan kepentingan umum. Berhubung dengan itu dimuat
ketentuan (pasal 61 ayat 3) bahwa anggaran keuangan daerah tidak berlaku
sebelum disyahkan oleh Menteri Dalam Negeri bagi daerah tingkat I dan oleh DPD.
setingkat lebih atas bagi lain-lain daerah.
4) Ketentuan ini berlaku pula untuk tiap-tiap perubahan anggaran
keuangan daerah (ayat 4).
Pasal
62
Berlainan
dengan Undang-undang R.I. No. 22 tahun 1948 dan Undang-undang N.I.T. No. 44
tahun 1950, Bab tentang pengawasan terhadap Daerah dalam undang-undang ini
untuk mendapat systematik yang lebih teratur, terbagi dalam 5 bagian yakni :
1.
tentang pengesahan dan jangka waktu pengesahan;
2.
tentang pembatalan dan pertanggungan;
3.
tentang sengketa mengenai tata-usaha Daerah;
4.
tentang penyelidikan dan pemeriksaan oleh Pemerintah;
5.
tentang pengumuman.
Sebelum
meningkat pada penjelasan sepasal demi sepasal, lebih dahulu tentang pengawasan
terhadap Daerah ini, perlu rasanya dikemukakan, bahwa pada umumnya dapat
dikatakan bahwasanya pengawasan atas segala keputusan Pemerintah Daerah
Swantara pengawasan itu merupakan suatu akibat mutlak dari adanya Negara
Kesatuan. Dalam menyelenggarakan pemerintahan Negara di dalam suatu Negara Kesatuan
pada umumnya haruslah selalu diusahakan tetap terpeliharanya kesatuan itu,
sehingga kemerdekaan Daerah dalam mengurus rumah tangganya sendiri sekali-kali
tidak boleh berakhir dengan rusaknya hubungan Negara dan Daerahnya.
"Harmoni" antara Pusat dan Daerah harus tetap ada dan terpelihara,
dan di dalam Negara dengan pemerintahan yang didesentralisir, maka pengasan
inilah yang merupakan jalan yang terpenting untuk menjamin terpeliharanya
harmoni itu. Menilik sifatnya, pengawasan ini dapat terbagi dalam DUA jenis
pengawasan :
A. pengawasan preventief;
B. pengawasan represif.
ad.
A. PENGAWASAN PREVENTIF Pengawasan preventif ini dimaksudkan untuk
mencegah berlakunya keputusan Daerah yang dipandang penting oleh pembuat
Undang-undang. Pengawasan semacam ini hanya diharuskan bagi beberapa putusan
tertentu, dalam mana tersangkut kepentingan-kepentingan besar, sehingga dengan
demikian kemungkinan datangnya kerugian atas kepentingan-kepentingan itu sudah
dapat dicegah sebelumnya. Pengawasan preventif ini berupa mewajibkan
didapatkannya pengesahan lebih dahulu dari fihak pengawas yang ditunjuk,
sebagai suatu syarat yang harus dipenuhi lebih dahulu, supaya keputusan itu
dapat mulai berlaku, di samping syarat-syarat lain yang bersangkutan dengan
pengundangan apabila keputusan itu merupakan peraturan daerah.
Keputusan-keputusan Daerah yang menurut undang-undang ini harus diawasi secara
preventif, ialah antara lain putusan-putusan Daerah termaksud dalam pasal 12
ayat 3, pasal 21 ayat 2, pasal 22 ayat 2, pasal 3 ayat 4, pasal 42 ayat 2,
pasal 53 ayat 2, dan lain-lainnya. Selain keputusan-keputusan Daerah tentang
hal-hal termaksud dalam pasal-pasal tersebut di atas itu, dalam undang-undang
atau peraturan Pemerintah dapat ditetapkan, bahwa sesuatu keputusan Daerah mengenai
pokok-pokok tertentu tidak berlaku sebelum disahkan oleh penguasa yang ditunjuk
(periksalah pasal 62 dari undang-undang ini).
Ad.
B. PENGAWASAN REPRESSIF Pengawasan represif dalam undang-undang
ini diwujudkan dengan pembatalan, yang bermaksud meniadakan
keputusan-keputusan, yang salah karena bertentangan dengan peraturan
perundangan yang lebih tinggi tingkatnya atau dengan kepentingan umum.
Berlainan dengan *1383 pengawasan preventif yang hanya ditujukan kepada
keputusan-keputusan tertentu dan harus dijalankan di dalam jangka waktu yang
terbatas, sebelum sesuatu keputusan tertentu itu mulai berlaku, pengawasan
represif ini dijalankan terhadap semua keputusan Daerah di dalam jangka waktu
yang tidak terbatas, sungguhpun keputusan itu sudah mulai berlaku. Yang
dimaksudkan dengan "keputusan" dalam undang-undang ini ialah
keputusan di dalam arti luas, dalam mana termasuk jua peraturan-daerah, sebagai
telah dinyatakan juga dalam pasal 1 ayat 1. Apabila menurut pendapat pengawas,
suatu putusan Daerah memuat anasir- anasir yang memberi alasan untuk
membatalkan keputusan itu, baik karena bertentangan dengan peraturan
perundangan yang lebih tinggi tingkatannya maupun dengan kepentingan umum, maka
keputusan Daerah itu dapat dipertangguhkan oleh pengawas yang ditunjuk untuk
itu. Pertangguhan ini dimaksudkan untuk menahan dijalankannya putusan itu
selama masih dalam pertimbangan untuk pembatalan. Akta penundaan ini dibatasi
dalam undang-undang ini (Periksa pasal 67).
Pasal
63
Agar
supaya keputusan tentang pengesahan ini tidak diambil dalam waktu yang sangat
lama, maka dalam pasal ini diadakan ketentuan jangka waktu untuk mengambil
keputusan oleh penguasa yang harus mengesahkan selama 3 bulan terhitung mulai
hari putusan Daerah yang bersangkutan dikirimkan untuk mendapat pengesahan.
Jika dalam waktu 3 bulan itu instansi yang wajib mengesahkan tidak mengambil
keputusan, maka putusan Daerah itu oleh Daerah tersebut dapat dijalankan. Waktu
3 bulan ini dapat diperpanjang sampai 6 bulan. Dalam ayat 4 dibuka kemungkinan bagi
Daerah untuk memajukan keberatan terhadap putusan tidak memberi pengesahan
kepada Dewan Pemerintah Daerah setingkat lebih atas dari penguasa Daerah yang
menolak atau kepada Menteri Dalam Negeri apabila yang menolak itu Dewan
Pemerintah Daerah tingkat I.
Pasal
64 dan 65
Instansi
yang berhak untuk membatalkan atau menunda suatu putusan daerah terutama
diletakkan kepada instansi setingkat lebih atas (Lihat pasal 64). Karena
Pemerintah Pusat adalah penanggung jawab terakhir mengenai segala hal yang berhubungan
dengan soal-soal pemerintahan daerah hal mana dicantumkan dalam pasal 69, maka
dalam pasal 65 diberi kemungkinan kepada Pemerintah Pusat untuk
mempertangguhkan atau membatalkan keputusan-keputusan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah dan Dewan Pemerintah Daerah dari Daerah-daerah Swantara tingkat ke-II
dan ke-III yang bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi
tingkatnya atau dengan kepentingan umum, apabila ternyata, Dewan Pemerintah
Daerah yang berhak melakukan wewenang itu menurut pasal 64, tidak melakukannya.
Selanjutnya cara-cara pengawasan yang belum diatur dengan undang-undang ini,
akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah (periksa pasal 69). Yang dimaksud
dengan penguasa dalam pasal-pasal 64, 65 dan 68 ialah pegawai Pemerintah Pusat
atau Dewan Pemerintah Daerah tingkat ke-I dan II, yang bertindak atau atas nama
Menteri Dalam Negeri.
Pasal
66.
Dalam
pasal ini diatur akibat-akibat pembatalan sesuatu keputusan Daerah karena:
a. bertentangan dengan peraturan-perundangan yang lebih tinggi;
b. bertentangan dengan kepentingan umum.
Hal
di atas ini dalam Undang-undang R.I. No. 22 tahun 1948 ataupun dalam
Undang-undang N.I.T. No. 44 tahun 1950 tidak diatur dalam undang-undangnya
sendiri, hanya dalam penjelasan Undang-undang R.I. No. 22 tahun 1948 terdapat
ketentuan sebagai tercantum dalam pasal 66 ini. Oleh karena hal itu merupakan
ketentuan pokok, maka lebih pada tempatnya, apabila hal itu dimuat dalam
undang-undangnya sendiri dan tidak cukup dalam penjelasan saja.
Pasal
67 Sudah jelas.
Pasal
68 Sudah jelas.
Pasal
69 Lihatlah penjelasan atas pasal-pasal 64
dan 65.
Pasal
70 Cukup jelas.
Pasal
71. Sudah jelas.
Pasal
72. Sudah jelas.
Pasal
73.
Pembentukan
Daerah Swantara berdasarkan undang-undang ini sudah barang tentu tidak dapat
diadakan dengan sekaligus untuk semua Daerah didalam wilayah Indonesia begitu
pula peraturan-peraturan penyelenggaraannya menghendaki waktu yang cukup.
Berhubung
dengan hal-ihwal itu perlu diadakan pasal-pasal peralihan agar undang-undang
dapat dijalankan dengan tidak mengacaukan jalannya pemerintahan Daerah
sepanjang Daerah ini belum dapat terbentuk menurut undang-undang ini. Pada
waktu mulai berlakunya undang-undang ini kita dapatkan di Indonesia
Daerah-daerah Swatantra yang berdasar atas pelbagai jenis perundang-undangan
pokok, misalnya:
1. Propinsi-propinsi di Jawa, Sumatera dan Kalimantan, Daerah
Istimewa Yogyakarta, Kota Besar dan Kota Kecil di Jawa dan Kalimantan, begitu
pula Kabupaten, Daerah Istimewa setingkat Kabupaten di Kalimantan dibentuk
berdasarkan Undang-undang R.I. No. 22 tahun 1948.
2. Kotapraja Jakarta Raya berdasar atas S.G.O. dengan
"tijdelijke voorzieningenn j/a juncto Undang-undang No. 1 tahun 1956."
3. Daerah-daerah dalam Propinsi Maluku, Sulawesi dan Nusa Tenggara
atas Undang-undang N.I.T. No. 44 Tahun 1950.
4. Kota Makasar atau ordonnatie voorloopige voorzieningen m.b.t.
de bestuursveering v/d gewesten Borneo en de Groote Oost (Staatsblad 1946
No.17)juncto S.G.O.S.
Lain
daripada itu masih kita dapatkan pula daerah-daerah asli yang mengurus rumah
tangganya sendiri sebagai desa, marga, negari dsb., yang berdasarkan I.G.O. dan
I.G.O.B. Sebelum daerah-daerah tersebut di atas dapat dibentuk baru berdasarkan
undang-undang baru ini, perlu dalam pasal 73 ini dinyatakan bahwa daerah-daerah
swatantra itu berjalan terus berdasrakan perundang-undangannya pokok
masing-masing.
Oleh
karena dasar-dasar pokok dari undang-undang ini tidak banyak sekali perbedaannya
dengan Undang-undang R.I. No. 22 tahun 1948, maka selain untuk mengejar waktu
yang diperlukan untuk membentuk baru berdasarkan undang-undang ini, nampaknya
tidak akan menimbulkan banyak kesulitan di dalam praktek jika Propinsi,
Kabupaten, Kota Besar dan Kota Kecil, begitu pula Daerah Istimewa setingkat
propinsi dan setingkat Kabupaten yang telah dibentuk berdasarkan Undang-undang
R.I. No. 22 tahun 1948 sejak saat mulai berlakunya undang-undang baru ini
menjadi berturut-turut Daerah tingkat ke-I, Daerah tingkat ke-II, Kotapraja,
Daerah istimewa tingkat ke-I dan tingkat ke-II menurut undang-undang baru ini.
Oleh
karena itu dalam pasal 73 ayat 1 dan 2 hal di atas dicantumkan demikian.
Demikian pula halnya dengan Kotapraja Jakarta-Raya, yang menurut ayat 3 menjadi
Kotapraja Jakarta-Raya menurut undang-undang ini. Sebaliknya Daerah-daerah di
dalam Propinsi Maluku, Sulawesi dan Nusa Tenggara sungguhpun Undang-undang
N.I.T. No. 44 tahun 1950 hampir sama dengan Undang-undang R.I. No. 22 tahun
1948 tidak dapat dinyatakan menjadi sesuatu jenis Daerah menurut undang-undang
baru ini, oleh karena masih harus ditinjau lebih jauh mengenai isi rumah
tangganya. Sebelum pembentukan baru terjadi, maka Daerah-daerah tersebut
berjalan terus bersandarkan Undang-undang No. 44 tahun 1950.
Pasal
74.
Ayat
1 bermaksud untuk mencegah kekosongan dalam Pemerintah Daerah, berhubung dengan
dijadikannya daerah-daerah otonoom yang sudah ada berdasarkan Undang-undang
R.I. No. 22/1948 dan Undang-undang No. 1 tahun 1956, menjadi daerah-daerah
otonom menurut undang-undang ini (pasal 73 ayat 1, 2 dan 3).
Dengan
ketentuan ayat 1 itu, maka Pemerintah Daerah yang ada pada saat mulai
berlakunya undang-undang ini dapat terus melakukan kewajibannya seperti
sediakala, dengan ketentuan, bahwa dalam waktu selambat-lambatnya dua tahun
pembentukan D.P.R.D. baru berdasarkan pasal 7 ayat 6 sudah, selesai.
Sedangkan
dalam waktu selambat-lambatnya 3 bulan sesudah pembentukan D.P.R.D. itu maka
harus pula telah diadakan pemilihan Kepala Daerah, Ketua dan Wakil Ketua
D.P.R.D. tidak dapat dibentuk dalam waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat 2,
maka dengan sendirinya pemilihan Kepala Daerah sebagai dimaksud dalam pasal 24
ayat 1, tidak akan dapat terlaksana, sehingga karena itu perlu diadakan jalan
keluar untuk menghadapi kesulitan tersebut, Jalan keluar dimaksud tercantum
dalam ayat 4 sub a.
Demikian
pula apabila D.P.R.D. itu sudah dapat dibentuk, akan tetapi pemilihan Kepala
Daerah tidak dapat dilaksanakan dalam waktu dimaksud dalam ayat 2, maka perlu
juga diadakan jalan keluar; jalan keluar dimaksud terdapat dalam ayat 4 sub b.
Selanjutnya ayat 5 menyerahkan kepada Peraturan Pemerintah pengaturan lebih
lanjut akibat-akibat yang ditimbulkan oleh ketentuan pasal 73 ayat 1, 2 dan 3
itu.
Pasal
75. Sudah jelas.
Pasal
76. Sudah jelas.
Diketahui
Menteri Kehakiman a.i
ttd
SOENARJO
--------------------------------
CATATAN
*)
Disetujui D.P.R. dalam pleno terbuka ke-113 pada hari jum'at tanggal 14
Desember 1950, P.19/56,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar